terindikasi sebagai daerah rawan banjir. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei lapangan dan plotting koordinat lokasi sebagai referensi bagi
penilaian daerah rawan banjir secara spasial.
3.3.3. Analisis Data
A. Identifikasi Kekritisan Daerah Resapan
Untuk mengidentifikasi kekritisan daerah resapan komponen lingkungan yang dipakai terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah, hujan dan penggunaan lahan.
Keempat komponen ini ditransformasikan terlebih dahulu kedalam nilai-nilai tingkat infiltrasi potensial dan nilai tingkat infiltrasi aktualnya Dephut, 1998.
1 Kemiringan Lereng
Data Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster .asc menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data
ASCII raster tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng yang diklasifikasikan menjadi lima kelas lereng.
Kelas kemiringan lereng tersebut selanjutnya ditransformasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat peresapan infiltrasi sebagaimana Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Hubungan Kemiringan Lereng dan Tingkat Infiltrasi
Kelas Lereng
Deskripsi Transform nilai faktor
Infiltrasi fc Notasi
I 8
Datar 0,80
a II
8 – 15 Landai
0,70 – 0,80 b
III 15 – 25
Bergelombang 0,50 – 0,70
c IV
25 – 40 Curam
0,20 – 0,50 d
V 40
Sangat Curam 0,20
e Sumber: Chow, 1968 dalam Dephut, 1998
Universitas Sumatera Utara
2 Jenis Tanah
Berdasarkan pengujian, karateristik tanah dan geohidrologi selanjutnya ditransformasi berdasarkan hubungannya dengan infiltrasi permeabilitas tanah
dengan klasifikasi sebagaimana Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Hubungan Permeabilitas Tanah dan Nilai Infiltrasi
Kelas Deskripsi
Permeabilitas cmjam
Transform nilai faktor Infiltrasi fc
Notasi
I Cepat
12,7 0,45
a II
Agak cepat 6,3 – 12,7
0,20 – 0,45 b
III Sedang
2,0 – 6,3 0,10 – 0,20
c IV
Agak lambat 0,5 – 2.0
0,04 – 0,10 d
V Lambat
0,5 0,04
e Sumber: USDA, 1951; Hammer, 1978 dalam Dephut, 1998
Jika klasifikasi tersebut dikaitkan dengan jenis tanah, maka dapat dikonversikan sebagaimana Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Potensi Infiltrasi untuk Setiap Jenis Tanah
Parameter Klasifikasi
Jenis Tanah Kelas
Deskripsi Notasi
FAO Soil Taxonomy
Infiltrasi I
Besar a
Andosol hitam Dystrandepts
II Agak besar
b Andosol coklat
Hydrandepts III
Sedang c
Regosol Tropopsamments, Tropaquepts
IV Agak kecil
d Latosol
Dystropepts, Eutropepts V
Kecil e
Aluvial Hydraquents, Sulfaquents,
Tropaquents Sumber: Dephut, 1998; Purwanto, 1997
3 Curah Hujan RD
Secara potensial, infiltrasi akan lebih besar untuk hujan dengan periode waktu terjadinya lebih panjang. Sehubungan dengan kondisi yang demikian maka dalam
kaitannya dengan infiltrasi ini, faktor hujan dikembangkan sebagai faktor “hujan infiltrasi” atau disingkat ”RD” yaitu jumlah hujan tahunan
x jumlah hari hujan100
Dephut, 1998.
