Budaya Bacson, Hoa-Bihn, Dongson

1. Budaya Bacson, Hoa-Bihn, Dongson

Pada zaman pra sejarah daerah kawasan Asia Tenggara merupakan satu kesatuan daerah kebudayaan, yaitu jenis kebudayaan batu muda (Neolitikum) dengan pusatnya di Bacson dan Hoa-Bihn, dan jenis kebudayaan perunggu dengan pusat di Dongson.

Kebudayaan neolith dari Bacson dan Hoa-Bihn ini sisa-sisanya banyak dijumpai dalam bentuk kapak lonjong dan kapak persegi, pebble (kapak Sumatra) dan kapak genggam, termasuk juga dalam bentuk perhiasan-perhiasan dari jenis batu indah. Kebudayaan ini oleh Madame Madelene Colani, seorang ahli pra sejarah Perancis dinamakan kebudayaan Bacson Hoa-Bihn. Disebut demikian karena pusat perkembangannya terutama di daerah Bacson-Hoa-Bihn, Tonkin. Penyelidikan menunjukkan bahwa di daerah tersebut diduga merupakan pusat kebudayaan hidup menetap (Mesolitikum) Asia Tenggara, dan dari situ tersebar ke berbagai jurusan.

Kecuali hasil kebudayaan, banyak pula ditemukan tulang-belulang manusia. Ternyata bahwa pada waktu itu Tonkin didiami terutama oleh dua golongan bangsa, yakni jenis ras Papua Melanesoid dan jenis ras Europaeid. Di samping itu, ada pula jenis ras Mongoloid dan Austroloid. Ras Papua Melanesoid ini mempunyai penyebaran yang paling luas di daerah selatan, yakni di Hindia Belakang, Nusantara, sampai di pulau-pulau Lautan Teduh. Bangsa inilah yang berkebudayaan alat-alat Mesolotikum yang belum diasah (pebbles), sedangkan kecakapan mengasah (proto-neolitikum) rupa-rupanya hasil pengaruh dari ras Mongoloid yang sudah lebih tinggi peradabannya.

Sejalan dengan persebaran ras Melanesoid ke wilayah selatan, maka kebudayaan neolith ini pun terbawa pula sehingga sisa alat-alat ini banyak di- ketemukan di kepulauan Nusantara, Filipina, Formusa, Melanesia, Micronesia dan kepulauan di lautan teduh. Demikian juga kebudayaan perunggu dari Dongson, sisa-sisanya pun yang berupa: nekara, bejana perunggu, kapak corong,

Kehidupan Awal Masyarakat Di Indonesia Kehidupan Awal Masyarakat Di Indonesia

Mengenai umur kebudayaan Dongson, semula Victor Goloubew (penyelidik pertama) berpendapat bahwa kebudayaan perunggu itu berkembang sejak abad pertama S M. Pendapatnya berdasarkan atas penemuan berbagai mata uang Tionghoa zaman Han sekitar tahun 100 sebelum masehi (SM) yang didapatkan di kuburan-kuburan di Dongson. Anehnya, di situ juga ditemukan nekara-nekara tiruan kecil, dari perunggu pula. Rupa-rupanya nekara-nekara kecil itu diberikan kepada orang yang meninggal sebagai bawaan ke akherat. Tentu saja nekara tiruan itu dibuatnya lama sesudah nekara betulan ada. Kalau nekara bekal mayat itu sama umurnya dengan mata uang zaman Han, bekal mayat juga; maka nekara harus sudah dibuat sebelum tahun 100 SM. Maka menurut Von Heine Geldern kebudayaan Dongson itu paling muda berasal dari tahun 300 SM. Pendapat ini diperkuat lagi oleh hasil penyelidikan atas hiasan-hiasan nekara Dongson yang ternyata tidak ada persamaannya dengan hiasan-hiasan Cina pada zaman Han.

Seperti telah dikemukakan di atas, kebudayaan Mesolitikum di negeri kita asalnya dari daerah Bascon Hoabinh. Akan tetapi, di sana tidak ditemukan flakes, sedangkan dari abris sous roche banyak sekali flakes itu. Demikian pula di Pulau Luzon (Pilipina) ditemukan flakes, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kebudayaan flakes datangnya dari daratan asia melalui Jepang, Formusa dan Pilipina. Hal ini diperkuat kenyataan bahwa di Sumatra Timur, Malaysia Barat dan Hindia Belakang tidak juga ditemukan flakes. Maka rupanya di Jawa dan Sulawesi bertemulah dua macam aliran kebudayaan Mesolitikum itu, yakni:

a. Kebudayaan Bascon Hoabinh dengan pebble dan alat-alatnya dari tulang yang datang melalui jalan Barat, dan

b. Kebudayaan flakes yang datangnya melalui jalan Timur.

Sumber: Sejarah Awal

Gambar 4.25 Tempat-tempat temuan berbagai alat Mesolitikum dan peta penyebarannya

Sejarah SMA/MA Kelas X