PERGESERAN ADAT PELEBUR BASE DALAM PERKAWINANENDOGAMIPADA SUKU SASAK (StudiEtnososiologidi DesaMencehKecamatanSakraTimur) JAWAHIR INTAN HAIRUL SAMINAH NPM. 09380020

SKRIPSI PERGESERAN ADAT PELEBUR BASE DALAM PERKAWINANENDOGAMIPADA SUKU SASAK (StudiEtnososiologidi DesaMencehKecamatanSakraTimur) JAWAHIR INTAN HAIRUL SAMINAH NPM. 09380020

Skripsi ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) HAMZANWADI SELONG 2013

ABSTRAK

Jawahir Intan Hairul Saminah, 2013:PERGESERAN ADAT PELEBURBASE DALAM PERKAWINAN ENDOGAMI PADA SUKU SASAK (STUDI ETNOSOSIOLOGI DI DESA MENCEH KECAMATAN SAKRA TIMUR). Skripsi S1 Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong Tahun Akademik 2012/2013.

Adat pelebur base merupakan bagian dari adat perkawinan suku Sasak. Dalam adat istiadat perkawinan suku Sasak, pelebur base adalah salah satu dari dedosan (denda adat). Dedosan pelebur base digunakan apabila terjadi perkawinan endogami yang tak lazim, yakni antara seorang lelaki dengan anak sepupunya (keponakan) atau dengan sepupu orang tuanya (bibi). Kendati demikian, makna dan proses pelaksanaannya belum diketahui secara luas oleh masyarakat Sasak pada umumnya, khususnya oleh generasi muda. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan pergeseran prosesi adat pelebur base dan menggali makna pelebur base dalam perkawinan endogami pada suku Sasak.

Penelitian ini berlokasi di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif (studi etnososiologi). Subjek penelitian yakni masyarakat setempat yang menjadi pasangan perkawinan endogami dengan adat pelebur base. Teknik penentuan informan yang digunakan yakni purposive sampling(sampel bertujuan) dan snowball sampling (sampel bola salju). Adapun pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, pengalaman personal dan elisitasi dokumen. Untuk menguji keabsahan data dilakukan dengan cara uji kepercayaan(credibility).Sedangkan analisis data menggunakan Metode Perbandingan Tetap (constant comparative method) yaitu, reduksi data, kategorisasi, sintesisasi, dan hipotesis kerja.

Berdasarkan temuan di lapangan bahwa proses pelaksanaan adat pelebur base terdapat dua cara yang berbeda, yakni pada zaman dahulu menggunakan syarat diinjak oleh ratusan ekor kerbau sedangkan pada masa sekarang cukup dengan melakukan pembayaran denda adat pada saat sorong serah aji krame. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran dalam proses pelaksanaan adat pelebur base. Mengenai maknanya, pelebur base berfungsi untuk memperjelas hubungan antara nine dan mame (istri dan suami), memperjelas keturunan dari keduanya, dan menjaga agar hubungan atau silsilah keluarga agar tidak rusak. Makna pelebur base ini dalam pendekatan interaksionisme simbolik Herbert Blumer, berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, yakni interaksi antar anggota masyarakat Sasak. Ketika proses adat pelebur base dianggap tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat Sasak, maka para pemangku adat sepakat untuk melakukan modifikasi (pengubahan) sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan teori interaksionisme simbolik bahwasanya masyarakat tidak dikendalikan oleh kebudayaan melainkan masyarakat menggunakan kebudayaan (adat pelebur base)melalui proses interpretasi sesuai dengan kebutuhannya.

Kata Kunci : Endogami, dan Pelebur Base.

ii

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Jawahir Intan Hairul Saminah NPM

:09380020 Menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya sendiri dan bukan merupakan duplikasi atau plagiasi (jiplakan) dari hasil penelitian orang lain. Sepengetahuan saya, topik atau judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari skripsi ini terbukti merupakan hasil duplikasi atau plagiasi (jiplakan) dari hasil penelitian orang lain maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Selong, 18 Agustus 2013 Yang menyatakan:

Jawahir Intan Hairul Saminah

iii

HALAMAN PERSETUJUAN PERGESERAN ADAT PELEBUR BASE DALAM PERKAWINANENDOGAMIPADA SUKU SASAK (StudiEtnososiologidi DesaMencehKecamatanSakraTimur) JAWAHIR INTAN HAIRUL SAMINAH NPM: 09380020

Skripsi ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

AHMAD TOHRI, M.Si HANAPI, M.Si

NIDN.0810067301 NIDN. 0809037901

Mengetahui; Ketua Program StudiPendidikanSosiologi

AHMAD TOHRI, M.Si

NIDN.0810067301

iv

HALAMANPENGESAHAN PERGESERAN ADAT PELEBUR BASE DALAM PERKAWINANENDOGAMIPADA SUKU SASAK (StudiEtnososiologidi DesaMencehKecamatanSakraTimur) JAWAHIR INTAN HAIRUL SAMINAH

NPM: 09380020

Telah dipertanggungjawabkan di depan Dewan Penguji Skripsi Program Studi Pendidikan Sosiologi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan

(STKIP) Hamzanwadi Selong Pada Tanggal: 05 September 2013

DEWAN PENGUJI

1. H. Zulkarnaen Hadi, M.Si ......................... ..................................... (Ketua Penguji)

2. Ahmad Tohri, M.Si ......................... ..................................... (Penguji I)

3. Hanapi, M.Si ......................... ..................................... (Penguji II)

Mengetahui:

Pembantu Ketua I STKIP HamzanwadiSelong

Dr. KHIRJAN NAHDI, M.Hum

NIP.19681231 200212 1 005

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

 Kedua Orang Tua

Baba dan Mama, terima kasih atas segala yang telah kalian berikan padaku. Mungkin semua itu terasa kurang dari sempurna. Tapi kekurangan itu yang telah membuatananda tetap kuat dan tak berputus asa. Maafkan ananda belum bisa membuat kalian bangga. Tapi persembahan ini membuktikan bahwa ananda tak pernah lupa untuk bisa mewujudkan hal itu.

