Pergeseran Prosesi Adat Pelebur Base Dalam Perkawinan Endogami Pada Suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur

A. Pergeseran Prosesi Adat Pelebur Base Dalam Perkawinan Endogami Pada Suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur

Sebelum mendeskripsikan proses pelaksanaannya, peneliti terlebih dahulu akan menggambarkan hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan yang melakukan perkawinan endogami dengan menggunakan adat pelebur base. Dalam perkawinan ini kedua pasangan merupakan seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara sepupunya (paman dengan keponakan) atau seorang perempuan dengan anak laki-laki saudara sepupunya (bibi dengan keponakan). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Kasim (40 tahun), salah seorang informan kunci yang merupakan Kepala Dusun Ketapang Desa Menceh sekaligus pemangku adat di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur.

Arak bait duan, arak bait saik. Pertame kali ya ampok ne aran pelebur base no marak misal te bepisak, laguk anak pisaq te no siq te bait, lamun meno kan anak te uni, laguk lamun setelah merarik jari engkah tengene anak, adiq te uni sengak wah jari senine. Ada ambil (mengambil untuk nikah) keponakan, ada ambil bibi. Pertama kali yang dimaksud pelebur base itu seperti misalnya kita bersaudara sepupu, tapi anak sepupu kita itu yang kita ambil, kalau demikian berarti sebutan anak juga bagi kita, tapi kalau setelah menikah berarti berhenti disebut anak, adik kita sebut karena sudah menjadi istri (wawancara hari Sabtu, 15 Juni 2013).

Demikian juga yang diungkapkan oleh Muhrim (60 tahun), salah seorang informan asal Dusun Kuangwai Desa Menceh. Merariq ne angkak anak pisakne siq ne bait, laguk kan ndek ne kanggo.

Nani bepisak ne amaq sak no pade amaq ne, laguk anak ne no bait ne sik amaq sak no. Berarti anak ne no pade ne kene duan, iye siq ndek kanggo, iye salaq base unin teparan iye salaq base, pelebur base ne. Dia menikah dengan anak sepupunya, tapi itu kan tidak boleh. Misalnya bapak yang itu bersaudara sepupu dengan bapak yang ini, tapi anak bapak yang ini diambil nikah oleh bapak yang itu. Berarti anak itu merupakan Nani bepisak ne amaq sak no pade amaq ne, laguk anak ne no bait ne sik amaq sak no. Berarti anak ne no pade ne kene duan, iye siq ndek kanggo, iye salaq base unin teparan iye salaq base, pelebur base ne. Dia menikah dengan anak sepupunya, tapi itu kan tidak boleh. Misalnya bapak yang itu bersaudara sepupu dengan bapak yang ini, tapi anak bapak yang ini diambil nikah oleh bapak yang itu. Berarti anak itu merupakan

Berdasarkan informasi tersebut di atas, berikut contoh gambaran hubungan kekerabatan antara pihak lelaki dan pihak perempuan yang melakukan perkawinan endogami menggunakan denda adat pelebur base. Contoh ini peneliti sajikan dalam bentuk bagan kekerabatan (kinship chart).

Ego

Keterangan: : laki-laki : perempuan : keturunan : saudara kandung

: hubungan perkawinan : laki-laki yang menikah menggunakan denda pelebur base : perempuan yang menikah menggunakan denda pelebur base

: perkawinan endogami menggunakan denda pelebur base

Gambar 2: Bagan Perkawinan Endogami dengan Denda Pelebur Base

Berdasarkan gambaran hubungan kekerabatan di atas, maka akan mempermudah peneliti dalam menyajikan hasil penelitian berupa proses penggunaan adat pelebur base dalam perkawinan endogami pada masyarakat Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur. Karena proses denda adat ini pun tak terlepas dari pengaruh keluarga kedua belah pihak, mengingat bahwa keduanya berasal dari satu garis keturunan atau kekerabatan yang sama.

Mengenai prosesi denda pelebur base, terdapat perbedaan antara cara- cara yang digunakan pada zaman dahulu dengan masa sekarang. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu pengaruh eksistensi adat masih sangat kuat, berbeda dengan masa sekarang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Kasim dan Senari, “sengak laeq masih kuat adat”.

Pada zaman dahulu apabila diketahui ada pasangan yang ingin melakukan perkawinan endogami yang tak lazim, yang dalam hal ini dianggap melanggar adat sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka diharuskan melakukan suatu syarat tertentu.

Syarat tersebut berupa calon pengantin lelaki, baik berstatus sebagai paman atau keponakan dari calon mempelai perempuan, diharuskan tidur terlentang di tanah atau ditanam dalam tanah sampai leher. Kemudian beberapa ekor kerbau yang berjumlah cukup banyak, sekitar seratus sampai dua ratus ekor, diarahkan untuk menginjaknya. Jika si lelaki tersebut masih hidup setelah dinjak-injak oleh kerbau, maka ia diperbolehkan untuk menikahi sang perempuan dengan menggunakan dedosan pelebur base. Namun jika si lelaki itu mati, maka perkawinan tentunya tidak dapat dilangsungkan. Hal ini Syarat tersebut berupa calon pengantin lelaki, baik berstatus sebagai paman atau keponakan dari calon mempelai perempuan, diharuskan tidur terlentang di tanah atau ditanam dalam tanah sampai leher. Kemudian beberapa ekor kerbau yang berjumlah cukup banyak, sekitar seratus sampai dua ratus ekor, diarahkan untuk menginjaknya. Jika si lelaki tersebut masih hidup setelah dinjak-injak oleh kerbau, maka ia diperbolehkan untuk menikahi sang perempuan dengan menggunakan dedosan pelebur base. Namun jika si lelaki itu mati, maka perkawinan tentunya tidak dapat dilangsungkan. Hal ini

Pelebur base no arak due perkare kadune. Sak pertame telongkangan tanaq ampok tekerahang kao satus. Bare-bare iye genjah ne. Lamun ndek mate baruk ne kadu dedosak pelebur base. Tesuruk tindok leq tanak ampok tekerahang kao, pire sak keluekne kao no. Lamun satak, satak lengkak rajangne. Lamun ndek mate jek karing dedosak, pelebur base tie. Lamun ne mate burung noh bekawin. Pelebur base itu ada dua cara yang digunakan. Yang pertama ditanam dalam tanah lalu dikerahkan seratus ekor kerbau untuk menginjak-injaknya. Kalau dia tidak mati barulah menggunakan denda adat pelebur base. Disuruh tidur di atas tanah lalu dikerahkan kerbau, berapa pun banyaknya kerbau itu. Kalau dua ratus ekor, dua ratus ekor menginjaknya. Jika dia tidak mati, tinggal menggunakan denda adat pelebur base. Tetapi jika dia mati berarti tidak jadi menikah (wawancara hari Sabtu, 15 Juni 2013).

Informasi ini pun diperkuat oleh seorang informan bernama Senari (70 tahun) yang mengaku telah banyak mengetahui perihal perkawinan-perkawinan yang menggunakan dedosan pelebur base.

Lamunne care laek jaq tetukaqne entan. Tetukaq entah belong, ampok tegerohan kao yaq genjahne. Ratusan keluek kaono. Lamun ne masih idup engkah tegenjah siq kao no jaq, ye ampok ne tekanggoan merariq kadu dedosak pelebur base. Laguk lamunne mate, berembe ntane bekawin. Burungne mauq bekawin. Iye ntan care laek, sengak adat laek ye masih kuat. Kalau cara terdahulu ditanam dalam tanah caranya. Ditanam sampai leher, lalu dikerahkan kerbau untuk menginjaknya. Ratusan ekor jumlah kerbau itu. Jika dia masih hidup setelah diinjak oleh kerbau-kerbau itu, maka dibolehkan menikah menggunakan denda adat pelebur base. Tapi jika dia mati, bagaimana mungkin menikah. Dia tidak jadi menikah. Itulah cara zaman dahulu, karena dulu masih kuat adat (wawancara hari Rabu, 3 Juli 2013).

Melalui penuturannya dapat diketahui bahwa pada zaman dahulu apabila terjadi perkawinan antara seorang lelaki dengan anak perempuan sepupunya (keponakan) atau sepupu perempuan orang tuanya (bibi), maka akan ditanam di dalam tanah hingga sebatas leher, lalu akan dikerahkan kerbau yang jumlahnya sangat banyak untuk melewatinya. Apabila ia masih hidup setelah Melalui penuturannya dapat diketahui bahwa pada zaman dahulu apabila terjadi perkawinan antara seorang lelaki dengan anak perempuan sepupunya (keponakan) atau sepupu perempuan orang tuanya (bibi), maka akan ditanam di dalam tanah hingga sebatas leher, lalu akan dikerahkan kerbau yang jumlahnya sangat banyak untuk melewatinya. Apabila ia masih hidup setelah

Mengenai hal ini, Amaq Kini (60 tahun), salah seorang tokoh agama Desa Menceh (Kyai) juga mengungkapkan hal yang sama. Care laek jaq tegenjah kadu kao. Mule tetu wah arak kejadian laek, iye

unin tetuturang siq dengan toak laek. Laguk laek ne arak, nani jaq ndarak dait te marak mentiye. Cukup bayah dende jaq iye wah. Cara dulu diinjak menggunakan kerbau. Memang benar sudah ada terjadi dulu, itu yang diceritakan oleh orang tua terdahulu. Tapi itu zaman dahulu ada, kalau sekarang tidak ada yang kita temukan seperti itu. Cukup bayar denda saja (wawancara hari Jum’at, 28 Juni 2013).

Jumasih (90 tahun), salah seorang dukun Sasak Desa Menceh, juga membenarkan akan hal tersebut. Iye, tetu. Tetu ne uwah arak kejadian. Laguk ndekku uwah jaq daitne. Ite

tetuturang siq dengan toaq laek. Iya, benar. Memang sudah ada terjadi. Tapi saya tidak pernah menyaksikan. Saya diceritakan/diberitahu oleh orang tua dulu (wawancara hari Kamis, 4 Juli 2013).

Menurut penuturan lebih lanjut dari Senari, lambat laun adat pelebur base yang menggunakan syarat diinjak menggunakan kerbau sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, mulai ditinggalkan. Hal ini bermula sejak kurang lebih ketika Sunan Kalijaga datang dan berdakwah mengajarkan agama Islam di Pulau Lombok.

Pada waktu itu para pemangku adat berkumpul kemudian bermusyawarah mengenai hal tersebut. Beberapa orang berpendapat bahwa dalam ajaran agama Islam perkawinan sebagaimana di atas boleh dilakukan, asalkan ndek bareng sugul dait ndek bareng nyusu (bukan saudara kandung dan bukan saudara sesusuan). Bahkan sebagaimana yang diungkapkan oleh

Muhammad Kasim (pemangku adat), bahwa dahulu terdapat salah seorang Nabi yang menikah dengan anak sepupu atau anak sampu-nya.

Mengingat masyarakat Sasak merupakan mayoritas pemeluk agama Islam. Berkaitan dengan hal itu, terdapat dalam agama Islam yang mengatur masalah perkawinan, yakni yang terdapat dalam Al- Qur’an surat An-Nisa’ ayat

23 mengenai 14 macam perempuan yang tidak boleh dikawini. Terjemahannya sebagai berikut: Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang

perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak- anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan diharamkan mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Semenjak itu adat pelebur base yang menggunakan syarat diinjak oleh kerbau pun mulai ditinggalkan. Karena dianggap tidak manusiawi dan bertentangan dengan ajaran agama Islam sebagai keyakinan masyarakat Sasak. Namun, perkawinan endogami yang tak lazim antara paman atau bibi dengan anak sepupunya (keponakan), tetap dianggap bertentangan dan telah melanggar adat. Sehingga, penggunaan adat pelebur base pun harus dilaksanakan yakni dengan melakukan pembayaran dedosan (denda adat) pelebur base.

Menurut penuturan Amaq Kasim dan Amaq Muhrim, proses penggunaan denda adat pelebur base pada intinya dilaksanakan dalam sidang majelis adat

yang dikenal dengan upacara sorong serah aji krame, sebagaimana pembayaran denda-denda adat lainnya. Karena dalam upacara sorong serah aji krame ini semua pelanggaran yang dilakukan akan diperdebatkan dalam sidang adat tersebut kemudian barulah dilaksanakan pembayaran denda adat. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Lukman (2006:74) bahwa semua macam pelanggaran yang dilakukan dalam adat perkawinan, cukup diselesaikan di dalam pelaksanaan upacara sorong serah, karena selain sorong serah itu merupakan upacara, juga berlaku sebagai persidangan adat dalam menyelesaikan segala macam pelanggaran. Sudirman dkk (2011:21) juga menyebutkan bahwa di dalam sidang majelis adat, diperbincangkan pula mengenai sanksi dan denda adat yang mungkin timbul akibat adanya pelanggaran di dalam seluruh rangkaian prosesi sebelumnya. Apabila terdapat denda maka pada saat itulah harus dibayarkan.

Terkait dengan hal tersebut maka peneliti akan menyajikan rangkaian adat perkawinan suku Sasak Desa Menceh, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Muhammad Kasim selaku pemangku adat Desa Menceh, yang di dalamnya menggunakan denda adat pelebur base, antara lain sebagai berikut.

a) Merariq (kawin lari); seperti halnya merariq pada umumnya, calon pengantin laki-laki akan membawa lari calon pengantin perempuan yang sejatinya masih satu kekerabatan dengan calon pengantin lelaki

sebagaimana yang telah dijelaskan menggunakan bagan kekerabatan di atas.

b) Besebo. Dalam perkawinan endogami yang tak lazim ini, baik antara paman dengan keponakan ataupun bibi dengan keponakan, tempat peseboan berada

cukup jauh dari tempat tinggal calon pengantin perempuan maupun calon pengantin laki-laki. Tempat peseboan ini pun bukan pada rumah keluarga atau kerabat dekat dari orang tua laki-laki. Berbeda halnya dengan besebo pada umumnya sebagaimana juga yang disebutkan oleh Sudirman dkk (2011:8), “si gadis yang dijemput tidak langsung dibawa ke rumah orang tua laki-laki, tetapi ke rumah keluarga atau kerabat dekat dari orang tua laki-laki atau dikenal dengan istilah besebo ”. Peristiwa besebo semacam ini pun pernah dilakukan oleh sepasang calon pengantin yang berasal dari Desa Pengkelaq Emas Kecamatan Sakra Barat. Menurut penuturan seorang informan bernama Rosidi (26 tahun), sang lelaki yang bernama Syaifuddin membawa lari (merariq) anak sepupunya (keponakannya) yang bernama Isna (wawancara hari Kamis, 4 Juli 2013). Ia tidak membawa calon pengantin perempuannya bersembunyi di rumah keluarga atau kerabat dekat orang tuanya melainkan bersembunyi di rumah salah seorang sahabatnya, Rosidi. Rumah tersebut berada di lokasi tempat peneliti meneliti yakni di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur, tepatnya di Dusun Kuangwai Utara. Lokasi tersebut tentunya berjarak cukup jauh dengan tempat tinggal mereka. Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan, hal tersebut dilakukan agar tidak mudah diketahui oleh keluarga mereka khususnya orang tua si perempuan. Sebab mereka sudah mengetahui bahwa perkawinan tersebut tentu akan sulit mendapat restu keluarga karena dianggap telah melanggar adat.

c) Mesejati; Pada proses mesejati ini mulai dibicarakan mengenai siapa menikah dengan siapa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhrim, orang

yang datang mesejati dalam hal ini antara lain pemangku adat, kepala dusun, ketua RT, dan orang tua/salah satu keluarga calon pengantin lelaki. Keempat orang ini akan mendatangi kepala dusun/lingkungan dan ketua RT tempat tinggal calon pengantin perempuan yang selanjutnya bersama-sama mendatangi orang tua dari calon pengantin perempuan. Menurut keterangan dari Muhammad Kasim selaku pemangku adat yang telah cukup berpengalaman dalam hal urusan perkawinan masyarakat Desa Menceh, pada saat mesejati inilah diberitahukan pada orang tua calon pengantin perempuan bahwa anaknya telah merariq dengan calon pengantin lelaki. Dalam proses pemberitahuan ini bisa saja terjadi perdebatan bahkan perkelahian (besiyak) antara keluarga kedua calon pengantin. Karena pada saat mesejati inilah dibicarakan sai kancene merarik (dengan siapa menikah). Andaikata ia merariq dengan keponakannya (anak sepupu) atau dengan bibinya (saudara sepupu orang tua), maka pada saat itulah ditentukan bahwa ia telah melanggar adat dan diharuskan menggunakan dedosan pelebur base. Hal ini seperti halnya yang diungkapkan oleh Satrah dan Khadijah, salah satu pasangan yang menikah menggunakan dedosan pelebur base. Mereka menuturkan bahwa setelah diketahui oleh orang tua masing-masing dengan siapa mereka menikah, terjadilah perdebatan antar kedua keluarga yang sejatinya masih dalam satu kekerabatan. Tak dapat dielakkan mereka berdua pun pada saat itu menjadi sasaran amarah kedua yang datang mesejati dalam hal ini antara lain pemangku adat, kepala dusun, ketua RT, dan orang tua/salah satu keluarga calon pengantin lelaki. Keempat orang ini akan mendatangi kepala dusun/lingkungan dan ketua RT tempat tinggal calon pengantin perempuan yang selanjutnya bersama-sama mendatangi orang tua dari calon pengantin perempuan. Menurut keterangan dari Muhammad Kasim selaku pemangku adat yang telah cukup berpengalaman dalam hal urusan perkawinan masyarakat Desa Menceh, pada saat mesejati inilah diberitahukan pada orang tua calon pengantin perempuan bahwa anaknya telah merariq dengan calon pengantin lelaki. Dalam proses pemberitahuan ini bisa saja terjadi perdebatan bahkan perkelahian (besiyak) antara keluarga kedua calon pengantin. Karena pada saat mesejati inilah dibicarakan sai kancene merarik (dengan siapa menikah). Andaikata ia merariq dengan keponakannya (anak sepupu) atau dengan bibinya (saudara sepupu orang tua), maka pada saat itulah ditentukan bahwa ia telah melanggar adat dan diharuskan menggunakan dedosan pelebur base. Hal ini seperti halnya yang diungkapkan oleh Satrah dan Khadijah, salah satu pasangan yang menikah menggunakan dedosan pelebur base. Mereka menuturkan bahwa setelah diketahui oleh orang tua masing-masing dengan siapa mereka menikah, terjadilah perdebatan antar kedua keluarga yang sejatinya masih dalam satu kekerabatan. Tak dapat dielakkan mereka berdua pun pada saat itu menjadi sasaran amarah kedua

(wawancara hari Selasa, 25 Juni 2013).

d) Selabar, yang berarti penyebarluasan kepada khalayak ramai tentang peristiwa merariq yang terjadi (Sudirman dkk, 2011:12). Setelah proses

mesejati maka dilanjutkan dengan proses selabar yakni berbicara tentang pernikahan. Menurut pengalaman Muhammad Kasim, yang berperan dalam hal ini adalah kyai (petugas hukum).

e) Bait wali (menuntut wali nikah) kepada pihak pengantin wanita. Dalam hal ini keluarga calon pengantin lelaki bersama dengan kyai atau penghulu

mendatangi keluarga calon pengantin perempuan untuk meminta kesediaan walinya datang ke rumah calon pengantin laki-laki untuk menikahkan kedua pengantin. Menurut Muhammad Kasim acara bait wali ini biasa dikenal dengan istilah perebak pucuk. Dalam Sudirman (2011:13), secara harfiah perebaq berarti merebahkan/meletakkan, pucuk berarti ujung, sebagai kiasan dari senjata tajam, biasanya keris.

f) Nikahan (akad nikah). Dalam hal ini sudah jelas bahwa kedua pengantin dinikahkan menggunakan syariat agama Islam agar pernikahan tersebut

dapat sah secara agama. Berdasarkan penuturan Muhammad Kasim, terdapat dua macam cara mengenai hal ini, “care laek jaq sorong serah juluk, baruk nikahan. Laguk nani jaq nikahan juluk baruk sorong serah”. Menurut cara terdahulu dalam proses perkawinan masyarakat Sasak, yang didahulukan adalah menikah secara adat yakni melaksanakan sorong serah dapat sah secara agama. Berdasarkan penuturan Muhammad Kasim, terdapat dua macam cara mengenai hal ini, “care laek jaq sorong serah juluk, baruk nikahan. Laguk nani jaq nikahan juluk baruk sorong serah”. Menurut cara terdahulu dalam proses perkawinan masyarakat Sasak, yang didahulukan adalah menikah secara adat yakni melaksanakan sorong serah

g) Bait janji, yaitu perundingan untuk menentukan kapan hari baik dan bulan baik, supaya kerja yang akan dilakukan berjalan dengan baik pula (Lukman, 2006:20). Dalam hal bait janji ini diikuti oleh beberapa permintaan dari

pihak pengantin perempuan yang lazim dikenal dengan gantiran.

h) Gantiran, biaya yang dibebankan kepada pihak laki-laki. Dalam perkawinan masyarakat Sasak pada umumnya, biaya untuk mengadakan begawe (pesta)

lazimnya dibebankan sepenuhnya kepada keluarga pihak laki-laki. Berbeda halnya dengan perkawinan pelebur base, beban biaya untuk mengadakan begawe (pesta) tidak dibebankan sepenuhnya kepada orang tua pihak laki- laki. Melainkan orang tua pihak perempuan pun ikut andil dalam hal mengeluarkan sejumlah biaya untuk memeriahkan acara begawe tersebut. Sebagaimana informasi yang peneliti dapatkan dari beberapa pasangan perkawinan endogami dengan pelebur base, yakni Satrah dan Khadijah, Amaq Ismail alias Cani dan Main, serta Tasih dan Seriah. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya sebelum terjadi perkawinan pun kedua pengantin merupakan satu keluarga, satu kekerabatan, dan satu garis keturunan.

i) Begawe (pesta). Dalam proses begawe sama halnya dengan begawe pada perkawinan masyarakat Sasak pada umumnya. Dalam Sudirman dkk

(2011:19), biasanya begawe dilaksanakan dua hari. Hari pertama disebut jelo jait, hari pembuka dan hari kedua disebut jelo gawe, hari pelaksanaan puncak begawe.

j) Sorong Serah Aji Krame, merupakan prosesi terpenting dari seluruh rangkaian adat perkawinan suku Sasak. Sebab dari sudut pandang adat

Sasak, Sorong Serah merupakan pengabsahan suatu perkawinan, agar para pengantin memperoleh hak-haknya secara adat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dalam upacara Sorong Serah inilah diperbincangkan pula mengenai dedosan yang timbul akibat adanya pelanggaran di dalam seluruh rangkaian prosesi sebelumnya. Berdasarkan pelanggaran yang telah dilakukan yakni merariq dengan anak sepupu (keponakan) atau sepupu orang tua (bibi), maka pihak lelaki dikenakan dedosan pelebur base. Sebagaimana dalam Lukman (2006:37) mengenai dedosan, disebutkan bahwa biasanya pihak yang menjadi tertuduh adalah pihak lelaki, karena selama proses perkawinan dialah menjadi pihak yang mengambil inisiatif, atau yang selaku pihak aktif. Dalam upacara adat sorong serah ini, pihak lelaki mengirim rombongan yang terdiri dari dua puluh sampai tiga puluh orang untuk mendatangi keluarga pihak perempuan dengan membawa harta benda yang dinamakan gegawan yang akan diserahkan kepada keluarga pihak perempuan. Proses pelaksanaan sorong serah ini dipimpin oleh seorang pembayun. Masing-masing pihak diharuskan menggunakan pembayun. Dari pihak laki-laki dinamakan Pembayun Penyorong sedangkan dari pihak perempuan dinamakan Pembayun Penampi. Waktu pelaksanaan Sasak, Sorong Serah merupakan pengabsahan suatu perkawinan, agar para pengantin memperoleh hak-haknya secara adat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dalam upacara Sorong Serah inilah diperbincangkan pula mengenai dedosan yang timbul akibat adanya pelanggaran di dalam seluruh rangkaian prosesi sebelumnya. Berdasarkan pelanggaran yang telah dilakukan yakni merariq dengan anak sepupu (keponakan) atau sepupu orang tua (bibi), maka pihak lelaki dikenakan dedosan pelebur base. Sebagaimana dalam Lukman (2006:37) mengenai dedosan, disebutkan bahwa biasanya pihak yang menjadi tertuduh adalah pihak lelaki, karena selama proses perkawinan dialah menjadi pihak yang mengambil inisiatif, atau yang selaku pihak aktif. Dalam upacara adat sorong serah ini, pihak lelaki mengirim rombongan yang terdiri dari dua puluh sampai tiga puluh orang untuk mendatangi keluarga pihak perempuan dengan membawa harta benda yang dinamakan gegawan yang akan diserahkan kepada keluarga pihak perempuan. Proses pelaksanaan sorong serah ini dipimpin oleh seorang pembayun. Masing-masing pihak diharuskan menggunakan pembayun. Dari pihak laki-laki dinamakan Pembayun Penyorong sedangkan dari pihak perempuan dinamakan Pembayun Penampi. Waktu pelaksanaan

1. Sesirah, biasanya terdiri dari barang atau logam mulia, umpamanya gelang emas atau semacamnya.

2. Aji Krame, terdiri dari tapak lemah yang disimbolkan dalam bentuk kepingan logam dan olen-olen disimbolkan dengan kain-kain (kain tenun

sandang)

3. Sasmi Taring Urip, terdiri atas salin dede, penjaruman/tedung pengarat, pemegat sengkang. Salin dede berwujud tepaq (belanga), kemeq belek

(periuk) yang terbuat dari gerabah, ceraken (tempat-remah-remah dari anyaman daun lontar), semprong bambu, kedogan (sabuk untuk ibu melahirkan), londong (kain sarung untuk sembahyang), kain putih ukuran mukena, dan benang katak (benang pintal). Penjaruman/tedung pengarat, penjaruman berwujud jarum dan benang diperuntukkan bagi kalangan yang berstatus sosial perwangse (bangsawan) ke atas, sedangkan tedung pengarat berwujud uang dan kereng putiq secapuan (kain putih seukuran daster) bagi golongan jajar karang. Pemegat sengkang yakni seorang perempuan yang telah merariq harus melepas perhiasannya seperti sengkang dan gelang yang menjadi ciri ketika masih (periuk) yang terbuat dari gerabah, ceraken (tempat-remah-remah dari anyaman daun lontar), semprong bambu, kedogan (sabuk untuk ibu melahirkan), londong (kain sarung untuk sembahyang), kain putih ukuran mukena, dan benang katak (benang pintal). Penjaruman/tedung pengarat, penjaruman berwujud jarum dan benang diperuntukkan bagi kalangan yang berstatus sosial perwangse (bangsawan) ke atas, sedangkan tedung pengarat berwujud uang dan kereng putiq secapuan (kain putih seukuran daster) bagi golongan jajar karang. Pemegat sengkang yakni seorang perempuan yang telah merariq harus melepas perhiasannya seperti sengkang dan gelang yang menjadi ciri ketika masih

4. Pelengkak, berarti melangkahi atau mendahului. Apabila pengantin perempuan mendahului kakaknya menikah maka akan timbul pelengkak yang berwujud seperangkat pakaian dan perhiasan yang nantinya

diberikan kepada kakak yang didahuluinya, yang jumlahnya dapat berlipat-lipat sesuai jumlah kakaknya.

5. Pikoliling Dise, perlengkapan komunitas (desa adat) yang ditinggalkan dalam rangka peristiwa merariq terdiri atas pembabas kute, kar jiwe, dan krame dise. Pembabas kute yaitu melewati batas desa bagi orang merariq

yang berlainan desanya, sehingga diharuskan menyediakan sejumlah uang semacam persembahan untuk desa. Kar jiwe, desa yang warganya hilang berhak mendapatkan ganti rugi atas kemanfaatan yang hilang tersebut, dalam sorong serah aji krame diperhitungkan dengan sejumlah uang. Krame dise bahwa dengan adanya peristiwa merariq maka pihak desa akan menyediakan layanan-layanan selama proses mesejati, selabar, dan lain-lain, sehingga desa berhak mendapatkan sejumlah biaya pelayanan.

6. Dedosan (denda-denda), sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dalam sorong serah ini dibicarakan juga mengenai pelanggaran yang

telah dilakukan dan dikenai sanksi berupa pembayaran denda adat. Dedosan terdiri dari dende mbait, menang wangse, salam panji, pelebur base, dan lain-lain (menurut situasi masing-masing). Dalam penelitian

ini, pelanggaran yang dikaji mengenai perkawinan endogami yang tak lazim yakni perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak sepupunya (keponakan) atau sepupu orang tuanya (bibi). Pada suku Sasak khususnya di Desa Menceh hal ini dianggap sebagai suatu pelanggaran yang harus diberikan sanksi berupa pembayaran dedosan pelebur base. Berdasarkan penuturan para informan, yakni Kasim, Muhrim, dan Senari, diketahui bahwa pembayaran denda adat pelebur base digantungkan pada strata sosial pihak pengantin. Kasim menyebutkan bahwa terdapat tingkatan atau kasta pada masyarakat Sasak yang membedakan nilai harta benda yang dibawa dan jumlah denda yang akan dibayarkan. Tingkatan tersebut dari yang terendah, yakni (1) jajar karang nilainya 33, (2) lalu nilainya 66, (3) raden nilainya 100. Yang dimaksud dengan 33, 66, 100 adalah 33.000, 66.000, 100.000 kepeng kampek (kepeng jaman laek yang bagian tengahnya berlubang). Bila diuangkan menggunakan uang masa kini maka jumlahnya akan menjadi sangat banyak, yakni mencapai jutaan rupiah. Dalam Sudirman dkk (2011) dan Lukman (2006), disebutkan bahwa kepeng jaman laek yang digunakan dalam proses perkawinan suku Sasak ialah kepeng bolong, uang yang sah digunakan sebagai alat pembayaran pada zaman dahulu. Sedangkan menurut penuturan lebih lanjut dari Muhrim, bahwa jumlah denda pelebur base yang harus dibayarkan oleh pihak lelaki kepada pihak keluarga perempuan selaku penerima adalah tidak hanya tergantung pada strata sosialnya melainkan juga pada permintaan orang tua perempuan.

7. Pemegatan pemutus wicare, dalam hal ini setelah ditemukan kesepakatan antara kedua belah pihak maka sidang adat dikatakan berakhir.

Berakhirnya sidang adat sorong serah aji krame ditandai dengan pemegat (memutuskan) sejumlah kepeng bolong/kepeng kampek (uang Cina) yang telah dipersiapkan sedemikian rupa dengan diikat seutas atau beberapa utas benang. Menurut penuturan Muhammad Kasim, setelah semuanya terlaksana lalu ditutup dengan kalimat ,”tan onang kebaos malik yang artinya apa yang sudah diputuskan tidak boleh diganggu gugat lagi ”.

k) Bewacan, merupakan bagian dari proses sorong serah aji krame. Pembicaraan dalam sorong serah aji krame yang diucapkan menggunakan

bahasa Jawa kuno campuran bahasa Sasak dan bahasa Bali (Bahasa Kawi) disebut bewacan. Dalam bewacan pertama-tama pembayun mengucapkan kata-kata pembukaan kemudian dilanjutkan dengan membaca tembang atau sinom, lalu terjadilah perdebatan antara dua orang pembayun mengenai perihal pelanggaran yang telah dilakukan dan denda yang harus dibayarkan, yakni dedosan pelebur base. Bersamaan dengan kedua pembayun tersebut kyai (tokoh agama) pun ikut menyaksikan bahkan ikut andil dalam sidang adat tersebut. Amaq Ismail alias Cani mengungkapkan peran kyai dalam sidang adat ini.

Mule gen te belas, laguk sengak kyai kuat iye ampok bau bekawin. Asal dendek bareng sugul dait bareng nyusu doang, iye unin kyai. Iye ampok tekanggoang merariq (wawancara hari Kamis, 18 Juli 2013).

Muhrim pun mengungkapkan hal serupa bahwa kyai sebagai tokoh agama berperan dalam memperjelas aturan perkawinan sebagaimana ajaran Agama Islam, yakni “asal dendek bareng sugul dait bareng nyusu”.

l) Nyongkol, pihak keluarga pengantin lelaki datang dalam bentuk karnaval rombongan pengantin. Pada proses nyongkolan ini sama seperti proses pada

umumnya. Setelah sampai di perbatasan Desa pengantin perempuan, rombongan pengantin disambut oleh rombongan mendakin dari pihak keluarga perempuan kemudian bersama-sama menuju kediaman orang tua pengantin perempuan.

m) Bales Ones Nae (membalas telapak kaki), kira-kira artinya napak tilas (Sudirman dkk, 2011:66). Acara ini hanya dihadiri keluarga terdekat saja dari kedua belah pihak. Dalam perkawinan biasa, pada acara inilah keluarga

antar kedua belah pihak saling berkenalan satu sama lain sebagai tanda terjadinya ikatan tali perkawinan. Namun berbeda halnya dalam perkawinan dengan dedosan pelebur base. Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa orang pelaku perkawinan dengan adat pelebur base, dalam acara bales ones nae ini keluarga kedua belah pihak lebih kepada saling menasehati dan mengingatkan mengenai hukum pelebur base yang harus dijalankan khususnya kepada kedua pengantin.

Demikian proses adat perkawinan suku Sasak Desa Menceh yang di dalamnya menggunakan dedosan/dedosak pelebur base. Pada intinya proses penggunaan adat pelebur base terletak pada pembayaran denda tersebut pada saat sorong serah aji krame.

Berdasarkan penjabaran prosesi adat pelebur base tersebut di atas, dapat diketahui bahwa telah terjadi pergeseran prosesi dalam pelaksanaan adat pelebur base. Pergeseran tersebut tampak dari adanya perubahan cara-cara yang digunakan dalam prosesi adat pelebur base pada zaman dahulu yang berbeda dengan masa sekarang.