(1) Untuk mencegah munculnya keadaan- keadaan tidak bajik yang belum muncul

(1) Untuk mencegah munculnya keadaan- keadaan tidak bajik yang belum muncul

Di sini pengikutnya membangun tekadnya untuk menghindari munculnya keadaan-keadaan yang jahat, yang tidak bajik, yang belum muncul; dan ia melakukan usaha, membangkitkan energinya, mengerahkan pikirannya dan berjuang. [38]

Sisi pertama dari usaha benar bertujuan untuk mengatasi keadaan-keadaan tidak bajik, keadaan-keadaan pikiran yang ternodai oleh kekotoran- kekotoran batin. Kekotoran-kekotoran batin, sejauh berkaitan dengan perintangan konsentrasi, biasanya disampaikan dalam kelompok beruas lima yang disebut “lima rintangan” (pañcanivarana): nafsu indra, niat jahat, ketumpulan dan kantuk, kegelisahan dan kekhawatiran, dan keraguan. [39] Kelima hal ini dinamakan “rintangan” karena mereka menghalangi jalan menuju pembebasan; mereka tumbuh dan menguasai pikiran, menghalangi ketenangan dan pandangan terang yang mana kedua hal ini merupakan instrumen primer untuk maju. Dua rintangan pertama, nafsu indra dan niat jahat, adalah yang terkuat dari kelompok beruas lima tersebut, penghalang paling berat bagi perkembangan meditasi yang mewakili, secara berurutan, akar-akar tidak bajik dari keserakahan dan kebencian. Tiga rintangan yang Sisi pertama dari usaha benar bertujuan untuk mengatasi keadaan-keadaan tidak bajik, keadaan-keadaan pikiran yang ternodai oleh kekotoran- kekotoran batin. Kekotoran-kekotoran batin, sejauh berkaitan dengan perintangan konsentrasi, biasanya disampaikan dalam kelompok beruas lima yang disebut “lima rintangan” (pañcanivarana): nafsu indra, niat jahat, ketumpulan dan kantuk, kegelisahan dan kekhawatiran, dan keraguan. [39] Kelima hal ini dinamakan “rintangan” karena mereka menghalangi jalan menuju pembebasan; mereka tumbuh dan menguasai pikiran, menghalangi ketenangan dan pandangan terang yang mana kedua hal ini merupakan instrumen primer untuk maju. Dua rintangan pertama, nafsu indra dan niat jahat, adalah yang terkuat dari kelompok beruas lima tersebut, penghalang paling berat bagi perkembangan meditasi yang mewakili, secara berurutan, akar-akar tidak bajik dari keserakahan dan kebencian. Tiga rintangan yang

Nafsu indra ditafsirkan dalam dua cara. Kadang nafsu indra ditafsirkan dalam arti sempit sebagai nafsu terhadap “lima untaian kesenangan indra,” yaitu pemandangan, suara, bebauan, rasa, dan sentuhan yang menyenangkan; kadang kala diberikan penafsiran yang lebih luas, di mana istilah ini menjadi mencakup kemelekatan dalam segala jenisnya, apakah itu kemelekatan akan kesenangan indra, kekayaan, kekuasaan, kedudukan, ketenaran, atau hal apapun di mana kemelekatan dapat tinggal di dalamnya. Rintangan kedua, niat jahat, adalah sinonim dari kebencian. Rintangan ini memuat kebencian, kemarahan, ketidaksukaan, penolakan dalam setiap warnanya, baik yang diarahkan keluar kepada orang lain, kepada diri sendiri, kepada objek-objek, atau kepada situasi-situasi. Rintangan ketiga, ketumpulan dan kantuk, adalah gabungan dari dua faktor yang terhubung bersama oleh kesamaan ciri dari mental yang sulit dikontrol. Yang satu adalah ketumpulan (thina), mewujud sebagai kelambanan mental; yang lain adalah kantuk(middha), terlihat dalam keterperosokan mental, keberatan dari pikiran, atau kecenderungan berlebihan untuk tidur. Pada ekstrem yang berlawanan adalah rintangan keempat, kegelisahan dan kekhawatiran. Ini juga adalah gabungan dari dua anggota yang terhubung oleh kesamaan ciri mereka dari keadaan tidak tenang. Kegelisahan (uddhacca) adalah senewen atau kebat-kebit, yang mengarahkan pikiran dari pemikiran yang satu ke pemikiran yang lain dengan cepat dan tak terkendali; kekhawatiran

(kukkucca) adalah penyesalan atas kesalahan-kesalahan masa lalu dan kecemasan atas konsekuensi-konsekuensi buruk dari kesalahan tersebut

yang mungkin terjadi. Rintangan kelima, keraguan, menandakan sesuatu sifat kebimbangan yang kronis dan kurangnya pendirian: bukanlah soal kecerdasan kritis yang dimaksud Buddha, melainkan ketidakmampuan yang sifatnya tetap untuk berkomitmen pada diri sendiri dalam menjalani rangkaian pelatihan spiritual yang disebabkan adanya keraguan mengenai Buddha, ajarannya, dan jalannya.

Usaha pertama yang perlu dilakukan berkaitan dengan rintangan-rintangan adalah usaha untuk mencegah rintangan-rintangan yang belum muncul; hal ini juga disebut sebagai usaha untuk mengendalikan (samvarappadhana). Usaha untuk menahan rintangan-rintangan ini agar tidak muncul adalah penting dalam dua hal yakni saat awal pelatihan yang sifatnya meditasi dan sepanjang perjalanan perkembangannya. Oleh karena pada saat rintangan muncul, mereka membuyarkan perhatian dan menggelapkan kualitas dari kewaspadaan, sehingga merusak ketenangan dan kejernihan. Rintangan tidak datang dari luar pikiran melainkan dari dalam. Mereka muncul melalui pengaktifan dari kecenderungan tertentu yang terus menerus tertidur di kedalaman ceruk kontinum mental, menunggu kesempatan untuk muncul ke permukaan.

Secara umum, yang menjadi pemicu masuknya rintangan-rintangan ke dalam kegiatan adalah masukan yang diberikan oleh pengalaman indra. Fisik makhluk hidup dilengkapi dengan lima indra yang masing-masing reseptif atau dapat menerima data sesuai dengan jenisnya yang spesifik — mata terhadap bentuk-bentuk, telinga terhadap suara-suara, hidung terhadap bebauan, lidah terhadap rasa-rasa dan tubuh terhadap sentuhan. Objek- objek indra secara terus menerus menerpa indra-indra, yang mana indra tersebut melanjutkan informasi yang mereka terima ke pikiran, di mana informasi tersebut akan diproses, dievaluasi, dan diberikan respon yang sesuai. Namun pikiran mampu mengurus kesan-kesan yang diterimanya dengan cara yang berbeda-beda, diatur pertama kali oleh cara pikiran tersebut menghadapi mereka. Ketika pikiran mengalihkan perhatiannya dengan sembarangan pada data yang masuk, dengan pertimbangan yang tidak bijaksana (ayoniso manasikara), objek-objek indra cenderung membangkitkan keadaan tidak bajik. Objek-objek indra membangkitkan keadaan tidak bajik, baik secara langsung yakni melalui benturan langsung mereka, maupun secara tidak langsung dengan mendepositokan jejak-jejak ingatan yang nantinya dapat membesar sebagai objek-objek dari pemikiran- pemikiran, gambaran-gambaran, dan khayalan-khayalan yang terkotori. Sebagai aturan umum kekotoran batin yang diaktifkan adalah sesuai dengan objek: objek yang menarik mendorong munculnya keinginan, objek yang Secara umum, yang menjadi pemicu masuknya rintangan-rintangan ke dalam kegiatan adalah masukan yang diberikan oleh pengalaman indra. Fisik makhluk hidup dilengkapi dengan lima indra yang masing-masing reseptif atau dapat menerima data sesuai dengan jenisnya yang spesifik — mata terhadap bentuk-bentuk, telinga terhadap suara-suara, hidung terhadap bebauan, lidah terhadap rasa-rasa dan tubuh terhadap sentuhan. Objek- objek indra secara terus menerus menerpa indra-indra, yang mana indra tersebut melanjutkan informasi yang mereka terima ke pikiran, di mana informasi tersebut akan diproses, dievaluasi, dan diberikan respon yang sesuai. Namun pikiran mampu mengurus kesan-kesan yang diterimanya dengan cara yang berbeda-beda, diatur pertama kali oleh cara pikiran tersebut menghadapi mereka. Ketika pikiran mengalihkan perhatiannya dengan sembarangan pada data yang masuk, dengan pertimbangan yang tidak bijaksana (ayoniso manasikara), objek-objek indra cenderung membangkitkan keadaan tidak bajik. Objek-objek indra membangkitkan keadaan tidak bajik, baik secara langsung yakni melalui benturan langsung mereka, maupun secara tidak langsung dengan mendepositokan jejak-jejak ingatan yang nantinya dapat membesar sebagai objek-objek dari pemikiran- pemikiran, gambaran-gambaran, dan khayalan-khayalan yang terkotori. Sebagai aturan umum kekotoran batin yang diaktifkan adalah sesuai dengan objek: objek yang menarik mendorong munculnya keinginan, objek yang

Oleh karena respon yang tidak terkontrol terhadap masukan indrawi menyebabkan munculnya kekotoran batin yang laten, maka yang terbukti diperlukan untuk mencegah kekotoran batin laten ini muncul adalah kontrol atas indra. Jadi sebagai disiplin untuk menjaga rintangan-rintangan ini agar tidak muncul, Buddha mengajarkan sebuah latihan yang disebut pengendalian kemampuan indra (indriya-samvara):

Ketika ia menyadari suatu bentuk dengan mata, suatu suara dengan telinga, suatu bau dengan hidung, suatu rasa dengan lidah, suatu kesan dengan tubuh, atau suatu objek dengan pikiran, ia mempersepsikan tidak berdasarkan tanda atau detailnya. Dan ia berjuang untuk menghindarinya, yang mana darinya keadaan-keadaan jahat dan tidak bajik, keserakahan dan kesedihan, akan muncul apabila ia tetap dengan indra yang tidak terjaga; dan ia mengawasi indra-indranya, mengendalikan indra-indranya. [40]

Mengendalikan indra tidak berarti penyangkalan dari indra-indra, kabur ke dalam penarikan total dari dunia indrawi. Ini tidaklah mungkin, dan meski apabila hal ini dapat dicapai, masalah sebenarnya tetap belum terselesaikan; karena kekotoran-kekotoran batin berada di dalam pikiran, bukan di dalam organ indra ataupun objek-objeknya. Kunci untuk kontrol indra ditunjukkan dengan frase “tidak mempersepsikan tanda atau detailnya.” “Tanda” (nimitta) adalah wujud umum objek tersebut sejauh wujud ini ditangkap dan dipahami sebagai dasar dari pemikiran yang terkotori; “detail” (anubyanjana) adalah ciri yang lebih tidak menonjol. Apabila kontrol indra kurang, pikiran mengembara dengan sembrono melintasi bidang-bidang indra. Pertama, pikiran akan menangkap dan memahami tanda, yang mana menyebabkan kekotoran-kekotoran batin bergerak, kemudian pikiran menjelajahi detail-detailnya, yang mana mengizinkan kekotoran-kekotoran batin tersebut untuk berlipat ganda dan berkembang.

Mengendalikan indra membutuhkan perhatian dan pengertian jelas yang diterapkan pada pertemuan dengan bidang-bidang indra. Kesadaran indra terjadi dalam suatu rangkaian, sebagai suatu urutan tindakan- tindakan kognitif sesaat yang masing-masing memiliki tugas khususnya masing-masing. Tahap awal dalam rangkaian terjadi sebagai fungsi otomatis: pertama, pikiran mengalihkan perhatiannya pada objek, lalu mempersepsikan objek itu, lalu menerima persepsi tersebut, memeriksanya, dan mengidentifikasinya. Segera setelah identifikasi, suatu ruang muncul, di mana di dalam ruang ini terjadi suatu evaluasi bebas terhadap objek yang mengarah pada pemilihan suatu respon. Ketika perhatian tidak hadir, maka kekotoran batin yang laten yang mendesak agar memiliki kesempatan untuk muncul, akan memotivasi pertimbangan yang salah. Seseorang akan menangkap dan memahami tanda dari objek, menjelajahi detilnya, dan dengan demikan memberikan kesempatan bagi kekotoran batin untuk muncul: oleh karena keserakahan seseorang akan menjadi terpesona oleh objek yang menyenangkan, oleh karena kebencian seseorang akan menjadi terusir oleh objek yang tidak menyenangkan. Namun ketika seseorang menerapkan perhatian pada pengalaman indrawi, seseorang menghentikan proses kognitifnya sebelum proses tersebut dapat berevolusi ke tahap yang menstimulasi noda yang tertidur. Perhatian mencegah munculnya rintangan-rintangan dengan cara menjaga pikiran pada tingkat apa yang dirasakan. Perhatian memusatkan kesadaran pada apa yang diberikan, mencegah pikiran dari membumbui data dengan ide-ide yang dilahirkan dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin. Kemudian, dengan kewaspadaan yang terang sebagai pemandu, pikiran dapat melanjutkan memahami objek sebagaimana adanya, tanpa tersesat.