 Suami dan Anakku Tercinta

Bapak dan Adzin, kalian memang dikirim Alloh SWT untuk menyempurnakan warna dalam hidup.

 Ninik dan Keluargaku

Ninik, jerih payahmu mengasuhku takkan pernah kulupa. Terima kasih atas petuah dan nasehat yang selalu menguatkan.

vi

HALAMAN MOTTO

Jangan Terlarut Dalam Senang Karena Pujian PUJIAN ITU TERASA MANIS SEPERTI MADU

TAPI MEMBUAT KITA LENGAH DAN MERASA HEBAT Jangan Terlarut Dalam Sedih Karena Hinaan HINAAN ITU PAHIT SEPERTI EMPEDU TAPI MEMBUAT KITA KUAT DAN LEBIH BERSEMANGAT BISMILLAA HI TAWAKKALTU’ALALLOOHU LAAHAULAWALAA QUWWATAILLAA BILLAA HIL’ALIYYIL’ADZIIM

vii

KATA PENGANTAR

Assalamua’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Tiada kata yang dapat terucap selain rasa puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan ridho-Nya kepada kita semua, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.

Skripsi yang

diberijudul “ PergeseranAdatPeleburBaseDalamPerkawinanEndogamiPadaSukuSa sak (StudiEtnososiologidi DesaMencehKecamatanSakraTimur) ” i niberisihasil

penelitianmengenai pergeseran proses pelaksanaan dan makna adat pelebur base dalam perkawinan endogami pada suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur.

Penelitimenyampaikanterimakasihdanpenghargaan yang setinggi- tingginyakepadasemuapihak

yang telahmendukungdalampenyelesaianskripsiinibaiksecaralangsungmaupuntidaklang sungyaknikepada:

1. Ibu Ir. Hj. Siti Rohmi Djalilah,M.Pd. selaku Ketua STKIP Hamzanwadi Selong yang memberikan izin untuk melakukan penelitian ini.

2. Bapak Ahmad Tohri, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing peneliti selama proses penyusunan skripsi ini.

viii

3. Bapak Hanapi M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah mencurahkan pikiran dalam membimbing peneliti selama proses penyusunan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi yang telah membimbing peneliti dalam menimba ilmu sehingga dapat menyusun skripsi ini.

5. Civitas akademika STKIP Hamzanwadi Selong, terutama rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi yang telah banyak membantu baik berupa saran maupun kritik dalam penyelesaian skripsi ini .

Akhir kata semoga skripsi ini nantinya dapat menjadi sumbangsih yang berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Selong, 18 Agustus 2013

Peneliti

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan pada dasarnya terdapat dalam semua masyarakat yang tampak dari berbagai aspek kehidupannya. Melalui kebudayaan, kemajuan masyarakat dapat dilihat salah satunya adalah gambaran tingkah lakunya. Sehingga kebudayaan dapat dikatakan sebagai potret dari suatu bangsa atau masyarakat.

Hal ini sejalan dengan pendapat Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski yang mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Istilah untuk pendapat ini yaitu cultural determinant (Soekanto, 2003:171). Sementara mengenai pengertian kebudayaan, Marvin Harris (1968:16) dalam Spradley (2006:5) mengemukakan suatu definisi tipikal, bahwa “konsep

kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat”.

Salah satu wujud kebudayaan adalah adat istiadat. Adat istiadat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak. Adat istiadat terdapat dalam semua unsur kebudayaan, di antaranya ialah sistem perkawinan. Wujud ideal dari sistem perkawinan lumrah dikenal dengan adat perkawinan.

Adat perkawinan dalam setiap masyarakat mempunyai kekhasan tersendiri. Begitu pula halnya dengan adat perkawinan suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok, khususnya di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur. Adat perkawinannya biasa dikenal dengan istilah merari’. Dalam Lukman (2006:69), pengertian merari’ yaitu seorang lelaki mengambil kawin seorang perempuan yang akan menjadi istrinya.

Selama proses merari’ berlangsung, terkadang terjadi pelanggaran- pelanggaran adat. Jenis pelanggaran yang dilakukan akan dibahas dan diselesaikan dalam sidang majelis adat, pada suku Sasak dinamakan upacara Sorong Serah Aji Krame. Hal ini merupakan prosesi terpenting dari seluruh rangkaian adat perkawinan suku Sasak. Jika dalam sidang adat Sorong Serah Aji Krame pelanggaran yang dikemukakan tidak dapat dilakukan pembelaan maka harus dipertanggungjawabkan dengan pembayaran denda adat.

Denda adat pada suku Sasak disebut dedosan. Dedosan berasal dari kata dosa, sehingga diartikan sebagai penebus dosa. Dalam hal ini mengandung pengertian bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan dalam adat, sudah tentu mempunyai sanksi dan penerapan hukumannya.

Adapun macam-macam pelanggaran yang terjadi (Lukman, 2006:74), adalah malagandang, berupa paksaan terhadap seorang wanita yang tidak mau dilarikan oleh seorang lelaki; dan merari’ kenjelo, yaitu merari’ pada siang hari karena merari’ itu lazimnya pada waktu malam.

Selain itu ada pula pelanggaran-pelanggaran lain yang lebih ringan dan sering terjadi dalam perkawinan masyarakat Sasak, yakni babas kuta, melewati Selain itu ada pula pelanggaran-pelanggaran lain yang lebih ringan dan sering terjadi dalam perkawinan masyarakat Sasak, yakni babas kuta, melewati

Segala macam pelanggaran yang terjadi diberikan sanksi berupa semacam pembayaran denda yang dikeluarkan pada waktu melaksanakan upacara sorong serah. Setelah semuanya terlaksana lalu ditutup dengan kalimat

“tan onang kebaos malik” yang artinya apa yang sudah diputuskan tidak boleh diganggu gugat lagi (Lukman, 2006:75).

Sedangkan macam-macam denda atau dedosan yang berlaku, antara lain denda pati, denda yang pelanggarannya dibuat selama proses perkawinan, denda wajib, pelengkak, denda mbait, pelebur base, menang wangse, dan salam panji (Lukman, 2006:39 dan Sudirman dkk, 2011:54).

Terkait dengan pelanggaran dalam adat perkawinan suku Sasak, banyak terjadi kasus perkawinan endogami di desa Menceh Kecamatan Sakra Timur. Perkawinan endogami yang dimaksud disini adalah perkawinan antara etnis, klan, suku dan kekerabatan dalam lingkungan yang sama. Menurut masyarakat setempat dalam perkawinan ( merari’) tersebut telah terjadi pelanggaran adat. Dianggap pelanggaran karena kedua mempelai merupakan kerabat dekat.

Pada dasarnya perkawinan endogami pada masyarakat Sasak diperbolehkan, asal tidak melanggar syariat hukum Islam. Hal ini disebabkan Pada dasarnya perkawinan endogami pada masyarakat Sasak diperbolehkan, asal tidak melanggar syariat hukum Islam. Hal ini disebabkan

Menurut hukum Islam pada Al- Qur’an surat An-Nisa’ ayat 23, ada 14 (empat belas) macam perempuan yang tidak boleh dikawin, baik karena pertalian darah atau pertalian semenda, yaitu: bekas istri bapak (ibu tiri), ibu kandung, anak kandung, saudara kandung, saudara bapak, saudara ibu, anak saudara laki-laki, anak saudara perempuan, perempuan yang pernah menyusuinya, saudara sesusu, ibu istrinya (mertua perempuan), anak tiri yang ibunya sudah dicampurinya, istri anak sendiri (menantu perempuan), dan saudara istri jika masih hidup.

Lazimnya, perkawinan endogami yang dapat diterima oleh masyarakat Sasak ialah perkawinan endogami antar sepupu. Dalam ilmu Sosiologi, perkawinan endogami antar sepupu terbagi menjadi dua, yakni cross cousin dan parallel cousin. Cross cousin adalah bentuk perkawinan anak-anak dari kakak beradik yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan parallel cousin ialah bentuk perkawinan anak-anak dari kakak beradik yang sama jenis kelaminnya.

Sementara pada kasus perkawinan endogami yang diklaim telah melanggar adat pada masyarakat Sasak di Desa Menceh tersebut, kedua pasangan mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat yakni paman dan keponakannya. Secara lebih jelasnya, hubungan kekerabatan antara keduanya ialah pihak perempuan merupakan anak dari sepupu pihak lelaki.

Pada mulanya, selain dianggap sumbang dan telah melanggar adat oleh masyarakat setempat, perkawinan ini pun tidak disetujui oleh keluarga kedua Pada mulanya, selain dianggap sumbang dan telah melanggar adat oleh masyarakat setempat, perkawinan ini pun tidak disetujui oleh keluarga kedua

Pelebur base, ditinjau secara etimologi, berasal dari bahasa Sasak yakni kata “lebur” yang berarti luluh atau hancur (“pelebur” berarti proses, cara, perbuatan melebur) dan “base” yang berarti bahasa. Sedangkan makna dan tata

cara atau proses pelaksanaannya belum diketahui secara luas oleh masyarakat Sasak pada umumnya, khususnya oleh generasi muda. Pemahaman mengenai hal ini hanya terbatas pada tokoh adat, tokoh masyarakat, dan generasi tua. Bahkan penjelasan mengenai makna dan tata cara atau prosesi denda adat tersebut belum tertuang dalam bentuk tulisan baik berupa buku maupun di dunia maya.

Kendati pelebur base ini merupakan salah satu dari khazanah budaya bangsa yang patut untuk diketahui dan dipelajari, baik oleh masyarakat Sasak maupun bangsa Indonesia. Sehingga tepatlah bila dilakukan suatu upaya untuk mengumpulkan data-data mengenai hal tersebut dan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan.

Dengan demikian meskipun arus globalisasi dan modernisasi kian marak menyebabkan masuknya pengaruh budaya asing, generasi muda sebagai generasi penerus bangsa tidak kehilangan wawasan mengenai kearifan budaya lokalnya. Bahkan hal ini pun dapat menjadi tambahan referensi bagi ilmu sosial mengingat kebudayaan merupakan cakupan dari ilmu-ilmu sosial, salah satunya Sosiologi.

Sehubungan dengan itu, hal-hal tersebut di atas yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai pelebur base yang merupakan bagian dari kebudayaan suku Sasak. Oleh karena itulah kemudian peneliti

mengangkat judul penelitian “Pergeseran Adat Pelebur Base Dalam Perkawinan Endogami Pada Suku Sasak (Studi Etnografi di Desa Menceh

Kecamatan Sakra Timur).

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas dan dengan mempertimbangkan berbagai hal, maka perlu adanya pembatasan masalah dalam pelaksanaan penelitian ini. Fokus penelitian yang dilakukan adalah mencakup pergeseran prosesi dan makna dari adat pelebur base.

C. Rumusan Masalah

Berangkat dari fokus penelitian tersebut maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pergeseran prosesi adat pelebur base dalam perkawinan endogami pada suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur?

2. Bagaimana pergeseran makna dari adat Pelebur Base dalam perkawinan endogami pada suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini tak lain adalah:

1. Untuk mendeskripsikan pergeseran prosesi adat pelebur base dalam perkawinan endogami pada suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra

Timur.

2. Untuk menggali pergeseran makna dari adat pelebur base dalam perkawinan endogami pada suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur.

E. Manfaat Penelitian

1. Teoritis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam merinci dan

mendeskripsikan adat istiadat perkawinan pada suku Sasak serta menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan dalam bidang sosial khususnya kajian mengenai adat istiadat masyarakat.

2. Praktis

a) Dapat menjadi informasi yang sangat berguna bagi masyarakat Sasak, khususnya di Desa Menceh, untuk lebih mengenal hakikat dari adat

istiadatnya yang dalam hal ini adat pelebur base.

b) Mendorong masyarakat Desa Menceh untuk lebih menghargai adat istiadatnya tanpa mengesampingkan hukum formal dan agama yang

diyakini.

c) Menciptakan rasa bangga pada masyarakat Sasak bahwasanya kita mempunyai kekayaan budaya yang khas dan unik dan layak untuk

dibahas maupun diteliti secara formal dan ilmiah.

d) Dapat berguna bagi peneliti lain sebagai acuan dalam mengadakan penelitian yang sejenis secara lebih mendalam tentang hal-hal yang

belum terjangkau dalam penelitian ini.

e) Bagi pemerintah, agar melakukan pelestarian budaya apabila dianggap bermanfaat bagi masyarakat.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Teori

Suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih, yang telah diuji kebenarannya. Suatu variabel merupakan karakteristik dari orang-orang, benda-benda, atau keadaan yang mempunyai nilai-nilai yang berbeda (Soerjono Soekanto, 2003:27).

a. Kebudayaan

1. Definisi Kebudayaan Kebudayaan berasal dari kata Sansekerta “buddhayah“, yang merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebag ai “hal-hal yang bersangkutan dengan budhi atau akal”. Culture, merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata latin

“colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan (mengolah tanah atau bertani). Dari asal arti terseb ut yaitu “colere” kemudian “culture” “colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan (mengolah tanah atau bertani). Dari asal arti terseb ut yaitu “colere” kemudian “culture”

Seorang antropolog, E.B. Tylor (1871) dalam (Soerjono Soekanto, 2003:172) memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya):

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan

kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

serta

Dengan kata lain, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola- pola berpikir, merasakan dan bertindak.

2. Wujud Kebudayaan Koentjaraningrat (2009:150-151), membedakan tiga wujud

kebudayaan, antara lain:

a) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya. Wujud pertama ini merupakan

wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Wujud ini disebut sistem budaya (cultural system). Dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah adat atau adat istiadat untuk bentuk jamaknya.

b) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua dari

kebudayaan ini disebut sistem sosial (social system). Wujud ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.

c) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ketiga dari kebudayaan ini disebut kebudayaan fisik. Sifatnya paling

konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.

3. Unsur-Unsur Kebudayaan Dalam Soekanto (2003:176), terdapat tujuh unsur kebudayaan yang

dianggap sebagai cultural universals, yaitu:

1) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat- alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor dan sebagainya.

2) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya).

3) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan)

4) Bahasa (lisan maupun tertulis)

5) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya)

6) Sistem pengetahuan.

7) Religi (sistem kepercayaan).

4. Adat-Istiadat Bertolak dari pendapat E.B. Tylor (1871) di atas mengenai definisi

kebudayaan, adat istiadat merupakan bagian dari kebudayaan. Secara lebih spesifik menurut pendapat Koentjaraningrat tentang wujud kebudayaan, adat istiadat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Dalam Soerjono Soekanto (2003:180) disebutkan bahwa kaidah yang timbul dari masyarakat sesuai dengan kebutuhannya pada suatu saat, lazimnya dinamakan adat-istiadat (custom). Adat-istiadat berbeda di satu tempat dengan adat-istiadat di tempat lain, demikian pula adat-istiadat di satu tempat, berbeda menurut waktunya. Adat-istiadat yang mempunyai akibat hukum, bernama Hukum Adat. Namun adat-istiadat juga mempunyai akibat-akibatnya apabila dilanggar oleh anggota masyarakat di mana adat istiadat tersebut berlaku.

5. Bagan Kekerabatan (Kinship Chart) Terkait dengan salah satu unsur kebudayaan yakni sistem

kemasyarakatan yang berupa sistem perkawinan/kekerabatan, dikenal adanya silsilah keluarga. Silsilah keluarga biasanya digambarkan dengan menggunakan bagan kekerabatan (kinship chart) dari para ahli antropologi.

Dalam Koentjaraningrat (1990:372), bagan kekerabatan dari para ahli Antropologi kini sudah mencapai bentuk standar yang dipakai secara seragam oleh semua ahli Antropologi. Kerangka itu berupa bagan yang Dalam Koentjaraningrat (1990:372), bagan kekerabatan dari para ahli Antropologi kini sudah mencapai bentuk standar yang dipakai secara seragam oleh semua ahli Antropologi. Kerangka itu berupa bagan yang

Berikut contoh gambar bagan kekerabatan (Koentjaraningrat, 1990:372).

Ego

Keterangan: : untuk kerabat pria : untuk kerabat wanita : untuk keturunan : untuk saudara sekandung : untuk saudara kembar : untuk hubungan kawin

: untuk hubungan diluar nikah : tanda meninggal

Gambar 1. Bagan Kekerabatan

Menurut Koentjaraningrat (1990:372), contoh bagan kekerabatan di atas menerangkan bahwa seorang Ego yang kawin dengan seorang wanita a; sebagai isterinya yang kedua ia mengawini wanita b, ialah janda saudara laki-laki ibunya; ia juga pernah mempunyai suatu hubungan di luar nikah dengan seorang gadis muda c, ialah anak saudara laki-laki isterinya; dari hubungan itu ia mempunyai dua anak laki-laki kembar.

Peneliti menggunakan konsep kebudayaan sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian karena variabel dari penelitian ini yaitu adat pelebur base merupakan bagian dari kebudayaan (adat-istiadat) yang termasuk ke dalam salah satu unsur kebudayaan universal yakni sistem kemasyarakatan (sistem perkawinan/kekerabatan).

b. Adat Perkawinan Suku Sasak Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dan

menggunakan bahasa Sasak. Adat istiadat suku Sasak yang paling populer adalah adat perkawinannya yang biasa dikenal dengan sebutan merari ’.

Kata merari’ berasal dari kata mara (moro, kawi) yang berarti datang dan ri’ yang berarti diri, mendatangkan diri (menyerah diri). Arti yang lebih luas lagi, penyerahan diri dari kedua makhluk yang berlainan jenisnya untuk bersatu (Lukman, 2006:15).

Adapun rangkaian proses perkawinan menurut adat Sasak, yakni:

a) Merari’ (kawin lari), yakni perkawinan yang terjadi dengan cara melarikan si gadis tanpa sepengetahuan orang tua si gadis. Lazimnya

dilakukan pada waktu malam.

b) Besebo. Selama menunggu penyelesaian selanjutnya, pihak lelaki dan wanita berada di dalam peseboan (persembunyian).

c) Mesejati, adalah pemberitahuan dari pihak keluarga calon pengantin laki- laki kepada keluarga calon pengantin wanita bahwa anak gadisnya itu jati, benar-benar telah lari kawin/ merari’.

d) Selabar, yang berarti penyebarluasan kepada khalayak ramai tentang peristiwa merari’ yang terjadi.

e) Bait wali (menuntut wali nikah) kepada pihak pengantin wanita.

f) Nikahan (akad nikah).

g) Bait janji, pihak keluarga pengantin lelaki mengutus beberapa orang untuk meminta kesiapan dari pihak pengantin wanita menerima kedatangan kedua pengantin berkunjung ke rumah orang tua pengantin

wanita.

h) Gantiran, biaya yang dibebankan kepada pihak laki-laki.

i) Begawe (pesta).

j) Sorong Serah Aji Krame. k) Bewacan l) Nyongkol, pihak keluarga pengantin lelaki datang dalam bentuk karnaval

rombongan pengantin. m) Bales Ones Nae (membalas telapak kaki), kira-kira artinya napak tilas. Prosesi terpenting dari seluruh rangkaian adat perkawinan suku Sasak

adalah Sorong Serah Aji Krame. Dalam Lukman (2006:21), Aji Krame berasal dari kata “aji” dan “krame”. Aji berarti nilai dan krame berarti cara

atau adat. Aji Krame sama dengan nilai adat, yaitu sebagai perlambang dari nilai diri atau harga diri dari pihak lelaki di dalam adat.

Adapun ketujuh komponen dalam Sorong Serah (Sudirman dkk, 2011:56-62), secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Sesirah Merupakan inti dari seluruh perlambang yang ada, sehingga disebut Otak Dowe (Induk dari Aji Krame dan perangkat Sorong Serah lainnya).

Karena kedudukannya yang paling utama dan merupakan perlambang adat secara keseluruhan maka dalam urut-urutan properti yang dibawa, sesirah berada pada urutan terdepan.

b) Aji Krame Berasal dari kata Aji dan Krame. Aji berarti nilai atau status, sedangkan

Krame berarti sekelompok masyarakat Aji Krame berarti status sosial dalam masyarakat. Komponen Aji Krame terdiri dari Tapak Lemah dan Olen-olen.

c) Sasmi Taring Urip Properti ini terdiri dari; Salin Dede, Penjaruman/Tedung Pengarat dan

Pemegat Sengkang.

d) Pelengkak Sesuai namanya, pelengkak, yang berarti melangkahi atau mendahului,

dalam majelis adat Sorong Serah Aji Krame juga dibicarakan. Apabila pengantin wanita mendahului kakaknya menikah maka akan timbul pelengkak yang berwujud seperangkat pakaian dan perhiasan yang nantinya diberikan kepada kakak yang didahuluinya, yang jumlahnya dapat berlipat-lipat sesuai jumlah kakak tersebut.

e) Pikoliling Dise Properti komunitas (desa adat) yang ditinggalkan dalam rangka peristiwa

merariq terdiri dari pembabas kute, kar jiwe, dan krame dise.

f) Denda-denda (Dedosen) Selama proses merariq berlangsung, dapat saja terjadi pelanggaran-

pelanggaran adat, dan hal itu diperbincangkan secara detail yang kadang kala menimbulkan perdebatan yang alot. Jika dalam "sidang adat" Sorong Serah Aji Krame, pelanggaran yang dikemukakan tidak dapat dilakukan pembelaan maka harus dipertanggung jawabkan dengan pembayaran denda adat. Dedosen (denda-denda), terdiri: Dende Mbait, Pelebur Base, Menang Wangse, Salam Panji dan lain-lain (menurut situasi masing-masing).

g) Pemegat atau pemutus wicare "Sidang Adat" akan berakhir setelah ditemukan kesepakatan antara kedua

belah pihak. Jika dalam sidang-sidang yang lazim dilaksanakan di lapangan pemerintahan modern hal ini ditandai dengan ketukan palu maka dalam Sorong serah Aji Krame, ditandai dengan pemegat (memutuskan) sejumlah uang bolong yang telah dipersiapkan sedemikian rupa dengan diikat seutas atau beberapa utas benang. Sambil berusaha memutuskan tali ikatan uang bolong tersebut, yang kadang-kadang diikat cukup kuat, pembayun mengucapkan ikrar. Putusnya ikatan segepok uang bolong ini merupakan akhir dari acara Sorong Serah Aji Krame.

Konsep adat perkawinan suku Sasak merupakan ujung pangkal bagi penulis untuk mencari makna dari adat pelebur base. Karena pada dasarnya adat pelebur base merupakan bagian dari serangkaian adat perkawinan suku Sasak.

c. Konsep Perkawinan Endogami

1. Pengertian Endogami Pada dasarnya terdapat dua macam bentuk perkawinan: monogami

yakni perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, dan poligami yakni perkawinan antara seorang pria dengan beberapa orang wanita pada waktu yang sama atau antara seorang wanita dengan beberapa orang pria pada waktu yang sama (Kamanto Sunarto, 1993:160).

Selain kedua bentuk di atas terdapat pula aturan yang berlaku dalam hubungan perkawinan ialah eksogami dan endogami. Eksogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda. Sedangkan endogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang sama. Menurut Sunarto (1993:160) eksogami merupakan sistem yang melarang perkawinan dengan anggota sekelompok, sedangkan endogami merupakan sistem yang mewajibkan perkawinan dengan anggota sekelompok.

Bentuk perkawinan endogami yang lazim dilakukan antara lain meliputi:

a) Cross Cousin Cross Cousin adalah bentuk perkawinan anak-anak dari kakak beradik

yang berbeda jenis kelamin.

b) Parallel Cousin Parallel Cousin adalah bentuk perkawinan anak-anak dari kakak

beradik yang sama jenis kelaminnya.

2. Incest Taboo Pada perkawinan endogami dalam masyarakat tertentu terjadi

hubungan perkawinan antara dua orang yang merupakan kerabat dekat atau mempunyai hubungan darah yang sangat dekat. Berkaitan dengan hubungan perkawinan antara dua orang yang merupakan kerabat dekat atau mempunyai hubungan darah yang sangat dekat. Berkaitan dengan

Salah satu di antaranya ialah incest taboo (larangan hubungan sumbang), yang melarang hubungan perkawinan dengan keluarga yang sangat dekat seperti perkawinan seorang anak dengan salah seorang orang tuanya atau perkawinan antara saudara kandung (Sunarto, 1993:160).

Menurut Clayton (1979) dalam Sunarto (1993:160) larangan hubungan sumbang ini tidak terbatas pada orang-orang yang mempunyai hubungan darah sangat dekat (orang tua-anak, saudara kandung) tetapi sering mencakup pula kerabat di luar orang tua dan saudara kandung.

Dalam Keesing (1992:17-18) dijelaskan pula bahwa perluasan larangan seks (tabu insest) dari saudara langsung sampai kepada keluarga yang lebih jauh mengikuti garis perkembangan genealogi yang sangat berbeda-beda. Perluasan itu dapat tergantung kepada tingkat hubungan sepupu, akan tetapi juga dapat tergantung kepada garis keturunan. Sehingga hubungan seks (perkawinan) dalam lineage bisa juga dianggap sebagai insest.

Dengan demikian, meskipun pokok larangan hubungan perkawinan antar keluarga (orang tua dan anak) hampir selalu sama, perluasan tabu tersebut kepada kategori keluarga yang lebih luas dan konsep mengenai tabu itu sangat berbeda-beda. Sehingga Needham (1974) dalam Keesing (1992:18) merasa harus membantah adanya sesuatu yang bisa disebut Dengan demikian, meskipun pokok larangan hubungan perkawinan antar keluarga (orang tua dan anak) hampir selalu sama, perluasan tabu tersebut kepada kategori keluarga yang lebih luas dan konsep mengenai tabu itu sangat berbeda-beda. Sehingga Needham (1974) dalam Keesing (1992:18) merasa harus membantah adanya sesuatu yang bisa disebut

Dengan menggunakan pendapat Clayton dan Needham di atas, peneliti menetapkan jenis perkawinan endogami yang diteliti terkait dengan adat pelebur base sebagai variabel inti dalam pokok permasalahan penelitian ini.

d. Teori Interaksionisme Simbolik (Herbert Blumer) Dalam Spradley (2006:8), Herbert Blumer (1969) mengidentifikasi tiga premis yang menjadi landasan teori interaksionisme simbolik, antara

lain: Premis pertama, “manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka”. Jadi dalam hal ini

orang atau manusia tidak bertindak terhadap berbagai hal, tetapi terhadap makna yang dikandung oleh berbagai hal tersebut.

Premis kedua, “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. Dalam hal ini kebudayaan

sebagai sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.

Premis ketiga, “makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan orang dalam kaitannya dengan berbagai Premis ketiga, “makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan orang dalam kaitannya dengan berbagai

Dalam teori interaksionisme simbolik, para pakar teori ini menekankan pentingnya pemikiran dalam interaksi. Hal ini tercermin dalam pandangan mereka mengenai objek. Herbert Blumer dalam Ritzer dan Goodman (2005:291), membedakan tiga jenis objek: objek fisik seperti kursi atau pohon; objek sosial seperti seorang mahasiswa atau seorang ibu; objek abstrak seperti gagasan atau prinsip moral.

Mengenai hal ini, Herbert Blumer menyatakan bahwa, “sifat suatu objek terdiri dari arti yang diberikan orang yang menjadikannya sebuah

objek” (Ritzer dan Goodman, 2005:291). Dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer, peneliti akan menggali dan menganalisa makna dari adat pelebur base dalam perkawinan endogami pada suku Sasak yang bertempat di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur.

e. Etnografi Menurut Spradley (2006:3), etnografi merupakan pekerjaan

mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski (1922:25) dalam

Spradley (2006:4), bahwa tujuan etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk

mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”. Inti dari etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna tersebut terekspresikan secara langsung dalam bahasa; dan di antara makna yang diterima, banyak yang disampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan. Sekalipun demikian, di dalam setiap masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan orang lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem makna ini merupakan kebudayaan mereka dan etnografi selalu mengimplikasikan teori kebudayaan.

Berdasarkan uraian tentang etnografi di atas, maka peneliti akan menggunakan pendekatan ini untuk mendapatkan deskripsi mengenai adat pelebur base sehingga dapat diketahui proses pelaksanaannya dalam perkawinan endogami pada suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian adalah suatu strategi yang dipilih oleh peneliti dalam mengamati, mengumpulkan informasi, dan menyajikan analisis hasil penelitian (T.O. Ihromi, 2004:72). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penggunaan pendekatan penelitian ini karena data yang hendak dikumpulkan adalah data yang bersifat kualitatif (data yang disajikan dalam bentuk kata dan kalimat) untuk menyelidiki obyek yang tidak dapat diukur dengan angka-angka ataupun ukuran lain yang bersifat eksak. “Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mengutamakan segi kualitas data” (Kamanto Sunarto, 1993:230).

Sedangkan jenis penelitian yang dilakukan adalah studi etnososiologi (etnografi sosiologi). Menurut Moleong (2005:22), etnografi merupakan usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan. Studi etnografi (ethnographic studies), mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya, kelompok sosial, atau sistem (Sukmadinata, 2010:62). Penggunaan jenis penelitian ini karena sesuai dengan tujuan penelitian yakni mendeskripsikan pergeseran prosesi dan menggali pergeseran makna dari adat pelebur base yang merupakan bagian dari budaya perkawinan suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur Kabupaten Lombok Timur (NTB). Mengingat wilayah tersebut sekaligus merupakan domisili peneliti. Sehingga manfaatnya data maupun informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan mudah dan dengan pertimbangan- pertimbangan lainnya seperti finansial dan waktu yang tersedia.

Pemilihan lokasi ini juga atas dasar pertimbangan bahwa di desa ini telah terjadi kasus perkawinan endogami antar kerabat atau hubungan darah yang dianggap sangat dekat oleh masyarakat setempat. Sehingga dalam proses perkawinannya digunakan adat pelebur base. Suatu adat yang dalam kondisi tertentu menjadi bagian dari serangkaian adat perkawinan suku Sasak. Namun, pada sebagian masyarakat, suku Sasak pada khususnya, masih kurang memahami prosesi dan makna dari adat pelebur base ini. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti pergeseran prosesi dan makna dari adat pelebur base tersebut dalam perkawinan endogami pada suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ialah orang yang memberikan informasi terhadap hal- hal yang diteliti dan menjadi unit analisis dari suatu penelitian. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi etnososiologi, maka yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah Subjek penelitian ialah orang yang memberikan informasi terhadap hal- hal yang diteliti dan menjadi unit analisis dari suatu penelitian. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi etnososiologi, maka yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah

Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik purposive sampling (sampel bertujuan) dan snowball sampling (sampel bola salju). Sampel bertujuan yaitu dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 1998:127). Pengambilan sampel dengan teknik bertujuan cukup baik karena sesuai dengan pertimbangan peneliti sendiri sehingga dapat mewakili populasi. Keuntungannya terletak pada ketepatan peneliti memilih sumber data sesuai dengan variabel yang diteliti.

Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2010:54). Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sampel sumber data akan semakin besar, seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar.

Dengan menggunakan teknik purposive sampling, peneliti menentukan sendiri para informan yang menjadi sumber informasi bagi peneliti. Lalu dengan menggunakan teknik snowball sampling para informan yang telah ditentukan tersebut menunjuk para informan lain yang mampu memberikan tambahan informasi atau memperkuat data yang telah peneliti peroleh di lapangan.

Terkait dengan hal itu, maka peneliti membedakan informan menjadi dua yakni sebagai informan kunci dan tambahan. Sebagai informan kunci antara lain tokoh adat, tokoh agama, kepala dusun dan masyarakat Desa Menceh yang menjadi pelaku perkawinan endogami dengan menggunakan pelebur base. Sebagai informan sekunder atau tambahan yakni kepala desa dan masyarakat yang ikut terlibat dalam acara adat perkawinan yang bersangkutan.

D. Sumber Data

Untuk mendapatkan informasi dan data yang lengkap dan valid mengenai subjek yang diteliti, maka sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yakni:

a. Data primer: data dan sumber data yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek/subjek penelitian. Data primer

dalam penelitian ini ialah tokoh adat dan masyarakat Desa Menceh yang menjadi pelaku perkawinan endogami dengan menggunakan pelebur base.

b. Data sekunder: data dan sumber data yang diperoleh dari sumber kedua dari data yang peneliti butuhkan seperti beberapa referensi yang berisi bahasan mengenai pokok permasalahan yang diteliti atau pihak-pihak lain yang

dapat memberikan data pendukung dalam penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini berupa dokumen atau arsip yang berkaitan dengan variabel yang diteliti dan informasi dari kepala desa atau pegawai desa setempat.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang dapat dijadikan bahan dalam penelitian ini maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data, antara lain:

a. Wawancara (interview), adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 1998:145). Ditinjau dari pelaksanaannya, wawancara dibedakan menjadi

tiga, antara lain:

1. Wawancara bebas, dalam hal ini pewawancara bebas bertanya kepada informan terkait data yang akan dikumpulkan.

2. Wawancara terpimpin, yaitu wawancara yang dilakukan oleh pewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap, terperinci

dan terstruktur.

3. Wawancara bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan wawancara terpimpin. Dalam melakukan wawancara, pewawancara

membawa pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan jenis wawancara bebas dan wawancara bebas terpimpin. Hal ini dengan pertimbangan bahwa informan merupakan masyarakat desa yang sebagian besar masih awam, sehingga wawancara yang dilakukan tidak bersifat kaku.

b. Observasi (pengamatan) merupakan suatu metode penelitian non-survei. Dengan metode ini peneliti mengamati secara langsung perilaku para subjek

penelitiannya (Sunarto, 1993:226). Terdapat tipologi pengamatan berdasarkan peranan pengamat, antara lain:

1. Complete participant, yakni dalam penelitian pengamat sepenuhnya terlibat. Hal ini dinamakan juga participant observation (pengamatan terlibat). Pada tipe observasi ini, para subjek penelitian tidak mengetahui

bahwa mereka sedang diteliti oleh pengamat.

2. Participant as observer, yakni peneliti berperan sebagai pengamat. Dalam hal ini status pengamat selaku peneliti diketahui para subjek

penelitian.

3. Observer as participant, yakni dalam penelitian pengamat berperan sebagai peserta. Teknik ini dapat dilakukan secara relatif mudah dan

dalam waktu relatif singkat. Dalam hal ini keterlibatan antara peneliti dengan subjek penelitian bersifat sangat terbatas.

4. Complete observer, yakni peneliti sepenuhnya melakukan pengamatan tanpa keterlibatan apapun dengan subjek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observer as participant. Hal ini

dengan pertimbangan bahwa bilamana terjadi perkawinan endogami yang menggunakan adat pelebur base, maka peneliti akan melibatkan diri dalam acara proses perkawinan tersebut. Mengingat masyarakat Sasak setempat masih memegang kuat asas gotong-royong dalam adat istiadatnya.

c. Pengalaman personal (individu). Menurut Koentjaraningrat (1990:158), pengalaman individu adalah bahan keterangan mengenai sesuatu yang

dialami oleh individu-individu tertentu sebagai warga dari suatu masyarakat yang sedang menjadi objek penelitian. Dengan teknik ini peneliti memperoleh data berdasarkan pengalaman dari warga desa Menceh yang melakukan perkawinan endogami dengan menggunakan adat pelebur base..

d. Elisitasi dokumen, yakni suatu teknik pengumpulan data yang memanfaatkan dokumen tertulis, gambar, foto atau benda-benda lain yang

berkaitan dengan aspek-aspek yang diteliti. Penggunaan teknik ini dengan pertimbangan untuk memperkuat data hasil penelitian yang diperoleh peneliti di lapangan.

F. Uji Keabsahan Data

Untuk dapat lebih memvalidkan hasil dari penelitian yang dilakukan di Desa Menceh dan agar dapat diuji keaslian dan kebenarannya dari hasil penelitian oleh berbagai pihak-pihak terkait, maka perlu suatu bentuk upaya pengabsahan hasil penelitian. Hal tersebut dilakukan oleh peneliti dengan menerapkan standar kredibilitas (validitas internal) atau uji kepercayaan terhadap data hasil penelitian dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut (Sugiyono, 2010:122-130):

1. Perpanjangan pengamatan. Dengan perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dalam 1. Perpanjangan pengamatan. Dengan perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dalam

2. Meningkatkan ketekunan. Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara

tersebut maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis.

3. Triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai

waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu. Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Untuk itu dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Dalam hal ini peneliti menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

4. Analisis kasus negatif. Kasus negatif adalah kasus yang tidak sesuai atau berbeda dengan hasil penelitian hingga pada saat tertentu. Melakukan

analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan, berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya.

5. Menggunakan bahan referensi. Yang dimaksud dengan bahan referensi di sini adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah