Berawal dari Kerajaan: Merunut Akar Sejarah

III. Berawal dari Kerajaan: Merunut Akar Sejarah

  Pergerakan Perempuan di NTB

  Pergerakan perempuan dalam politik di NTB sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Sembilan tahun setelah pelaksanaan Kongres Perempuan III di Bandung (1938), lahir organisasi wanita pertama di NTB dengan nama Rukun Wanita (RW) Bima pada tahun 1947, yang dipelopori oleh Siti Maryam, anak raja Bima kala itu-Sultan Salahuddin. Munculnya organisasi ini tidak hanya mendapat dukungan dari kalangan perempuan pribumi yang ada di wilayah tersebut, juga perempuan-perempuan dari etnis Arab dan Cina. Kegiatan RW Bima difokuskan pada peningkatan kapasitas dan kualitas perempuan Bima, melalui kegiatan pemberantasan buta huruf, pendirian taman bacaan, pemberian ketrampilan berpidato dan berdiskusi.

  mengakibatkan kantor sekretariat RW Bima yang semula berpusat di Uma Dodu, yaitu sebuah rumah panggung bekas kediaman Sultan bersama keluarga semasa mengungsi di Desa Dodu pada Perang Dunia II, dipindahkan ke istana agar dapat mudah melakukan koordinasi dan komunikasi antar sesama pengurus. Rukun Wanita (RW) Bima menginspirasi perempuan- perempuan Kesultanan Dompu dan Sumbawa untuk membentuk organisasi serupa, yakni Perwadom

  Bab V Pergulatan di Tengah Marginalisasi dan Dominasi Kultur Patriarki:

  Perempuan, Partai Politik Parlemen di Nusa Tenggara Barat

  (Persatuan Wanita Dompu) dan Perwas (Persatuan

  Wanita Sumbawa) pada tahun 1949. 3

  Organisasi RW Bima mendapat perhatian serius dari Pemerintah Daerah Pulau Sumbawa sehingga Siti Maryam diminta mewakili perempuan menjadi anggota DPRD Pulau Sumbawa yang merupakan federasi dari tiga kerajaan, yakni Bima, Dompu dan Sumbawa. Namun Siti Maryam menolaknya, dengan pertimbangan bahwa saat itu dia masih remaja dan belum siap menjalankan tugasnya. Namun demikian ia tidak serta merta menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Pemda setempat untuk memajukan perempuan. Atas usul Siti Maryam, posisi perempuan dalam DPRD Sumbawa dialihkan pada Siti Hawa Takalondondong yang merupakan mitra kerjanya di RW Bima, sekaligus seniornya.

  Organisasi-organisasi perempuan di NTB pada saat itu sadar betul bahwa persoalan kesehatan menjadi masalah mendasar bagi perempuan NTB. Untuk itu, pada tahun 1948-1950, didirikan beberapa rumah sakit bersalin di wilayah NTB dan juga biro konsultasi kehamilan yang langsung ditangani oleh seorang dokter perempuan dari Bali. Karena rata-rata organisasi perempuan ini disokong oleh anak-anak raja, maka pada umumnya rumah sakit bersalin dan biro konsultasi kehamilan ini berada di dekat bangunan istana raja, atau menjadi bagian dari bangunan istana

  3 Naniek I. Taufan, Demi Masa: Kenangan Perjalanan Karir Hj. Siti Maryam Salahuddin, Bima: Musium Kebudayaan Samperaja, 2010.

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  raja itu sendiri. Terkadang, anak-anak raja tersebut seringkali harus merangkap menjadi tenaga medis akibat kelangkaan bidan di daerahnya.

  Kesadaran bahwa perjuangan perempuan harus diperluas terutama terkait perannya dalam pembuatan kebijakan publik, beberapa anak-anak raja dan juga pejabat di NTB dengan rela hati menjadi tenaga magang di birokrasi lokal yang ada. Sebagian di antaranya bahkan sukses menjalani karier birokratnya. Siti Maryam misalnya—ia menjadi salah satu perempuan pertama yang meraih jabatan sebagai Assiten III Gubernur NTB yang membawahi bidang Administrasi Umum (Setwilda) selama 11 tahun. Ia tidak hanya menjadi satu-satunya perempuan Bima yang menempati posisi strategis di birokrasi pemerintahan daerah setempat, namun juga menjadi satu-satunya perempuan Indonesia yang menjabat sebagai Asisten GubernurSetwilda pada masanya. Karir politik Siti Maryam tidak berhenti di daerahnya saja. Setelah menjalani masa pensiun, ia kemudian mengajukan diri untuk mewakili daerahnya menjadi anggota DPR RI.