Universitas Sumatera Utara
Hasil perhitungan RD dilakukan berdasarkan data curah hujan tahunan dan hari hujan dalam satu tahun dari 46 pos hujan yang berada di sekitarwilayah DAS
Padang. Rincian pos hujan dan atribut data iklim yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Pemetaan RD dilakukan dengan bantuan ekstensi
Spatial Analyst Tools dari ArcGIS v.9.x. Metode interpolasi RD menggunakan Inverse Distance Weighted IDW dari nilai RD berdasarkan kedudukan geografis
stasiun hujannya. Nilai hujan infiltrasi dari proses interpolasi tersebut selanjutnya ditransformasi kedalam nilai potensi infiltrasinya. Hasil klasifikasi nilai RD dalam
kaitannya dengan nilai potensial infiltrasinya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Klasifikasi Nilai “Hujan Infiltrasi” RD
Kelas Deskripsi
Nilai “hujan infiltrasi” RD
Notasi
I Rendah
2500 A
II Sedang
2500 – 3500 B
III Agak besar
3500 – 4500 C
IV Besar
4500 – 5500 D
V Sangat besar
5500 E
Sumber: Wischemeier, 1958; Chow, 1968; Wiersum Ambar, 1980 dalam Dephut, 1998
4 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan, khususnya tipe vegetasi penutup berpengaruh terhadap infiltrasi lewat tiga bentuk, yaitu: perakaran dan pori-pori memperbesar permeabilitas
tanah, vegetasi menahan run-off dan vegetasi mengurangi jumlah air perkolasi melalui transpirasi. Vegetasi juga mempengaruhi erosi melalui beberapa proses.
Tajuk pohon mengubah tenaga erosivitas jatuhan hujan yaitu mengubah kecepatan dan ukuran butir tetes hujan. Faktor-faktor yang berperan antara lain tinggi tajuk,
Universitas Sumatera Utara
tebal tajuk, kelebatan, serasah yang dihasilkan, rerumputan dan herba sebagai penutup tanah Dephut, 1998.
Kondisi penggunaan lahan DAS Padang didekati dengan Peta Penutupan Lahan tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan. Untuk mendekati kondisi aktual di
lapangan, maka Peta Penutupan Lahan dikoreksi secara visual menggunakan citra Landsat 5 TM tahun 2008. Tipe penutupan lahan pada Peta Penutupan Lahan yang
telah dikoreksi selanjutnya ditransformasikan kedalam nilai tingkat infiltrasi aktualnya secara kualitatif sebagaimana Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Nilai Tingkat Infiltrasi Aktual Kualitatif
Parameter Klasifikasi
Tipe Penggunaan Lahan Kelas
Deskripsi Notasi
Infiltrasi I
Besar A
Hutan lebat II
Agak besar B
Hutan produksi, perkebunan III
Sedang C
Semak, padang rumput IV
Agak kecil D
Hortikultura landai V
Kecil E
Permukiman, sawah Sumber: Chow, 1968; Suwardjo, 1975, Wiersum Ambar, 1980; S. Ambar, 1986 dalam Dephut, 1998
5 Klasifikasi Kekritisan Daerah Resapan
Kondisi kekritisan daerah resapan diperoleh dari hasil tumpang susun Peta Potensi Infiltrasi dengan Peta Tingkat Infiltrasi Aktual, di mana kondisi kekritisan
daerah resapan merupakan perbandingan antara kondisi potensi infiltrasi suatu wilayah dengan tingkat infiltrasi aktualnya.
Peta Potensi Infiltrasi tersusun atas parameter kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan. Parameter-parameter potensi infiltrasi yang telah ditransformasi kedalam
notasi potensi infiltrasi pada proses sebelumnya, selanjutnya ditransformasikan kedalam skor potensi infiltrasinya, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6. Skoring Notasi Potensi Infiltrasi
Notasi Potensi Infiltrasi Skor
A 1
B 2
B 3
D 4
E 5
Sumber: Chow, 1968; Suwardjo, 1975, Wiersum Ambar, 1980; S. Ambar, 1986 dalam Dephut, 1998
Parameter-parameter penyusun potensi infiltrasi yang telah diskoring selanjutnya ditumpang-susun untuk mendapatkan skor potensi infiltrasi. Proses
tumpang susun ini menghasilkan unit-unit lahan baru yang merupakan gabungan dari parameter jenis tanah, curah hujan dan kemiringan lereng. Dengan demikian, dalam
sebuah unit lahan yang baru, akan didapati skor-skor dari parameter-parameter awal yang menyusunnya.
Untuk dapat menilai suatu unit lahan yang baru sebagai sebuah potensi infiltrasi, maka skor awal dari tiap-tiap parameter yang terdapat pada masing-masing
unit lahan dihitung dengan cara dijumlahkan. Hasil dari penjumlahan tersebut kemudian dikelompokkan kedalam lima kelas potensi infiltrasi dan membentuk
notasi potensi infiltrasi baru, sehingga menggambarkan potensi infiltrasi dari masing- masing unit lahan yang terbentuk. Klasifikasi hasil penjumlahan parameter penyusun
potensi infiltrasi terhadap notasi potensi infiltrasi dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Notasi Hasil Penjumlahan Skor Parameter Potensi Infiltrasi
Jumlah Skor Deskripsi
Notasi Potensi Infiltrasi
3 4
5 Sangat Kecil
E 6
7 8
Kecil D
9 10
11 Sedang
C 12
13 14
Besar B
15 Sangat Besar
A Sumber: Chow, 1968; Suwardjo, 1975, Wiersum Ambar, 1980; S. Ambar, 1986 dalam Dephut, 1998
Universitas Sumatera Utara
Peta Infiltrasi Aktual diperoleh dari parameter penggunaan lahan yang telah ditransformasikan kedalam notasi tingkat infiltrasi aktualnya, sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel 5 terdahulu. Tahap akhir dalam proses identifikasi kekritisan daerah resapan adalah dengan
melakukan tumpang susun Peta Potensi Infiltrasi curah hujan, kemiringan lereng dan tanah dengan Peta Infiltrasi Aktual penggunaan lahan. Proses tumpang susun
tersebut menghasilkan unit-unit lahan telah mempunyai kombinasi nilai potensi infiltrasi dan nilai tingkat infiltrasi aktual, sehingga tingkat kekritisan daerah resapan
pada tiap-tiap unit lahan dapat teridentifikasi. Adapun kriteria yang dipakai untuk menilai kondisi kekritisan daerah resapan adalah sebagai-berikut Dephut, 1998:
I Kondisi Baik, yaitu jika nilai infiltrasi aktual lebih besar dibanding nilai
infiltrasi potensial, misalnya dari e menjadi A, atau dari d menjadi B dan seterusnya.
II Kondisi Normal Alami, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sama atau tetap seperti
nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari b menjadi B, atau dari c menjadi C dan seterusnya.
III Kondisi Mulai Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun setingkat
dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi B, atau dari c menjadi D dan seterusnya.
IV Kondisi Agak Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun dua tingkat
dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi C, atau dari b menjadi D dan seterusnya.
Universitas Sumatera Utara
V Kondisi Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun tiga tingkat dari
nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi D, atau dari b menjadi E. VI
Kondisi sangat Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual berubah dari sangat besar menjadi sangat kecil, misalnya dari a menjadi E.
Metode identifikasi karakteristik hingga penentuan kelas kondisi daerah resapan ini secara skematis ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian
Daerah Resapan
Universitas Sumatera Utara
B. Identifikasi Daerah Pemasok Air Banjir
Besarnya pasokan air banjir diidentifikasi dari besarnya curah hujan dan karakteristik daerah tangkapan air. Tingkat ancaman hujan terhadap besarnya banjir
tergantung dari hujan harian maksimum yang merata terjadi pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan karakteristik daerah tangkapan air dipilah antara faktor alami
relatif sulit dikelola dan faktor manajemen mudah dikelola. Faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah tangkapan air adalah bentuk DAS, gradien
sungai, kerapatan drainase dan lereng rata-rata DAS, sedangkan faktor manajemen adalah penggunaanpenutupan lahan Paimin, et al. 2009.
1 Hujan Harian Maksimum rata-rata bulan basah
Hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah diperoleh berdasarkan data curah hujan dari 31 stasiun hujan yang berada di sekitarwilayah DAS Padang
Lampiran 4. Pemetaan hujan harian maksimum rata-rata bulan basah dilakukan dengan bantuan ekstensi Spatial Analyst Tools dari ArcGIS v.9.x menggunakan
metode interpolasi Inverse Distance Weighted IDW dari nilai hujan harian maksimum berdasarkan kedudukan geografis stasiun hujannya.
Parameter hujan
harian maksimum
yang dihasilkan
selanjutnya ditransformasikan kedalam bobot dan skor berdasarkan perannya terhadap tingkat
pasokan air hujan dapat dilihat sebagaimana Tabel 8 berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 8. Klasifikasi Skoring dan Bobot Hujan Harian Maksimum
ParameterBobot Klasifikasi
Kategori Skor
Hujan harian max. rata-rata pada bulan basah mmhr
35 20
21 – 40 41 – 75
76 – 150 150
Rendah Agak Rendah
Sedang Agak Tinggi
Tinggi 1
2 3
4 5
Sumber: Paimin et al. 2009
2 Bentuk DAS
Bentuk DAS diperoleh dari pengolahan citra SRTM. Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster .asc menggunakan Global Mapper v.11.x,
selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut dikonversi kedalam format raster grid. Dengan menggunakan ekstensi ArcSWAT, data raster
grid tersebut didelineasi sehingga membentuk daerah-daerah tangkapan airDAS. Daerah tangkapan air yang terbentuk tersebut selanjutnya dikategorikan kedalam Sub
DAS dan Sub-Sub DAS berdasarkan daerah tangkapan air sungai utamanya. Mengingat pentingnya bentuk DAS, sejumlah peneliti telah mencoba,
mengandalkan pada prinsip kemiripan geometrik untuk menggantikan sejumlah deskripsi seperti oval, persegi atau membujur dengan indeks yang lebih tepat yang
dapat digunakan dalam formulasi matematis Zavoianu, 1985. Miller 1953 dalam Zavoianu, 1985 memperkenalkan Circularity Ratio
RC yang mewakili hasil pembagian antara luas Ab sebuah DAS dan luas Ac sebuah lingkaran yang kelilingnya sama dengan keliling DAS.
Ac Ab
RC
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendapatkan rasio ini, luas dan keliling DAS harus dihitung. Ketika nilai rasio sama dengan satu maka DAS membentuk lingkaran sempurna, menurun
pada rasio 0,785 DAS berbentuk persegi dan semakin menurun nilainya hingga pada akhirnya berbentuk memanjang. Circularity Ratio dapat diturunkan menjadi formula
sebagai berikut, di mana P adalah keliling DAS.
2
4 P
A RC
Dalam kenyataan, nilai rasio tersebut tidak pernah sama dengan satu,
dikarenakan faktor fisiografis dan lereng selalu berperan sehingga sebuah DAS mempunyai bentuk memanjang. Berdasarkan persamaan di atas, maka bentuk DAS
dihitung berdasarkan rasio antara luas dengan keliling DAS. Bobot dan skor bentuk DAS berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan
air hujan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:
Tabel 9. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk DAS
ParameterBobot Circularity Ratio
Klasifikasi Kategori
Skor
Bentuk DAS 5
0,256 0,257 - 0,436
0,436 - 0,695 0.696 - 0,785
1,000 Lonjong
Agak lonjong Sedang
Agak bulat Bulat
Rendah Agak Rendah
Sedang Agak Tinggi
Tinggi 1
2 3
4 5
Sumber: Paimin et al. 2009 dan Miller 1953 dalam Zavoianu, 1995
3 Gradien Sungai
Gradien Sungai diperoleh dari hasil pengolahan Peta Pola Aliran Sungai, Peta DAS dan Peta Wilayah Ketinggian elevasi. Parameter gradien sungai á dihitung
dengan menggunakan metode Benson 1962, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
100 75
, 10
85
Lb h
h
Di mana Lb adalah panjang sungai utama pada wilayah Sub-Sub DAS,
sedangkan h85 dan h10 adalah elevasi sungai utama pada 0,85Lb dan 0,1Lb yang dihitung dari outlet sungai utama.
Bobot dan skor parameter gradien sungai berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:
Tabel 10. Klasifikasi Skoring dan Bobot Gradien Sungai
ParameterBobot Klasifikasi
Kategori Skor
Gradien sungai 10
0,5 0,5 – 1,0
1,1 – 1,5 1,6 – 2,0
2,0 Rendah
Agak Rendah Sedang
Agak Tinggi Tinggi
1 2
3 4
5
Sumber: Paimin et al. 2009
4 Kerapatan Drainase
Kerapatan Drainase diperoleh dari hasil analisis Peta Pola Aliran Sungai dan Peta Bentuk DAS.
