Antara Kuantitas vs Kualitas: Tantangan Peran Perempuan Dalam Politik

V. Antara Kuantitas vs Kualitas: Tantangan Peran Perempuan Dalam Politik

  Memperkuat partisipasi politik dalam hal ‘bukan semata jumlah’ berarti menempuh upaya-upaya yang tak hanya terbatas pada upaya meningkatkan jumlah perempuan di dunia politik, namun juga memperbaiki kinerja dan keberhasilan perempuan dalam berpolitik, mengkaji dampak yang ditimbulkan dari partisipasi mereka di dalam sistem politik, memonitor perkembangan agenda politik, dan memantau isu-isu yang muncul seiring dengan keterlibatan mereka di dalam sistem politik.

  Pada umumnya, pemahaman anggota legislatif perempuan di DPRD Kota Mataram dan DPRD NTB tentang persoalan-persoalan perempuan rata-rata

  15 FGD Peran Perempuan dalam Ranah Politik, Farouk Center, Mataram, Juni 2012.

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  cukup memadai. Mereka tahu tentang isu-isu dan agenda yang mesti diperjuangkan terkait dengan peningkatan kualitas hidup perempuan. Anggota legislatif perempuan baik di DPRD Kota Mataram dan DPRD NTB juga dikenal sebagai anggota yang disiplin, rajin dalam mengikuti sidang-sidang di DPRD, serta memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas yang dibebankannya. Sayangnya, kinerja perempuan yang menjadi anggota legislatif masih dipandang tidak maksimal, terutama terkait dengan penguasaan materi dan substansi persoalan yang dibidanginya. Hal tersebut menurut salah satu narasumber dikarenakan keculi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golongan Karya (Golkar), beberapa partai tidak memiliki sistem pengkaderan yang terukur bagi calon- calon anggota legislatif yang akan dimunculkan dalam pemilu. Ini nampak dari lemahnya kemampuan lobi anggota legislatif perempuan, terutama yang

  menyangkut masalah anggaran dan legislasi. 16

  Pendapat senada dikemukakan oleh Ketua Fraksi Golkar DPD NTB. Menurutnya sistem rekrutmen yang diterapkan parpol dalam menjaring bakal calon anggota legislatif perempuan lebih banyak mengambil pertimbangan popularitas sang calon daripada persoalan kapabilitas. Hal ini terkait strategi partai dalam pemenangan pemilu serta adanya asumsi bahwa elektabilitas (tingkat keterpilihan) calon anggota

  16 Wawancara dengan anggota legislatif NTB dari Fraksi Hanura, Mataram, Juni 2012.

  Bab V Pergulatan di Tengah Marginalisasi dan Dominasi Kultur Patriarki:

  Perempuan, Partai Politik Parlemen di Nusa Tenggara Barat

  legislatif perempuan lebih rendah dibandingkan laki- laki.

  Golkar sendiri dalam soal rekrutmen calon anggota legislatif lebih mengutamakan anggota yang telah lama duduk dalam struktur organisasi partai politiknya, ketimbang mereka yang secara tiba-tiba diusung partainya sebagai calon legislatif. Strategi ini menurutnya efektif untuk mengatasi hambatan kultural terutama dari aspek agama terkait partisipasi

  perempuan dalam ranah politik. 17

  Jika dia tidak terlibat dalam kepengurusan parpol, maka untuk mengasah kemampuan calon anggota legislatif perempuan, biasanya parpol yang bersangkutan mengharuskan sang calon untuk terlibat terlebih dahulu dalam organisasi sayap parpol yang membidangi masalah-masalah perempuan. Di Hanura misalnya, perempuan yang akan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif secara otomatis harus aktif menjadi anggota Srikandi Hanura. Organisasi ini juga menjadi area rekrutmen yang efektif bagi parpol untuk memenuhi kuota 30 persen dalam proses pemilu

  legislatif. 18 Sistem pengkaderan dan pelatihan-pelatihan

  ketrampilan politik sayangnya hanya berlangsung pada saat menjelang pemilu saja. Setelah menjadi anggota legislatif, kebanyakan parpol berhenti memberikan ketrampilan baik dalam bentuk bimbingan teknis

  17 Wawancara dengan Ketua Fraksi Golkar, DPRD NTB, Juni 2012. 18 Wawancara dengan Ketua Fraksi Hanura, DPRD NTB, Juni 2012.

