BERFIKIR KRITIS Model Pembelajaran Proje

Bab I PENGANTAR

P nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan konsep PKn menurut

endidikan

memiliki misi untuk mengembangkan

Kewarganegaraan

yang demokratis dan bertanggung jawab dalam konteks kehidupan yang berjiwakan

warganegara

Somantri (2001:229) yang merumuskan bahwa: “Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang

berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.

Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), bahwa “PKn merupakan pendidikan sosial yang terintegrasi yang diharapkan dapat melahirkan warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jawab, terampil dan partisipasif dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global”.

Dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, maka penguasaan konsep dan keterampilan berpikir khususnya berpikir kritis siswa mutlak diperlukan. Sebab, siswa yang hanya menguasai konsep saja tanpa disertai dengan kemampuan berpikir kritis terkadang sulit Dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, maka penguasaan konsep dan keterampilan berpikir khususnya berpikir kritis siswa mutlak diperlukan. Sebab, siswa yang hanya menguasai konsep saja tanpa disertai dengan kemampuan berpikir kritis terkadang sulit

Gambar 1.1. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan haruslah bersik ersikap pro-aktif (Sumber: LPMRHETOR-Media Komunikasi Mahasiswa) wa)

Hal tersebut di atas, sejalan dengan pendapat Wina inataputra dan Budimansyah (2007:121) yang mengemukakan tiga sumbe mber kegagalan pengembangang civic education, yaitu 1) penggunaan alokasi kasi waktu yang tercantum dalam struktur kurikulum pendidikan dijabarkan rkan secara kaku dan konvensional sebagai jam pelajaran tatap muka di kelas elas yang sangat dominan, sehingga guru tidak bisa berimprovisasi secara k ra kreatif untuk melakukan aktivitas lainnya selain pembelajaran rutin tatap atap muka yang terjadwal dengan ketat; 2) pelaksanaan pembelajaran PKn PKn yang lebih didominasi oleh kegiatan peningkatan dimensi kognitif me mengakibatkan porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi terbengkalai alai, disamping keterbatasan media pembelajaran; 3) pembelajaran y yang terlalu Hal tersebut di atas, sejalan dengan pendapat Wina inataputra dan Budimansyah (2007:121) yang mengemukakan tiga sumbe mber kegagalan pengembangang civic education, yaitu 1) penggunaan alokasi kasi waktu yang tercantum dalam struktur kurikulum pendidikan dijabarkan rkan secara kaku dan konvensional sebagai jam pelajaran tatap muka di kelas elas yang sangat dominan, sehingga guru tidak bisa berimprovisasi secara k ra kreatif untuk melakukan aktivitas lainnya selain pembelajaran rutin tatap atap muka yang terjadwal dengan ketat; 2) pelaksanaan pembelajaran PKn PKn yang lebih didominasi oleh kegiatan peningkatan dimensi kognitif me mengakibatkan porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi terbengkalai alai, disamping keterbatasan media pembelajaran; 3) pembelajaran y yang terlalu

Selain itu, persoalan lain yang muncul dalam proses pembelajaran PKn di sekolah, yakni adanya asumsi siswa yang menganggap bahwa pelajaran ini membosankan, tidak menantang karena hanya berupa hapalan dan belajar hanya dipersiapkan untuk menjawab soal-soal ujian semata. Hal ini diperkuat oleh cara guru dalam menyuguhkan materi pelajaran yang sebagian besar menggunakan metode konvensional seperti ceramah yang sesekali diselingi dengan tanya jawab dan pembelajaran lebih berpusat pada guru sehingga siswa cenderung pasif dan semakin tidak memiliki gairah untuk belajar.

Kondisi tersebut diperkuat oleh pendapat Wahab (2001:21) yang menyatakan bahwa “selama ini siswa beranggapan pelajaran PKn itu tidak menarik dan membosankan”. Kesan ini timbul dikarenakan secara substansif pelajaran PKn kurang menyentuh kebutuhan siswa atau cara penyajiannya tidak membangkitkan minat belajara siswa. Siswa kurang diarahkan mengenai bagaimana hubungan antara konsep yang dipelajari dengan peristiwa sehari-hari. Selain itu, guru kurang memunculkan permasalahan aktual yang dihadapi siswa sebagai masyarakat muda dan mengarahkan siswa untuk bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya agar bisa mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Padahal kalau dicermati lebih mendalam, objek kajian Pendidikan Kewarganegaraan adalah masyarakat dengan segala dinamikanya yang seharusnya menarik dan menantang untuk dipelajari.

Gambar 1.2. Suasana belajar yang tidak kondusif karena siswa me merasa bosan (Sumber: Epri Titik)

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, m s, maka proses pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah pembel belajaran yang memberdayakan siswa untuk dapat berpikir kritis dalam lam pemecahan masalah atau “critical thinking oriented and problem solv solving oriented modes” (CCE:1992-2000). Sebab, Pendidikan Kewarganegaraan raan merupakan salah satu mata pelajaran di persekolahan yang mempuny unyai kontribusi penting dalam membentuk dan mewujudkan karakter bangsa ngsa yang dicita - citakan yaitu smart and good citizenship, seperti ditegaskan da n dalam Standar Isi (Permen No.22 Tahun 2006) dan Standar Kompetensi Lulu Lulusan (Permen No.23 Tahun 2006) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan meru merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan wargan rganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajib ajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang Cerdas, terampil, dan dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Hal tersebut, sejalan dengan visi Pendidikan Nasional nal menurut UU No.20 tahun 2003 dijelaskan bahwa aspek kepribadian warga arganegara yang perlu dikembangkan adalah menjadi manusia yang berkuali ualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman. Sejalan lan dengan visi

Pendidikan Nasional, Depdiknas berhasrat pada tahun un 2025 dapat menghasilkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan dan kompetitif. Cerdas komprehensif maksudnya meliputi cerdas spirit piritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kines inestetik. Cerdas spiritual, yakni mampu mengaktualisasikan diri melalui olah olah hati untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketaqwaan, dan an akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Cerda rdas emosional, yakni mampu beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk m k meningkatkan sensitivitas dan apresiativitas akan kehalusan dan keindah dahan seni dan budaya serta kompetensi untuk mengekspresikannya. Cerdas das sosial, yakni mampu beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang m g membina dan memupuk hubungan timbal balik, demokratis, empatik da k dan simpatik, menjungjung tinggi hak asasi manusia, ceria dan percaya diri, diri, menghargai kebhinekaan, dan lain-lain. Cerdas intelektual, yakni mampu b pu beraktualisasi melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan keman mandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, serta aktualisasi insan yang ang kritis, kreatif dan imajinatif. Cerdas kinestetik, yakni mampu beraktualisas lisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insane yang sehat, bugar, berd berdaya tahan, sigap, terampil dan trengginas (Budimansyah & Suryadi, 2008:2 08:21).

Gambar 1.3. Guru haruslah memberikan panutan agar siswa merasa erasa terbimbing

(Sumber: MI Isamiyah)

Lebih khusus, Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapai isu kewarganegaraan; 2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti korupsi; 3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; 4) berinteraksi dengan bangsa- bangsa dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Semua kemampuan tersebut harus dimiliki oleh setiap warganegara abad 21, seperti yang dikemukakan oleh Cogan & Derricott (1998:116), bahwa karakteristik yang harus dimiliki warganegara sebagai berikut: 1) kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global; 2) kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat; 3) kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan- perbedaan budaya; 4) kemampuan berpikir kritis dan sistematis; 5) kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan; 6) kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungannya; 7) memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia seperti hak kaum wanita, minoritas, dan lain-lain; 8) kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintah lokal, nasional, dan internasional.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas dan mengingat Indonesia sebagai negara demokratis, Remy (Wahab&Sapriya, 2008: 19) Berkaitan dengan hal tersebut di atas dan mengingat Indonesia sebagai negara demokratis, Remy (Wahab&Sapriya, 2008: 19)

dimiliki setiap warganegara dalam memelihara, mengembangkan dan mempraktekkan dasar-dasar demokrasi sebagai warga negara dari sebuah negara demokratis sebagai berikut: 1) Acquiring and using information; 2). Assessing involvement; 3) Making decision; 4) Making judgements; 5) Cooperating; 6) Communicating; 7) Promoting interests.

Untuk mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, salah satu jalan yang bisa ditempuh yakni melalui pendidikan, sebab pendidikan merupakan salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3 dijelaskan bahwa:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mnegembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yng beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Berbicara mengenai pendidikan secara otomatis akan berkaitan dengan proses pembelajaran di persekolahan. Sekolah sebagai komponen utama pendidikan perlu memperhatikan kegiatan pembelajaran yang berlangsung, apakah sesuai atau tidak dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Menurut Fajar, (2004:15), kegiatan pembelajaran diselenggarakan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan siswa, sehingga perlu memberdayakan semua potensi siswa untuk menguasai dan memiliki kompetensi serta pencapaian perilaku khusus agar setiap individu mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat Berbicara mengenai pendidikan secara otomatis akan berkaitan dengan proses pembelajaran di persekolahan. Sekolah sebagai komponen utama pendidikan perlu memperhatikan kegiatan pembelajaran yang berlangsung, apakah sesuai atau tidak dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Menurut Fajar, (2004:15), kegiatan pembelajaran diselenggarakan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan siswa, sehingga perlu memberdayakan semua potensi siswa untuk menguasai dan memiliki kompetensi serta pencapaian perilaku khusus agar setiap individu mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat

Saat ini, secara adaptif di Indonesia dikembangkan model praktik belajar kewarganegaraan kami bangsa Indonesia atau biasa disebut Project Citizen yang di dalamnya terdapat portofolio hasil belajar siswa. Model ini bisa dijadikan salah satu alternative solusi dalam pembelajaran PKn supaya siswa lebih tertantang untuk belajar dan pengetahuan yang dimiliki siswa lebih bermakna (powerfull). Project citizen merupakan satu instructional treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam pemerintahan dan masyarakat sipil. Tujuan Project citizen adalah untuk memotivasi dan memberdayakan para siswa dalam menggunakan hak dan tanggung jawab kewarganegaraan yang demokratis melalui penelitian yang intensif mengenai masalah kebijakan publik di sekolah atau di masyarakat tempat mereka berinteraksi (Budimansyah, 2009:1-2).

Gambar 1.4. Kepedulian terhadap fenomena sosial sebagai wujud la d lain kecakapan

siswa (Sumber: KAMMI Purwokerto)

Dasar pemikiran Project Citizen menurut Branson (1999: 999:1-6) terletak pada satu kerangka yang dilandasi oleh lima bagian tenta entang gagasan pendidikan dan politik. Pertama, demokrasi memerlukan n pemerintahan sendiri dan karenanya memerlukan keterlibatan dan berp berpengetahuan warganegara dalam kehidupan bernegara. Satu komponen en yang sangat diperlukan tentang keterlibatan warganegara adalah partis artisipasi dalam proses pembuatan kebiajakan publik. Kedua, para siswa h a harus belajar bagaimana menjai terlibat dalam kehidupan berwarganeg anegara dengan terlibat didalamnya, yaitu dengan menyandang kewargane anegaraan yang bertanggung jawab dan efektif. Siswa yang dilibatkan dalam p m pembelajaran praktis, eksperimental akan lebih antusias dan bersemanga angat dibanding dengan yang tidak ikut serta dalam jenis kegiatan ini. Ketiga, tiga, karena para siswa menggali masalah-masalah yang ada dikomunitas me mereka sendiri, maka mereka mendapat banyak kesempatan untuk mempe pertimbangkan tentang hal-hal yang mendasar dalam inti demokrasi, seperti erti hal-hal yang meliputi hak individu dan kepentingan bersama, peraturan yan yang disepakati kelompok mayoritas dan hak kaum minoritas, kebeba bebasaan serta persamaan. Keempat, project citizen dimaksudkan untuk ntuk diterapkan Dasar pemikiran Project Citizen menurut Branson (1999: 999:1-6) terletak pada satu kerangka yang dilandasi oleh lima bagian tenta entang gagasan pendidikan dan politik. Pertama, demokrasi memerlukan n pemerintahan sendiri dan karenanya memerlukan keterlibatan dan berp berpengetahuan warganegara dalam kehidupan bernegara. Satu komponen en yang sangat diperlukan tentang keterlibatan warganegara adalah partis artisipasi dalam proses pembuatan kebiajakan publik. Kedua, para siswa h a harus belajar bagaimana menjai terlibat dalam kehidupan berwarganeg anegara dengan terlibat didalamnya, yaitu dengan menyandang kewargane anegaraan yang bertanggung jawab dan efektif. Siswa yang dilibatkan dalam p m pembelajaran praktis, eksperimental akan lebih antusias dan bersemanga angat dibanding dengan yang tidak ikut serta dalam jenis kegiatan ini. Ketiga, tiga, karena para siswa menggali masalah-masalah yang ada dikomunitas me mereka sendiri, maka mereka mendapat banyak kesempatan untuk mempe pertimbangkan tentang hal-hal yang mendasar dalam inti demokrasi, seperti erti hal-hal yang meliputi hak individu dan kepentingan bersama, peraturan yan yang disepakati kelompok mayoritas dan hak kaum minoritas, kebeba bebasaan serta persamaan. Keempat, project citizen dimaksudkan untuk ntuk diterapkan

Gambar 1.5. John Dewey pencetus pembelajaran berfikir kr ir kritis (Sumber: Wikipedia)

Beberapa pemikiran di atas sejalan dengan empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO (Budimansyah, 2002:40) yakni 1) learning to do (peserta didik mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya); 2) learning to know (belajar untuk mengetahui sendiri pengetahuannya); 3) learning to be (belajar untuk membangun pengetahuan dan kepercayaan diri); 4) learning to live together (belajar untuk memahami kemajmukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup. Selain itu, project citizen dilandasi juga oleh pandangan konstruktivisme yang menyatakan bahwa semua peserta didik mulai dari usia kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki gagasan/pengetahuan tentang lingkungannya dan peristiwa/gejala lingkungan di sekitarnya meskipun seringkali naïf dan miskonsepsi.

Tetapi pada intinya dalam kegiatan pendidikan harus memulai pelajaran dari apa yang diketahui oleh peserta didik. Hal lain yang bisa dicermati, bahwa Project citizen mengembangkan democratic teaching, maksudnya bahwa proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah harus dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi. Budimansyah (2002: 5–7) mengatakan bahwa pembelajaran demokratis (democratic teaching) adalah suatu bentuk upaya menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan kehidupan demokrasi melalui proses pembelajran yang demokratis. Secara singkat democratic teaching adalah proses pembelajran yang dilandasi oleh nilai- nilai demokrasi, yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan, dan memperhatikan keragaman perserta didik. Dalam prakteknya para pendidik hendaknya memposisikan peserta didik sebagai insan yang harus dihargai Tetapi pada intinya dalam kegiatan pendidikan harus memulai pelajaran dari apa yang diketahui oleh peserta didik. Hal lain yang bisa dicermati, bahwa Project citizen mengembangkan democratic teaching, maksudnya bahwa proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah harus dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi. Budimansyah (2002: 5–7) mengatakan bahwa pembelajaran demokratis (democratic teaching) adalah suatu bentuk upaya menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan kehidupan demokrasi melalui proses pembelajran yang demokratis. Secara singkat democratic teaching adalah proses pembelajran yang dilandasi oleh nilai- nilai demokrasi, yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan, dan memperhatikan keragaman perserta didik. Dalam prakteknya para pendidik hendaknya memposisikan peserta didik sebagai insan yang harus dihargai

Untuk itu diperlukan suasana terbuka, akrab, dan saling menghargai, dan sebaliknya perlu dihindari suasana belajar kaku, penuh dengan ketegangan, dan sarat dengan perintah dan instruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif, tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami kelelahan. Sebab, sikap demokratis yang ditampilkan guru di kelas dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap pengembangan sikap demokratis seseorang.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, gelombang demokratisasi yang terjadi di Indonesia menuntut semua pihak mewujudkan kehidupan demokrasi di segala bidang. Dalam upaya meningkatkan kultur dan nilai- nilai demokratis, aspek sekolah dan program pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap demokratis. Pengembangan kultur hidup yang demokratis tergantung pada sistem pendidikan demokratis yang diterapkan di lingkungan pendidikannya. Sekarang masalahnya adalah bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk mewujudkan sekolah yang demokratis, agar nilai-nilai demokrasi tumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupan warganegara.

Konsep demokrasi secara etimologis memiliki arti yang cukup sederhana yang berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Azra, 2008:39), tetapi dibalik kesederhanaannya, demokrasi memiliki makna yang sangat

luas. Demokrasi erat kaitannya tidak hanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga dalam dunia pendidikan. John Dewey (1916) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara pendidikan dengan demokrasi. Ketika berbicara mengenai demokrasi maka tidak akan terlepas dengan pendidikan. Dengan demikian demokrasi harus senantiasa diajarkan dan dipraktekkan untuk merangsang kegiatan berpikir kritis siswa, karena demokrasi tidak langsung datang dari langit dan tidak didapat melalui pewarisan tetapi merupakan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran dan penghayatan (Azra, 2008:41). Sebuah adogium mengatakan “demokrasi dalam suatu negara akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warganegara yang memiliki kehidupan demokratis” (Budimansyah, 2002: 5). Dalam hal ini, Project citizen memberikan kesempatan kepada para siswa untuk berdemokrasi ambil bagian dalam pemerintahan dan masyarakat sipil sambil mempraktekkan berpikir kritis, dialog, debat, negosiasi, kerjasama, kesantunan, toleransi, membuat keputusan, dan aksi warganegara (civic action), yakni melaksanakan kewajiban sebagai warganegara untuk kepentingan bersama (CCE, 1999).

Pada dasarnya Prozect Citizen dikembangkan dari model pendekatan berpikir kritis atau reflektif sebagaimana dirintis oleh John Dewey (1900) dengan paradigma “how we think” atau model reflective inquiry yang dikemukakan oleh Barr, dkk (1978) dalam Budimansyah, (2009:10). Oleh karena itu, guru harus memahami konsep democratic teaching seperti yang telah disinggung di atas, maksudnya bahwa proses pembelajaran di sekolah harus dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi, yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung tinggi keadilan, menerapkan Pada dasarnya Prozect Citizen dikembangkan dari model pendekatan berpikir kritis atau reflektif sebagaimana dirintis oleh John Dewey (1900) dengan paradigma “how we think” atau model reflective inquiry yang dikemukakan oleh Barr, dkk (1978) dalam Budimansyah, (2009:10). Oleh karena itu, guru harus memahami konsep democratic teaching seperti yang telah disinggung di atas, maksudnya bahwa proses pembelajaran di sekolah harus dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi, yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung tinggi keadilan, menerapkan

Mengacu pada berbagai teori yang telah dikemukakan di atas, dan berdasarkan berbagai penemuan pada penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa project citizen merupakan salah satu alternative yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran PKn melalui proses belajar konstruktif (siswa membangun pengetahuannya sendiri) yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir dan membentuk warganegara yang demokratis, smart and good citizen.

Bab II MENGENAL & MEMAHAMI ESENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan kewarganegaraan atau lebih dikenal dengan istilah “civic

education” menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4), didefinisikan sebagai berikut:

“Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and in particular the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.”

Berdasarkan definisi tersebut dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawab sebagai warganegara. Secara khusus pendidikan kewarganegaraan memiliki peran pendidikan termasuk didalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara.

Cogan (1999:4) mendefinisikan civic education sebagai “…the foundation course work inschool designed to prepare young citizen for an activerole in the their communities in their adult lives”. Artinya bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu mata pelajaran di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda agar kelak Cogan (1999:4) mendefinisikan civic education sebagai “…the foundation course work inschool designed to prepare young citizen for an activerole in the their communities in their adult lives”. Artinya bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu mata pelajaran di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda agar kelak

Gambar 2.1. Penyiapan warga negara yang dapat mengatas atasi berbagai masalah sosial adalah salah tujuan dari mata pelajaran aran PKn (Sumber: http://steemit.com )

Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), 3), bahwa “PKn merupakan pendidikan social yang terintegrasi yang dihara iharapkan dapat melahirkan warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jaw jawab, terampil dan partisipasif dalam pengambilan keputusan-keputusan pu n publik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global”. Hal ini sejalan denga ngan pengertian Pendidikan kewarganegaraan yang dikemukakan oleh Pe Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar da r dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan Kewa ewarganegaraan Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), 3), bahwa “PKn merupakan pendidikan social yang terintegrasi yang dihara iharapkan dapat melahirkan warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jaw jawab, terampil dan partisipasif dalam pengambilan keputusan-keputusan pu n publik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global”. Hal ini sejalan denga ngan pengertian Pendidikan kewarganegaraan yang dikemukakan oleh Pe Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar da r dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan Kewa ewarganegaraan

Sedangkan Somantri (2001:229) merumuskan bahwa: “Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang

berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.

Pendapat tersebut sejalan dengan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan yang dikemukakan oleh Zamroni (Tim ICCE, 2005: 7) bahwa:

“Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi merupakan sebuah learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.”

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan siswa menjadi warganegara yang memiliki komitmen dan konsistensi yang tinggi serta mampu berpartisipasi secara aktif, kritis dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai yang dicita- Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan siswa menjadi warganegara yang memiliki komitmen dan konsistensi yang tinggi serta mampu berpartisipasi secara aktif, kritis dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai yang dicita-

B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan Depdiknas (2006:49) menuturkan

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan

b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi

c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya

d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Branson (1999:7) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan (civic education) adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik lokal, negara bagian, maupun nasional. Sedangkan tujuan PKn menurut Djahiri (1995:10), sebagai berikut:

a. Secara umum, tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan

pendidikan nasional, yaitu: mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembnagkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan;

pencapaian pencapaian

Somantri (2001: 279), mengemukakan tujuan umum pelajaran PKn yaitu “mendidik warganegara agar menjadi warganegara yang baik yang dapat dilukiskan dengan warganegara yang patriotic, toleran, setia terhadap bangsa dan Negara, beragama, demokratis dan pancasila sejati”. Sedangkan fungsi mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan Negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak kritis sesuai dengan manat Pancasila dan UUD Tahun 1945.

tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah: “Partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan

Sedangkan menurut

Sapriya

politik dari warganegara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip- prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warganegara yang efektif dan penuh rasa tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan tanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembnagan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperanserta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya system politik yang sehat serta perbaikan masyarakat”.

Lebih rinci, Maftuh dan Sapriya (2005:30) menegaskan bahwa: “Tujuan Negara mengembangkan pendidikan kewarganegaraan agar

setiap warga Negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civic inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civic responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat”.

Djahiri (1995:10), mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan dapat:

a. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideology dan pandangan hidup Negara RI.

b. Melek konstitusi (UUD NKRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam Negara RI.

c. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di atas.

d. Mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki misi mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor sehingga terbentuk warga negara yang baik (to be good citizens). Warga negara yang memiliki kecerdasan (civic inteliegence) baik intelektual, emosional, social, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civic responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

C. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan Perkembangan pemikiran tentang Civics dan Civic Education di

Amerika Serikat secara tidak langsung mempengaruhi perjalanan sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan, secara formal, diawali dengan munculnya mata pelajaran civics dalam kurikulum SMA tahun 1962. Di dalam Kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan Pendidikan Kewarganegaraan digunakan secara bertukar-pakai. Misalnya dalam kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang digunakan sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan Civics. Di dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan konstitusi termasuk UUD NRI 1945, sedangkan di dalam kurikulum SMA 1968 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara berisikan materi terutama berkenaan dengan UUD NRI 1945 (Somantri, 2001:285; Winataputra dan Budimansyah, 2007:70).

Selanjutnya dalam kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan kurikulum 1975 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:70).

Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, berlaku pula kurikulum 1994 yang memperkenalkan

mata

pelajaran

Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan atau Pendidikan Kewarganegaraan. Berb erbeda dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum 1994 mengorganisasi isasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4 lai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber er resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas ( as (Winataputra dan Budimansyah, 2007:70).

Gambar 2.2. Kegiatan penataran P4 sebagai upaya penguatan ideol deologi pancasila

terhadap warga negara Indonesia pada masa Orde Baru Baru (Sumber: solo pos)

Jika melihat perkembangan Pendidikan Kewarganegara garaan di atas, maka substansi mata pelajaran Pendidikan Kewarganeg negaraan pada periode-periode di atas bertumpu pada falsafah negara Pan ra Pancasila dan doktrin-doktrin politik kontemporer. Namun demikian, apa apabila disimak lebih dalam terdapat perbedaan dalam cara mengejawantah ntahkan prinsip - prinsip dan nilai-nilai dasar Pancasila sealur dengan ori orientasi dan kepentingan politik masing-masing rezim. Orientasi dan an kepentingan politik rezim penguasa telah mewarnai arah, isi, misi, dan i an implementasi Pendidikan Kewarganegaraan pada zamannya masing-masing. ing. Implikasinya dapat dilihat dari pendekatan pedagogisnya, yakni kni Pendidikan Kewarganegaraan yang cenderung bersifat dogmatis-doktri oktriner dengan Jika melihat perkembangan Pendidikan Kewarganegara garaan di atas, maka substansi mata pelajaran Pendidikan Kewarganeg negaraan pada periode-periode di atas bertumpu pada falsafah negara Pan ra Pancasila dan doktrin-doktrin politik kontemporer. Namun demikian, apa apabila disimak lebih dalam terdapat perbedaan dalam cara mengejawantah ntahkan prinsip - prinsip dan nilai-nilai dasar Pancasila sealur dengan ori orientasi dan kepentingan politik masing-masing rezim. Orientasi dan an kepentingan politik rezim penguasa telah mewarnai arah, isi, misi, dan i an implementasi Pendidikan Kewarganegaraan pada zamannya masing-masing. ing. Implikasinya dapat dilihat dari pendekatan pedagogisnya, yakni kni Pendidikan Kewarganegaraan yang cenderung bersifat dogmatis-doktri oktriner dengan

Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan paradigma dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, seiring dengan munculnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang mencantumkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk: “... berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Dalam paradigma lama, Pendidikan Kewarganegaraan antara lain bercirikan struktur keilmuan yang tidak jelas, materi disesuaikan dengan kepentingan politik rezim (hegemoni penguasa), memiliki visi untuk memperkuat state building (negara otoriter birokratis, kooptasi negara) yang bermuara pada posisi warga negara sekedar sebagai kaula/obyek yang lemah ketika berhadapan dengan penguasa. Akibatnya semakin sulit untuk mengembangkan karakter warga negara yang demokratis. Adapun paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan antara lain bercirikan memiliki struktur keilmuan yang jelas yakni berbasis pada ilmu politik, hukum dan filsafat moral/Pancasila dan memiliki visi yang kuat untuk nation and character building, pemberdayaan warga negara (citizen empowerment) yang mampu untuk mengembangkan masyarakat kewargaan (civil society).

Dalam paradigma baru, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor Dalam paradigma baru, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor

a. Secara kurikuler bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab.

b. Secara teoretik memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik (civic knowledge, civic disposition, dan civic skills) yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.

c. Secara programatik menekankan pada isi yang mengusung nilai- nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.

Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma baru mengusung tujuan utama mengembangkan “civic competences” yakni civic knowledge (pengetahuan dan wawasan kewarganegaraan), civic disposition (nilai, komitmen, dan sikap kewarganegaraan), dan civic skills (perangkat keterampilan intelektual, sosial, dan personal kewarganegaraan) yang seyogyanya dikuasai oleh setiap individu warga negara (Winataputra, 2001:317-318). Ketiga komponen tersebut secara konseptual dan teoritik sejak tahun 1994 telah diajukan oleh Center for Civic Education dalam National Standards for Civics and Government (Branson, 1999:8-25), akan tetapi baru lebih banyak terakomodir dalam Kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi. Hal ini bisa dilihat pada pengertian, tujuan dan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam perangkat Kurikulum 2006.

Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945.

Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.

c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.

d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keterbukaan dan jaminan keadilan

b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam

c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM

d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara

e. Konstitusi negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama,

konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di

Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi

f. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi

g. Pancasila meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari- hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

e. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.

Dari uraian di atas, nampak bahwa komponen yang hendak dikembangkan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah komponen civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), komponen civic skills (keterampilan berpikir kritis, rasional, kreatif dan keterampilan berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara), civic disposition (berkembang demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter masyarakat

Indonesia, dan berinteraksi dengan bangsa lain di era globalisa alisasi). Sehingga akhirnya, siswa mampu merefleksikan ketiga komponen ters tersebut dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan de n demikian mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu diharapkan be bermakna bagi kehidupan siswa.

D. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di Indone nesia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2 n 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan antara lain menyatakan bahw ahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, pada jenjang pendidikan mene enengah, terdiri atas lima kelompok mata pelajaran. Pendidikan Kewa ewarganegaraan termasuk dalam kelompok mata pelajaran Kewargane anegaraan dan Kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk tuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan k an kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berne ernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.

Gambar 2.3. Kerukunan umat beragama perlu dijaga untuk men menciptakan masyarakat yang damai dan tentram

(Sumber: Madina Online)

UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dalam penjelasan pasal

37 Ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Salah satu tujuan pendidikan di Indonesia adalah mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komitmen dan konsisten yang kuat terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, perlu ditingkatkan secara terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab sejak pertama kali kemerdekaan Indonesia diproklamirkan yakni pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai di penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa yang mengancam keutuhan negara. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat serta konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Apalagi ditengah gencarnya iklim demokratisasi diberbagai negara yang sedikit banyak mempengaruhi suasana kehidupan sosial politik kenegaraan Indonesia, menuntut adanya pembudayaan demokrasi yang tersusun, terencana dan terarah.

Dengan demikian, pendidikan kewarganegaraan yang sa g salah satunya mengusung pendidikan demokrasi memiliki peranan pe penting dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis, karen rena demokrasi yang berkeadaban hanya dapat terwujud apabila institusi p si pemerintahan dijalankan secara demokratis dan didukung oleh masya asyarakat yang mempunyai kultur demokratis. Pengembangan kultur demo emokratis harus dilakukan dengan melibatkan seluruh segmen masyarakat m t mulai dari elit politik sampai masyarakat awam. Dengan demokian, melalu lalui Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan pembudayaan demokrasi dapat pat diwujudkan.

Gambar 2.4. Keragaman suku bangsa sebagai tiang-tiang pengok gokoh Negara Indonesia (Sumber: Netral News)

E. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan di Indo donesia Materi Pendidikan Kewarganegaraan menurut pendap ndapat Branson

(1999:4) harus mencakup tiga komponen, yaitu Civic ivic Knowledge (pengetahuan

Skills (keterampilan kewargenageraan), dan Civic Disposition (watak kewarg warganegaraan). Komponen pertama, yaitu civic knowledge berkaitan denga engan “nilai apa yang harus diketahui oleh warganegara” (Branson, 1999:8 99:8). Aspek ini

kewarganegaraan),

Civic Civic

Komponen kedua, civics skills meliputi keterampilan intelektual (intellectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keterampilan intelektual bisa dilihat dari perwujudan seseorang dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya melakukan aksi demontrasi secara tertib dan damai dalam menganggapi kebijkaan pemerintahan yang dirasa kuarang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sedangkan keterampilan berpartisipasi dapat dilihat dari perwujudan seseorang dalam menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum dan pemerintahan.

Komponen ketiga, civic Disposition (watak-watak kewarganegaraan) yang merupakan komponen yang paling substantive dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi watak kewarganegaraan merupakan “muara” dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan demikian, mengacu kepada visi, misi, dan tujuan pendidikan kewarganeagraan, dimensi ini lebih mendapat penekanan karena akan berengaruh terhadap pembetukan watak, sikap, karakter dan potensi afektif lainnya.

F. Hakikat Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan

merupakan program pendidikan yang berupaya memanusiakan manusia. Hal ini seperti dikemukakan Djahiri (2006:9) bahwa:

PKN merupakan program pendidikan/pembelajaran yang secara programatik-prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (civilizing) serta memberdayakan peserta didik/siswa (diri dan kehidupannya) supaya menjadi warga negara yang baik sebagaimana

tuntutan keharussan/yuridis konstitusional bangsa/negara yang bersangkutan.

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran penting dalam membentuk warga negara Indonesia yang baik dan cerdas. Hal tersebut dapat terwujud apabila dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, siswa dibekali pengetahuan untuk menjadi warga negara yang melek politik dan hukum serta dilatih untuk menciptakan suasana kehidupan yang demokratis serta mencerminkan kehidupan warga negara Indonesia yang melek politik dan hukum (Djahiri, 2006:10).

Berdasarkan pendapat

tersebut,

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Djahiri (2005:2) menyatakan bahwa proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan proses kegiatan belajar siswa yang direkayasa oleh seluruh komponen belajar yang meliputi guru, materi, metoda, media, sumber dan evaluasi pembelajaran.

Dengan kata lain, proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat dimaknai sebagai proses interaksi antara siswa dan guru dalam mengoperasionalisasikan materi, metode, media, sumber dan evaluasi pembelajaran.

1) Materi Pembelajaran Kosasih Djahiri (1979) pernah menegaskan bahwa materi PKn

hendaknya lebih menitikberatkan pada pembinaan watak, pemahaman dan penghayatan nilai dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, pembinaan siswa untuk melihat kenyataan, fokus belajar pada konsep yang benar menurut dan sesuai dengan Pancasila. Dengan demikian, penguasaan konsep dalam PKn memiliki kedudukan yang penting selain aspek afektif dan perilaku.

Materi PKn untuk lembaga persekolahan termasuk domain PKn sebagai program kurikuler. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, dimensi program ini bersifat formal, dasar (basic) dan krusial dalam pembentukan kompetensi dan karakter warga negara. Mengapa demikian? Karena sejak kanak-kanak setiap warga negara pada umumnya telah mulai diperkenalkan dengan kehidupan bernegara dan berorganisasi pada tingkat yang paling sederhana. Mereka diperkenalkan tentang sejumlah konsep yang terkait dengan kehidupan berkelompok, berorganisasi, bermasyarakat, bernegara dan berpemerintahan.

Demikian pula pada usia di sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah (SMP/SMA) bahkan pada tingkat Perguruan Tinggi (PT). Domain PKn sebagai program kurikuler dirancang dalam sejumlah dokumen kurikulum yang bersifat formal dan hasil pemikiran para ahli sesuai dengan tingkat usia dan jenjang sekolah yang semuanya diarahkan pada pembangunan karakter warga negara.