Masa Orde Baru

III. Masa Orde Baru

  Ketika Orde Baru memimpin bangsa ini, pada detik itu pulalah peran perempuan dalam dunia politik semakin dikerdilkan. Hal mendasar yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru adalah dengan sengaja telah melakukan pemutarbalikan fakta sejarah gerakan politik perempuan Indonesia. Tanggal 22 Desember yang harusnya dirayakan sebagai ‘Hari Kebangkitan Politik Perempuan Indonesia”, malah dijadikan perayaan “Hari Ibu”. Pengembalian posisi perempuan

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  yang hanya dianggap sebagai Ibu dengan mengurusi hal-hal yang hanya berputar sekitar “kasur-sumur- dapur” telah mengaburkan dan bahkan menghapus jejak perjuangan politik perempuan dalam peta sejarah bangsa ini.

  Tidak hanya berhenti di situ, pengkerdilan peran perempuan ini semakin menjadi. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya organisasi perempuan yang dibubarkan secara paksa seperti yang dilakukan terhadap Gerwani. Pembubaran ini dilakukan dengan mencampurkan isu pemberantasan komunis ke dalamnya. Gerwani sebagai basis kekuatan perempuan PKI pada tahun pergantian rezim ini (Orde Lama ke Orde Baru) menjadi sasaran empuk propaganda yang dilakukan oleh Negara. Pada akhirnya pemberangusan Gerwani ikut menghancurkan harapan perempuan Indonesia untuk tampil di dunia politik. Bagaimana tidak, setiap organisasi perempuan yang bertentangan dengan skema pembangunan jender penguasa dianggap sebagai bagian dari kelompok komunis.

  Fase selanjutnya, organisasi-organisasi perem- puan Indonesia dalam era Orde Baru menjadi organisasi fungsional. Perwari yang pernah sangat artikulatif menentang Presiden Soekarno berpoligami, kini tinggal sebagai organisasi yang terutama beranggotakan istri-istri pegawai dengan kegiatan yang mengarah pada kesejahteraan keluarga menengah atas. Wanita demokrat yang sebelumnya mempunyai

  Bab II Sejarah Gerakan Politik Perempuan di Indonesia

  kegiatan bergaris massa dan berhubungan erat dengan Parpol Nasional Indonesia (PNI) menunjukkan keadaan serupa setelah PNI difusikan ke dalam Parpol Demokrasi Indonesia (PDI).

  Orde Baru menciptakan konsep baru bagi peran kaum perempuan di zamannya, yaitu tiga I (Istri, Ibu,

  dan Ibu Rumah Tangga). Perempuan dalam konsep ini lebih ditempatkan sebagai pendamping suami, pendidik anak dan pembina generasi penerus bangsa yang kemudian dipahami sebagai ‘kodrat’ seorang perempuan dalam bangsanya. Dalam tataran yang lebih sistematis, Orde Baru menciptakan sebuah organisasi pada lembaga pemerintahan yang bernama “Dharma Wanita”. Posisi perempuan pada organisasi tersebut lebih kepada pendampingan karir suami mereka, dibandingkan perjuangan eksistensi mereka secara pribadi. Kiprah apapun yang mereka berikan notabene adalah untuk kemajuan karir suami mereka.

  Kegiatan kelompok perempuan ini hanya berkisar pada persoalan masak-memasak, ber- penampilan baik atau pun sebagai “penghibur” dalam acara-acara yang digelar oleh kantor tempat suami mereka bertugas. Perempuan dalam organisasi ini secara strukturalnya pun tidak berdasarkan kompetensi yang mereka miliki tetapi berdasarkan kepangkatan yang dimiliki oleh sang suami.

  Tulisan ini tidak berusaha menafikan bahwa pada masa Orde Baru perpolitikan Indonesia sama

  Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif

  Perempuan di Tingkat Lokal

  sekali tidak diwarnai oleh kehadiran politisi perempuan. Data menunjukkan bahwa dalam beberapa kali hasil pemilu pada masa Orde Baru juga memunculkan perempuan sebagai anggota legislatif. Namun, pemilihan dan penunjukkan calon legislatif perempuan ini lebih cenderung bersifat satu arah. Parpol politik memiliki peran penting dalam hal ini. Keberadaan perempuan di parlemen pada masa Orde Baru cenderung dipilih untuk menempati posisi penting dalam dunia politik berdasarkan struktur ikatan sosial dan kedekatan dengan kepemimpinan di parpol politik. Partisipasi politik perempuan yang terbuka tidak tercapai sehingga perempuan tidak mampu memberikan kontribusi yang nyata dan mengikat pada keputusan-keputusan politik di legislatif. Peluang untuk berkontribusi pun ditutup dengan kesengajaan yang nyata.

  Orde Baru telah berhasil menciptakan sebuah kondisi yang memprihatinkan bagi perempuan dengan dua strategi, yaitu dengan strategi diskursif dan

  institusional 6 . Dengan strategi diskursif, pemerintah

  Orde Baru berhasil menciptakan hegemoni “ibu-isme” dalam karakter perempuan Indonesia. Strategi ini mampu melakukan justifikasi untuk menghalalkan

  6 Lihat “Keterlibatan Wanita dalam Politik di Indonesia Era Orde Baru,” dalam http:farhakamalia.wordpress.com20120105keterlibatan-

  wanita-dalam-politik-di-indonesia-era-orde-baru-dan-reformasi, diakses tanggal 15 Agustus 2012.

  Bab II Sejarah Gerakan Politik Perempuan di Indonesia

  “penindasan fisik, pelarangan dan penggusuran orang- orang yang tidak sepaham”. Gerakan-gerakan politik yang mengatasnamakan kesetaraan jender dan tuntutan perhatian utama agar perempuan tidak hanya menjadi objek tetapi lebih berpartisipasi aktif dibungkam dengan sedemikian rupa.

  Pada level institusional, pemikiran mengenai negara yang kuat diimplementasikan melalui rancangan korporatis terhadap organisasi-organisasi sosial-politik dan kelompok masyarakat yang memiliki pengaruh besar, dimana kelompok perempuan salah satunya.