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  maupun berbagi informasi terkait dengan persoalan- persolan politik yang mereka hadapi. Kalaupun ada pertemuan di tingkat fraksi maupun parpol, waktu mereka dihabiskan untuk membahas agenda partai maupun fraksi. Peningkatan kemampuan politik yang bersifat individual tidak banyak tersentuh. Banyak dari anggota legislatif akhirnya melakukan learning by doing secara otodidak. Dalam situasi demikian, seringkali menumbuhkan ikatan kerjasama yang kuat diantara perempuan anggota legislatif itu sendiri.

  “Kami di sini sadar bahwa kami adalah kelompok minoritas, jadi jika kita tidak saling bantu dan saling bertukar informasi kami tidak akan bisa bekerja dan bersaing dengan teman-teman kami yang laki-laki di dewan. Ibarat lomba lari, kita berlomba lari dengan teman dewan yang laki-laki sambil memakai celana. Artinya sudah harus cepat, kita sekaligus harus mendadani (memperbaiki) diri kita sendiri. Oleh karena jumlah kami

  (perempuan) masih sangat sedikit 19 maka

  kami mau tidak mau harus menjadi yang ter, terbaik, terajin, tervokal, dan lain-lain-- agar kami tidak dipandang sebelah mata. Jalan satu-satunya kami harus kompak satu sama lain,” papar anggota legislatif perempuan di

  DPRD Kota Mataram. 20

  19 Anggota legislatif perempuan untuk DPRD Kota Mataram baru berjumlah tiga orang atau 5,45 persen.

  20 Wawancara dengan anggota DPRD Kota Mataram, Juni 2012

  Bab V Pergulatan di Tengah Marginalisasi dan Dominasi Kultur Patriarki:

  Perempuan, Partai Politik Parlemen di Nusa Tenggara Barat

  Kekompakan anggota DPRD Kota Mataram ini diperlihatkan dengan cara kerja mereka di dalam Komisi III Bidang Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan. Mereka

  bahu membahu dalam

  melaksanakan kegiatan sebagai anggota dewan terkait dengan masalah pemberdayaan perempuan. Dalam melakukan advokasi misalnya, tanpa memandang perbedaan partai yang dimilikinya mereka melakukan kampaye bersama, dialog interaktif bersama, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang terkait fungsi mereka sebagai legislator.

  “Saya banyak belajar dari Mbak Nyayuk, karena selain dia paling senior di sini beliau juga sudah dua kali menjadi anggota DPRD. Saya dibawa keman-mana sama dia. Kalau ada kasus dan dia menjadi mediatornya, saya diajak juga. Saya jadi tahu apa yang harus dilakukan sebagai anggota legislatif. Mbak Nyayuk dan Mbak Ayu juga yang mengajari saya tentang cara membaca anggaran, apa yang harus dilakukan waktu reses atau sekedar mendorong saya untuk aktif bertanya di waktu sidang,” kata seorang anggota legislatif perempuan termuda di DPRD

  Kota Mataram. 21

  21 Wawancara dengan anggota DPRD Kota Mataram, Juni 2012.

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  Profil Husnul Hotimah

  Perempuan yang tamat SMA pada tahun 2005, sebelum menjadi anggota DPRD Kota Mataram, Husnul

  adalah remaja

  biasa.

  Sebagaimana

  kebanyakan remaja di Kota Mataram, keterbatasan ekonomi orang tuanya di Ampenan, menjadikan ia harus mencari pekerjaan setamat SMA. Khusnul-pun menjadi karyawan sebuah toko yang mengelola fotokopi di Ampenan. Kurang lebih tiga tahun lamanya ia bergulat dengan mesin fotokopi, sampai ayahnya yang seorang pengurus kecamatan Partai Demokrat

  dicalonkan menjadi anggota legislatif pada pemilu 2009 untuk memenuhi kuota 30 persen. Nasib Husnul rupanya sangat mujur, limpahan suara yang didapat

  membuatnya ia terpilih menjadi anggota dewan.

  Husnul yang memiliki pengalaman nol dalam dunia politik, merasa kaget dengan hasil yang dicapainya apalagi saat itu usia dia baru 23 tahun. Untuk menyesuaikan diri dengan profesi barunya Husnul banyak belajar dari senior-senior di dewan. Ia tak segan untuk bertanya dan mengikuti kegiatan seniornya meskipun berbeda partai. Saat ini isu yang menjadi perhatian Husnul sebagai anggota dewan adalah masalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Selain itu, ia berpandangan bahwa hal krusial yang harus didorong terkait dengan kebijakan publik yang menyangkut urusan perempuan adalah adanya alokasi anggaran pendidikan untuk siswa perempuan yang lebih besar dibandingkan dengan siswa laki-laki. Hal ini penting karena menurutnya, pada orang-orang tua yang

  Bab V Pergulatan di Tengah Marginalisasi dan Dominasi Kultur Patriarki:

  Perempuan, Partai Politik Parlemen di Nusa Tenggara Barat

  tidak mampu, pendidikan untuk kelompok perempuan seringkali menjadi nomor dua setelah pendidikan untuk laki-laki. Dengan menyediakan beasiswa bagi kelompok perempuan lebih banyak maka jumlah perempuan yang mengenyam dunia pendidikan akan seimbang dengan laki-laki.

  Sebagaimana dengan posisi perempuan di parpol yang tidak ditempatkan pada posisi strategis, nasib yang

  sama juga dialami oleh mereka di lembaga legislatif. Kebanyakan kaum perempuan di DPRD Kota Mataram maupun NTB ditempatkan pada komisi yang terkait dengan masalah-non strategis misalnya Komisi Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan. Tiga dari enam anggota legisalatif perempuan di DPRD NTB dan seluruh anggota legislatif perempuan di Kota Mataram ditempatkan di komisi tersebut. Sedangkan pada komisi yang bersifat strategis seperti Komisi Ekonomi dan Keuangan, Komisi Infrastruktur dan Lingkungan serta Komisi Pemerintahan, Hukum dan HAM, kehadiran anggota legislatif perempuan minim sekali.

  Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan pada satu sisi “seolah-olah” sudah tepat, namun jika dianalisa lebih jauh penempatan mereka pada posisi tersebut justru memperkuat pandangan bahwa perempuan hanya mampu menangani masalah- masalah domestik semata. Hal ini dikarenakan Komisi Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan hanya

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  diterjemahkan sebagai ha-hal yang terkait tentang bagaimana meningkatkan perempuan dalam ranah

  domestik mereka. 22 Akibatnya, pada komisi ini yang

  muncul seringkali hanya program-program dasar terkait perbaikan taraf hidup perempuan, itupun tanpa jaminan bahwa kebijakan-kebijakan yang sudah dirancang oleh mereka (anggota legislatif perempuan) dapat diimplementasikan dengan baik karena kontrol anggaran dan legislasi sepenuhnya ada pada komisi lain yang didominasi oleh laki-laki.

  Hal yang sama juga terjadi di badan-badan yang dibentuk di lembaga legislatif. Perempuan di DPRD Kota Mataram maupun NTB lebih banyak ditempatkan pada Badan Musyawarah ketimbang Badan Legislasi, Badan Kehormatan dan Badan Anggaran. Ini menunjukkan lagi-lagi terjadi proses marjinalisasi perempuan

  di

  lembaga

  legislatif. 23 Padahal

  22 Tidak sedikit yang menterjemahkan peningkatan kualitas hidup perempuan hanya dengan program jahit menjahit, ketrampilan memasak,

  kesehatan reproduksi serta pembukaan lapangan bagi perempuan. Masalah-masalah pendidikan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan serta keterlibatan perempuan dalam soal publik masih sangat terbatas. Kalaupun ada hanya satu dua orang saja yang bisa menterjemahkan secara operasional masalah-masalah tersebut—pada kelompok ini biasanya dilakukan oleh mereka yang membangun karir politik sejak lama atau mereka yang telah dua periode menjadi anggota legislatif.

  23 Di DPRD NTB hanya satu orang anggota legislatif perempuan yang ditempatkan di badan legislatif dan satu orang di badan yang mengurusi

  masalah anggaran. Badan Kehormatan diisi sepenuhnya oleh anggota legislatif laki-laki. Sementara di DPRD Kota Mataram tiga perempuan anggota legislatif seluruhnya berada di Badan Musyawarah.

  Bab V Pergulatan di Tengah Marginalisasi dan Dominasi Kultur Patriarki:

  Perempuan, Partai Politik Parlemen di Nusa Tenggara Barat

  implementasi satu kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh badan legislasi dan badan anggaran. Dari uraian di atas terlihat bahwa sistem afirmasi perempuan di lembaga legislatif pada dasarnya hanya semacam upaya perempuan agar tidak dipandang melakukan diskriminasi, karena dalam prakteknya peningkatan jumlah perempuan di parlemen belum diiringi dengan penempatan mereka pada posisi-posisi strategis.