MACAM-MACAM TEORI KEBENARAN
5.2 MACAM-MACAM TEORI KEBENARAN
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity ) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Pertanyaan yang relevan di sini adalah apa itu kebenaran? Sekurang-kurangnya hingga kini ada lima teori yang berupaya menjawab pertanyaan itu secara ilosois. Kelima teori itu dijelaskan sebagai berikut:
Teori Kebenaran Sebagai Persesuaian
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di antara pelopor teori korespondensi ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, Ramsey, dan Tarski (Muhadjir, 2001: 12-13). Teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russell (1872-1970) (Bakhtiar, 2010: 113). Seseorang yang bernama K. Roders, seorang penganut realisme kritis Amerika berpendapat bahwa keadaan benar ini terletak dalam kesesuaian antara “esensi atau arti yang kita berikan” dengan “esensi yang terdapat di dalam objeknya” (Kattsoft, 1992: 243-244).
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian (correspondence ) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
Contohnya: “Bumi ini bulat” adalah suatu pernyataan yang benar karena dalam kenyataannya pernyataan itu didukung atau sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya salah kalau tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh lain: Kerusuhan-kerusuhan akhir-akhir ini didalangi oleh pihak ketiga. Ini benar kalau dalam kenyataannya memang ada pihak ketiga yang mendalangi kerusuhan itu.
Menurut teori ini, suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan realitas yang sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul, dan terbukti dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan.
5.2.2 TEORI KEBENARAN SEBAGAI KETEGUHAN
Teori kebenaran sebagai keteguhan dianut oleh kaum rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Hegel, dan yang lainnya. Menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Maka suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi, atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar.
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
Bagi kaum rasionalis, suatu penyataan atau proposisi benar atau salah adalah mengatakan bahwa proposisi itu berkaitan dan meneguhkan proposisi atau pernyataan yang lain atau tidak. Dengan kata lain, pernyataan itu benar kalau pernyataan itu cocok dengan dengan sistem pemikiran yang ada. Maka kebenaran sesungguhnya hanya berkaitan dengan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada (Keraf dan Dua, 2001: 66).
Misalnya: (1) Semua manusia pasti mati; (2) Sokrates adalah manusia; (3) Sokrates pasti mati. Kebenaran (3) hanya merupakan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada, yaitu bahwa (1) Semua manusia pasti mati, dan (2) Sokrates adalah manusia.
Pada pengertian ini, kebenaran (3) sesungguhnya sudah terkandung dalam kebenaran (1). Oleh karena itu, kebenaran (3) tidak ditentukan oleh apakah dalam kenyataannya Sokrates mati atau tidak. Contoh lain: Jika penawaran besar, harga akan turun. Karena penawaran beras besar, maka harga beras akan turun.
Berdasarkan uraian di atas, bisa disimpulkan: Teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan
kebenaran rasional-logis dan cara kerja deduktif. Dalam hal ini berarti, pengetahuan yang benar hanya dideduksikan atau diturunkan dari konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain yang sudah ada, dan yang sudah dianggap benar. Konsekuensinya, kebenaran suatu pernyataan atau pengetahuan sudah diandaikan secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan yang ada.
Teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran dan pengetahuan apriori. Ini berarti pembuktian atau justiikasi sama artinya dengan validasi: memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi memang diperoleh secara sahih (valid) dari proposisi lain yang telah diterima sebagai benar.
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
5.2.3 TEORI PRAGMATIS TENTANG KEBENARAN
Teori ini dianut dan dikembangkan oleh ilsuf-ilsuf pragmatis Amerika seperti Charles S. Peirce dan William James (Keraf dan Dua, 2001: 71). Bagi kaum pragmatis, benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility ), dapat dikerjakan (workability ) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences ) (http://www.kabarindonesia.com/ berita.php?pil=13&dn=20080702084806).
Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Kebenaran itu berubah dan bersifat tentatif (Bagus, 2005: 877). Contohnya, ide bahwa kemacetan di jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi satu orang. Maka, konsep solusinya, “wajibkan kendaraan pribadi ditumpangi minimum 3 penumpang.” Ide tadi benar kalau ide tadi berguna dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan.
Peirce mengatakan bahwa ide yang jelas dan benar mau tidak mau mempunyai konsekuensi praktis pada tindakan tertentu. Artinya, kalau ide itu benar, maka ketika diterapkan akan berguna dan berhasil untuk memecahkan suatu persoalan dan menentukan perilaku manusia (Keraf dan Dua, 2001: 72).
William James mengembangkan teori pragmatisnya tentang kebenaran dengan berangkat dari pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
Bagi James, ide yang benar adalah ide yang dalam penerapannya paling berguna dan paling berhasil memungkinkan manusia bertindak atau melakukan sesuatu. Maka, kebenaran sama dengan berguna atau kebergunaan. Ini berarti pula, suatu ide yang benar akan memungkinkan kita dan menuntun kita untuk sampai pada kebenaran, atau memungkinkan kita untuk sampai pada apa yang diklaim dalam ide atau pernyataan tersebut. Contohnya, ide tentang kinerja sebagai berbanding lurus dengan reward atau appraisal . Ide ini benar kalau naiknya jaminan bagi pekerja ternyata meningkatkan kinerja atau produktivitas kerja. Benar, dengan demikian, sama artinya dengan berfungsi, berlaku. Maka menurut William James, ide yang benar adalah ide yang berfungsi sesungguhnya adalah instrumen untuk bertindak secara berhasil (Keraf dan Dua, 2001: 72).
Sementara menurut John Dewey, kalau kita mau memahami apa pengaruh, dan juga kebenaran, suatu ide atas pengalaman dan kehidupan kita, kita harus melihat bagaimana ide tersebut berlaku dan berfungsi dalam penggunaannya, yaitu bagaimana ide tersebut membantu kita memecahkan berbagai persoalan hidup kita. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukanlah benar tidaknya suatu ide secara abstrak. Melainkan sejauhmana kita dapat memecahkan persoalan-persoalan praktis yang muncul dalam kehidupan kita dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Sejauhmana kita dapat memecahkan persoalan dalam realitas kehidupan kita dengan menggunakan ide-ide itu. Maka bagi kaum pragmatis, ide yang benar bukanlah demi ide begitu saja, melainkan demi kehidupan manusia. Konsekuensinya, semakin berguna sebuah ide untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis, maka ide itu dianggap paling benar (Keraf dan Dua, 2001: 73).
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian menimbulkan ide tertentu yang memuaskan dan dapat diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan- jangan jalan ini akan membawanya keluar dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman manusia. Ide tersebut benar kalau pada akhirnya dengan dituntun ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman manusia (2001: 73).
5.2.4 TEORI KEBENARAN PERFORMATIF
Teori ini terutama dianut oleh ilsuf seperti Frank Ramsey, John Austin, dan Peter Strawson. Filsuf-ilsuf ini mau menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun justru inilah yang ingin ditolak oleh ilsuf-ilsuf ini (Keraf dan Dua, 2001: 74).
Menurut teori ini kebenaran diputuskan atau dinyatakan oleh pemegang otoritas tertentu. Pernyataan yang benar (yang diputuskan atau dinyatakan oleh pemegang otoritas tertentu) bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tapi justru dengan pernyataan (yang diputuskan atau dinyatakan oleh pemegang otoritas tertentu) itu tercipta suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadangkala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
5.2.5 TEORI KEBENARAN DALAM ISLAM
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam agama pengetahuan yang benar diperoleh dari wahyu yang bersumber dari Tuhan (Anshari, 1981: 172-173).
Kalau teori-teori sebelumnya lebih mengedepankan penyelidikan, pengalaman, dan percobaan sebagai trial dan error , maka manusia mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam
Namun kriteria kebenaran dalam Islam tidak mesti sama dengan kebenaran yang jadi pegangan pada agama lain. Hal ini karena kebenaran yang didapat dari suatu agama dengan agama lain adalah kebenaran subjektif atau intersubjektif (Bakhtiar, 2010: 122). Maka kebenaran suatu agama tidak bisa dinilai oleh agama lain. (Suprayogo dam Tabrani, 2003: 21) Misalnya, Islam memperbolehkan makan daging sapi tetapi agama Hindu justru mengharamkannya.
Perhatikan bagan 5.1 sebagai berikut:
Bagan 5.1 Teori Kebenaran
FILSAFAT ILMU
Merajut Harmonisasi Antara Filsafat, Ilmu dan Islam