Peraturan Perundang-undangan Mengenai Perlindungan Hukum Bagi
B. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Perlindungan Hukum Bagi
Pekerja Rumah Tangga Anak Di Perumahan Bumi Nasio Indah Kota Bekasi.
Setiap anak berhak untuk mendapatkan jaminan perlindungan dan kesejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan peran serta. Biasanya yang menjadi faktor utama semakin banyaknya pekerja anak, adalah dengan disebabkannya situasi dan kondisi perekonomian keluarganya dan faktor dari pribadi anak itu sendiri karena memang tidak ingin bersekolah atau melanjutkan sekolahnya sehingga anak tersebut lebih memilih untuk bekerja, yang salah satunya adalah berkerja sebagai Pekerja Rumah Tangga Anak dengan menerima segala konsekuensinya yaitu jam kerja yang mencapai 18-24 jam sehari karena tinggal serumah dengan majikannya, upah yang sangat minimum, jam istirahat yang kurang, banyaknya pekerjaan yang dilakukan hingga sikap atau perilaku majikan yang terkadang semena-mena atau sering berbuat kasar apabila si anak melakukan kesalahan.
Pekerja rumah tangga anak dalam perspektif Perlindungan Anak. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai instrumen yang digunakan untuk melindungi anak. Konvensi hak anak merupakan suatu tonggak sejarah dalam hukum Internasional, karena didalam konvensi tersebut memuat sejumlah hak anak yang perlu di lindungi oleh setiap negara yang meratifikasinya. Tugas pemerintah adalah mewujudkannya dalam bentuk kebijakan dan program untuk kepentingan terbaik anak. Hal ini digariskan dalam pembukaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak- Pekerja rumah tangga anak dalam perspektif Perlindungan Anak. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai instrumen yang digunakan untuk melindungi anak. Konvensi hak anak merupakan suatu tonggak sejarah dalam hukum Internasional, karena didalam konvensi tersebut memuat sejumlah hak anak yang perlu di lindungi oleh setiap negara yang meratifikasinya. Tugas pemerintah adalah mewujudkannya dalam bentuk kebijakan dan program untuk kepentingan terbaik anak. Hal ini digariskan dalam pembukaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, menyatakan bahwa “setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 menyatakan bahwa “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari berbagai perlakuan :
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasaan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya. Pasal-pasal
tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Tetapi dalam kenyataanya perlindungan itu belum dapat diterapkan dalam segala aspek tumbuh kembang anak, sehingga undang-undang tersebut menjadi tidak efektif. Undang-undang tersebut bisa menjadi tidak efektif karena permasalahan pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti
tersebut
telah telah
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang mungkin disebabkan, karena:
a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang
b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang
c. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya (Soerjono Soekanto, 2005: 17-18).
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 2005: 8).
Apabila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tersebut, maka memperkerjakan anak-anak sebagai pekerja rumah tangga sangatlah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, yang secara jelas memuat bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai perlakuan secara diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual karena upah yang minimum, penelantaraan, kekejamaan, kekerasaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh majikannya apabila si anak melakukan kesalahan; ketidakadilan yang berupa memperlakukan pekerja rumah tangga anak itu seperti tenaga orang dewasa dan perlakuan salah lainnya seperti dicubit, memarahi dengan emosi yang tinggi,dan lain-lain. Tentu saja diikuti dengan memberikan jaminan berupa pemenuhan hak-haknya sebagai seorang anak untuk dapat Apabila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tersebut, maka memperkerjakan anak-anak sebagai pekerja rumah tangga sangatlah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, yang secara jelas memuat bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai perlakuan secara diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual karena upah yang minimum, penelantaraan, kekejamaan, kekerasaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh majikannya apabila si anak melakukan kesalahan; ketidakadilan yang berupa memperlakukan pekerja rumah tangga anak itu seperti tenaga orang dewasa dan perlakuan salah lainnya seperti dicubit, memarahi dengan emosi yang tinggi,dan lain-lain. Tentu saja diikuti dengan memberikan jaminan berupa pemenuhan hak-haknya sebagai seorang anak untuk dapat
Di dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah Indonesia telah mengatur jenis-jenis pekerjaan ini dalam Keputusan Menakertrans No. 235/MEN/2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahyakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Dalam Pasal 1 ayat (2), (3), (4), (15) Undang-U ndang Ketenagakerjaan menyatakan pengertian tenaga kerja, Pekerja/buruh, Pemberi kerja, dan hubungan kerja. Maka pekerja rumah tangga anak termasuk dalam pengertian Pekerja atau buruh dan memenuhi unsur hubungan kerja, meskipun terkadang tidak diikat dengan perjanjian secara tertulis (ikatan kontrak). Oleh karena itu, ada kewajiban untuk melindungi haknya sebagai pekerja. Beberapa pasal yang mengatur ketentuan tentang pekerja anak, yaitu:
a) Pasal 68 menyatakan bahwa Pengusaha dilarang memperkerjakan anak. Artinya dalam pasal 68 tersebut bahwa pengusaha atau majikan dilarang memperkerjakan anak dalam bentuk apapun termasuk memperkerjakan sebagai pekerja rumah tangga.
