Peningkatan mutu flavor daging yang dihasilkan dari domba yang diberi gula dan insulin pascatransportasi dengan waktu pemulihan yang berbeda

(1)

INSULIN PASCATRANSPORTASI DENGAN WAKTU

PEMULIHAN YANG BERBEDA

ELIS DIHANSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

INSULIN PASCATRANSPORTASI DENGAN WAKTU

PEMULIHAN YANG BERBEDA

ELIS DIHANSIH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Terna k

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(3)

Hak cipta milik Elis Dihansih, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya


(4)

ELIS DIHANSIH. Peningkatan Mutu Flavor Daging yang Dihasilkan dari Domba yang Diberi Gula dan Insulin Pascatransportasi dengan Waktu Pemulihan yang Berbeda. Dibimbing oleh EDDIE GURNADI, C. HANNY WIJAYA dan RUDY PRIYANTO.

Suatu penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh pemberian gula dan insulin pada waktu pemulihan yang berbeda setelah transportasi terhadap mutu flavor daging domba. Penelitian ini menggunakan 54 domba lokal betina (umur 10-12 bulan) dengan bobot berkisar 14-17 kg. Penelitian dirancang menurut rancangan acak lengkap pola faktorial 2x3x3 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pemberian gula yang terdiri atas 2 level (0 dan 6 g/kg bb). Faktor kedua adalah insulin dengan 3 level (0, 0.3, dan 0.6 IU/kg bb). Faktor ketiga adalah lama waktu pemulihan dengan 3 level (2, 4 dan 6 jam sebelum pemotongan). Peubah yang diukur adalah senyawa nonvolatil (glukosa, fruktosa, ribosa, ADP, IMP, xantin dan hipoxantin), senyawa volatil dan mutu sensoris daging (rasa, aroma, keempukan, juiciness, warna). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian gula dan insulin pada domba pascatransportasi meningkatkan glukosa, fruktosa, ribosa, ADP, IMP dan hipoxantin pada daging mentah. Pada daging matang, perlakuan tersebut menghasilkan jenis senyawa volatil yang lebih banyak, meningkatkan rasa manis, asin, dan umami dan meningkatkan aroma meaty. Senyawa volatil flavor daging domba yang teridentifikasi sebagian besar adalah aldehida, hidrokarbon, dan alkohol, sebagian kecil dari keton, benzene, furan, sulfur, fenol, asam karboksilat, dan asam lemak hidroksilat. Analisis komponen utama terhadap rasa menunjukkan bahwa dengan menggunakan 1 komponen utama mampu mengungkapkan 93% dari total keragaman. Sementara pada kriteria aroma menyarankan 2 komponen utama (KU1 = 60.2%, KU2 = 18.8%). Biplot antara KU1 dan KU2 terhadap kriteria rasa dan aroma menunjukkan bahwa pemberian gula dengan atau tanpa insu lin dicirikan oleh intensitas rasa (manis, umami, asin, dan pahit) dan aroma (meaty dan muttony) yang paling tinggi. Hasil penilaian panelis terhadap kriteria rasa, aroma, keempukan, juiciness dan warna menunjukkan tingkat kesukaan yang sama yaitu agak suka. Hubungan antara senyawa nonvolatil dan deskripsi rasa serta senyawa volatil dan deskripsi aroma yang dicari dengan metode Partial Least Square menunjukkan hubungan yang erat. Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian gula dan insulin meningkatkan mutu flavor tetapi waktu pemulihan tidak berpengaruh terhadap mutu flavor.


(5)

ELIS DIHANSIH. Increasing Meat Flavor Quality of Lamb Supplemented with Sucrose and Injected with Insulin under Different Recovery Times Following Transportation. Under the direction of EDDIE GURNADI, C. HANNY WIJAYA, and RUDY PRIYANTO.

An experiment was conducted in order to study the influence of sucrose supplementation and insulin injection under different recovery times following transportation on the flavor quality of lamb. Fifty four female local lamb (10 to 12 months of age) with weight ranging from 14 to 17 kg were used in the experiment. The experimental lamb were assigned into a completely randomized design with a 2x3x3 factorial arrangement with 3 replic ations. The first factor was sucrose supplementation with 2 levels (0 and 6 g/kg body weight). The second factor was insulin injection after transportation with 3 levels (0, 0.3, and 0.6 IU). The third factor was the duration of recovery times with 3 levels (2, 4, and 6 h prior to slaughtering). Parameters measured were nonvolatile compounds (glucose, fructose, ribose, ATP, ADP, IMP, hypoxantin and xantin), volatile compounds and sensory quality of meat (taste, aroma, tenderness, juiciness and color). Sucrose Supplementation and insulin injection to lamb following transportation increased glucose, fructose, ribose, IMP, ADP, and hypoxantin contents of raw meat. In plainly cooked meat, the treatments resulted in more variety of volatile compounds and increased sweetness, saltiness, umami, as well as meaty aroma. Major volatile compounds of lamb flavor identified in the study were aldehydes, hydrocarbons, and alcohols whereas the compounds identified in small amount were keton, benzene, furan, sulphur, pheno l, carboxylic acid, and hydroxylic fatty acid. Principle Component Analysis on taste attributes recommended that using one Principle Component (PC) were able to reveal 93% of total variability whereas on aroma attributes, the principle component analysis recommended two PC (i.e. PC1 = 60.2%, PC2 = 18.8%). Biplotting between PC1 and PC2 against taste and aroma attributes indicated that supplementing sucrose with or without insulin was characterized by the highest intensity in taste attributes (sweet, umami, salty and bitter) and the highest intensity in aroma attributes (meaty, and muttony). Result of panel test on taste, aroma, tenderness, juiciness, and color criteria showed a similar hedonic level, i.e. fairly accepted. Relationship between nonvolatile compounds and taste descriptions as well as volatile compounds and aroma descriptions revealed with Partial least square method showed a high correlation. Supplementing sucrose and injecting insulin increased flavor quality while recovery times had no effect on flavor quality.


(6)

Pascatransportasi dengan Waktu Pemulihan yang Berbeda

Nama : Elis Dihansih

NRP : 985041

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi Ketua

Prof. Dr. C. Hanny Wijaya, M.Agr. Anggota

Dr. Ir. Rudy Priyanto Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Ternak

Dr. Nahrowi, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.


(7)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Tema yang dipilih pada penelitian ini ialah ”Peningkatan Mutu Flavor Daging yang Dihasilkan dari Domba yang Diberi Gula dan Insulin Pascatransportasi dengan Waktu Pemulihan yang Berbeda”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Rudy Priyanto dan Ibu Prof. Dr. C. Hanny Wijaya, M.Agr. selaku anggota komisi pembimbing, yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga selama pendidikan dan penelitian hingga penulisan disertasi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan dan staf Laboratorium Pascapanen Cimanggu Bogor, staf Laboratorium Kimia Instrumen Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas selama penulis melaksanakan penelitian, Bapak Nur, Bapak Lilik dan Bapak Udin yang telah membantu pelaksanaan di lapangan. Ucapan terima kasi h penulis sampaikan juga kepada Kepada Dr.Ir. Sri Hartati Candra Dewi, M.Si., Rheina, S.Pt., Udi, S.Pt., Adi, S.Pt., dan Anne, S.Pt. yang telah bersama -sama dalam penelitian ini, kepada Dr.Ir. Indiyah Wahyuni, M.Si., Dr.Ir. Harry Triely Uhi, M.Si., Ir. Dedy Rahmat, M.S., Ir. Rini, M.Si., Ir. Wini Nahraeni, M.Si., Ir. Arifah Rahayu, M.Si., Ir. Anggraeni, M.Si., Ir. Dede Kardaya, M.Si., Zen Fauzan, SP., Jaya Ismail, sahabat-sahabat yang selalu memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

Penulis persembahkan disertasi ini untuk Bapak dan Ibu, Nenek, Adik-adik, Suami dan Anak-Anak, yang selalu penuh kesabaran dan kasih sayang memberikan dukungan moril dan materiil selama penulis menjalani pendidikan sampai selesainya penulisan disertasi ini.

Semoga Allah SWT mencatat amal bakti tersebut sebagai salah satu ibadah, dan semoga disertasi ini dapat memberikan informasi baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di dunia peternakan dan bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Bogor, Januari 2006

Elis Dihansih


(8)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Mutu Flavor Daging yang Dihasilkan dari Domba yang Diberi Gula dan Insulin Pascatransportasi dengan Waktu Pemulihan yang Berbeda adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2006

Elis Dihansih NIP. 985041


(9)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 1 Mei 1963, sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Rochdi dan Sri Ningsih.

Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1995 penulis diterima di Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1998, mendapat kesempatan melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama dengan mendapatkan beasiswa dari Beasiswa Program Pascasarjana Dirjen Pendidikan Tinggi.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Djuanda Bogor, sejak tahun 1989 sampai sekarang.


(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. x

DAFTAR GAMBAR ………. xi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xii

PENDAHULUAN ………. 1

Latar Belakang ……….… 1

Tujuan Penelitian ………... 2

Hipotesis Penelitian ……… 3

Manfaat Penelitian ………. 3

TINJAUAN PUSTAKA ……….. 4

Domba ………..………. 4

Transportasi Ternak di Indonesia ……….……. 5

Stres Akibat Transportasi ……….…….. 6

Pengaruh Stres pada Flavor Daging Domba .………..……….. 7

Pemberian Gula dan Insulin setelah Transportasi ….……..………. 9

Flavor Daging Domba ……… 10

Glikogen dan Glukosa …….………... 21

Senyawa Fosfat Energi Tinggi ……… 22

BAHAN DAN METODE ………... 25

Waktu dan Tempat Penelitian ……… 25

Bahan Penelitian ……….. 25

Metode Penelitian ……… 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 34

Suhu Rektal dan Denyut Jantung ………..……….. 34

pH Daging ……….. 34

Senyawa Nonvolatil ……….. 36

Fosfat Energi Tinggi ………. 39

Intensitas Rasa dan Aroma Daging Domba ……….. 43

Komposisi Senyawa Volatil Daging Domba Matang ………. 48


(11)

PEMBAHASAN UMUM ……… 61

SIMPULAN DAN SARAN ……..……… 67


(12)

Halaman

1 Kontributor penting untuk flavor lamb/mutton ... 15

2 Konsentrasi asam lemak volatil dari lemak domba, sapi dan kambing ... 16

3 Atribut mutu dan standar untuk uji deskripsi kuantitatif ... 29

4 Suhu rektal dan denyut jantung domba sebelum dan setelah pengangkutan ... 34

5 Rataan nilai pH daging domba ... 35

6 Rataan kandungan glukosa daging domba mentah (mg/g) ... 36

7 Rataan kandungan fruktosa daging domba mentah (mg/g) ... 37

8 Rataan kandungan ribosa daging domba mentah (mg/g)... 38

9 Rataan kandungan fosfat energi tinggi daging domba mentah (µmol/g). 41

10 Rataan kandungan xantin daging domba mentah (µmol/g) ... 42

11 Rataan kandungan hipoxantin daging domba mentah (µmol/g) ... 43

12 Komposisi dan persentase relatif area senyawa aldehida ... 49

13 Komposisi dan persentase relatif area senyawa keton ... 50

14 Komposisi dan persentase relatif area senyawa hidrokarbon ... 50

15 Komposisi dan persentase relatif area senyawa alkohol ... 51

16 Komposisi dan persentase relatif area senyawa sulfur ... 51

17 Komposisi dan persentase relatif area senyawa benzen ... 52

18 Komposisi dan persentase relatif area senyawa furan ... 52

19 Komposisi dan persentase relatif area senyawa asam lemak ... 52

20 Rataan nilai hedonik terhadap rasa, aroma, juiceness keempukan dan warna pada daging domba ... 59

21 Rataan nilai skoring terhadap rasa, aroma, juiceness kempukan dan warna pada daging domba ……….………….. 60


(13)

