Perempuan dan Dinamika Sosial di Nusa Tenggara Barat

II. Perempuan dan Dinamika Sosial di Nusa Tenggara Barat

  Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) termasuk wilayah yang cukup tertinggal. Survey BPS pada tahun 2010 menyebutkan bahwa Indeks Prestasi Manusia (IPM) NTB berada di urutan 32 dari 33 provinsi di Indonesia. Pada tahun 2011, IPM provinsi NTB lebih anjlok lagi dan berada pada urutan paling akhir alias 33. Hal tersebut tentu cukup memprihatinkan sebab salah satu indikator yang dijadikan parameter IPM tersebut adalah ekonomi (kesejahteraan), kesehatan, dan pendidikan. Angka pengangguran di NTB cukup tinggi mencapai 110.542 orang dan pengangguran perempuan 66.000 orang, dengan pendapatan perkapita 7,3 jutatahun. Demikian juga dengan masalah kesehatan dan pendidikan. Angka kematian ibu melahirkan cukup tinggi. Di beberapa daerah kabupaten banyak dijumpai kasus gizi buruk. Sedangkan angka buta aksaranya juga cukup memprihatinkan, mencapai 22 persen.

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  Tabel V.1. Persentase Penduduk Miskin di NTB Tahun 2005-2009

  Persentase

  Kode KabupatenKota 2005

  Kab. Lombok

  Barat Kab. Lombok

  Tengah Kab. Lombok

  Timur 4 Kab. Sumbawa

  5 Kab. Dompu

  6 Kab. Bima

  Kab. Sumbawa

  Barat 71 Kota Mataram

  72 Kota Bima

  Sumber: Data BPS Provinsi NTB

  Bab V Pergulatan di Tengah Marginalisasi dan Dominasi Kultur Patriarki:

  Perempuan, Partai Politik Parlemen di Nusa Tenggara Barat

  Tabel V.2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Menurut

  KabKota Provinsi NTB

  Barat Lombok

  Tengah Lombok

  Timur Sumba

  wa 5 Dompu 60,61 48,79 58,40 62,40 63,30 63,90 64,04 64,40 64,93

  6 Bima

  Sumba 7 wa

  Barat Kota 8 Matara 66,03 58,29 65,20 68,80 69,40 69,82 70,71 71,41 71,82 m Kota

  Sumber: Data BPS Provinsi NTB

  NTB juga merupakan salah satu wilayah yang paling banyak mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri, terutama untuk jenis un-skill labour. Di Lombok Timur misalnya, setiap tahunnya mengirimkan Tenaga Kerja Wanita(TKW) sebanyak kurang lebih dua belas (12) ribu orang dan 70 persen diantaranya adalah perempuan. Minat bekerja di luar negeri itu tidak

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  terlepas dari dukungan sanak keluarga. Bahkan, para istri rela ditinggal pergi sang suami untuk jangka waktu beberapa tahun, meskipun harus menyandang predikat janda. Status janda itu hanya bersifat sementara semenjak ditinggal pergi suaminya ke luar negeri, sehingga warga setempat sering menggunakan istilah "janda malaysia" (jamal) kepada mereka. Impian akan menjadi pengusaha kaya setelah sang suami sukses menjadi pekerja di luar negeri turut memberi

  andil dalam mendorong suami atau istri menjadi TKI. 1

  Sayangnya, status “jamal” seringkali berubah menjadi status janda permanen karena sang suami menikah lagi. Untuk menghidupi sang anak, janda- janda tersebut bekerja menjadi buruh tani, pedagang bakulan, dan tenaga kasar lainnya. Sedangkan bagi tenaga kerja perempuan, kontribusi mereka di bidang ekonomi tidak menjamin mereka tidak diceraikan suami. Mereka seringkali harus menjanda karena suami yang berada di kampung halamannya berselingkuh atau menikah lagi dengan perempuan lain karena tidak tahan ditinggal lama sang istri yang menjadi TKW.

  Dengan posisi demikian, tidak mengherankan bila Provinsi NTB yang berpenduduk empat juta lebih, mendapat kontribusi ekonomi yang cukup signifikan dari warga perempuannya. Sebanyak 97 persen dari pekerja sektor informal adalah perempuan yang menyumbang penghasilan pada APBD setempat. Begitu pun remiten Tenaga Kerja Indonesia asal NTB

  1 Survei Tenaga Kerja NTB, Univeristas Negeri Mataram, 2011.

  Bab V Pergulatan di Tengah Marginalisasi dan Dominasi Kultur Patriarki:

  Perempuan, Partai Politik Parlemen di Nusa Tenggara Barat

  dari luar negeri ke keluarganya yang berjumlah kurang lebih Rp 400 miliar per bulan, dimana 80 persen diantaranya adalah sumbangan buruh migran

  perempuan. 2 Sayangnya, tingginya kontribusi ekonomi

  perempuan-perempuan NTB tidak dibarengi dengan tingginya kualitas hidup mereka yang tercermin dalam tingkat pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.

  Selain persoalan-persoalan tersebut di atas, Indeks Demokrasi di NTB yang menempati urutan paling akhir dari 33 provinsi, terkait langsung dengan persoalan perempuan, seperti rendahnya keterbukaan berpendapat dan berekspresi, keterlibatan perempuan dalam ranah sosial dan publik pada umumnya, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak kaum perempuan. Dalam konteks hukum dan HAM, beberapa kasus yang berkaitan dengan perempuan cukup menonjol, seperti women trafficking dan penanganan buruh migran, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kawin cerai, pernikahan usia dini, dan lain-lain. Hal-hal tersebut di atas tentu perlu mendapat perhatian khusus, dan keberadaan anggota legislatif perempuan tentu menjadi sangat signifikan untuk menjawab berbagai masalah di atas.

  2 Nusa Tenggara Barat Dalam Angka, BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2010.

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal