SUMBER ILMU
2. Rasionalisme
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang tidak mungkin salah. Menurut kaum rasionalis, sumber pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, adalah akal budi manusia. Akal budilah yang memberi kita pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu. Konsekuensinya, kaum rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melalui pancaindera kita (Keraf dan Dua, 2001: 44).
Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan- bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, bahkan ini memungkinkan dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akal mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Fungsi pancaindera hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain (Bakhtiar, 2010: 103).
Akal, selain bekerja karena ada bahan dari indera, juga akal dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak. Menurut Descartes, seorang pelopor rasionalisme, untuk sampai kepada kebenaran, maka tidak mungkin hanya mengandalkan indera. Secara metodologi, maka ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti, meskipun ilmu pasti bukanlah metode ilmu yang sebenarnya. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah.
Menurut Hadiwijono, Descartes dipengaruhi oleh berbagai
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
B. De Spinoza (1632 -1677 M) memberikan penjelasan yang lebih mudah dengan menyusun sistem rasionalisme atas dasar ilmu ukur. Menurutnya, dalil ilmu ukur merupakan dalil kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika seseorang memahami makna yang terkandung oleh pernyataan, “Sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua titik .” Maka seseorang mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan itu. Menurutnya tidak perlu ada bukti- bukti yang lain kecuali makna yang dikandung kata-kata yang digunakan (Bakhtiar, 2010: 105).
Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat dilakukan (Suriasumantri, 1991: 51).
Dari dua aliran tersebut (empirisme dan rasionalisme) terlahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains, yang
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang menghasilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivisme yang dipelopori oleh August Comte dan Immanuel Kant. Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas atau matahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur. Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam (Bakhtiar, 2010: 106).
Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh Comte dan Kant) bukanlah suatu aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
3.2.2 SUMBER ILMU PERSPEKTIF ISLAM
Kajian sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu telah dilakukan sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti ― kajian berlanjut di Barat hingga kini ― baru memasuki abad modern umat Islam kembali melakukan kajian.
Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi dua yaitu ‘ilm ilāhiy (divine science) dan ‘ilm insāniy (human science). ‘Ilm Ilahiy adalah pengetahuan langsung yang diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah keyakinan. Sedangkan ‘ilm insaniy adalah pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam. Dasar pengetahuan yang disebut terakhir adalah pemikiran (ratio-reason ) (Nasution, 1990: 15).
Abu Hamid al-Gazali membagi ilmu terkesan tidak konsisten. Dalam Mizan al-Amal , ia membagi ilmu kepada teoritis (nazariyyah) dan praktis (‘amaliyah). Pada buku lainnya, ia membagi ilmu kepada fardu ‘ain dan fardu kifayah. Di sisi lain, ia membagi ilmu kepada ilmu religius (syar‘iyyah) dan intelektual (‘aqliyah ). Al-Gazali juga membagi ilmu kepada hudhuri (yang dihadirkan) dan hushuli (yang dicapai). Meskipun begitu, berdasarkan pembagian ini, nampak dengan jelas bahwa al-Ghazali memandang bahwa sumber ilmu yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman (empirik). Dalam mendapatkan ilmu, manusia menurut al-Gazali menggunakan indera, akal dan qalb.
Al-Ghazali juga berpandangan bahwa seorang yang benar- benar ‘alim akan menyampaikannya ke pencapaian ilmu ladunni. Ilmu ini menurutnya diperoleh seorang ‘alim tanpa perantara, yang menghubungkan jiwa manusia dengan Sang Pencipta. Ia semata-mata seperti pancaran cahaya dari lampu kegaiban
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
Berangkat dari penjelasan di atas, maka Allah SWT yang ‘Alim, Basir, Sami’, Khabir, menjadi sumber dan tujuan berilmu. Pada awalnya manusia tidak memiliki ilmu sedikitpun. Untuk mendapatkan ilmu Allah Yang Maha Luas itu, maka manusia diberi pendengaran, penglihatan dan hati nurani. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl: 78).
Jadi dalam Islam, sumber ilmu sesungguhnya adalah Sang Pemilik Ilmu itu sendiri, yakni Allah SWT. Pemahamannya, ilmu teramat sedikit diperoleh manusia melalui pengerahan indera dalam dan indera luar. Manusia amat memerlukan petunjuk dalam memperoleh ilmu yang datang dari atau oleh Allah SWT.
Secara garis besar, sumber ilmu itu ada dua, yakni ayat tanziliyah (naqliyah ) dan ayat kauniyah (aqliyah). Ayat tanziliyah diperoleh manusia melalui perantaraan utusan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul Allah, sedangkan ayat kauniyah diperoleh manusia melalui usahanya mempelajari ciptaan Allah SWT. Kedua sumber ilmu ini bersifat komplementer, yakni saling melengkapi. Pemisahan keduanya berakibat munculnya dualisme keilmuan, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, dan berbahaya bagi masa depan peradaban manusia.