Halaman 1 Jalur utama pembentukan aroma akibat pemanasan dalam

bahan pangan ... 18

2 Skema reaksi Maillard ... 20

3 Lintas katabolisme nukleotida ... 25

4 Grafik nilai intensitas rasa daging ... 44

5 Grafik nilai intensitas aroma daging ... 46

6 Grafik nilai deskripsi penerimaan umum daging domba ... 47

7 Biplot KU1 dan KU2 hasil analisis komponen utama rasa daging domba ... 53

8 Biplot KU1 dan KU2 hasil analisis komponen utama aroma daging domba ... 54

9 Biplot KU1 dan KU3 hasil analisis komponen utama aroma daging domba ... 55

10 Biplot KU1 dan KU2 hasil analisis komponen utama nonvolatil daging domba ... 56

11 Biplot KU1 dan KU2 alternatif 1 dari hasil analisis komponen utama terhadap senyawa volatil daging domba ... 57

12 Biplot KU1 dan KU2 alternatif 2 dari hasil analisis komponen utama terhadap senyawa volatil daging domba …………..………. 58

13 Plot X-loading weight dan Y-loading hasil analisis PLS-2 senyawa nonvolatil dengan deskripsi rasa …………..……….…. 63

14 Plot Skor hasil analisis PLS-2 dengan deskripsi rasa ………..…. 64

15 Plot X-loading weight dan Y-loading hasil analisis PLS-2 senyawa nonvolatil dengan deskripsi aroma .………...………. 65


(14)

Halaman 1 Format isian uji hedonik rasa, aroma dan

penerimaan umum daging domba ……….………..……… 75

2 Format isian uji skoring rasa, aroma dan

penerimaan umum daging domba ……… 76

3 Format uji deskripsi aroma, rasa dan penerimaan

umum daging domba ……….………. 76

4 Rataan hasil deskripsi rasa manis daging domba matang ………… 79

5 Rataan hasil deskripsi rasa asin daging domba matang …..……… 79

6 Rataan hasil deskripsi rasa umami daging domba matang ……… 80

7 Rataan hasil deskripsi rasa pahit daging domba matang ………… 80

8 Rataan hasil deskripsi meaty daging domba matang ……….. 81

9 Rataan hasil deskripsi aroma warmed-over,

muttony, dan fatty daging domba matang ……..……… 82

10 Rataan juiciness daging domba ……… 83

11 Rataan warna daging domba ……….……… 83

12 Rataan keempukan dan graininess daging domba ………..………. 84

13 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada fruktosa ………..………. 85

14 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada ribosa ………..………. 85

15 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada glukosa …………..……. 85

16 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada IMP ………..…………. 86

17 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada ATP ………..…………. 86

18 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada ADP ………..…………. 86

19 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada xantin ………..…………. 87

20 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada hipoksantin ………….. 87

21 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada rasa sweet ……….. 87


(15)

24 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada rasa umami ………….. 88

25 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada aroma meaty ………….. 89

26 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada aroma fatty ……….. 89

27 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada aroma warm over ……… 89

28 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada aroma muttony ……… 90

29 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada warna ………. 90

30 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada juiceness ………. 90

31 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada keempukkan ………….. 91

32 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada graininess ……..……….. 91

33 Komposisi dan persentase relatif area

senyawa volatil daging domba ……….. 92

34 Kromatogram ion total volatil daging dari domba

dengan perlakuan gula 0 g/kg bb, insulin 0 IU/kg bb ……….. 94

35 Kromatogram ion total volatil daging dari domba

dengan perlakuan gula 6 g/kg bb, insulin 0 IU/kg bb ……….. 95

36 Kromatogram ion total volatil daging dari domba

dengan perlakuan gula 6 g/kg bb, insulin 0,3 IU/kg bb …………... 96

37 Kromatogram ion total volatil daging dari domba

dengan perlakuan gula 6 g/kg bb, insulin 0,6 IU/kg bb …………... 97

38 Grafik koefisien regresi antara senyawa nonvolatil

dan deskripsi rasa ………..……….

39 Grafik koefisien regresi antara senyawa volatil

dan deskripsi aroma muttony ……….……… 99

40 Grafik koefisien regresi antara senyawa volatil

dan deskripsi aroma fatty ……… 100


(16)

Latar Belakang

Pemindahan ternak dari lokasi peternakan menuju Tempat Pemotongan Hewan (RPH) merupakan fase penting dari produksi daging yang dapat berpengaruh besar pada kualitas daging. Proses pemindahan tersebut mencakup lama dan kondisi tr ansportasi, iklim mikro dalam angkutan, kekurangan pakan dan minum serta pembauran dengan ternak lain. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan stres pada ternak, baik fisik maupun psikologis. Stres fisik akan menyebabkan pengurasan glikogen dalam otot sedangkan stres psikologis mengakibatkan peningkatan kerja syaraf simpatis dan pelepasan adrenalin.

Pengurasan glikogen selama stres akan mengakibatkan kandungan glikogen daging rendah. Akibatnya pada waktu postmortem asam laktat yang dihasilkan sedikit sehingga pH akhir daging akan tetap tinggi. Penyimpangan pH ini akan mempengaruhi kualitas daging termasuk eating qualitynya.

Atribut tunggal eating quality yang membuat daging disukai oleh manusia adalah flavor lezatnya daging masak yang tidak hanya khas namun sulit untuk ditiru. Pada daging domba, flavor menjadi gambaran penentu bagi penerimaan atau penolakan konsumen pada daging tanpa memperlihatkan keempukan, warna dan atribut lainnya. Flavor daging masak merupakan gabungan dari senyawa nonvolatil yang bersifat penentu rasa, senyawa volatil yang menimbulkan sifat aroma dan penguat atau penyelaras. Flavor daging secara alami terbentuk melalui sistim prekursor dengan adanya pemanasan. Perkembangan flavor ini terjadi selama pemanasan daging yang sebagian besar dihasilkan oleh reaksi Maillard di mana gula reduksi, asam amino dan peningkat flavor seperti inosin monofosfat bereaksi bersama -sama menghasilkan flavor daging.

Pada daging yang mempunyai pH akhir tinggi, level karbohidrat dalam daging rendah akibat terkurasnya glikogen otot. Dengan demikian interaksi yang terjadi antara senyawa nonvolatil hanya sedikit, sehingga menurunkan intensitas rasa. Selain itu level ATP yang rendah akan menghasilkan IMP dan hipoksantin yang rendah pula. Dengan demikian intensitas rasa pun akan rendah karena IMP dan hipoksantin berfungsi sebagai peningkat flavor (Flavor Enhacer/Flavor


(17)

potentiator) sehingga rasa lezat daging akan berkurang. Disamping itu akibat dari reaksi senyawa nonvolatil yang bertindak sebagai prekursor rendah maka senyawa volatil yang dihasilkan sedikit, sehingga intensitas aroma menjadi rendah.

Kadar glikogen otot yang rendah dari ternak yang kelelahan dapat meningkat selama periode istirahat di RPH, namun memerlukan wa ktu yang lama, pada umumnya 24 sampai 48 jam bergantung pada tingkat stresnya. Pemberian pakan seperti rumput dan air minum tidak tampak berpengaruh besar karena ternak tersebut belum tentu dapat tenang dan mau makan dengan baik. Selain itu pihak RPH sering tidak dapat mengistirahatkan ternaknya terla lu lama akibat kandang yang tidak mencukupi atau mendesaknya permintaan konsumen.

Salah satu upaya untuk mempercepat waktu pemulihan adalah dengan pemberian pakan energi tinggi yang cepat diserap seperti molases atau gula (baik dalam bentuk glukosa maupun sukrosa). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian gula akan berpengaruh pada bobot hidup, persentase karkas, mengurangi susut karkas dan pengembangan warna. Namun hal ini belum berpengaruh pada level glukosa darah dan pH akhir daging. Diduga karena ternak ruminansia mempunyai sifat yang lamban dalam proses penyerapan glukosa dari aliran darah oleh sel-sel otot. Dengan demikian untuk hasil yang lebih optimal pemberian gula dikombinasikan dengan pemberian insulin. Sesuai dengan fungsinya diharapkan insulin akan meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel-sel otot.

Berdasarkan pemikiran di atas maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian gula dan insulin pada domba pascatransportasi dengan waktu pemulihan yang berbeda pada peningkatan mutu flavor.

Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Pengaruh pemberian gula, insulin dan waktu pemulihan pada domba

pascatransportasi pada peningkatan mutu flavor daging yang dihasilkan

2. Pengaruh pemberian gula, insulin dan waktu pemulihan pada domba


(18)

Hipotesis Penelitian

1. Pemberian gula, insulin dan waktu pemulihan pada domba pascatransportasi

akan meningkatkan mutu flavor daging yang dihasilkan

2. Pemberian gula, insulin dan waktu pemu lihan pada domba pascatransportasi

akan berpengaruh pada kesukaan dan penerimaan konsumen

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi perusahaan ternak potong dan produsen daging dalam penanganan ternak sebelum pemotongan sehingga dapat meningkatkan kualitas daging khususnya flavor daging yang disukai konsumen.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Domba

Pada umumnya domba di Indonesia berekor tipis (Thin-tailed), tetapi ada pula yang berekor gemuk (Fat-tailed) seperti domba Donggala atau domba yang berada di Jawa Timur. Ternak ini tersebar luas serta sangat beragam. Dari populasi domba di Indonesia hampir 90% tersebar di Pulau Jawa, Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang mempunyai populasi paling besar yaitu 55.14% dari seluruh populasi domba di Pulau Jawa. Dari Populasi yang ada di Jawa Barat diperkirakan 80 sampai 85% adalah domba tipe ekor tipis, termasuk bangsa lokal dan sisanya bangsa domba Garut (Devendra dan Mc Leroy 1992).

Karakteristik domba lokal di antaranya bertubuh kecil, lambat dewasa, tidak seragam, berbulu kasar dan hasil daging relatif sedikit. Sifat lain domba lokal tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam di sekitar mata, hidung atau bagian lainnya (Murtidjo 1993). Panjang telinga sedang dan posisinya horisontal (Devendra dan Mc Leroy 1992). Domba jantan memiliki tanduk sedangkan betina tidak (Gatenby 1995). Tinggi badan betina dewasa sekitar 57 cm dan jantan dewasa 60 cm dengan bobot badan masing-masing 20 sampai 25 kg dan 40 sampai 60 kg (Devendra dan Mc Leroy 1992).

Domba Jawa ekor tipis pada daerah dataran tinggi mempunyai bobot badan dewasa lebih berat sekitar 27 kg dibandingkan di daerah dataran rendah sekitar 16 kg (Gatenby 1995). Bobot lahir dan bobot sapih domba Jawa ekor tipis pada kelahiran tunggal masing-masing 2.64 kg dan 10 kg sedangkan pada kelahiran lebih dari satu masing-masing 1.68 kg dan 7.60 kg (Tiesnamurti 1992).

Domba Jawa ekor tipis betina tidak menghasilkan sejumlah besar anak dalam kurun waktu yang pendek. Jumlah anak kembar dua dan kembar tiga setiap kelahiran biasa ditemukan (Gatenby 1995). Namun masih lebih sedikit dibandingkan domba Donggala dan domba Jawa ekor gemuk dan Garut (Devendra dan Mc Leroy 1992).

Daging domba mempunyai serat yang lebih halus dari pada sapi dan kerbau, lebih empuk dan mempunyai rasa dan aroma yang khusus sehingga digemari di beberapa negara termasuk Indonesia. Sebaliknya di negara-negara maju daging domba kurang disukai, bahkan di Amerika menduduki ranking paling akhir setelah daging sapi, ayam, ikan, babi, kalkun, dan veal (Duckett and Kuber 2001).


(20)

Keuntungan lain daging domba tidak ditabukan dalam masyarakat dan tidak diharamkan dalam ajaran agama tertentu. Secara ekonomi harga daging domba lebih murah dari pada daging sapi.

Transportasi Ternak di Indonesia

Usaha ternak potong dalam perkembangannya tidak lepas dari beberapa fasilitas, salah satu dari fasilitas itu adalah transportasi yang memegang peranan penting dalam suatu usaha peternakan. Transportasi sangat erat hubungannya dengan pengadaan pakan dan pemasaran dalam proses produksi. Hasil dari proses produksi ternak potong pada umumnya dipasarkan dalam bentuk ternak hidup.

Usaha peternakan di Indonesia tidak merata untuk setiap daerah, bergantung dari kondisi alam dan tersedianya lahan, sehingga ada daerah yang surplus dan daerah yang minus. Daerah yang surplus ternak atau daerah produsen umumnya jauh dari daerah konsumen (daerah minus ternak). Oleh karena itu, transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memasarkan hasil usaha peternakan dari daerah produsen ke daerah konsumen. RPH PD Dharma Jaya DKI Jakarta mendatangkan sapi potong dari daerah Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kupang, dan Kalimantan (Candra 2002). RPH Bogor mendatangkan sapi dari daerah Pati, Pekalongan, Madiun, dan Lampung, sedangkan domba, kambing dan babi dari daerah sekitar Cianjur dan Bogor (Harmiyadi 2000). RPH Tasikmalaya mendatangkan sapi dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Supriyadi 2003).

Alat transportasi yang digunakan di Indonesia antara lain menggunakan kapal laut, kerta api, dan truk (Adoe 1981). Ternak potong yang berasal dari luar Pulau Jawa menggunakan kapal laut dan transportasi darat menggunakan kereta api atau truk. Lasmi (1988) menyebutkan bahwa transportasi sapi potong dari Kabupaten Lamongan ke Jakarta sebanyak 97.26% menggunakan truk yaitu truk tronton, dan truk gandeng. Truk tronton dapat mengangkut 18 sampai 19 ekor sapi, dan truk gandeng memuat lebih banyak yaitu sampai 33 sampai 34 ekor sapi. Ternak yang diangkut dari tempat yang dekat pada umumnya menggunakan truk engkel yang dapat mengangkut 6 sampai 10 ekor sapi.

Ternak yang berada di dalam truk atau gerbong kerta api dimuat dalam posisi berdiri dengan jarak antar individu yang rapat. Keadaan ternak yang berdiri selama transportasi dapat menyebabkan luka memar, stres, maupun penyusutan


(21)

bobot badan (Lasmi 1988). Kepadatan yang dianjurkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan (1997) adalah 0.16 m2 / ekor untuk domba dengan bobot badan 20 kg. Menurut Cockram et al. (1996) untuk lama perjalanan lebih dari 3 jam sebaiknya kepadatan seluas 0.27 m2 / ekor untuk domba dengan bobot badan 35 kg. Hal ini sejalan dengan pendapat Knowles et al. (1995) untuk domba dengan bobot badan 38 kg, dan lama transpor tasi 24 jam, kepadatan seluas 0.29 m2/ ekor.

Stres Akibat Transportasi

Faktor yang paling umum mengakibatkan stres adalah transportasi yaitu waktu pengangkutan dari lokasi peternakan ke RPH. Stres transpor ini diakibatkan gabungan dari lelah di perjalanan, pembauran dengan ternak baru, cuaca yang buruk (mikro klimat) serta kekurangan pakan, dan minuman. Hal tersebut dapat berupa stres psikologis, fisiologis, dan fisik (Shorthose, dan Whytes 1988).

Stres didefinisikan sebagai suatu respons yang spesifik dari tubuh ternak terhadap setiap permintaan yang terjadi. Respons terhadap stres berbeda di antara spesies dan di antara individu ternak pada spesies yang sama, bergantung pada kemampuan ternak dalam mengatasi stres, dan mekanisme mempertahankan homeostasis. Pada umumnya stres akan menimbulkan dua fase reaksi untuk mempertahankan kondisi homeostasisnya yaitu fase reaksi kejutan dan fase reaksi balik dan melibatkan 2 sistem neuro-hormonal yaitu hipotalamus-pituitari-adrenal, dan hipotalamus-pituitari-tiroid (Buckle 1983). Stres menstimuli sistem saraf, dan menyebabkan pembebasan adrenalin dari medula kelenjar adrenal dalam waktu singkat, kemudian kortikoid dari korteks adrenal, dan hormon tiroksin dari kelenjar tiroid.

Adrenalin membantu memecah glikogen yang tersimpan dalam hati, dan urat daging, juga lemak yang disimpan dalam berbagai jaringan dalam tubuh. Adrenalin, dan noradrenalin juga membantu mengatur sirkulasi darah yang baik melalui pengaruhnya pada jantung, dan pembuluh darah. Kortikoid berfungsi memban tu glukoneogenesis, dan proteolisis, sedangkan hormon tiroid berfungsi meningkatkan metabolisme.

Konsekuensi -konsekuensi dari cekaman, dan penyesuaian metabolik yang terkait akan mengakibatkan peningkatan kontraksi otot. Selama kontraksi otot yang intensif, sistem sirkulasi tidak dapat membawa oksigen, dan glukosa ke otot


(22)

dengan kecepatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan otot yang tinggi untuk sintesis ATP (Aberle et al. 2001; Lehninger 1994). Dalam hal ini, glikogen otot dipergunakan sebagai bahan bakar cadangan, dan dengan cepat diuraikan melalui glikolisis untuk membentuk laktat, dan menghasilkan ATP, yang merupakan sumber energi bagi kontraksi otot.

Pada keadaan pasokan oksigen tidak mencukupi, ion hidrogen yang dilepaskan dalam glikolisis, dan siklus asam trikarboksilat tidak dapat bergabung dengan oksigen dengan kecepatan yang cukup. Dengan demikian, ion hidrogen cenderung berakumulasi dalam otot. Kelebihan hidrogen ini kemudian digunakan untuk mengonversi asam piruvat menjadi asam laktat yang memberi peluang bagi glikolisis untuk berlangsung pada kecepatan tinggi. Setiap glukosa menghasilkan 3 molekul ATP dalam glikolisis, sehingga metabolisme anaerob dapat memasok energi untuk otot (Aberle et al. 2001).

Defisiensi glikogen otot pada ternak menyebabkan pnurunan laju glikolisis setelah kematian sehingga akan mengakibatkan daging mempunyai pH di atas 6.00, dan warna daging gelap (dark), keras (firm) serta berpenampakan kering (dry), bisa juga menyebabkan daging menjadi berwarna pucat, lembek, dan basah yang disebut PSE (pale, soft, exudative). Pada kondisi DFD (dark, firm, dan dry) terjadi mobilisasi glikogen otot sedangkan pada kondisi PSE, sistem peredaran tidak mampu mentransformasikan timbunan asam laktat dari otot sehingga ternak tidak mampu mempertahankan kondisi fisiologis (Judge 1989). Kemudahan terkena stres merupakan faktor yang menentukan kondisi ternak, dan status glikogen (Lawrie 1995).

Pengaruh Stres pada Flavor Daging Domba

Flavor merupakan kualitas yang khas pada daging yang ditentukan ole h faktor-faktor prapemotongan, kondisi penyimpanan dan penanganan pascapemotongan. Faktor-faktor prapemotongan mencakup spesies, umur, jenis kelamin, bangsa, ransum, dan penanganan ternak (Ford dan Park 1980). Salah satu penanganan ternak yang akan mengakibatkan stres adalah waktu pengangkutan dari lokasi peternakan ke RPH. Stres bisa diakibatkan oleh lelah perjalanan, pembauran dengan ternak baru, cuaca yang buruk (mikroklimat) serta kekurangan pakan, dan minum.

Setelah pemotongan, ATP digunakan untuk mempertahankan integritas sel dan dihasilkan oleh glikolisis anaerob yang memproduksi asam laktat dari


(23)

glikogen. Stres sesaat sebelum pemotongan dapat menyebabkan produksi asam laktat lebih sedikit sehingga pH akhir lebih tinggi. Daging sapi dengan pH di atas 6,6 penampakannya lebih gelap dari pada daging normal, dan dikenal sebagai daging Dark Firm Dry atau Cutting Meat.

Daging sapi yang mempunyai pH akhir tinggi menghasilkan intensitas dan, akseptabilitas flavor yang lebih rendah (Bouton et al. 1957). Flavor otot longissimus dorsi yang dibakar cenderung menjadi tidak disukai dengan peningkatan pH pada daging sapi jantan kebiri, tetapi tidak tampak pada daging sapi jantan. Pada umumnya intensitas daging menurun dengan peningkatan pH akhir bersamaan dengan peni ngkatan aroma nonmeaty.

Ford dan Park (1980) meneliti volatil flavor daging dari daging sapi dan, domba muda yang dimasak dari otot-otot yang mempunyai pH akhir tinggi (6,0 sampai 7,0), perubahan kasar ditemukan pada komposisi kualitatif dan, kuantitatif dari fraksi volatil flavor seperti peningkatan trimetil amin, ammonia, dan, collidin.

Lawrie (1995) menyatakan bahwa flavor yang lebih rendah mungkin hasil dari struktur yang mengembang dari daging sapi yang mempunyai pH tinggi sehingga mengganggu akses dari cita rasa terhadap bahan-bahan flavor. Otot-otot yang mempunyai pH normal memiliki lebih banyak garam bebas yang tersedia untuk rasa daripada yang mempunyai pH tinggi, di samping itu volatil-volatil uap dari daging domba, dan daging sapi pada pH 6.0 berbeda dari pH 5.5 sampai 5.8.

Flavor yang lemah juga diakibatkan oleh level karbohidrat yang rendah pada daging yang mempunyai pH akhir tinggi sehingga menghasilkan sedikit interaksi dengan asam amino atau protein. Pada daging pH normal interaksi ini paling bertanggung jawab terhadap berkembangnya flavor (Lawrie 1995).

Kandungan gula daging sapi yang mempunyai pH 5.58 adalah 0.18% sedangkan pH 5.68 adalah 0.11% dan pH 6.53 hanya mengandung 0.03%. Hal ini memperlihatkan bahwa pada sapi dengan pH akhir tinggi selain cadangan glikogen rendah, level gula yang tereduksi juga rendah.

Selain itu level ATP yang rendah akan menghasilkan IMP dan hipoksantin yang rendah pula. Dengan demikian intensitas flavor pun akan rendah karena IMP dan hipoksantin berfungsi sebagai peningkat flavor (Flavor Enhacer/Flavor potentiator) sehingga rasa lezat daging akan berkurang (Aberle et al. 2001).


(24)

Pemberian Gula dan Insulin setelah Transportasi

Perlakuan prapotong pada sapi mencakup beragam rangsangan (seperti pemuasaan, pengangkutan, pembauran dengan ternak asing) akan menimbulkan stres, yang akhirnya dapat memengaruhi kualitas daging. Pada sapi yang mengalami stres terjadi keragaman dalam komponen darah. Level insulin dalam darah menurun selama stres agar level glukosa darah tetap stabil, sementara peningkatan level katekolamin secara langsung akan menyebabkan pengurasan glikogen otot (Eichinger et al. 1991).

Kadar glikogen otot yang rendah pada sapi yang kelelahan dapat meningkat selama periode istirahat di RPH namun memerlukan waktu yang lama. Pemberian pakan (seperti rumput dan air minum) tidak tampak berpengaruh besar pada pH akhir.

Sapi yang dikenai stres pembauran selama 6 jam mempunyai kandungan glikogen 41 ± 8.2 µmol/g bobot jaringan basah turun sampai 41% dari sapi yang tidak dikenai stres (100 ± 3.7 µmol/g) selama 18 jam hari pertama periode pemulihan konsentrasi glikogen sedikit meningkat sampai 45% dari nilai untuk sapi tanpa stres. Peningkatan berikutnya adalah 70% pada hari kedua, 75% pada hari keempat, dan 90% padahari ketujuh. Rataan laju pemulihan glikogen selama 7 hari pertama periode pemulihan adalah 6.6 µmol/g/h (Mc Veigh dan Tarrant 1981).

Monim (1980) menyatakan pengurasan cadangan glikogen otot pada domba dengan memberikan adrenalin dan teramati laju pemulihan se besar 19 µmol/g/hari. Hasil-hasil tersebut memperlihatkan bahwa perombakan besar-besaran glikogen otot terjadi selama periode stres dan nilai pemulihannya termasuk suatu proses yang lamban. Hal ini terjadi akibat konsentrasi gula darah dan aktivitas insuli n yang lebih rendah pada ruminansia daripada nonruminansia.

Beberapa upaya telah dilakukan dalam mempercepat pemulihan glikogen yaitu dengan senyawa gula tinggi (molase) pada pakan atau sebagai minuman sebelum atau selama pemasaran. Perbaikan-perbaikan yang dihasilkan dalam kualitas daging dilaporkan dalam penelitian ini, terutama apabila perlakuan melebihi 48 jam. Pada penelitian ini dilaporkan glukosa murni diberikan langsung dalam larutan selama periode 18 sampai 20 jam pengurungan, sapi jantan yang diberi larutan glukosa 5% mengkonsumsi cairan lebih banyak (19 l) dari pada yang diberi larutan elektrolit (12.0 l) dan air (17.4 l). Namun demikian pemberian glukosa ini tidak cukup baik memengaruhi pH akhir, tetapi berpengaruh pada


(25)

warna dan mengurangi jumlah penyusutan karkas sampai 3% (Schaefer et al. 1990).

Shorthose dan Wythes (1988) melaporkan bahwa pemberian sukrosa sebanyak 5.4 g/kg bb pada 30 jam sebelum dipotong dapat meningkatkan persentase karkas dan bobot potong, tetapi tidak memengaruhi nilai pH akhir, sedangkan Priyodarsono (1990) melaporkan bahwa pemberian gula sebelum pengangkutan pada sapi Bali sebanyak 4 g/kg bb tidak berpengaruh pada bobot karkas dan pH akhir.

Domba sebagai ternak ruminansia mempunyai laju pemulihan glikogen yang lamban. Insulin berperan sebagai perangsang penyerapan glukosa melewati dinding sel. Insulin dalam hal ini juga berperan dalam meningkatkan enzim fosfofruktokinase karena insulin mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pembentukkan ADP dan AMP. Glikogenesis pada otot bergantung pada kecukupan pasokan prekursor glikogen, glukosa-6-P yang merupakan sumber glukosa darah. Tarrant dan Lacourt (1984) menyatakan bahwa pengaruh injeksi dexamethasone sebelum stres, injeksi 3 ml insulin yang disertai pemberian glukosa pada sapi jantan setelah dikenai stres menyebabkan hiperglikemia, namun tidak mengurangi hilangnya glikogen otot selama stres dan tidak mengganggu laju atau besarnya penimbunan glikogen selama periode pemulihan setelah stres.

Flavor Daging Domba

Flavor daging adalah hasil sensasi yang muncul dari dua respons yang berbeda, rasa dan aroma, serta kontribusi yang kurang dapat dipastikan dari daerah yang peka tekanan dan peka panas dari mulut.

Banyak respons fisiologis dan psikologis yang dialami ketika makan daging dikaitkan dengan flavor dari produk. Flavor daging merangsang aliran saliva dan getah lambung, sehingga membantu proses pencernaan. Sensasi aroma dan flavor yang dihasilkan timbul dari gabungan faktor-faktor yang sulit untuk dipilah-pilah. Secara fisiologis, persepsi terhadap rasa melibatkan 4 sensasi dasar (pahit, manis, asam, asin) oleh saraf-saraf yang bermuara pada sepanjang saluran hidung. Total sensasi adalah gabungan dari rangsangan gustatori (rasa) dan olfaktori (penciuman) (Aberle et al. 2001). Orang Jepang mengenal klasifikasi taste yang kelima (umami) yang menerangkan kualitas lezat dari


(26)

monosodium glutamat (Maga 1994) subtansi ini bersifat untuk meningkatkan intensitas flavor.

Flavor daging secara alami terbentuk melalui sistim prekursor dengan adany a pemanasan. Selama pemanasan terjadi reaksi kimia sehingga terbentuk berbagai senyawa sekunder dan tersier yang berinteraksi lebih lanjut sehingga terbentuk senyawa -senyawa volatil pembentuk flavor daging (Mottram 1991).

Flavor daging domba merupakan suatu yang menarik karena aroma dari daging domba muda (lamb) atau dewasa (mutton) dapat dibedakan dan berbeda dari aroma daging lainnya. Pada kenyataannya, odor yang berbeda merupakan salah satu alasan bahwa konsumsi lamb kurang dibandingkan dengan daging dari ternak lain.

Umumnya, flavor daging masak adalah akibat campuran dari campuran senyawa, mencakup (1) senyawa nonvolatil atau senyawa larut air yang bersifat taste-tactile, (2) potentiator dan sinergist (penguat dan penyelaras), dan (3) volatil yang menimbulkan sifat odor (MacLeod dan Seyyedain-Ardebili 1981).

Senyawa Nonvolatil

Rasa yang terpenting dalam daging adalah asin, manis, pahit, asam, dan umami. Rasa manis dihubungkan dengan glukosa, fruktosa, ribosa dan beberapa asam amino, seperti glisin, alanin, serin, threonin, lysin, cistein, metionin,

aspargin, glutamin, prolin dan hidroksi prolin. Rasa asam berasal dari asam aspartat, asam glutamat, histidin, dan asparagin bersama-sama dengan suksinat, laktat, inosinat. Rasa asin sebagian besar karena adanya garam-garam

anorganik dan garam-garam sodium dari glutamat dan aspartat. Sedangkan rasa pahit berasal dari hipoksantin, bersama-sama dengan anserin, carnosin, dan beberapa peptida dan juga histidin, arginin, lysin, metionin, valin, leusin,

isoleusin, phenylalanin, tryptophan, tyrosin, asparagin dan glutamin. Rasa umami diberikan oleh asam glutamat, monosodium glutamat (MSG), inosin monofosfat (IMP), guanosin monofosfat (GMP), dan peptida-peptida tertentu (Macleod 1994).

Sebagian besar asam amino menyumb angkan rasa manis dan atau pahit; sedikit rasa asam, sedangkan garam natrium dari asam glutamat dan aspartat memberikan rasa asin (Kirimura et al.1969).

Banyak peptida yang berkaitan dengan rasa pahit disebabkan oleh aksi hidrofobi dari rantai sisi asam amino (Ney 1979). Komponen lainnya dari daging yang memiliki sifat rasa asli meliputi: asam inosinat, asam suksinat, asam laktat,


(27)

asam ortofosforat, dan asam pirolidin karboksilat (Van den Ouweland et al. 1975; MacLeod et al. 1980).

Beberapa peptida meningkatkan seluruh intensitas rasa, meningkatkan mouthfulness dan mildness, dan meningkatkan palatabilitas. Sejauh ini, senyawa ekstraktif yang paling berlimpah dari otot adalah kreatin fosfat, yang terdiri atas sekitar 0.5% dari otot segar (Mabrouk 1976). Anserin, arginin, lisin, dan histidin memiliki pengaruh yang konsisten dalam mulut (Mabrouk 1976).

Prekursor. Prekursor pada spesies ternak yang berbeda adalah sama walaupun flavor dari spesies berbeda memiliki ciri tersendiri. Fraksi lemak pada daging sapi, babi dan domba secara kualitatif dan kuantitatif berbeda dalam hal komposisi asam lemaknya, sedangkan kandungan asam amino dan karbohidrat pada lean relatif sama. Dengan demikian pemanasan ekstrak lean menghasilkan flavor daging dasar dari berbagai spesies, sedangkan jaringan lemak bertanggung jawab terhadap pembentukkan flavor khas untuk setiap spesies ternak.

Jaringan daging terutama terdiri atas air, protein, lemak dan karbohidrat, sedikit senyawa yang mengandung nitrogen bukan protein, mineral, vitamin, dan senyawa organik lainnya. Pada pemanasan, komponen-komponen tersebut bereaksi untuk menghasilkan campuran volatil kompleks yang menjadi karakteristik dari flavor daging.

Protein dan asam amino. Pemanasan protein dan asam amino berperan sebagai sumber ammonia bebas. Selain itu, asam amino yang mengandung sulfur, dan protein yang mengandung asam amino ini merupakan prekursor dari hidrogen sulfida. Hidrogen sulfida merupakan senyawaan sulfur satu-satunya yang teridentifikasi pada semua penelitian dan pada semua spesies daging. Pelepasan hidrogen sulfida meningkat dengan waktu dan temperatur pemanasan, diduga sebagai akibat dari denatursi protein dan reduksi ikatan –S-S menjadi –SH. Thiamine juga teridentifikasi sebagai prekursor hidrogen sulfida yang potensial (Arnold et al. 1969).

Karbohidrat. Karbohidrat dengan cepat mengalami modifikasi enzimatis setelah pemotongan. Glukosa, fruktosa, ribose, glukosa 6 fosfat dan fruktosa 1.6-difosfat teridentifikasi dalam ekstrak cair jaringan daging (Jarboe dan Mabrouk 1974). Karbohidrat mudah dirombak selama pemanasan, membentuk senyawa -senyawa yang terdapat dalam fraksi aroma volatil atau yang bereaksi dengan komposisi lainnya dari daging yang dipanasi membentuk kelas


(28)

senyawaan volatil lainnya. Glukosa mengalami perubahan 42.4%, fruktosa relatif stabil sedangkan ribosa hampir 100% (Macy et. al. 1964).

Asam Laktat. Asam laktat merupakan produk utama dari degradasi enzimatik postmortem dari glukosa dan glikogen dan memengaruhi pH jaringan. Modifikasi pH dapat memengaruhi reaksi kimia yang terjadi selama pemanasan.

Lemak. Lemak terdapat dalam jaringan sebagai trigliserida, glikolipid, fosfolipid dan lipoprotein. Autooksidasi termal dapat berlangsung pada temperatur serendah-rendahnya 60ºC. Lakton, keton, alkohol, dan asam lemak berbobot molekul lebih rendah merupakan produk dari autooksidasi lemak. Oksidasi asam lemak tak jenuh, terutama C18, dimulai dengan pembentukan

hidrogen peroksida yang pecah menjadi 2-one, alkohol, 2-enol, dan alk-2.4-dienal.

Secara umum komponen prekursor daging dibagi menjadi 15 kelas (1) gula peptida, (2) asam-asam nukleat, (3) nukleotida bebas, (4) nukleotida yang terikat dengan peptida, (5) gula-gula nukleotida, (6) nukleotida sugaramin, (7) nukleotida asetilsugaramin, (8) nukleotida, (9) peptida, (10) asam amino bebas, (11) gula bebas, (12) gula fosfat, (13) sugaramin, (14) amin, (15) asam-asam organik (Mabrouk et al. 1967).

Lebih lanjut Mabrouk et al. (1967) menentukan bahwa senyawa asam amino bebas dalam daging sapi, babi, dan domba adalah sama, namun pH-nya berbeda antarspesies, juga perbedaan kuantitatif terjadi pada asam amino asam, asam amino basa, dan asam amino bersulfur, dapat menjelaskan dengan baik tentang keragaman dalam volatil flavor yang berkontribusi pada perbedaan flavor seluruh spesies.

Alabran (1982) menggunakan resonansi magnetik nuklir dan spektroskop inframerah, menentukan beberapa prekursor flavor lainnya dari fraksi daging sapi yang diperoleh dengan ekstraksi air dari daging sapi bebas lemak yang dikering-bekukan: asam glutamat, asam laktat, fosfoetanolamin, gliserol, kreatin, dan kreatinin. Senyawa tersebut mewakili 94% dari fraksi daging tersebut.

Senyawa Volatil Daging Domba

Senyawa volatil menimbulkan beragam perbedaan sensasi odor. Senyawa ini terutama berasal dari karbohidrat, lemak, dan protein dan dengan sedikit kekecualian adalah sama pada semua daging.


(29)

Min et al. (1979), pada penelitiannya khusus tentang aroma roast beef, melaporkan bahwa fraksi asam memiliki odor yang lemah, tidak disukai, dan asam. Fraksi basa memiliki odor tanah (earthy), bakar (roasted), sementara fraksi netral satu-satunya yang memberikan aroma seperti daging sapi yang menyenangkan. Senyawa hidrokarbon, alkilbenzen, dan karbonil dalam fraksi ini dipandang kurang penting dari pada lakton , furanoid, dan senyawa mengandung sulfur. Beragam senyawa heterosiklik tampak menjadi sangat penting pada flavor daging, bahkan meski senyawa tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (Ohloff dan Flament 1978; MacLeod dan Seyyedain-Ardebilli 1981).

Fraksi Netral Volatil Daging Domba Matang

Pemanasan lemak lamb dan pengendapan total volatil pada suhu nitrogen cair menghasilkan larutan dengan aroma mutton yang sangat kuat. Penghilangan senyawa karbonil seperti 2.4-dinitrofenilhidrazon menyebabkan hilangnya odor mutton. Berdasarkan hasil tersebut, Hornstein dan Crowe (1963) mengusulkan bahwa paling tidak secara alami proporsi tertinggi dari aroma mutton adalah karbonil.

Jacobson dan Kohler (1963) juga menganalisis fraksi netral dari volatil yang diko leksi dari tetesan air daging lamb. Mereka mengidentifikasi beberapa karbonil jenuh, termasuk 2- sampai 10-karbon n-alkanal, 5- sampai 10-karbon 2-alkanon, dan 2-metilsiklopentanon.

Caporaso et al. (1977) mengidentifikasi 51 senyawa dalam fraksi netral dari volatil lemak-lamb. Dari ke 51 senyawa tersebut, 39 senyawa merupakan komponen dari flavor lamb. Jaringan lemak dicuci-uapkan dan dipilah menjadi fraksi asam, basa, dan netral dengan ekstraksi alir balik (counter current). Evaluasi olfaktoris menunjukkan bahwa fraksi netral mengandung odor mutton yang paling kuat, sehingga fraksi tersebut dianalisis lebih lanjut dengan kromatografi gas dan spektrometri massa. Pada setiap tahap dalam analisis ini, evaluasi olfaktoris dilakukan untuk menentukan pencatatan keberadaan beragam flavor lamb atau mutton. Hasil evaluasi diperoleh 14 senyawa (10 aldehid, 3 keton dan 1 lakton) yang diduga sebagai kontributor penting bagi odor mutton (Tabel 1).


(30)

Tabel 1 Kontributor penting untuk flavor lamb/mutton

ALDEHIDA KETON

Pentanal 2-Nonanone

Hexanal 2-Dodecanone

Heptanal 2-Tridecanone

Octanal Nonanal

2-Octenal Lactones

2,4 -Heptadienal γ-Octalactone

2,4 -Heptadienal (isomer) 2,4 -Decadienal

2,4 -Decadienal (isomer) Sumber : Caporaso et al. (1977)

Dimick et al. (1966) mencatat sejumlah kecil C10, C12, C14, dan C16 alifatik δ

-lakton terdapat dalam lemak depot domba. Selanjutnya Watanabe dan Sato (1968) melaporkan adanya C10, C12, dan C14γ-lakton. Panjang rantai karbon

utama pada kedua macam lakton tersebut adalah C14.

Sink dan Caporaso (1977) melaporkan hasil survei mereka terhadap literatur tentang flavor lamb dan mutton yang menunjukkan senyawa karbonil, lakton, dan senyawa mengandung sulfur sebagai kontributor utama bagi flavor mutton.

Fraksi Asam Volatil Daging Domba Matang

Wong et al. (1975a) mengidentifikasi lebih dari 40 asam lemak volatil-uapan pendek, sedang, dan panjang dari fraksi asam cincangan mutton masak. Asam rantai sedang (8 sampai 10-karbon) bercabang dan tak jenuh tampaknya memiliki karakteristik odor mutton dinamakan ‘SOO’ (kata Cina yang digunakan untuk menjelaskan flavor khas daging domba). Flavor SOO tampaknya sangat berkaitan dengan asam 4-metiloktanoat dan 4-metilnonanoat Pada penelitian berikutnya, Wong et al. (1975b) memperoleh penin gkatan kemutonan (muttoniness) yang sangat nyata pada cincangan daging domba betina masak yang berikatan dengan sejumlah kecil asam C9 dan C10 bercabang 4-metil.

Cincangan daging sapi mengandung jumlah asam tersebut yang jauh lebih sedikit daripada cincangan mutton, namun daging kambing mengandung kedua asam tersebut yang jauh lebih tinggi daripada mutton (Tabel 2). Daging kambing mungkin tidak memiliki odor masakan yang disukai, namun dapat dipastikan bahwa odornya bukanlah odor mutton.


(31)

Tabel 2 Konsentr asi asam lemak volatil dari lemak domba, sapi dan kambing Konsentrasi asam (ppm)

4-Me-10 Hircinoic

Mutton Ewe Pasture-fed Beef

Goat

2.9 1.7 0.7 122

5.7 3.4 - 48 Sumber : Wong et al. (1975b)

Fraksi Basa Volatil Daging Domba Matang

Analisis fraksi basa dari minyak volatil-uapan larut eter dari lemak roasted lamb menghasilkan 12 alkilpiridin, 12 alkilpirazin, dan 2 alkiltiazol. Alkilpirazin umumnya dikaitkan dengan aroma yang menyenangkan dari pangan bakar. Odor piridin kurang menyenangkan, dan keberadaannya dalam volatil lemak lamb masak mungkin berkontribusi pada odor mutton yang tidak disukai (Buttery et al. 1977).

Senyawa Siklik dalam Volatil Daging Domba Matang

Komponen Siklik sebagian besar adalah aromatik atau heterosiklik, dan mengandung oksigen, nitrogen, dan/atau sulfur (Chang dan Peterson 1977). Senyawa-senyawa tersebut umumnya dihasilkan di bawah pemanasan dan memiliki odor yang tidak disukai. Campuran dalam jumlah kecil dapat menjadi sangat penting untuk aroma khas dari lamb masak.

O-heterosiklik. Min et al. (1979) mengidentifikasi beberapa senyawa kabonil dan hidroksil aromatik dan heterosiklik yang mengandung oksigen seperti derivat furan dalam fraksi netral dari senyawa flavor volatil dari daging sapi bakar. Tonsbeek et al. (1968) mengisola si dua derivat furan (4-hidroksi-5-metil-3(2H)-furanon dan 4-hidroksi -2,5-dimetil-3(2H) -furanon) dari konsentrat flavor daging sapi yang memiliki odor khas. Prekursor 4-hidroksi-5-metil-3(2H)-furanon telah diidentifikasi secara tentatif dari ektrak air nonvolatil sebagai ribosa-5-fosfat, dan asam karboksilat pirolidon atau taurin (Tonsbeek et al.1969).

Schutte (1976) melaporkan bahwa furan, furanon, dan piran dapat

terbentuk dari gula melalui penyusunan ulang Amadori dan terdapat dalam volatil flavor daging. Mabrouk (1976) mencatat bahwa furfural dan furan lainnya

merupakan bagian dari komponen dalam campuran yang dihasilkan dari reaksi glukosa dan sistein atau sistin.


(32)

N-heterosiklik. Beragam pirol, tiazol, oksazol, piridin, dan pirazin dapat dihasilkan dengan memanaskan beragam komponen fraksi larut air dari ekstrak daging. Pemanasan glukosa dan asam amino bersama-sama menghasilkan pirazin teralkilasi, sedangkan pemanasan glukosa dan amonium klorida, terutama menghasilkan pirazin. Penambahan ion hidroksida meningkatkan hasil pirazin teralkilasi dalam campuran reaksi glukosa-amonia (Shibamoto dan Bernhard 1976).

Senyawa sulfur, asiklik dan siklik, merupakan daya tarik tersendiri dalam kaitannya dengan flavor mutton. Kebanyakan dari senyawa tersebut memiliki odor yang tidak sedap, dan banyak macam senyawa mengandung sulfur yang telah diidentifikasi dalam volatil dari mutton masak (Nixon et al. 1979).

Johnson dan Vickery (1964) menyatakan bahwa pH daging memengaruhi produksi H2S. Dua sampai tiga kali lebih banyak H2S berasal dari daging yang pH

ototnya tinggi, seperti yang dikaitkan dengan mutton berkualitas rendah atau mutton yang kurus, daripada yang berasal dari mutton berkualitas tinggi.

Selain odor sulfida, H2S mungkin merupakan kontributor utama untuk

aroma daging, terutama odor yang tidak disukai seperti odor mutton, melalui reaksi termal dengan komponen lainnya dalam ekstrak daging. H2S dari sistein

dan sistin akan bereaksi dengan glukosa membentuk beragam tiopene, tiazol, dan tiazolin (Mabrouk 1976). Aldehid jenuh akan bereaksi dngan H2S

membentuk beberapa senyawa sulfur heterosiklik seperti tian, oksatian, tiazin, dan tiolan, di samping merkaptoalkil sulfida. Aldehid tak jenuh dan H2S

menghasilkan banyak produk tambahan metiltio alifatik untuk ikatan rangkap karbon-karbon (Boelens et al. 1974).

Menurut Schutte (1974), tiamin hampir pasti berperan sangat penting sebagai prekursor senyawa flavor yang mengandung sulfur. Apabila larutan tiamin cair dididihkan selama beberapa jam, maka odor daging dapat dikena li, Dan bila asam glutamat terdapat dalam larutan ini, maka dihasilkan aroma daging. Produk akhir volatil utama dari pemanasan larutan tiamin pada pH 6 adalah tiazol, tiofen, dan hidroksimerkaptan (Dwivedi dan Arnold 1973).

Reaksi Pembentukkan Flavor Daging

Flavor daging secara alami terbentuk melalui sistem prekursor dengan adanya pemanasan. Selama pemanasan terjadi reaksi kimia sehingga terbentuk berbagai senyawa sekunder dan tertier yang berinteraksi lebih lanjut sehingga


(33)

terbentuk senyawa -senyawa volati l pembentuk flavor daging (Mottram 1991). Mekanisme umum pembentukan aroma akibat pemanasan bahan pangan dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Macleod dan Seyyedain-Ardebili (1981) reaksi-reaksi kimia yang berperan penting dalam pembentukkan flavor daging adalah reaksi Maillard, dan degradasi lipid, di samping pirolisis asam amino dan peptida, degradasi karbohidrat, dan tiamin.

Gambar 1 Jalur utama pembentukkan aroma akibat pemanasan dalam bahan pangan (Tressl, 1990)

produk spesifik asam amino

produk spesifik karbohidrat

produk berasal dari lipida

Heterosiklik yang mengandung atom N dan S Reaksi Maillard tahap awal

Hidroperoksida, asam akso, asam hidroksi,

ketol Asam amino bebas Mono dan disakarida Peroksida

Peptida Oligosakarida Asam Lemak

Protein Karbohidrat Lipid

Glikosalimin, produk

Amandori dan Heyns Degradasi

ser, leu, phe, pro, arg,

cys, met, trp, lys α

-dikarbonil, furan, furanon, piranon

2-alkadienal, 2,4-dienal keton, lakton

Reaksi Maillard tahap lanjut


(34)

1. Reaksi Maillard

Reaksi Maillard merupakan reaksi antara gugus karbonil khususnya yang berasal dari gula pereduksi dengan gugus amino bebas residu rantai peptida. Di samping itu, reaksi yang melibatkan gugus ∝-amino residu asam amino juga berperan penting. Menurut Hodge (1953) reaksi ini mempunyai sifat yang kompleks dan berantai dan senyawa antara yang dihasilkan dapat bereaksi dengan senyawa antara yang lain.

Reaksi ini tidak membutuhkan suhu tinggi suhu yang dibutuhkan dalam reaksi karamelisasi gula dan reaksi pirolisis protein (Hurrel et. al. 1982), karena reaksi Maillard merupakan reaksi katalisis. Laju reaksi meningkat dengan nyata dengan semakin tinginya suhu dan pencoklatan serta pembentukan komponen flavor umumnya terjadi lebih intensif pada suhu pemasakan dan kadar air rendah.