b) Pasal 69 ayat (1) yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 68 tersebut tidak berlaku bagi anak yang berumur 13 sampai 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menganggu perkembangan fisik, mental dan sosial. Dan Pasal 69 ayat (2) menyatakan bahwa Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan yaitu:
1. Izin tertulis dari orang tua atau wali
2. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali
3. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam
4. dilakukan pada siang hari dan tidak menganggu waktu sekolah
5. keselamatan dan kesehatan kerja
6. adanya hubungan kerja yang jelas
7. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku Tetapi dalam Pasal 69 ayat (3), yang menyatakan bahwa ketentuan
dalam ayat (2) angka 1,2,6,7 dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Seorang anak yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga apabila dilihat dari ketentuan Pasal 69 ayat (1,2,dan 3) sangat bertentangan dengan ketentuan tersebut, karena sebagai pekerja rumah tangga anak bukanlah sebuah pekerjaan ringan, yang waktu kerja maksimumnya adalah 3 jam dalam sehari, dilakukan pada siang hari dan tidak menggangu sekolah, adanya keselamatan dan kesehatan kerja, hubungan kerja yang jelas, dan tentunya menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lalu bagaimanakah perlindungan bagi pekerja rumah tangga anak yang bukan termasuk pekerjaan yang ringan, waktu kerja yang tidak ditentukan bahkan mencapai 24 jam dalam sehari dengan waktu istirahat yang sangat kurang, anak tersebut putus sekolah, tidak adanya keselamatan dan kesehatan kerja yang dapat menjaminya, hubungan kerja yang hanya diucapkan secara lisan tidak dalam bentuk tertulis atau perjanjian tertentu, dan tentu saja menerima upah yang sangat minimum karena dianggap tenaga anak tersebut tidak sama dengan tenaga orang dewasa sehingga upah yang diberikan tergolong murah.
a. Pasal 71, menyatakan bahwa anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Bekerja sebagai pekerja rumah tangga, hanya untuk mengembangkan bakat seorang anak dalam hal urusan rumah tangga saja.
b. Pasal 74 ayat (1) yang menyatakan bahwa siapapun dilarang memperkerjakan dan melibatkan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, ayat (2) menyatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud adalah:
1. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan dan sejenisnya
2. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian
3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, dan/atau Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral Anak. Dan Pasal 74 ayat (3) menyatakan jenis-jenis pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d, ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga anak juga termasuk golongan pekerjaan terburuk karena dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak. Disebabkan jam kerja yang nonstop, dan terlalu banyaknya pekerjaan yang dilakukan, inilah yang sangat menganggu dan membahayakan kesehatan anak baik fisik maupun mental anak. Para Pekerja Rumah Tangga tidak hanya mengerjakan pekerjaan yang secara spesifik seperti memasak, mencuci, namun juga mengambil alih hampir seluruh pekerjaan rumjah tangga majikannya, bahkan termasuk mengasuh dan membimbing anak majikan.
Dalam posisi ini, kehadiran mereka sangat penting bagi perkembangan sosial dan intelektual anak. Sehingga jelas terlihat meski Pekerja rumah tangga memiliki sederet peran yang secara signifikan bagi keluarga dan majikannya, amun nasib mereka hampir tidak pernah berubah dari masa ke masa. Kompleksnya masalah yang dialami para Perkerja rumah tangga diantaranya karena pekerjaan ini “tersembunyi (hidden), tidak terlihat (invisible), dan terabaikan (ignored)”, sehingga banyak kasus kekerasaan dan pelanggaran hak sebagai warganegara, pekerja perempuan, dan anak tidak dapat dideteksi secara cepat.
Kewajiban pemberi kerja sebagai seorang majikan, seharusnya memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Karena fakta yang sering terjadi adalah bahwa anak yang berprofesi sebagai Pekerja rumah tangga mengalami perlakuan baik dan tidak baik. Terkadang majikan Kewajiban pemberi kerja sebagai seorang majikan, seharusnya memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Karena fakta yang sering terjadi adalah bahwa anak yang berprofesi sebagai Pekerja rumah tangga mengalami perlakuan baik dan tidak baik. Terkadang majikan
Seperti yang tercantum dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang nomor 13 tahun 2003, berisi ketentuan bahwa yang melakukan pelanggaran dalam pasal tersebut akan dikenakan sanksi pidana penjara 2-
5 tahun, dengan denda 200-500 juta. Tetapi pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga sampai saat ini dianggap sebagai pekerjaan informal yang hubungannya longgar tanpa diatur hukum sehingga sanksi yang ada tidak dapat berlaku secara tegas. Sebagaimana dapat dilihat bahwa sampai saat ini, sering terjadi kekerasaan pada pekerja rumah tangga tetapi biasanya kasus yang masuk ke pengadilan selalu dimenangkan oleh pihak majikan.
Dan salah satu faktornya adalah kurangnya pengawasan ke masyarakat, lemahnya kesadaran hukum tersebut dan tidak tegasnya sanksi yang diberikan. Selain itu sifat pekerjaan yang informal menyebabkan tidak terlindunginya pekerja rumah tangga dari hukum sehingga kekerasaan demi kekerasaan terus terjadi dan keadilan seakan tidak berpihak pada mereka.
Walaupun sudah ada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetap saja pekerja anak-anak berkeliaran dimana-mana. Padahal di dalam undang-undang itu dikatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang, sehingga orangtua dilarang menelantarkan anaknya. Kalau dilanggar akan dikenakan sanksi hukuman termasuk perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur. Di sisi lain dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, bahwa anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja Walaupun sudah ada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetap saja pekerja anak-anak berkeliaran dimana-mana. Padahal di dalam undang-undang itu dikatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang, sehingga orangtua dilarang menelantarkan anaknya. Kalau dilanggar akan dikenakan sanksi hukuman termasuk perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur. Di sisi lain dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, bahwa anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja
Bagi pekerja rumah tangga anak yang berusia 15-18 tahun perlu mendapatkan perlindungan khusus, dengan persyaratan bahwa pekerjaan itu tidak membahyakan kesehatan, keselamatan atau moral anak serta di beri kesempatan untuk tumbuh kembang dan mendapatkan perlindungan. Adapun persyaratan perlindungan yang harus dipenuhi yaitu:
a. Kontrak kerja
b. Beban kerja sesuai kapasitas anak
c. Jam kerja maksimal 8 jam
d. Pekerjaan dilakukan pada siang hari
e. Diizinkan mengikuti pendidikan dan latihan
f. Libur mingguan, dan
g. Perawatan kesehatan. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 6 tahun 1993 tentang Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma. Latar belakang Peraturan Daerah nomor 6 tahun 1993 yaitu Pramuwisma merupakan bagian penting dalam lingkungan keluarga di wilayah DKI Jakarta, karena itu perlu ditingkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraanya dalam rangka menunjang pembangunan nasional dibidang ketenagakerjaan. Hubungan kerja antara pramuwisma dan pengguna jasa disadari mempunyai ciri khusus yang tidak bisa disamakan dengan ketentuan hubungan kerja yang selama ini diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Selain itu pramuwisma juga mempunyai kewajiban untuk membantu pekerjaan rumah tangga dengan baik. Di dalam Peraturan daerah ini seorang pramuwisma harus memenuhi syarat yaitu dalam Pasal 13 Perda nomor 6 tahun 1993:
1. Berbadan sehat (surat dokter)
2. usia minimal 18 tahun
3. pramuwisma yang berusia 15-18 tahun harus izin orang tua atau wali
4. jujur, disiplin dan sopan
5. memiliki ketermapilan sebagai pramuwisma
6. memiliki identitas yang jelas dan surat keterangan kelakuan baik
7. bagi yang bersuami harus izin suami. Sedangkan bagi si pengguna jasa atau majikan, juga harus memiliki identitas kependudukan. Pengguna jasa wajib (Pasal 10) menyelenggarakan kesejahteraan bagi pramuwisma, dalam hal:
a. Memberikan upah
b. Memberikan makan dan minum
c. Memberikan pakaian
d. Memberikan bimbingan dalam menyelenggarakan pekerjaaan
e. Menyediakan tempat tinggal yang layak dan manusiawi
f. Memberikan cuti tahunan yang wajar
g. Memberikan perlakuan yang wajar
h. Memberikan uang pesangon bila PHK
i. Memberikan waktu istirahat yang wajar j. Memberikan kesempatan beribadah k. Melakukan pemeliharaan kesehatan
Berdasarkan keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1099/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 6 tahun 1993 menyatakan bahwa hubungan kerja antara Pekerja Rumah Tangga dan Majikan harus diikat dengan suatu perjanjian kerja secara tertulis yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pada kenyataanya sampai saat ini hubungan kerja antara majikan dengan pekerja rumah tangga tidak memiliki ikatan yang secara tertulis karena hubungan kerja yang dijalin hanya berdasarkan perjanjian secara lisan saja bukan perjanjian kerja yang secara tertulis yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Padahal, dengan adanya perjanjian kerja yang tertulis dapat melindungi majikan dan pekerja rumah tangga tersebut.
1. Pengadaan dan penyaluran pekerja rumah tangga juga diatur dalam Peraturan Daerah nomor 6 tahun 1993 (Pasal 4, 5, 6, dan 14) oleh Badan Usaha. Dimana Badan Usaha tersebut berkewajiban:
2. Menyediakan penampungan
3. Memberikan pengenalan dan keterampilan penggunaan alat rumah tangga
4. Melatih keterampilan lain yang berkaitan denga pekerjaan rumah tangga
5. Melakukan pembinaan mental spritual
6. Menjamin pramuwisma untuk bekerja minimal 6 bulan atau menggantinya
7. bila bekerja kurang dari 6 bulan
8. Membuat laporan secara tertulis setiap triwulan kepada Gubernur melalui
9. Dinas Tenaga Kerja mengenai pengadaan, penampungan, pembinaan dan Penyaluran
10. Penyaluran didarakan atas permintaan pengguna jasa
11. Ikatan kerja dituangkan dalam PK tertulis yang memuat hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing.
Badan usaha tersebut dilarang memungut biaya dalam bentuk apapun dari calon pramuwisma, menyalurkan pramuwisma melalui calo atau perantara, menyalurkan pramuwisma ke luar wilayah DKI. Jika terjadi perselisihan atara pramuwisma dan pengguna jasa, badan usaha dan pengguna jasa, pramuwisma dan pengguna jasa, badan usaha dan pengguna jasa, pramuwisma dan badan usaha maka diupayakan secara musyawarah dan mufakat. Dan apabila tidak tercapai kesepakatan, maka diselesaikan melalui Tim Penyelesaian Perselisihan Pramuwisa (TP3).
Pemerintah DKI Jakarta melakukan pengawasan yang dilakukan oleh Pegawai yang diserahi tugas pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku, agar peraturan tersebut dapat berlaku secara efektif dan tegas. Pelanggaran terhadap
Perda ini diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 50.000 (Seminar Nasional dengan Disnakertrans dengan judul Perspektif Pembantu Rumah Tangga Anak dalam UU Ketenagakerjaan).
Berdasarkan analisis Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, defiisi ini masih menggunakan istilah pemabntu rumah tangga dan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pembantu rumah tangga. Di dalamnya hanya menyebutkan melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa penjelasan bekerja pada siapa. Dengan demikian seperti menghilangkan unsur di bawah perintah yang merupakan unsur pengertian buruh dalam hukum perburuhan. Sedangkan berdasarkan penilaian analisis situasi yang diselenggarakan ILO kantor Jakarta, Perda ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah bentuk perlindungan legal terhadap Pekerja rumah tangga. Sebabanya, Perda lebih diperuntukkan bagi pengaturan masalah pajak dan retribusi dari agen-agen penyalur pekerja rumah tangga daripada melindungi hak-hak hukum calon atau mereka yang telah bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
Dari 31 pasal yang terdapat dalam Perda tersebut, lebih dari separuhnya merupakan pengaturan masalah perijinan yang pastinya berurusan dengan pemasukan keuangan bagi Pemda. Perda seperti upah rata-rata yang harus diberikan majikan, standar kelayakan ruangan bagi pekerja rumah tangga, apa pakaian yang mereka sediakan dan berapa kali pekerja rumah tangga mendapatkannya dalam kurun waktu satu tahun, dan tidak menyebutkan sama sekali keperluan hari libur atau waktu istirahat. Usaha yang setengah hati dalam melinduingi pekerja rumah tangga ditujukkan pula dengan kelangkaan sanksi yang cukup bermakna bagi majikan atau penyalur yang melakukan pelanggaran. Peraturan lain di Jakarta yang mengatur soal pekerja rumah tangga terdapat dalam Perda nomor 6 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun pekerja rumah tangga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pasal-pasal Perda, akan Dari 31 pasal yang terdapat dalam Perda tersebut, lebih dari separuhnya merupakan pengaturan masalah perijinan yang pastinya berurusan dengan pemasukan keuangan bagi Pemda. Perda seperti upah rata-rata yang harus diberikan majikan, standar kelayakan ruangan bagi pekerja rumah tangga, apa pakaian yang mereka sediakan dan berapa kali pekerja rumah tangga mendapatkannya dalam kurun waktu satu tahun, dan tidak menyebutkan sama sekali keperluan hari libur atau waktu istirahat. Usaha yang setengah hati dalam melinduingi pekerja rumah tangga ditujukkan pula dengan kelangkaan sanksi yang cukup bermakna bagi majikan atau penyalur yang melakukan pelanggaran. Peraturan lain di Jakarta yang mengatur soal pekerja rumah tangga terdapat dalam Perda nomor 6 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun pekerja rumah tangga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pasal-pasal Perda, akan
Pekerja rumah tangga anak dalam perspektif Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004. Pentingnya mengetahui Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004 adalah agar pekerja rumah tangga mendapatkan perlindungan hukum dalam ruang lingkup rumah tangga yang sekaligus sebagai tempatnya bekerja yang mungkin juga dapat meminimalisirkan kekerasaan dalam rumah tangga. Seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 yang menyatakan bahwa lingkup rumah tangga adalah selain suami, istri dan anak juga orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Di dalam ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 menyatakan bahwa orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Pasal 2 ini sebetulnya dapat dijadikan acuan bagi pekerja rumah tangga untuk dapat melindungi dirinya. Sehingga segala pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang ini juga berlaku untuk pekerja rumah tangga. Baik asas yang berlaku dalam penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga, tujuan penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga, larangan kekerasaan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasaan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga, hak-hak para korban kekerasaan dalam rumah tangga, kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam merumuskan Pekerja rumah tangga anak dalam perspektif Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004. Pentingnya mengetahui Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004 adalah agar pekerja rumah tangga mendapatkan perlindungan hukum dalam ruang lingkup rumah tangga yang sekaligus sebagai tempatnya bekerja yang mungkin juga dapat meminimalisirkan kekerasaan dalam rumah tangga. Seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 yang menyatakan bahwa lingkup rumah tangga adalah selain suami, istri dan anak juga orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Di dalam ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 menyatakan bahwa orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Pasal 2 ini sebetulnya dapat dijadikan acuan bagi pekerja rumah tangga untuk dapat melindungi dirinya. Sehingga segala pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang ini juga berlaku untuk pekerja rumah tangga. Baik asas yang berlaku dalam penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga, tujuan penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga, larangan kekerasaan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasaan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga, hak-hak para korban kekerasaan dalam rumah tangga, kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam merumuskan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004 ini sebenarnya dapat dimanfaatkan bagi pekerja rumah tangga maupun pekerja rumah tangga anak, sehingga mereka tahu apa yang harus mereka perbuat apabila terjadi tindak kekerasaan baik fisik, psikis, seksual maupun penelantaran rumah tangga. Tetapi undang-undang ini tidak dapat berlaku secara efektif bagi pekerja rumah tangga karena dalam undang-undang ini kekerasaan yang terjadi baik fisik, psikis, seksual maupun penelantaran rumah tangga merupakan delik aduan yaitu hanya pelaku kekerasaan tersebut dapat ditangani apabila adanya aduan dari korban, sementara para pekerja rumah tangga itu sendiri tidak memiliki keberanian untuk melaporkan sikap dan perilaku majikannya yang apabila berbuat kasar kepada mereka. Faktor kurangnya kesadaran hukum inilah yang menjadi kendala tidak efektifnya hukum tersebut. Sehingga menyebabkan belum adanya perlindungan bagi pekerja rumah tangga khususnya adalah pekerja rumah tangga anak dari segi perlindungan sosial, perlindungan ekonomi maupun perlindungan secara teknis yang berwujud peraturan yang mengatur secara spesifik mengenai pekerja rumah tangga anak tersebut.
Perlindungan ekonomi yang terdiri dari upah, jaminan sosial tenaga kerja, dan tunjangan hari raya. Perlindungan sosial dalam hal waktu kerja dan istirahat. Dan perlindungan teknis yang berupa keselamatan dan kesehatan kerja yang diwujudkan dalam undang-undang.
Karena berada dalam lingkup domestik dan bersifat informal, pekerjaan ini dinilai tidak produktif sehingga tidak mendapat penghargaan layak dan terlunta-lunta dalam perlindungan hukum. Inilah problem utama kemelut pekerja rumah tangga. Di satu sisi ia mengalami ketidakadilan sebagai perempuan dalam masyarakat patriarkhi, di sisi lain ia mengalami ketidakadilan sebagai pekerja.
Tidak adanya batasan kerja membuat jam kerja pekerja rumah tangga sangat panjang, mulai dari umumnya 10-16 jam hingga 24 jam per hari. Pekerja rumah tangga tidak mendapat hak istirahat, hak reproduksi, bersosialisasi dengan pihak luar, tidak memiliki rasa aman dengan memiliki ruangan tertutup atau kamar mandi terkunci, bahkan tidak mendapatkan hak beribadah.
Dalam hal upah, tidak ada standar kebijakan upah minimum. Pekerja rumah tangga sering berada dalam situasi tidak mengetahui upah yang akan diterimanya, tidak menerima upah sesuai yang dijanjikan (jumlah, cara, atau waktu pembayaran), atau bahkan tidak mendapat upah sama sekali.
Dengan begitu, menjadi pekerja rumah tangga khususnya para pekerja rumah tangga anak merupakan alternatif yang paling berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan melanjutkan hidup. Karenanya, kita harus menghargai setara mereka profesi mereka sebagai pekerja rumah tangga dan juga profesi lainnya. Selama ini, anggapan pekerja rumah tangga sebagai pembantu, pekerja informal yang tidak signifikan, ditambah stereotip sebagai pekerjaan perempuan, menjadikan profesi mulia ini disubordinasi oleh banyak orang. Dengan melihat bahwa belum adanya peraturan yang mengatur mengenai pekerja rumah tangga secara spesifik, membuat kita semakin sadar bahwa mereka juga mempunyai martabat sebagai manusia, yang tidak layak untuk diperlakukan dengan berbagai tindak kekerasaan.