Pandangan Benar yang Lebih Tinggi
Pandangan Benar yang Lebih Tinggi
Pandangan benar mengenai kamma dan buahnya menyediakan alasan rasional untuk terlibat dalam perbuatan-perbuatan bajik dan mencapai status tinggi di dalam lingkaran kelahiran kembali, namun dengan ini saja, tidak mengantarkan pada pembebasan. Adalah mungkin bagi seseorang untuk menerima hukum kamma, tetapi masih membatasi tujuannya hanya sebatas pada pencapaian-pencapaian duniawi. Motif seseorang untuk melakukan perbuatan mulia mungkin saja merupakan akumulasi dari kamma yang bermanfaat yang menuntun ke kemakmuran dan kesuksesan di sini dan kini, kelahiran kembali yang beruntung sebagai seorang manusia, atau kenikmatan dari kebahagiaan surgawi di alam surga. Tidak ada sedikitpun dalam logika sebab akibat kamma, yang mendorong kemendesakan untuk melampaui siklus kamma dan buahnya. Dorongan untuk pembebasan dari seluruh lingkaran penjadian tergantung pada pencapaian dari suatu perspektif yang berbeda dan lebih dalam, sesuatu yang menghasilkan pandangan terang ke dalam kecacatan yang melekat pada segala bentuk keberadaan dalam samsara termasuk bahkan di keberadaan yang paling agung.
Pandangan benar yang lebih tinggi yang mengarah pada pembebasan ini adalah pengertian dari Empat Kebenaran Mulia. Pandangan benar inilah yang dimaksud sebagai ruas pertama dari Jalan Mulia Beruas Delapan dalam arti sebenarnya: yakni sebagai pandangan benar yang mulia. Oleh karena itu, Buddha mendefinisikan dengan jelas ruas jalan pandangan benar dalam istilah-istilah dari empat kebenaran: ”Sekarang, apa itu pandangan benar? Pandangan benar adalah pengertian mengenai penderitaan (dukkha), pengertian mengenai asal mula penderitaan, pengertian mengenai berhentinya penderitaan, pengertian mengenai jalan menuju berhentinya penderitaan.” [10] Jalan Beruas Delapan diawali dengan suatu pengertian konseptual mengenai Empat Kebenaran Mulia yang hanya dipersepsikan secara kabur melalui media pemikiran dan refleksi. Jalan Beruas Delapan mencapai puncaknya di dalam suatu intuisi langsung dari kebenaran- kebenaran yang sama tersebut, ditembus dengan suatu kejelasan yang setara Pandangan benar yang lebih tinggi yang mengarah pada pembebasan ini adalah pengertian dari Empat Kebenaran Mulia. Pandangan benar inilah yang dimaksud sebagai ruas pertama dari Jalan Mulia Beruas Delapan dalam arti sebenarnya: yakni sebagai pandangan benar yang mulia. Oleh karena itu, Buddha mendefinisikan dengan jelas ruas jalan pandangan benar dalam istilah-istilah dari empat kebenaran: ”Sekarang, apa itu pandangan benar? Pandangan benar adalah pengertian mengenai penderitaan (dukkha), pengertian mengenai asal mula penderitaan, pengertian mengenai berhentinya penderitaan, pengertian mengenai jalan menuju berhentinya penderitaan.” [10] Jalan Beruas Delapan diawali dengan suatu pengertian konseptual mengenai Empat Kebenaran Mulia yang hanya dipersepsikan secara kabur melalui media pemikiran dan refleksi. Jalan Beruas Delapan mencapai puncaknya di dalam suatu intuisi langsung dari kebenaran- kebenaran yang sama tersebut, ditembus dengan suatu kejelasan yang setara
Kebenaran mulia yang pertama adalah kebenaran dari penderitaan (dukkha), ketidakpuasan yang melekat pada keberadaan, yang terlihat dalam ketidakkekalan, kesakitan, dan ketidaklengkapan yang terus menerus yang melekat pada semua bentuk kehidupan.
Ini adalah kebenaran mulia dari penderitaan. Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; sakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, duka, dan keputusasaan adalah penderitaan; berhubungan dengan yang tidak menyenangkan adalah penderitaan; berpisah dari yang menyenangkan adalah penderitaan; tidak mendapatkan yang diinginkan adalah penderitaan; secara singkat, lima kelompok kemelekatan adalah penderitaan. [11]
Pernyataan terakhir tersebut menjadi suatu klaim menyeluruh yang menarik perhatian. Lima kelompok kemelekatan (pañcupadanakkandha) adalah skema klasifikasi untuk mengerti sifat keberadaan kita. Buddha mengajarkan, kita adalah suatu kumpulan dari lima kelompok — bentuk materi, perasaan-perasaan, pencerapan-pencerapan, bentukan-bentukan mental, dan kesadaran — semua terhubung dengan kemelekatan. Kita adalah kelima hal tersebut dan kelima hal tersebut adalah kita. Dengan apapun kita mengidentifikasikan, apapun yang kita pegang sebagai diri kita, semua itu masih terkait dengan kumpulan dari lima kelompok tersebut. Bersama-sama, lima kelompok ini membentuk seluruh jajaran pemikiran, emosi, gagasan, dan kecenderungan yang mana kita hidup di dalamnya yakni ”dunia kita.” Jadi pernyataan Buddha bahwa lima kelompok adalah dukkha, berdampak membawa semua pengalaman, seluruh keberadaan kita, ke dalam lingkup dari dukkha.
Namun di sini munculah pertanyaan: Mengapa Buddha harus mengatakan Namun di sini munculah pertanyaan: Mengapa Buddha harus mengatakan
Kebenaran mulia yang kedua menunjukan sebab dukkha. Dari kumpulan kekotoran batin yang akhirnya berakibat dalam penderitaan, Buddha menunjukkan nafsu keinginan (tanha) sebagai sebab yang dominan dan paling menyebar, “asal mula penderitaan.”
Inilah kebenaran mulia dari asal mula penderitaan. Nafsu keinginan inilah yang menghasilkan keberadaan yang terus berulang, terikat dengan keriangan dan nafsu, serta mencari kesenangan di sana sini yang dinamakan nafsu keinginan untuk kesenangan-kesenangan indra, nafsu keinginan untuk keberadaan, dan nafsu keinginan untuk tanpa-keberadaan. [12]
Kebenaran mulia yang ketiga tinggal membalik hubungan asal mula ini. Jika nafsu keinginan adalah sebab dukkha, maka untuk terbebas dari dukkha, kita harus menghilangkan nafsu keinginan. Oleh karena itu Buddha mengatakan:
Ini adalah kebenaran mulia mengenai berhentinya penderitaan. Ini adalah pemudaran dan penghentian yang lengkap dari nafsu keinginan ini, inilah peninggalan dan pembuangan, pembebasan dan pelepasan dari nafsu keinginan. [13]
Keadaan kedamaian sempurna yang datang ketika nafsu keinginan dihilangkan adalah Nibbana (nirvana), keadaan tidak berkondisi yang dialami saat hidup bersama pemadaman api keserakahan, kebencian, dan Keadaan kedamaian sempurna yang datang ketika nafsu keinginan dihilangkan adalah Nibbana (nirvana), keadaan tidak berkondisi yang dialami saat hidup bersama pemadaman api keserakahan, kebencian, dan
Pandangan benar mengenai Empat Kebenaran Mulia berkembang dalam dua tahap. Tahap pertama disebut pandangan benar yang sesuai dengan kebenaran-kebenaran tersebut (saccanulomika samma ditthi); tahap kedua, pandangan benar yang menembus kebenaran-kebenaran (saccapativedha samma ditthi). Untuk memperoleh pandangan benar yang sesuai dengan kebenaran-kebenaran membutuhkan suatu pengertian jelas tentang arti dan makna kebenaran-kebenaran tersebut dalam kehidupan kita. Pengertian seperti ini muncul, pertama dengan mempelajari kebenaran-kebenaran tersebut dan menelaahnya. Selanjutnya pengertian ini diperdalam dengan merefleksikan kebenaran-kebenaran tersebut di dalam cahaya pengalaman sampai seseorang memperoleh suatu keyakinan yang kuat terhadap kejujuran kebenaran-kebenaran ini.
Namun bahkan sampai titik ini, kebenaran-kebenaran tersebut belum ditembus, dan karena itu pengertian yang dicapai masih cacat, pengertian ini masih konsep bukannya persepsi. Untuk sampai pada realisasi pengalaman dari kebenaran-kebenaran tersebut, adalah perlu untuk menjalani praktik meditasi — pertama untuk menguatkan kapasitas untuk konsentrasi yang terus menerus, kemudian untuk mengembangkan pandangan terang. Pandangan terang timbul dengan merenungkan lima kelompok, faktor- faktor dari keberadaan, dalam rangka untuk melihat karakteristik mereka yang sesungguhnya. Pada puncak dari perenungan semacam ini, mata mental berpaling dari fenomena yang berkondisi yang terkandung di dalam kelompok-kelompok dan mata mental itu akan menggeser fokusnya ke keadaan tidak berkondisi, Nibbana, yang menjadi dapat dicapai melalui kemampuan pandangan terang yang diperdalam. Dengan pergeseran ini, ketika mata pikiran melihat Nibbana, di sini terjadi suatu penembusan seluruh Empat Kebenaran Mulia secara bersamaan. Dengan melihat Nibbana, keadaan di luar dukkha, seseorang memperoleh perspektif untuk memandang lima kelompok dan melihat bahwa mereka adalah dukkha Namun bahkan sampai titik ini, kebenaran-kebenaran tersebut belum ditembus, dan karena itu pengertian yang dicapai masih cacat, pengertian ini masih konsep bukannya persepsi. Untuk sampai pada realisasi pengalaman dari kebenaran-kebenaran tersebut, adalah perlu untuk menjalani praktik meditasi — pertama untuk menguatkan kapasitas untuk konsentrasi yang terus menerus, kemudian untuk mengembangkan pandangan terang. Pandangan terang timbul dengan merenungkan lima kelompok, faktor- faktor dari keberadaan, dalam rangka untuk melihat karakteristik mereka yang sesungguhnya. Pada puncak dari perenungan semacam ini, mata mental berpaling dari fenomena yang berkondisi yang terkandung di dalam kelompok-kelompok dan mata mental itu akan menggeser fokusnya ke keadaan tidak berkondisi, Nibbana, yang menjadi dapat dicapai melalui kemampuan pandangan terang yang diperdalam. Dengan pergeseran ini, ketika mata pikiran melihat Nibbana, di sini terjadi suatu penembusan seluruh Empat Kebenaran Mulia secara bersamaan. Dengan melihat Nibbana, keadaan di luar dukkha, seseorang memperoleh perspektif untuk memandang lima kelompok dan melihat bahwa mereka adalah dukkha
Pandangan benar yang menembus Empat Kebenaran Mulia tersebut muncul di akhir jalan, bukan di awal. Kita harus memulai dengan pandangan benar yang selaras dengan kebenaran-kebenaran tersebut, diperoleh melalui pembelajaran dan diperkuat melalui refleksi. Pandangan ini menginspirasi kita untuk menjalankan praktik, untuk memulai pelatihan beruas tiga dalam disiplin moral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ketika pelatihan tersebut matang, mata kebijaksanaan terbuka dengan sendirinya, menembus kebenaran-kebenaran tersebut dan membebaskan pikiran dari belenggu.