Pada dasarnya reaksi Maillard dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap awal, intermediet, dan akhir (Hodge 1953). Skema tahapan reaksi Maillard dapat dilihat pada Gambar 2.

Tahap awal melibatkan kondensasi gula dengan senyawa amino sehingga dihasilkan glikosilamin N-tersubstitusi (tahap A) yang selanjutnya akan terjadi penyusunan kembali strukturnya (rearrangement) sehingga terbentuk Amadori Rearrangement Product, ARP (tahap 2), dimana pada tahap ini belum terjadi pembentukan warna coklat.

Tahap intermediet melibatkan dekomposisi ARP sehingga terbentuk senyawa -senyawa volatil dan nonvolatil berberapa molekul rendah. Pada tahap ini terjadi dehidrasi (tahap C) dengan melepaskan 3 molekul air membentuk furfural, atau melepaskan 2 molekul air membentuk redukton, terjadi tahap fisi (tahap D), terutama dengan cara aldolisasi, dan terjadi degradasi Stecker (tahap E), yang melibatkan interaksi asam amino dengan senyawa dikarbonil, baik dehidroredukton maupun produk-produk fisi.

Tahap akhir terdiri atas koversi senyawa volatil, furfural, produk-produk fisi, dehidroredukton atau aldehida Stecker menjadi produk berberat molekul tinggi (melanoidin) melalui interaksinya dengan senyawa amin (tahap F dan G) (Nursten 1981).


(35)

Protein Lipid

1-Amino-1-Deoksi-2-Ketosa

Basa Schiff dari HMF atau furfural

Redukton Produk-Produk Fisi (asetol, diasetil, piruvaldehida, dll.

Gula

Degradasi Stecker +as α-amino +H2O

Dehidroredukton

HMF atau Furfural

Aldol dan Polimer Tanpa N

Aldehida

Melanoidin

Polimer dan Kopolimer Bernitrogen Berwarna Cokelat

+2H -2H F E

-senyawa amino

A

+ senyawa amino, -H2O

B

H D

C C

- C O2

G

F F

G

G

G

G

+senyawa amino

+senyawa amino

+senyawa amino +senyawa amino

- 2 H2O

- 3 H2O


(36)

2. Degradasi Stecker

Degradasi Stecker merupakan salah satu reaksi penting yang digabungkan dengan reaksi Maillard yang melibatkan dekarboksilasi dan deaminasi oksidatif dari asam ∝-amino dengan adanya komponen dikarbonil. Produk yang dihasilkan merupakan bentuk aldehida dengan satu atom karbon berkurang daripada asam amino asalnya (aldehida Stecker) dan satu ∝-aminoketon. Aminoketon merupakan senyawa intermediet penting dalam pembentukan beberapa kelas dari komponen heterosiklik termasuk pirazin, oxazol, dan tiazol (Vernin dan Parkanyi 1982).

3. Degradasi Lipid

Lipid dan hasil degradasinya berperan pada produk olahan hasil pemanasan seperti goreng-gorengan, produk rebus (daging rebus), produk bakar, dan lain-lain. Pada umumnya reaksi yang terjadi selama pemanasan tersebut adalah reaksi oksidasi.

Proses oksidasi lipid sangat dipengaruhi oleh suhu, kadar air, dan interaksi antara lipid dan/atau hasil degradasinya dengan senyawa amino dan/atau hasil degradasinya. Pada suhu yang tinggi (oksidasi termal), produk degradasi lipid akan semakin meningkat dan beragam. Pada aktivitas air yang rendah hasil degradasi lipid akan meningkat kemudian menurun kembali (Chang et al. 1978).

Proses oksidasi lipid terjadi melalui mekanisme radikal bebas, reaksi ini diawali dengan pelepasan sebuah atom H yang labil pada lemak dan menghasilkan radikal-radikal bebas lainnya (Frankel 1980). Reaksi ini dapat disebut sebagai reaksi autooksidasi.

Glikogen dan Glukosa

Glukosa adalah gula yang penting untuk mengontrol metabolisme energi dan sebagai pembentuk glikogen. Peran utama glikogen dalam otot post-mortem adalah melepaskan glukosa yang dapat dipakai untuk mengisi senyawa fosfat energi tinggi, selanjutnya glikogen dirombak secara cepat sehingga konsentrasi glikogen berubah dengan cepat setelah eksengiunasi. Bila cadangan glikogen dalam urat daging habis pada waktu akan dipotong, maka proses glikolitik yang normal tidak dapat terjadi dan pH (urat daging) hanya turun sesuai dengan jumlah glikogen yang ada. Daging yang pH-nya tinggi (normal : sekitar 5) akan


(37)

berwarna gelap, liat dan kering, kondisi yang demikian ini menyebabkan urat daging tersebut tidak dapat tahan lama untuk disimpan karena mikroorganisme pembusuk mudah/cepat berkembang biak pada pH yang tidak cukup rendah tersebut.

Glikogen normalnya sekitar 1% dari bobot otot (Lawrie 1995), nilai istirahat konsentrasi glikogen otot pectoral domba sekitar 45 µmol/g (setara glukosa). Otot LD sapi pedaging mengandung sekitar 56 µmol/g pada 0 jam post-mortem (< 10 menit) (Bodwell et al. 1965).

Level glikogen berubah pada waktu post-mortem dari nilai awalnya sekitar 56 µmol/g, level glikogen ini mencapai sekitar 42, 30, 10, dan 10 µmol/g berturut-turut pada 6, 12, 24, dan 48 jam post-mortem. Dengan demikian sekitar 5.5 kali penurunan kandungan glikogen terjadi selama 24 jam. Howard dan Lawrie (1957) mengamati bahwa nilai glikogen awal untuk otot LD sapi pedaging sekitar 52 µmol/g namun menurun menjadi 8.3 µmol/g dalam 24 jam berkurang 6.25 kali lipat.

Banyaknya glikogen yang tersisa ketika otot mengalami rigor mortis jatuh dalam kisaran 2-30% dari level istirahat dan bergantu ng pada konsentrasi istirahat asalnya dan laju ketika fosforilase dan enzim-enzim glikolitik lainnya menjadi tidak aktif dan tidak mampu lebih lama lagi merombak glikogen menjadi glukosa. Berkembangnya pH rendah sebagai hasil dari produksi asal laktat sela ma glikolosis anaerob merupakan faktor utama dalam menonaktifkan fosforilase dan enzim-enzim glikolitik lainnya. Dengan demikian, otot yang mengalami glikolisis dengan cepat memiliki level glikogen residu setinggi level yang mengalami hidrolisis lebih lamb an, karena sistem enzimnya mungkin dinonaktifkan lebih awal sehubungan dengan cepatnya penurunan pH yang berkaitan dengan produksi asam laktat yang lebih awal.

Senyawaan Fosfat Energi Tinggi

Setelah ternak mati, hanya ada sedikit sumber energi, seperti glikogen simpanan, ATP dan ADP residu dan kreatin fosfat yang tidak digunakan. Sepanjang sumber ADP residu masih tetap tinggi, maka reaksi selanjutnya berlangsung untuk menyediakan ATP tambahan :


(38)

AMP yang terbentuk dapat dideaminasi untuk menghasilkan inosin monofosfat (IMP) dengan reaksi berikut :

AMP AMP deaminase IMP + NH3

ADP dapat pula bereaksi dengan CP menghasilkan ATP

ADP + CP kreatin kinase ATP + Kreatin

Perombakan IMP lebih lanjut dapat terjadi sebagai berikut :

IMP I + PO4 nukleosida fosforilase hipoksantin + ribose I-fosfat

hipoksantin + ribosa

Level ATP awal dalam otot sapi pedaging sekitar 10.9 µmol/g otot sedangkan CP awal sekitar 9 µmol/g. Nilai ATP dan ADP hanya dapat ditentukan secara tepat selama periode post-mortem berlangsung dan tahap awal rigor ketika CP dan resin tetisglikolitik mempertahankan ATP pada level yang hampir konstan. ATP dalam otot sapi pedaging pada 48 jam post-mortem menurun sampai sekitar 17% dari nilai awalnya. Sedangkan CP turun sampai 17% dari nilai awal pada 12 jam post-mortem dan menghilang pada 24 jam.

AMP yang merupakan produksi dari hidrolisis ATP dan ADP terdiri hanya sekitar 0.2-0.3 µmol/g pada otot yang baru saja post-mortem (Bendall 1979). Dalam otot stenomandibularis sapi pedaging konsentrasi AMP meningkat 2 sampai 3 kali lipat pada 10 jam pertama post-mortem namun pada 24 jam biasanya menurun sampai level semula (Newbold dan Scopes 1971).

Konsentrasi inosin nukleotida dalam otot istirahat terhitung sekitar 0.5 µmol/g (Bendall 1979), kebanyakan dari konsentrasi ini terdiri atas IMP yang secara langsung berkaitan dengan jumlah ATP yang dihidrolisis konsentrasi IMP meningkat sampai sekitar 5 µ mol/g pada 12-24 jam post-mortem.

Level inosin dan hipoksantin secara normal adalah nol dalam otot istirahat (Rhodes 1965) hal ini karena keduanya terbentuk oleh IMP. Produksi hipoksantin mencapai 20-40% dari konsentrasi ATP istirahat pada 24 jam post-mortem untuk sapi pedaging. Otot LD sapi pedaging hanya mengandung sekitar 1 µmol/g


(39)

inosin dan dengan jumlah yang hampir sama untuk hipoksantin pada 5-6 hari post-mortem (Hamm 1977).

ATP

ATP ase Myokinase

ADP

AMP

Miokinase

IMP

AMP deaminase

Nukleo- tidase

Nukleo- tidase

Adenosin

Adenosin deaminase

Inosin

Gambar 3 Lintas katabolisme nukleotida Hipoksantin

Xantin Oksidase

Xantin Inosin hydrolase


(40)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Oktober 2002, bertempat di Rumah Pemotongan Hewan (RPH), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis komponen nonvolatil dilakukan di Laboratorium Pascapanen, Balai Penelitian Pascapanen Pertanian Bogor. Analisis komponen volatil dilakukan di Lab. Kimia Instrumen Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Analisis sensori dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan Penelitian

Domba betina sebanyak 54 ekor digunakan dalam penelitian ini, dengan bobot badan 14 sampai 17 kg, dengan umur 10 sampai 12 bulan. Domba tersebut berasal dari peternakan rakyat di Desa Pasirangin, Megamendung-Bogor. Kristal insulin diperoleh dari SIGMA (SIGMA I sampai 5500), sedangkan gula pasir yang digunakan adalah gula pasir lokal dengan kandungan sukrosa 97.23% dan glukosa 1.05%.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial (2x3x3) dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah tanpa diberi gula dan diberi gula 6 g/kg bobot badan. Faktor kedua adalah tanpa penyuntikan insulin, penyuntikan insulin 0.3 IU dan penyuntikan insulin 0.6 IU. Faktor ketiga adalah waktu pemulihan yaitu 2, 4, dan 6 jam.

Pagi hari (06.00 WIB) dilakukan persiapan untuk pengangkutan domba di kandang desa Pasirangin Megamendung. Pengacakan dilakukan pada 54 ekor domba dengan 18 perlakuan dan 3 ulangan. Sebelum pengangkutan, terlebih dahulu dilakukan penimbangan dan pengukuran denyut nadi dan temperatur rektal. Domba dimasukkan ke dalam mobil angkutan hijet 1000 dengan posisi berdiri dengan kepadatan 0.145 m2/ekor. Transportasi dilakukan selama 4 jam (07.30 sampai 11.30) pada rataan suhu lingkungan pada pagi hari (07.30) dan pada siang hari (11.30) adalah 22.7°C dan 32.2°C. Rute transportasi yang


(41)

dilakukan adalah Pasirangin, Gunung Geulis, Tapos, Ciawi, Empang, Gunung Batu, dan tiba di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Setelah sampai di lokasi dilakukan pengukuran denyut nadi dan temperatur rektal. Domba diberi perlakuan se suai dengan hasil pengacakan, gula pasir diberikan 6 g/kg bobot badan dilarutkan ke dalam 200 ml air. Larutan gula diberikan dengan menggunakan botol ke dalam mulut domba dan diminumkan sampai habis. Kristal insulin diperoleh dari pankreas sapi (SIGMA I sampai 5500), dilarutkan dengan garam fisiologis dan disuntikkan intramuskuler pada paha belakang sesuai dengan perlakuan.

