Prinsip-prinsip Dasar dalam Penelitian Sejarah Lisan
D. Prinsip-prinsip Dasar dalam Penelitian Sejarah Lisan
Di Asia Tenggara, sejak tahun 1960-an banyak perhatian dan kegiatan dicurahkan pada sejarah lisan. Sejarah lisan banyak diakui sebagi suatu cara untuk merekam dan mendokumentasikan perkembangan sejarah dan gejala sosial tertentu, sebab akan hilang tanpa disimpan melalui cara tersebut. Sejarah lisan juga dilihat sebagai usaha untuk menangkap warna dan perasaan dari pengalaman manusia yang dapat memperdalam pemahaman kita mengenai masa lampau. Dengan menangkap kenangan mereka yang pernah mengalami hal-hal itu, sejarah lisan menjalin hubungan antara masa kini dan masa lampau.
Fungsi kearsipan yang pertama kali mendapat perhatian dari kalangan resmi, ketika disadari bahwa ada kekosongan dalam arsip-arsip mengenai dua pertistiwa penting di Asia Tenggara. Pertama, adalah Perang Dunia II yang merupakan titik balik dalam sejarah Asia Tenggara di mana arsip yang tersedia sangat sedikit dan tidak mencukupi. Selain sejumlah surat kabar, juga sangat sedikit dokumen yang merekam tiga setengah tahun pendudukan Jepang. Kedua adalah per- juangan melawan kolonialisme dan upaya merebut kemerdekaan. Lagi-lagi dokumen yang memuat hal-hal itu juga sangat sedikit dan tidak memuaskan. Sejarah lisan tidak saja akan mengisi kekosongan dalam kearsipan itu, tetapi juga akan menampilkan gambaran yang lebih lengkap dan lebih menyeluruh mengenai masa lampau, yang terkait dengan jati diri dan masa depan bangsa yang bersangkutan.
62 Sejarah SMA/MA Kelas X
Sejumlah negara di Asia Tenggara khususnya Lembaga Arsip Nasional telah aktif dalam kegiatan penelitian sejarah lisan. Di Malaysia telah dirintis sejak tahun 1963, menyusul Thailand tahun 1977, Indonesia tahun 1978 dan Singapura tahun 1979.
Menurut Aswi Warman Adam, sejarah lisan sebenarnya telah berkembang sejak lama. Herodotus, sejarawan Yunani yang pertama, telah mengembara ke tempat-tempat yang jauh untuk mengumpulkan bahan-bahan sejarah lisan. Sekitar 2400 tahun silam, Thucydides telah menggunakan kisah kesaksian langsung para prajurit yang ikut dalam Perang Peloponesus untuk menulis sejarah lisan.
Di nusantara, para penulis hikayat juga menggunakan metode lisan untuk memperoleh data. Ungkapan " kata shibul hikayat" atau "menurut yang empunya cerita" di dalam sejarah tradisional memberikan petunjuk bahwa bahan yang dikisahkan itu tidak berasal dari penulis sendiri, melainkan dari orang lain dan dalam banyak hal diperoleh secara lisan.
Pada abad ke-17 di Eropa mulai muncul kritik terhadap sejarah lisan, dan abad ke-19 sesuatu yang dianggap ilmiah adalah sejarah yang berdasarkan sumber tertulis. Charles Victor Longois dan Charles Seignobos dari Universitas Sobonne, Paris mengatakan bahwa: "The historian works with documents… There is no substitute for documents; no documents, no history". Sejarah lisan seakan "disisakan" bagi komunitas non-Eropa atau rakyat jelata. Sikap itu sebenarnya menghalangi sebagian besar penduduk dunia yang sejak lahir hingga mati tidak mengenal dokumen (resmi). Sementara itu sejarah masyarakat yang terjajah, yang tak berdaya, buruh, wanita, anak-anak dan minoritas etnis, lebih jarang muncul dalam sumber tertulis.
Baru dalam abad ke-20, sejarah lisan kembali naik "pamor". Metode modern sejarah lisan berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1930 dengan dilaku- kannya penelitian besar-besaran mengenai kenangan bekas para budak hitam. Satu dekade lebih kemudian, tepatnya pada tahun 1948, Allan Nevins mendirikan Pusat Sejarah Lisan yang pertama di Universitas Colombia, New York. Selanjutnya, disusul di negara-negara Kanada, Inggris, dan Italia berdiri lembaga-lembaga serupa dan kemudian negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Hal ini sejalan dengan berkembangnya penelitian sejarah lisan serta peman- faatannya oleh sejarawan, ditemukannya alat perekam (phonograph) pada tahun 1877, sehingga sejak tahun 1960-an tidak sulit untuk mendapatkan tape recorder.
Satu hal yang perlu dipahami benar bahwa penelitian sejarah lisan, sumber utamanya ialah sumber lisan yang digali lewat wawancara. Teknik wawancara ini merupakan teknik yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif, terutama penelitian lapangan termasuk penelitian sejarah lisan. Secara umum kita mengenal dua jenis teknik wawancara, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur yang disebut wawancara mendalam (in-depth- interviewing).
Dasar-dasar Penelitian Sejarah
Tujuan utama dilakukan wawancara adalah untuk menyajikan konstruksi saat sekarang, wawancara dalam konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau dipersepsikan , tingkat dan bentuk keterlibatan dan sebagainya. Melalui wawancara dapat merekon- struksi pengalaman masa lampau, dan memroyeksikannya dengan harapan yang dapat terjadi di masa yang akan datang.
Dengan demikian wawancara dalam penelitian sejarah lisan dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat terbuka (open-ended) dan mengarah kepada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak terstruktur, guna menggali pandangan subjek. Oleh karena itu, dalam hal ini subjek yang diteliti posisinya lebih berperan sebagai informan daripada sebagai responden. Wawancara mendalam ini dapat dilakukan dalam waktu dan kondisi konteks yang dianggap paling tepat guna mendapatkan data yang rinci, jujur dan mendalam. Untuk itu wawancara ini dapat dilakukan beberapa kali sesuai dengan keperluan peneliti, berkaitan dengan kejelasan dan kemantapan masalah.
Dengan teknik wawancara ini berarti peneliti akan mendapatkan data/ sumber primer, yakni data langsung dari orang yang benar-benar memahami permasalahan yang sedang diteliti atau orang yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan kejadian atau peristiwa yang sedang digali atau diteliti.
Dengan demikian, prinsip-prinsip dalam penelitian sejarah lisan adalah sebagai berikut.
1. Penelitian sejarah lisan adalah suatu penelitian yang sumber utamanya menggunakan sumber lisan.
2. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data/informasi dalam penelitian sejarah lisan adalah wawancara, dan biasanya wawancara yang digunakan merupakan wawancara yang lentur, berlangsung akrab, luwes dan fleksibel. Teknik wawancara yang demikian dikenal dengan nama wawancara mendalam (in-depth- iterviewing). Agar wawancaranya bisa tuntas dan tidak menyimpang jauh dari apa yang telah direncanakan; maka sebelumnya pewawancara (yang akan menulis/meneliti dengan sumber utamanya lisan), bisa menyiapkan seperangkat pertanyaan atau biasa dikenal dengan nama pedoman wawancara.
3. Untuk mendapatkan data yang dipercaya lewat wawancara, dapat digunakan teknik kritik sumber atau trianggulasi sumber, yakni data yang sama diperoleh dari berbagai sumber. Dengan demikian datanya akan benar- benar valid, bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
4. Setelah data terkumpul dan dilakukan interpretasi, maka langkah berikutnya adalah penulisan suatu karya atau historiografi.
64 Sejarah SMA/MA Kelas X