Pemahaman Model Project Citizen Model menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya pola atau

A. Pemahaman Model Project Citizen Model menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya pola atau

contoh, acuan dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan atau gaya suatu pola yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam ensiklopedi Indonesia (Jilid 4), dijelaskan bahwa model merupakan kata pengecil dari “modo” yang artinya sifat, cara dan representasi kecil dari suatu benda atau keadaan untuk mengembnagkan, menjelaskan atau menemukan sifat-sifat bentuk aslinya. Model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Dahlan (1990) mengartikan model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang ditetapkan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran dan memberikan setting lainnya.

Model Project citizen merupakan salah satu instructional treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam pemerintahan dan masyarakat sipil (Budimansyah, 2009:1). Tujuan model project citizen adalah untuk Model Project citizen merupakan salah satu instructional treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam pemerintahan dan masyarakat sipil (Budimansyah, 2009:1). Tujuan model project citizen adalah untuk

Model ini pertama kali digunakan di California pada tahun 1992 dan kemudian dikembangkan menjadi satu program nasional oleh Center For Civic Education (CCE) dan Konferensi Nasional Badan Pembuat Undang- Undang Negara pada tahun 1995. Selanjutnya secara paradigmatik model ini diadaptasi di Indonesia dari “We the People….Project Citizen” yang dikembangkan oleh Center for Civic Education (CCE) Calabas, dan dalam 15 tahun terakhir ini telah diadaptasi di sekirar 50 negara di dunia. Model ini bersifat generik, yang secara instrumental-pedagogis dapat dimuati konten/materi yang relevan di masing-masing negara.

Kemudian di Indonesia model ini dikenal dengan Model Proyek Belajar Kewarganegaraan Kami Bangsa Indonesia (PBKKBI), yang mulai dirintis pengembangannya di sekolah dasar dan menengah. Sebagai model pembelajaran, dipilih topik generik “Public Policy” (Kebijakan Publik), yang memang berlaku di negara manapun. Misi dari model ini adalah mendidik para siswa agar mampu menganalisis berbagai dimensi kebijakan publik dalam konteks proses demokrasi, dan dengan kapasitasnya sebagai “young citizen” atau warganegara muda mencoba memberi masukan terhadap kebijakan publik di lingkungannya. Hasil yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas warganegara yang “cerdas, kreatif, partisipatif, prospektif, dan bertanggung jawab”.

Model ini sangat potensial untuk mengembangkan kompetensi kewarganegaraan “mengambil keputusan mengenai hal-hal yang Model ini sangat potensial untuk mengembangkan kompetensi kewarganegaraan “mengambil keputusan mengenai hal-hal yang

Dasar pemikiran Project Citizen menurut Branson (1999:1-6) terletak pada satu kerangka yang dilandasi oleh lima bagian tentang gagasan pendidikan dan politik. Pertama, demokrasi memerlukan pemerintahan sendiri dan karenanya memerlukan keterlibatan dan berpengetahuan warganegara dalam kehidupan bernegara. Satu komponen yang sangat diperlukan tentang keterlibatan warganegara adalah partisipasi dalam proses pembuatan kebiajakan public. Kedua, para siswa harus belajar bagaimana menjai terlibat dalam kehidupan berwarganegara dengan terlibat didalamnya, yaitu dengan menyandang kewarganegaraan yang bertanggung jawab dan efektif. Siswa yang dilibatkan dalam pembelajaran praktis, eksperimental akan lebih antusias dan bersemangat dibanding dengan yang tidak ikut serta dalam jenis kegiatan ini. Ketiga, karena para siswa menggali masalah-masalah yang ada dikomunitas mereka sendiri, maka mereka mendapat banyak kesempatan untuk mempertimbangkan tentang hal-hal yang mendasar dalam inti demokrasi, seperti hal-hal yang meliputi hak individu dan kepentingan bersama, peraturan yang disepakati kelompok mayoritas dan hak kaum minoritas, kebebasaan serta persamaan.

Keempat, project citizen dimaksudkan untuk diterapkan terutama oleh siswa sekolah menengah atau usia-usia remaja pradini (sekitar 10-15 tahun); tetapi program tersebut juga digunakan oleh oldest adolescents) anak remaja yang menginjak dewasa di beberapa sekolah. Sebab anak remaja pradini mulai bergeser dari pemikiran konkrit menuju pemikiran abstrak dan sering berhadapan dengan masalaha baik dan buruk, sah atau tidaknya hak untuk bertindak dan jawaban-jawaban alternatif atas situasi yang menyulitkan. Kelima, Project citizen menganggap kaum muda sebagai sumber kewarganegaraan, sebagai anggota yang berharga dari komunitasnya yang bernilai yang gagasan dan tenaganya dapat secara nyata dicurahkan pada masalah-masalah kebijakan publik. Keikutsertaan siswa sebagai warganegara muda tidak hanya merupakan wahana yang lebih baik untuk meningkatkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokrasi, tetapi juga makin baik bagi masyarakat karena siswa tersebut mempermudah organisasi pemerintahan dan masyarakat madani bekerja melewati masalah-masalah penting di masyarakat.

Menurut Budimansyah (2008:22), Project citizen yang diadaptasi di Indonesia memiliki karakteristik substantive dan psiko-pedagogis sebagai berikut:

1) Bergerak dalam konteks substantive dan sosio-kultural kebijakan publik sebagai salah satu koridor demokrasi yang berfungsi sebagai wahana interaksi warganegara dengan negara dalam melaksanakan hak, kewajiban, dan tanggungjawabnya sebagai warganegara Indonesia yang cerdas, partisipasif dan bertanggungjawab, yang secara kurikuler dan pedagosis merupakan misi utama pendidikan kewarganegaraan.

2) Menerapkan model “portofolio-based learning” atau “model pembelajaran berbasis portofolio” dan “pertofolio-assissted assessment” atau “penilaian berbasis portofolio” yang dirancang dalam desain pembelajaran yang memadukan secara sinergis model-model “social problem solving (pemecahan masalah), social inquiry (penelitian social), social involvement (pelibatan social), cooperative learning (belajar bersama), simulated hearing (simulasi dengar pendapat), deep-dialogue and critical thinking (dialog mendalam dan berpikir kritis), value clarification (klarifikasi

teaching (pembelajaran demokratis). Dengan demikian model ini potensial menghasilkan “powerfull learning” atau belajar yang berbobot dan bermakna yang secara pedagogis bercirikan prinsip “meaningful (bermakna), integrative (terpadu), value-based (berbasis nilai), challenging (menantang), activating (mengaktifkan), and joyfull (menyenangkan).

nilai),

democratic

3) Kerangka operasional pedagogis dasar yang digunakan adalah modifikasi langkah startegi pemecahan masalah dengan langkah-langkah: identifikasi masalah, pemilihan masalah, pengumpulan data, pembuatan portofolio, show case, dan refleksi. Sedangkan kemasan portofolionya mencakup (panel sajian) (portofolio tayangan) dan file dokumentasi (bundel dokumentasi) dikemas dengan menggunakan sistematika identifikasi dan pemilihan masalah, alternative kebijakan, ususlan kebijakan, dan rencana tindakan. Semenatara itu, kegiatan show case didesain sebagai forum dengar pendapat (simulated public hearing).

Fokus perhatian dari model ini adalah pengembangan “civic knowledge (pengetahun kewarganegaraan), civic dispositions (kebajikan kewarganegaraan), civic confidence (kepercayaan diri kewarganegaraan), civic commitment (komitmen kewarganegaraan), civic competence (kompetensi kewargenagaraan)” yang bermuara pada berkembangnya well-informed, reasoned, and responsible decision making (kemampuan mengambil keputusan, berwawasan, bernalar dan bertanggung jawab)”.

Selain itu prinsip dasar pembelajaran portofolio mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran. Kosasih Djahiri (2000:3) mengemukakan bahwa prinsip utama pembelajaran adalah proses keterlibatan seluruh atau sebagian potensi siswa dan juga kebermaknaannya bagi diri sendiri maupun kehidupannya. Selanjutnya sifat-sifat pembelajaran berbasis portofolio menurut Djahiri (2000:6-7) terdiri dari:

a. Active and Meaningfull Learning Sebagian besar potensi belajar yang ada dalam diri siswa baik

kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan taksonomik yang tinggi terlibat dan berproses. Aktivitas kegiatan belajar siswa terjadi karena rangsangan bahan ajar, media maupun sumber ajar. Sumber ajar atau medianya membosankan, maka kegiatan belajar siswa akan rendah. Oleh karena itu, guru harus megupayakan bahan ajar yang meaningfull atau berguna manfaat sebab kegunaannya akan mengundang minat belajar siswa.

b. Inquiry Learning atau Problem Solving Belajar melalui kegiatan mencari dan menyidik (berinvestigasi)

serta memecahkan masalah sendiri tentang hal yang dibelajarkan dari berbagai media atau sumber ajar.

c. Integrated Learning Belajar terpadu yaitu apa yang dipelajari atau dilakoni bersifat

komprehensif (meluas ) dan utuh tidak parsial atau hanya tahu konsep teori saja tanpa tahu isi pesan atau nilai moral yang dibawakan serta tanpa mampu melaksanakannya.

d. Cooperative Group Learning Merupakan kegiatan belajar yang bersifat kooperatif dimana

seluruh anggota merupakan suatu kesatuan yang penuh solidaritas, saling menolong dan membantu untuk keberhasilan belajar setiap orang.

e. Student Based Pembelajaran berpusat pada siswa, sebab mulai dari kemampuan

dan kondisi fisik maupun non fisik serta lingkungan belajarnya akan menjadi acuan bahan ajar sampai penilaian.

f. Factual Based Bahan tidak hanya sebatas teori, konseptual dan normative dan tidak mono sumber tetapi dikaitkan dengan kenyataan kehidupan siswa dalam aneka ragam belajarnya.

g. Democratic, Humanistic dan Terbuka Pembelajaran hendaknya dilakukan dalam suasana yang demokratis

dan menerapkan nilai-nilai demokrasi serta memperlakukan siswa sebagaimana layaknya seseorang yang memiliki berabagi potensi sehingga harus dihargai keberadaannya.

Gambar 5.1. Pembelajaran Portofolio memungkinkan terwujudnya ba a bakat lain siswa

dalam aspek kreativitas (Sumber: Nani Nur’aeni)

Selain itu, sebagai suatu inovasi model project citizen atau pertama kali dikenal di Indonesia dengan model pembelajaran berbas rbasis portofolio dilandasi oleh pemikiran sebagai berikut (Budimansyah, 2002:4 02:4) :

a. Empat pilar pendidikan Pilar pendidikan ini dirancang oleh UNESCO karena a a ada anggapan

bahwa siswa laksana botol kosong yang mesti diisi penuh nuh dengan ilmu pengetahuan. Untuk menepis anggapan tersebu rsebut UNESCO mengeluarkan empat pilar pendidikan, diantaranya ya siswa harus diberdayakan agar mau dan mampu berbuat untuk m uk memperkaya pengalaman belajarnya dengan meningkatkan interaksi raksi (learning to do) dengan lingkungannya baik fisik, social, maupun bud budaya sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuann annya terhadap dunia sekitarnya (learning to know) diharapkan hasil inte interaksi dengan lingkungannya itu dapat membangun pengetahuan dan an kepercayaan dirinya (learning to be) serta kesempatan berintera nteraksi dengan berbagai individu atau kelompok yang bervariasi (lea learning to live together) akan membentuk kepribadian untuk uk memahami bahwa siswa laksana botol kosong yang mesti diisi penuh nuh dengan ilmu pengetahuan. Untuk menepis anggapan tersebu rsebut UNESCO mengeluarkan empat pilar pendidikan, diantaranya ya siswa harus diberdayakan agar mau dan mampu berbuat untuk m uk memperkaya pengalaman belajarnya dengan meningkatkan interaksi raksi (learning to do) dengan lingkungannya baik fisik, social, maupun bud budaya sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuann annya terhadap dunia sekitarnya (learning to know) diharapkan hasil inte interaksi dengan lingkungannya itu dapat membangun pengetahuan dan an kepercayaan dirinya (learning to be) serta kesempatan berintera nteraksi dengan berbagai individu atau kelompok yang bervariasi (lea learning to live together) akan membentuk kepribadian untuk uk memahami

b. Pandangan Konstruktivisme Pandangan ini beranggapan bahwa siswa mulai dari taman kanak-

kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa atau gejala lingkungan di sekitarnya meskipun gagasan atau pemahaman mereka seringkali naïf dan miskonsepsi. Inti kegiatan pendidikan harus dimulai dari apa yang diketahui oleh siswa. Guru hanya berfungsi sebagai fasilitator dan penyedia kondisi supaya proses belajar bisa berlangsung. Salah satu bentuk kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme adalah diskusi, sebab dalam diskusi siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan gagasannya.

c. Democratic teaching Democratic teaching merupakan suatu bentuk upaya menjadikan

sekolah sebagai pusat kehidupan melalui proses pembelajaran yang demokratis. Democratic Teaching adalah suatu pembelajaran yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjungjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan dan memperhatikan keragaman siswa. Masih menurut Budimansyah (2002:8), terdapat beberapa prinsip

pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang meliputi: prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar kooperatif (cooperaitive learning), pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang meliputi: prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar kooperatif (cooperaitive learning), pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang

a. Prinsip Belajar Siswa Aktif Model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktifitas siswa

hampir di seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan, dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktivitas siswa terlihat pada saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain storming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, disamping tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas.

Dalam fase kegiatan lapangan, aktifitas siswa lebih tampak. Dengan berbagai teknik (misalnya dengan wawancara, pengamatan, kuesioner, dan lain-lain) mereka mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi kajian kelas mereka. Untuk melengkapi data dan informasi tersebut, mereka mengambil foto, membuat sketsa, membuat kliping, bahkan adakalanya mengabadikan peristiwa penting dalam video.

b. Kelompok Belajar Kooperatif Proses pembelajaran PKn juga menerapkan prinsip belajar

kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah, termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerjasama antar siswa kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah, termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerjasama antar siswa

Dengan komponen-komponen sekolah lainnya juga seringkali harus dilakukan kerjasama. Misalnya pada saat para siswa hendak mengumpulkan data dan informasi lapangan sepulang dari sekolah, bersamaan waktunya dengan jadwal latihan olah raga yang diundur atau kunjungan lapangan yang diubah. Kasus seperti itu memerlukan kerjasama, walaupun dalam lingkup kecil dan sederhana. Hal serupa juga seringkali terjadi dengan pihak keluarga. Orang tua perlu juga diberi pemahaman, manakala anaknya pulang agak terlambat dari sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Sekali lagi, dari peristiwa ini pun tampak perlunya kerjasama antara sekolah dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman.

Kerjasama dengan lembaga terkait diperlukan pada saat para siswa merencanakan mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau suatu kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi dinas perparkiran. Mengunjungi kantor bupati atau wali kota untuk mengetahui kebijakan mengenai penertiban pedagang kaki lima. Mengamati dampak pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagainya. Kegiatan para siswa tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala sekolah selaku penanggungjawab kegiatan sekolah.

c. Pembelajaran Partisipatorik Selain prinsip pembelajaran di atas PKn juga menganut prisip

dasar pembelajaran partisipatorik, sebab melaui model ini siswa dasar pembelajaran partisipatorik, sebab melaui model ini siswa

Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilih makna bahwa siswa dapat menghargai dan menerima pendapat yang didukung suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik, dengan tetap berkepala dingin. Proses ini mendukung adagium yang menyatakan bahwa “democracy is not in heredity but learning” (demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami). Oleh karena itu, mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang demokratis (teaching democracy in and for democracy). Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan prinsip belajar partisipatorik.

d. Reactive Teaching Dalam prinsip ini lebih menekankan bagaimana guru menciptakan

strategi agar murid mempunyai motivasi belajar. Oleh karena itu guru harus menguasai situasi sehingga materi pembelajaran menarik, tidak membosankan. Guru harus mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa jika hal ini terjadi, guru harus segera mencari strategi agar murid mempunyai motivasi belajar. Oleh karena itu guru harus menguasai situasi sehingga materi pembelajaran menarik, tidak membosankan. Guru harus mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa jika hal ini terjadi, guru harus segera mencari

1. Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.

2. Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.

3. Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa.

4. Segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya.