Membumikan Dialog Libertaif
11 saja. Dengan demikian, dialog dalam bentuk ini sangat
memperhatikan pentingnya membangun hubungan antarumat beragama dari kepelbagian agama yang berbeda-beda.
D.
Problem Dialog Antarumat Beragama
Dalam pandangan sosiologi, dialog termasuk dalam kategori sosiologi. Dialog merupakan salah satu momentum proses sosial.
Dalam kerangka itu dialog merupakan bagian dari proses sosial yang assosiatif, yang bertolak dari situasi vacum dan kesepian, atau
dari situasi konflik yang dialami oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Demikianlah dialog dapat merupakan jalan keluar
untuk mengatasi keadaan bermusuhan dan menciptakan situasi yang damai dan kooperatif.
Menurut penulis, minimal ada tiga hal yang dapat menghalangi seseorang untuk berdialog; i Sikap eksklusif. ii
standar ganda double standard dan iii klaim kebenaran truth claim
. Tiga hal ini hampir dimiliki oleh setiap pemeluk agama.
1. Sikap Eksklusif
Sikap eksklusif atau eksklusivisme sering menjadi penghalang bagi dialog. Sikap ini sering membuat orang memandang bahwa
dialog sebagai pekerjaan sia-sia bahkan merusak keyakinan. Bagi seorang eksklusif, kebenaran yang dipahami dan diyakini adalah
kebenaran mutlak yang tidak perlu didialogkan dan tidak boleh diganggu gugat. Keenggangan untuk berdialog baik dengan orang
yang berbeda aliran dalam suatu agama maupun dengan para penganut agama-agama lain, melekat dengan kuat pada mental
kaum fundamentalis. Kecenderungan para penganut sikap eksklusif ini, sering melahirkan sikap apologi apologia,20 yakni
20
Ciri konfrontasi dari apologetika tampak jelas jika dipakai metode antitetis. Karena dalam metode ini ditonjolkan kekurangan dan kelemahan agama lain. Yang
Membumikan Dialog Libertaif
12 suatu sikap yang berusaha membela dan mempertahankan
keutuhan substansial masing-masing agama dari serangan yang datang dari dalam maupun dari luar.
Dalam kasus ini, penulis melihat kecenderungan dari pandangan ini banyak dipraktikan oleh dari tradisi agama samawi
yaitu Islam dan Kristen, seperti yang telah penulis uraikan di atas. Misalnya, adanya pandangan bahwa agama selain Islam adalah
salah dan tidak mendapatkan privilege di sisi Tuhan. Islam diyakini sebagai agama yang paling mulia dan dipahami sebagai blue print
yang serba paripurna. Kebenarannya menempati posisi yang paling tinggi dan senantiasa berada di puncak menara yang tidak
tertandingi, jika dibandingkan dengan agama-agama selain Islam. Dalam pandangan umum di kalangan kaum Muslim bahwa
ketentuan agama apa pun tetap sah hingga ada ketentuan yang datang berikutnya dalam istilah fikih disebut dengan nasikh untuk
menghapus ketentuan sebelumnya mansukh. Sehingga Islam dan Al-Quran dianggap oleh kaum Muslim sebagai agama dan wahyu
terakhir umat manusia. Tapi ketentuan-ketentuan di atas telah terhapus mansukh dengan Hadis Rasulullah Muhammad Saw.
Dengan sabdanya:
“Barangsiapa meninggal di zaman Islam dan belum mendengar akan daku, tetapi ia beriman kepada Yesus, maka dengan
beriman nasibnya baik. Tetapi barang siapa mendengar tentangku namun
menggunakan metode simpatetis sifatnya lain lagi. Apologetika yang demikian itu tidak menunjukkan batas pendirian yang tegas, berbau kompromistis, dan
mengatakan bahwa agama-agama itu sama saja, sedangkan perbedaannya sedikit sekali. Dengan demikian batas perbedaan yang secara tegas memang ada menjadi
kabur. Metode lain lagi adalah yang disebut dengan metode positivo-tetis. Dalam metode ini, diterangkan kebenaran dan pernyataan-pernyataan Allah terkandung
dalam Kitab Suci yang dipercayainya, tanpa menjelekkan agama lain dengan menyerang kitab suci mereka dan demikian tidak melukai hati orang lain. Lihat: D,
Hendropuspito, O.C., Op. Cit. Hlm. 152-153.
Membumikan Dialog Libertaif
13 tidak m
embenarkanku, sungguh ia celaka”.
21
Kalau diperhatikan keberadaan dari Hadis itu, maka sesungguhnya ia telah menghapus
keberadaan ayat-ayat yang telah penulis sebutkan di atas. Artinya, bahwa kebenaran dan keselamatan terdapat pula dalam agama-
agama lain, seperti: Kristen, Hindu, Buddha, Zoroaster, maupun agama-agama lainnya. Sementara dalam tradisi Kristen menurut
Konsili:
“Gereja Suci Roma… tegas-tegas meyakini, bersaksi dan menyatakan bahwa tak seorang pun di luar Gereja Katolik,
baik orang kafir atau Yahudi atau orang yang tidak beriman, tidak juga orang yang terpisah dari Gereja, akan ikut bersama-
sama dalam kehidupan yang kekal, tapi akan binasa di dalam api kekal yang disediakan untuk setan dan sekutu-sekutunya,
jika orang tersebut tidak bergabung dengannya Gereja Katolik sebelum mati.22
Hanya saja pandangan eksklusif ini telah dikoreksi melalui Konsili Vatikan II pada tahun 1965. Konsili ini mulai mengakui
bahwa di luar gereja terdapat juga keselamatan karena Kasih Tuhan melampui batas-batas agama. Konsili ini menegaskan:
Mereka yang bukan dikarenakan kesalahan mereka sendiri, tidak mengetahui Injil Kristus atau Gerejanya, namun mereka
mencari Tuhan dengan hati yang jujur dan digerakkan oleh rahmat,
berusaha dalam
tindakan-tindakan mereka
melaksanakan kehendak-Nya
sebagaimana mereka
mengetahui hal itu melalui bisikan kesadaran mereka pun memperoleh keselamatan yang kekal.23
21
Mahmoud M. Ayoub. The Qur’an and Its Interpreters. Albany: State University of
New York Press, 1984. Hlm. 112.
22
Lihat: Hans Küng. Sebuah Model Dialog Kristen-Islam , dalam PARAMADINA, Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 1. Nomor 1. 1998. Hlm. 12.
23
Ibid. Hlm. 12-13. Selanjutnya untuk lebih jelasnya putusan Konsili Vatikan II, dapat ditemui dalam Dokumen Konsili Vatikan II , Bab V: Usaha Demi Perdamaian dan