Setelah pemberian larutan gula dan penyuntikan insulin selesai, domba diistirahatkan selama 2, 4, dan 6 jam kemudian dipotong. Domba dipotong dengan mengikat keempat kaki, dan kemudian dibaringkan di lantai. Penyembelihan dilakukan pada bagian leher yaitu pada arteri karotis, vena jugularis, dan osefagus. Setelah mati, domba digantung dengan kaki belakang di atas. Kepala dan kaki dilepas, kemudian dilakukan pengulitan, dan pengeluaran organ dalam dan saluran pencernaan. Setelah bersih, karkas ditimbang dan dibelah menjadi dua bagian. Sampel daging yang digunakan adalah paha bagian belakang. Sampel daging dilayukan dengan cara digantung di dalam chilling room pada suhu 4°C selama 48 jam.

Analisis Sampel Daging Domba

Analisis yang dilakukan meliputi analisis senyawa nonvolatil dan volatil, identifikasi dan kuantifikasi senyawa volatil, serta analisis sensori.

Analisis Senyawa Nonvolatil

Analisis Karbohidrat

Karbohidrat berupa glukosa, fruktosa, ribosa, dianalisa dengan menggunakan alat HPLC.

Persiapan sampel. Daging domba mentah dari tiap-tiap perlakuan diambil seberat 5 g dan ditambahkan 100 ml etanol 85% kemudian dinetralisir dengan NaOH 0,5N sehingga pH-nya 7. Ke dalam labu sampel ditambahkan 25 ml alkohol 85%, dididihkan di atas penangas air dan dikocok. Sampel disaring dengan kertas whatman no. 541, ditampung dalam tabung erlemeyer (50 ml). Ekstraksi diulangi sebanyak 3 kali dengan 25 ml alkohol 85% lalu dididihkan. Etanol diuapkan dengan penguap berputar pada suhu 45°C lalu pisahkan lapisan


(42)

alkohol sekitar 3 ml. Cairan dipindahkan ke dalam labu ukur 10 ml kemudian disaring. Sampel sebanyak 10 mikroliter dimasukan ke dalam jarum injeksi dan siap diinjeksikan ke dalam HPLC.

B. Analisis ATP dan Turunannya

ATP, AMP, ADP, IMP, Xantin, dan hipoxantin dianalisis dengan menggunakan alat HPLC.

Persiapan larutan standar. Larutan standar untuk ATP, ADP, AMP, dan IMP yang masing-masing mempunyai berat molekul 605, 507, 409, dan 424 dibuat menjadi konsentrasi 10 mm, sedangkan untuk hipoxantin dan xantin dengan BM 288 dan 136 dibuat konsentrasi 20 mm. Dari larutan tersebut masing-masing diambil 1 ml dan dicampurkan ke dalam larutan buffer fosfat (KH2PO4) dengan pH 7.0 sampai volume 25 ml. Larutan ini disimpan dalam

freezer dan dilelehkan sebelum injeksi ke dalam HPLC.

Persiapan sampel. Daging domba dari tiap-tiap perlakuan diambil seberat 1 sampai 2 g dan ditambahkan 10 ml asam perklorat (HClO4) 6% ke mudian

diekstraksi sehingga menjadi campuran yang homogen membentuk endapan dan cairan sampel. Cairan sampel diambil dan dinetralisir dengan KOH 10% sehingga pH-nya menjadi 7.0 sampai 7.5 dan membentuk endapan berwarna putih. Larutan sampel dipindahkan dalam gelas ukur dan ditambahkan aquades sehingga menjadi 20 ml, lalu disaring dengan kertas whatman no. 40. Sampel sebanyak 20 mikroliter dimasukan ke dalam jarum injeksi dan siap diinjeksikan ke dalam HPLC.

Analisis Sensori

Analisis ini meliputi uji deskrip si kuantitatif, hedonik, dan skoring. Sebelum penelitian dilakukan persiapan untuk seleksi dan melatih panelis sehingga menghasilkan panelis semiterlatih dan terlatih. Langkah-langkah yang dilakukan adalah :

a. Seleksi Panelis

Panelis yang diseleksi adalah 40 orang mahasiswa S1 tingkat akhir jurusan Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB, yang pernah mendapat kuliah penilaian dengan indra. Pada tahap ini dilakukan wawancara mengenai apakah mereka suka makan daging domba, dan


(43)

berapa frekuensinya per minggu. Juga diminta persetujuan dari panelis yang terpilih untuk dilatih dan mengikuti serangkaian uji sensori yang dilakukan pada tahap selanjutnya. Panelis yang terpilih adalah panelis yang suka makan daging domba dengan frekuensi minimal 1 kali per minggu, dari tahap ini diperoleh 30 orang calon panelis.

b. Pengujian Panelis

Calon panelis yang terpilih tadi, diuji kepekaan dan kekonsistenan indra penciuman dan pencicipannya dengan menggunakan uji pasangan, uji segitiga dan uji ranking. Untuk uji pasangan para panelis diberikan dua sampel dan disuruh untuk menentukan apakah sampel tersebut sama atau tidak, sedangkan untuk uji segitiga panelis diberikan 3 sampel, dimana dua sampel memiliki karakteristik yang sama, sedangkan yang satu lagi berbeda. Sebagai bahan uji, baik uji pasangan maupun uji segitiga digunakan sari buah, teh celup, sosis dari dua merek yang berbeda, dan daging domba dan daging sapi. Dari kedua jenis uji pembedaan tersebut ingin diketahui kemampuan panelis dalam membedakan sampel yang satu dari sampel lainnya walaupun hanya berbeda sedikit sekali berdasarkan kepekaan indra pembau dan pencicip dari calon panelis. Untuk menguji kepekaan panelis secara lebih mendalam dilakukan uji ranking. Uji ranking dilakukan terhadap rasa manis, asin, pahit, dan umami dengan 4 tingkat konsentrasi, di sini panelis diminta untuk mencicip dan mengurutkan larutan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah, sebagai larutan uji digunakan larutan sukrosa, garam, kopi, dan MSG.

Untuk menguji konsentrasi kepekaan indra panelis terhadap penilaian yang diberikan dilakukan ulangan terhadap uji-uji yang pernah dilakukan dengan penyajian yang sama pada waktu yang berbeda. Ulangan yang dilakukan masing-masing sebanyak 5 kali untuk uji pasangan, uji segitiga, dan uji ranking.

Dari ketiga jenis pengujian yang dilakukan yaitu uji pasangan, uji segitiga, dan uji ranking, calon panelis yang memberikan jawaban benar di atas atau sama dengan 70%, dianggap lolos seleksi. Dari tahap ini diperoleh 15 orang panelis yang memenuhi syarat yang telah ditentukan dan akan dilatih lebih lanjut.


(44)

Tabel 3 Atribut mutu dan standar untuk uji deskripsi kuantitatif

KARAKTERISTIK DEFINISI STANDAR SKOR

AROMA

Meaty Aroma daging matang

Daging domba

yang dipanaskan 60

Fatty Aro ma lemak Lemak yang

dipanaskan 60

Warmed over Aroma daging

dihangatkan

Daging domba yang

dipanaskan kembali 20

Muttony Aroma apek

(perengus/lebus)

Daging domba jantan

dewasa 20

RASA

Sweet Rasa manis 2% Gula pasir 5% Gula pasir

20 50

Salty Rasa asin 0.2% Garam

0.5% Garam

20 50

Bitter Rasa pahit 0.05% kopi

0.08% kopi

20 80

Umami Rasa gurih, lezat 0.2% MSG

0.5% MSG

20 50

PENERIMAAN UMUM

Warna Warna yang terlihat

dari sampel

Daging ayam matang Daging sapi matang

12.5 137.5 Juiciness Pembebasan cairan

daging berkelanjutan Crackers Apel 12.5 137.5 Keempukan Kemudahan daging dikunyah menjadi potongan lebih kecil

Cream cheese Daging sapi yang liat

12.5 137.5 Graininess

Jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyaha n

Puding

Jagung piipil rebus

12.5 137.5 c. Pelatihan Panelis

Panelis yang terpilih dilatih lebih lanjut untuk mengenal sifat-sifat sensori yang menyususn suatu aroma dan rasa daging domba, di sini panelis diberi penjelasan mengenai deskripsi aroma dan rasa dari daging domba dan diminta mengenalinya. Daging domba yang digunakan untuk latihan adalah daging domba yang dimasak tanpa menggunakan air atau minyak. Tetapi untuk dapat membedakan rasa dan aroma, digunakan dengan penambahan gula, garam, MSG, dan ketiga-tiganya. Untuk pengenalan aroma dan rasa digunakan standar-standar yang tercantum pada Tabel 3. Selama latihan uji pencicipan disediakan air putih, dimana sehabis mencicip panelis diberikan air putih dan diberi waktu istirahat selama 10 menit untuk menghilangkan after taste, setelah itu baru dilakukan pencicipan berikutnya.

Latihan untuk mendeskripsikan aroma dan rasa dilakukan sebanyak enam kali sebelum panelis melakukan uji QDA terhadap sampel yang sesungguhnya.


(45)

Persiapan sampel dan cara penyajiannya. Setelah karkas dilayukan selama 48 jam, sampel daging dari bagian paha dipotong-potong dengan ukuran 1.5 x 1.5 x 1.5. Daging dimasak dengan tidak menggunakan minyak, air maupun bumbu selama 10 menit. Kemudian sampel dibagi-bagi untuk uji hedonik, skoring, dan deskripsi. Sampel diletakan pada piring saji yang telah diberi kode secara acak. Untuk uji deskripsi sampel disajikan bersama-sama dengan standar (sampel baku). Selama pencicipan disediakan air putih dan waktu istirahat untuk menetralkan rasa. Setelah itu baru pencicipan sampel berikutnya. Satu kali penilaian dilakukan terhadap 9 perlakuan jadi ada enam waktu penilaian. Ruangan yang digunakan mempunyai penyekat sehingga panelis tidak bisa saling komunikasi, dan mempunyai penerangan yang baik serta situasi yang tenang.

A. Uji Deskripsi Kuantitatif

Uji deskripsi terhadap aroma dan rasa daging domba dilakukan oleh 15 panelis terlatih, uji dilakukan dengan menyajikan sampel-sampel dan standar-standar, lalu panelis diminta untuk memberikan penilaian pada sampel dengan membandingkan sampel dengan standar yang diberikan. Atribut-atribut mutu dan standar yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai standar ditetapkan scara subyektif mengacu pada uji deskripsi kuantitatif yang dilakukan oleh Hashi m et al. (1995). Format isian untuk uji deskripsi ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

B. Uji Hedonik

Pada uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya terhadap tingkat kesukaan atau ketidak sukaan. Uji hedonik dilakukan terhadap peubah warna, keempukan, juceness, rasa, dan aroma daging domba matang. Pengujian yang digunakan 90 panelis tidak terlatih pada 7 skala kesukaan yaitu (1) sangat suka dan (7) sangat tidak suka. Format penilaian uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 2.

C. Uji Skoring

Uji skoring dilakukan untuk memberikan angka nilai mutu sensori terhadap sampel pada tingkat skala mutu. Uji skoring terhadap sampel daging domba matang dilakukan terhadap peubah warna, keempukan, juceness, rasa, dan


(46)

aroma. Pengujian dilakukan oleh 45 orang panelis semiterlatih dengan 5 skala. Format penilaian uji skoring dapat dilihat pada Lampiran 3.

Analisis Senyawa Volatil

Persiapan sampel. Daging domba diambil sebanyak 300 g dari setiap perlakuan dimasak tanpa menggunakan air dan minyak selama 10 meni t. Daging-daging tersebut digiling dengan blender hingga cukup halus.

Ekstraksi senyawa volatil daging domba. Masing-masing sampel sebanyak 300 g ditambah air 700 ml., dan standar internal 1.4 diklorobenzena sebanyak 0.13 ml (dengan konsentrasi 1 g dalam 100 ml dietil eter) dan ditempatkan pada labu sampel pada alat likens-Nikerson, lalu dipanaskan pada suhu 100°C dan diekstraksi dengan pelarut dietil eter sebanyak 50 ml yang dipanaskan dalam pemanas air pada suhu 45°C selama 2 jam terhitung setelah air mendidih. Setelah ekstraksi, ke dalam ekstraksi ditambahkan Na2SO4

anhidrat sebanyak 1 sampai 2 sendok makan untuk mengikat air dan kemudian disaring. Ekstrak yang diperoleh, dipekatkan dengan rotary evaporator hingga mencapai volume kira-kira 2 ml. Pada saat akan disuntikkan ke GC-MS, ekstrak dipekatkan kembali dengan gas N2 sampai volume 0.5 ml.

Identifikasi jenis senyawa volatil. Komponen volatil dari ekstrak solven diidentifikasi dengan menyuntikkan sampel pada alat GC -MS tipe shimadzu QP 5000. Dengan kondisi GC menggunakan kolom kapiler DB5 panjang 50 m, diameter 0.25 mm tebal lapisan 0.25 µm. Detektornya adalah Mass Spectrometer. Gas pembawa adalah helium dengan tekanan 40.40 kPa. Teknik injeksi split/spilitless dengan volume injeksi 1 µl dengan waktu sampling 0.5 menit. Suhu diprogram dengan suhu awal kolom 60°C ditahan selama 5 menit kemudian dinaikkan dengan laju kenaikkan 3°C per menit. Suhu akhir 320°C ditahan selama 10 menit. Kondisi MS adalah kisaran massa 33-400, energi ionisasi 70 ev, interpal waktu 0.5 detik resolusi 1000 dan voltase detektor sebesar 1.10 kV. Untuk mengidentifikasi komponen volatil dilakukan analisis dari perhitungan berikut :

Interpretasi spektra massa dilakukan dengan bentuan komputer untuk membandingkan spektra massa suatu senyawa dengan pola spektra massa pada massa spectra library koleksi NIST (National Institue Standard and Technology) yaitu NIST 12 dan NIST 62 yang memiliki koleksi pola spektra massa lebih dari 62.000 pola. Interpretasi juga dilakukan secara manual, yaitu


(47)

dengan membandingkan pola spketra massa komponen pada sampel dengan pola spektra komponen tersebut yang terdapat pada jurnal atau buku yang sesuai.

Penentuan Linear Retention Indice (LRI). Setiap peak yang dicatat oleh

integrator mempunyai waktu retensi masing-masing. Nilai LRI masing-masing peak dihitung berdasarkan data waktu retensi n-alkana standar (C6-C24) 0.01%

yang disuntikkan pada kondisi yang sama dengan kondisi penyuntikan sampel. Perhitungan LRI dilakukan dengan persamaan berikut :

LRIx = x 100

dimana :

LRIx : Indeks retensi linier komponen x tx : waktu retensi komponen x (menit)

tn : waktu retensi alkana standar dengan n buah atom karbon yang muncul sebelum komponen x (menit)

tn+1 : waktu retensi alkana standar dengan n+1 buah atom karbon yang muncul sesudah komponen x (menit)

n : jumlah atom karbon alkana standar yang muncul sebelum

komponen x

Dengan demikian identifikasi komponen volatil dilakukan dengan membandingkan spektra massa standar yang terd apat pada pustaka atau database dengan spektra massa komponen target yang terdeteksi pada GC-MS. Hasil interpretasi ini kemudian dikonfirmasi dengan membandingkan nilai LRI komponen tersebut dengan nilai LRI literatur dimana kolom GC yang digunakan dipak dengan fase diam yang sama.

Kuantitatif Senyawa Volatil.

Konsentrasi komponen volatil masing-masing peak dihitung dengan persamaan :

Jumlah komponen (ppm) = X

Selain dalam bentuk konsentrasi, kuantitatif senyawa volatil juga dapat dinyatakan dalam % relatif area dengan persamaan :

% relatif area senyawa volatil = X 100% Area komponen x

Area standar internal

Σ standar internal Σ sampel tx – tn

--- + n tn+1 - tn

Area senyawa volatil , Total area senyawa volatil


(48)

Analisis Statistik

Hasil uji deskripsi kuantitatif diolah dengan Principle Component Analysis (PCA) dan Partial Least Square (PLS), dan sidik ragam.

Hasil olahan yang didapatkan dari analisis PCA berupa beberapa komponen utama yang disarankan, plot dari scores dan x-loadings, serta berapa keragaman yang dapat diterangkan oleh masing -masing komponen utama. Sedangkan hasil olahan yang didapat dari analisis PLS berupa x dan y-loading, x dan y-scores, berupa PLS komponen utama yang disarankan dan keragaman data yang dapat diterangkan oleh matriks x dan y dari masing-masing PC.

Hasil plot skor menunjukkan letak-letak sampel dan hasil plot variabel menunjukkan sifat-sifat sampel, sedangkan hasil plot antara sampel dan variabel menunjukkan sifat sampel dan hubungan antara variabel. Pada umumnya titik-titik yang berada pada kuadrat yang sama memiliki hubungan yang erat (Esbensen et al. 1994). Variabel dengan nilai loading sangat kecil tidak dapat diinterpretasikan, demikian juga untuk sampel yang terletak dekat titik pusat.

Hasil analisis karbohidrat dan ATP serta turunannya diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji Duncan.

Model matematik rancangan tersebu t adalah sebagai berikut :

Y ijkl = µ + Ai + Bj + Ck + (AB)ij + (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk + εijkl

Dimana :

Y ijkl = Respon karena pengaruh perlakuan pemberian gula ke-i, insulin ke-j,

lama istirahat ke -k dan ulangan ke-l µ = Rataan umum

Ai = Pengaruh perlakuan pemberian gula ke-i

Bj = Pengaruh pemberian insulin ke -j

Ck = Pengaruh perlakuan waktu pemulihan ke-k

(AB)ij = Pengaruh interaksi perlakuan pemberian gula ke -i dan isulin ke -j

(AC)ik = Pengaruh interaksi perlakuan pemberian gula ke-i dan waktu

pemulihan ke-k

(BC)jk = Pengaruh interaksi perlakuan pemberian isulin ke-j dan waktu

pemulihan ke-k

(ABC)ijk = Pengaruh interaksi perlakuan pemberian gula ke-i, insulin ke-j dan

waktu pemulihan ke -k εijkl = Galat

Data yang diperoleh dari uji skoring dan hedonik dianalisis dengan uji Kruskal Wallis dan apabila terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut.


(49)

ASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu Rektal dan Denyut Jantung

Pada penelitian ini transportasi domba dilakukan dari peternakan ke rumah pemotongan hewan IPB menempuh waktu selama 4 jam. Oleh karena itu untuk mengetahui sejauh mana domba tersebut mengalami stres dilakukan pengukuran suhu rektal dan denyut nadi sebelum dan setelah transportasi.

Suhu rektal dan denyut jantung domba sebelum dan setelah pengangkutan disajikan pada Tabel 4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu rektal dan denyut jantung domba setelah pengangkutan meningkat sangat nyata (P<0.01).

Tabel 4 Suhu rektal dan denyut jantung domba sebelum dan setelah pengangkutan

Peubah Rataan t hit t tab

Suhu rektal (0C )

Sebelum pengangkutan 38.85 a 19.71** 2.66

Setelah pengangkutan 39.59 b

Denyut jantung (kali/menit)

Sebelum pengangkutan 100.07 a 35.17** 2.66

Setelah pengangkutan 133.63 b

Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda sangat nyata (P<0.01)

Rataan suhu rektal sebelum transportasi adalah 38.85°C dan setelah transportasi yaitu 39.59°C. Hal ini diduga akibat cekaman panas dan adanya reaksi fisiologis domba terhadap kondisi selama pengangkutan. Domba merupakan ternak homeotermal, sehingga peningkatan suhu rektal sebesar 0.74°C sudah mengakibatkan domba tersebut stres. Denyut jantung juga mengalami peningkatan dari 100.07 kali/menit menjadi 133.63 kali/menit. Knowles et al. (1995) menyatakan bahwa domba yang mengalami pengangkutan denyut jantungnya meningkat dari 100 kali/menit menjadi 150 kali/menit setelah 1.5 sampai 3 jam pertama perjalanan.

pH Daging

Salah satu indikator dalam mengetahui penyimpangan kualitas daging adalah nilai pH daging. Dalam penelitian ini pH daging secara nyata dipengaruhi


(1)

Lampiran 36 Kromatogram ion total volatil daging dari domba dengan perlakuan gula 6 g/kg bb, insulin 0,3 IU/kg bb


(2)

Lampiran 37 Kromatogram ion total volatil daging dari domba dengan perlakuan gula 6 g/kg bb, insulin 0,6 IU/kg bb


(3)

Lampiran 38 Grafik koefisien regresi antara senyawa non volatil dengan deskripsi rasa

Perlakuan D

at a

K_G l uko

sa K_R

ibo sa K_F

rukt osa N_H

ipo xan

tin

N_X anti

n N_A

DP N_A

TP N_I

MP

0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4

K_G luko

sa K_R

i bos

a

K_F ruk

tosa N_H

i pox

ant in N_X

ant i n N_A

DP N_A

TP N_I

MP 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4

sweet salty


(4)

Lampiran 39 Grafik koefisien regresi antara senyawa volatil dengan deskripsi aroma muttony

Predictors S t a n d a r d i z e d C o e f f i c i e n t s 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 0.04 0.03 0.02 0.01 0.00 -0.01 -0.02 -0.03 -0.04

Predictors S t a n d a r d i z e d C o e f f i c i e n t s 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 0.04 0.03 0.02 0.01 0.00 -0.01 -0.02 -0.03 -0.04

Lampiran 40 Grafik koefisien regresi antara senyawa volatil dengan deskripsi aroma warmed over


(5)

Lampiran 41 Grafik koefisien regresi antara senyawa volatil dengan deskripsi aroma fatty

Predictors S t a n d a r d i z e d C o e f f i c i e n t s 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 0.050

0.025

0.000

-0.025

-0.050

Lampiran 42 Grafik koefisien regresi antara senyawa volatil dengan deskripsi aroma meaty

Predictors S t a n d a r d i z e d C o e f f i c i e n t s 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 0.04 0.03 0.02 0.01 0.00 -0.01 -0.02 -0.03 -0.04


(6)

Lampiran 43 Takarir

Meaty : Aroma khas daging matang yang disukai, yang umum terdapat pada tiap spesies ternak

Fatty : Aroma daging matang yang dihubungkan dengan aroma lemak. Warmed over : Aroma yang berhubungan dengan daging yang dipanaskan

ulang, bukan daging yang baru dimasak atau daging yang tengik (rancid)

Muttony : Aroma khas daging domba yang membedakan dari spesies lain walaupun sama-sama dari jaringan lean

Sweet : Rasa manis pada lidah yang dihubungkan dengan rasa gula Salty : Rasa asin pada lidah yang dihubungkan dengan rasa garam Bitter : Rasa pahit pada lidah yang dihubungkan dengan rasa kopi Umami : Rasa gurih pada lidah yang dihubungkan dengan rasa MSG Warna : Warna yang terlihat pada sampel

Juiciness : Suatu kombinasi dari dua pengaruh yaitu kesan cairan yang dibebaskan selama pengunyahan dan kesan yang berhubungan dengan salivasi yang diproduksi oleh lemak intra muskular (pembebasan cairan daging yang berkelanjutan)

Keempukkan : Kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging dan mudahnya daging dikunyah menjadi pragmen yang lebih kecil Graininess : Jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan