Perempuan dan Partai Politik

III. Perempuan dan Partai Politik

  Persoalan rendahnya angka partisipasi perempuan di ruang politik, selain karena pengaruh budaya, juga dipengaruhi

  keberpihakan pada kesetaraan jender. Menjelang pemilu hampir semua parpol mencoba untuk mengadopsi jender perspective karena mereka takut dimuat di media massa. Oleh sebab itu, parpol mencoba mengakomodasi jender perspective bukan untuk betul-betul mengakomodasi perempuan, tetapi merupakan bagian dari cara partai beradaptasi terhadap tuntutan kaum perempuan yang ingin lebih eksis. Tetapi, sebenarnya motif dasarnya ingin tetap mempertahankan eksistensi partainya. Banyak parpol mengaku mengalami kesulitan untuk mengakomodasi persyaratan perempuan sebagaimana amanat UU. Hal ini juga berkaitan dengan ideologi parpol yang masih

  menempatkan perempuan di bawah laki-laki. 13

  Padahal, aktivis perempuan mengaku banyak sekali perempuan berkualitas yang siap untuk ditempatkan di semua tingkatan dalam proses pemilu legislatif, akan tetapi mereka kesulitan untuk menembus ruang politik

  yang identik dengan laki-laki. 14

  Dengan demikian, persoalannya ada pada niat baik (political will) parpol untuk mengakomodasi perempuan sebab masing-masing parpol sebenarnya

  13 Wawancara dengan Wiwik Afifah, Divisi Pendidikan Politik dan Kader, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi

  (KPI) Provinsi Jawa Timur, Juli 2009.

  14 Luky Sandra Amalia, “Marjinalisasi Perempuan…, Op.Cit, hlm,89.

  Bab VII Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen di Indonesia: Suatu

  Analisis

  mempunyai sayap yang bergerak di bidang perempuan yang bisa dimanfaatkan untuk proses perekrutan kader perempuan parpol. Misalnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan memiliki Departemen Urusan Pemberdayaan Perempuan (DUPP); Partai Amanat Nasional (PAN) mempunyai Perempuan Amanat Nasional (PUAN), selain Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah (NA) sebagai organisasi masyarakat yang berafiliasi pada PAN; demikian pula Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memiliki Perempuan PKB, selain Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU) dan Fatayat NU sebagai ormas yang berafiliasi pada PKB; dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mempunyai Perempuan Persatuan. Selain perempuan sayap parpol, sebenarnya perekrutan perempuan juga bisa dilakukan melalui jaringan lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan, aktivis perempuan, dan organisasi profesi yang di dalamnya terdapat banyak perempuan berkualitas. Mereka memang bukan perempuan parpol, tetapi mereka siap mengabdikan diri pada masyarakat

  dan memberdayakan perempuan Indonesia. 15

  Menurut Notosusanto (2009), secara spesifik di dalam tubuh parpol terdapat beberapa kendala atau rintangan yang menghadang perempuan yang berusaha memajukan diri serta meningkatkan keefektifannya di dalam parpol. Pertama, tingkat sosialisasi politik terhadap perempuan sangat rendah.

  15 International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). 2004. “Jender Equality Policy for International IDEA 2002-2005”, dalam

  www.idea.int.com., diakses Juli 2009.

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  Tidak banyak perempuan aktif berkiprah sebagai kader partai. Tidak hanya itu, parpol juga enggan memasukkan agenda perempuan dalam program partai. Kedua, kepemimpinan parpol cenderung didominasi kaum lelaki dan pada gilirannya mereka cenderung hanya menominasikan kandidat-kandidat lelaki yang mereka yakini berpotensi besar memenangkan pemilu. Ketiga, ada kecenderungan untuk menyeleksi kandidat perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa. Dengan kata lain, parpol kurang transparan dalam proses pemilihan pimpinan parpol sehingga menghambat usaha perempuan untuk menempatkan diri sebagai calon pemimpin yang layak untuk dipilih. Proses pemilihan petinggi parpol sering diliputi penyakit loyalitas pribadi dan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

  Keempat , pemilu adalah perhelatan yang mahal dan membutuhkan akses dana yang besar pula. Tak banyak perempuan yang memiliki sumber dana independen untuk menanggung semua biaya itu. Parpol jarang membantu kandidat perempuan dalam penggalangan dana. Kelima, kurangnya mobilisasi kaum perempuan dan ketidakmampuan mereka untuk saling mendukung, telah menempatkan mereka pada posisi yang rawan dan kalah ketika mereka harus bersikap proaktif untuk memperjuangkan hak-

  haknya. 16 Selain itu, perempuan juga tidak mempunyai

  16 Notosusanto, Smita, “Menjalin Kerjasama antara Masyarakat Madani dan Lembaga-Lembaga Politik”. Laporan Konferensi: Memperkuat

  Bab VII Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen di Indonesia: Suatu

  Analisis

  basis dukungan yang kuat dan hingga tulisan ini dibuat, belum ada organisasi yang mampu membangun basis dukungan terhadap sesama perempuan.

  Akibatnya, perempuan jarang ditempatkan di posisi dan peran strategis dalam parpol. Posisi perempuan seringkali bukan posisi pengambil keputusan. Mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menjamin peran kepemimpinan dalam parpol sebab perempuan masih dianggap pelengkap kegiatan parpol. Hal ini dipengaruhi anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan dalam mengelola kegiatan partai, sehingga perempuan jarang memperoleh kesempatan untuk mengembangkan kapasitas dirinya di dalam parpol.

  Ketidakseriusan parpol dalam mengakomodir perempuan untuk duduk di kepengurusan maupun untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif merupakan kenyataan yang terjadi tidak hanya di parpol tingkat nasional melainkan juga pada parpol di daerah. Setidaknya, di empat daerah penelitian (Provinsi Aceh, Malut, NTB, dan Papua) ditemukan kenyataan serupa bahwa parpol merasa kesulitan menjaring caleg perempuan.

  dikonfirmasi dengan pihak aktivis perempuan kondisinya berbeda. Menurut aktivis perempuan, banyak sekali perempuan berkualitas yang siap untuk

  Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia,” Jakarta: International IDEA, 2008, dalam www.idea.int., diakses Juli 2009.

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  dijaring oleh parpol. Mereka malah menyatakan kesulitan menembus dunia politik yang didominasi laki-laki. Sebaliknya, perempuan yang berhasil menduduki jabatan strategis di parpol maupun caleg perempuan yang pada akhirnya menempati urutan teratas dalam pencalegan biasanya memiliki kedekatan dengan pimpinan parpol danatau memiliki popularitas tinggi danatau memiliki kemampuan finansial yang bagus.

  Sementara itu, kader perempuan parpol yang belum mempunyai posisi tawar yang bagus atau kader perempuan parpol yang masih baru terjun ke dunia politik akan kesulitan memperoleh nomor urut dan daerah pemilihan yang menguntungkan. Masih banyak parpol yang mengakomodasi perempuan sebagai caleg karena terdesak oleh ketentuan kuota 30 persen bagi keterwakilan perempuan dalam proses pencalegan. Perekrutan caleg perempuan sekadar memenuhi persyaratan Undang-undang. Selain itu, caleg perempuan seringkali ditempatkan di daerah pemilihan yang bukan kantong suara parpol atau biasa disebut “daerah kering” karena dirinya tidak mempunyai posisi tawar yang bagus. Dengan demikian, caleg perempuan harus “babat alas” untuk mengubah peta dukungan suara di dapil tersebut, yang selama ini menjadi basis pendukung partai lain. Perjuangan ini tentu saja tidak mudah sebab tidak semua caleg perempuan mempunyai bekal politik yang cukup untuk mempromosikan dirinya kepada konstituen setempat.

  Bab VII Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen di Indonesia: Suatu

  Analisis

  Tidak hanya itu, caleg perempuan juga harus berjuang ekstra keras mengawasi setiap tahapan pencalegan hingga ke tahap penghitungan suara sebab banyak caleg perempuan yang merasa kehilangan suara. Hal ini didasarkan atas jumlah perolehan suara yang didapat di Tempat Pemungutan Suara (TPS) berbeda dengan penghitungan suara di tingkat yang lebih tinggi, misalnya di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) atau hasil akhir yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Kejadian ini banyak dikeluhkan oleh caleg perempuan pascaPemilu 2009.

  Namun demikian, di beberapa daerah aktivis perempuan telah menyiapkan

  strategi untuk

  memuluskan langkah menuju pertarungan politik pada Pemilu 2014 yang akan datang. Hal ini, misalnya, dapat dilihat di Provinsi Aceh. Di Serambi Mekkah ini telah berdiri sebuah organisasi yang memperjuangkan perempuan, yaitu Rumah Politik Perempuan Aceh (RPPA). RPPA merupakan organisasi perempuan lintas parpol. Beberapa hal yang telah dilakukan oleh RPPA dalam rangka memperjuangkan nasib perempuan, antara lain, melakukan berbagai pelatihan bagi caleg perempuan untuk memberdayakan kualitas caleg perempuan. Selain itu, RPPA juga melakukan lobi dan audiensi dengan parpol di Aceh dan DPRA. RPPA juga membangun

  Pemberdayaan Perempuan di Kota Banda Aceh. Selain RPPA, Aceh juga memiliki forum khusus perempuan yang

  posisinya

  setara

  dengan

  Musyawarah

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Musrenbang) yaitu Musyawarah Rencana Aksi Perempuan (Musrena). Kondisi ini bisa jadi dipengaruhi oleh peranan Wakil Walikota Banda Aceh yang juga seorang perempuan.