Chebotarev 1953 dalam Zavoianu, 1985 menunjukkan bahwa kerapatan drainase dapat dijelaskan sebagai rasio dari rata-rata panjang alur sungai l
berbanding dengan rata-rata area yang dilaluinya a. Apabila dalam sebuah area DAS A terdapat sejumlah n alur sungai atau segmen sungai dengan total panjang
ÓL, maka l = ÓLn dan a = An. Maka atas dasar persamaan tersebut, parameter kerapatan drainase Dd dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
A L
Dd
atau
a l
Dd
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan nilai kerapatan drainase, Lynsley 1949 dalam Dephut,1996 menyatakan bahwa jika nilai kerapatan drainase lebih kecil dari 1 milmil
2
0,62 kmkm
2
, DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan jika nilai kepadatan aliran lebih besar dari 5 milmil
2
3,10 kmkm
2
, DAS sering mengalami kekeringan. Bobot dan skor parameter kerapatan drainase berdasarkan perannya terhadap
tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:
Tabel 11. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kerapatan Drainase
ParameterBobot Kerapatan Drainase
Klasifikasi Kategori
Skor
Kerapatan drainase 5
0,50 kmkm
2
0,51 – 0,99 kmkm
2
1,00 – 1,49 kmkm
2
1,50 – 2,00 kmkm
2
2,00 kmkm
2
Jarang Agak Jarang
Sedang Rapat
Sangat Rapat Rendah
Agak Rendah Sedang
Agak Tinggi Tinggi
1 2
3 4
5
Sumber: Paimin et al. 2009
5 Kemiringan Lereng Rata-rata DAS
Data Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster .asc menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data
ASCII raster tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng yang diklasifikasikan menjadi lima kelas lereng.
Bobot dan skor kemiringan lereng rata-rata DAS berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut:
Tabel 12. Klasifikasi Skoring dan Bobot Lereng Rata-rata DAS
ParameterBobot Klasifikasi
Kategori Skor
Lereng rata-rata DAS 5
8 8 – 15
16 – 25 26 – 40
40 Rendah
Agak Rendah Sedang
Agak Tinggi Tinggi
1 2
3 4
5
Sumber: Paimin et al. 2009
Universitas Sumatera Utara
6 Penggunaan Lahan
Kondisi penggunaan lahan DAS Padang didekati dengan Peta Penutupan Lahan tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan. Untuk mendekati kondisi aktual
di lapangan, maka Peta Penutupan Lahan dikoreksi secara visual menggunakan citra Landsat 5 TM tahun 2008.
Bobot dan skor penggunaan lahan berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:
Tabel 13. Klasifikasi Skoring dan Bobot Penggunaan Lahan
ParameterBobot Klasifikasi
Kategori Skor
Penggunaan lahan 40
Hutan LindungKonservasi Hutan ProduksiPerkebunan
SemakBelukar SawahTegalan+teras
TegalanPermukiman Rendah
Agak Rendah Sedang
Agak Tinggi Tinggi
1 2
3 4
5
Sumber: Paimin et al. 2009
7 Analisis Daerah Pemasok Air Banjir
Parameter hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah, bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase, lereng rata-rata DAS dan penggunaan lahan yang
telah ditransformasi kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan, selanjutnya dilakukan overlay terhadap kelima parameter tersebut
untuk dapat menghasilkan Peta Daerah Pemasok Air banjir. Penghitungan skor dan bobot perlu dilakukan setelan proses overlay selesai
untuk memperoleh skor tertimbang yang menjadi dasar bagi penilaian tingkat pasokan air suatu wilayah.
Universitas Sumatera Utara
Formulasi yang digunakan untuk memperoleh skor tertimbang daerah pemasok air banjir adalah sebagai berikut:
Skor Tertimbang = 30 × HH + 10 × BD + 10 × GS + 5 × KD + 45 × LD + 45 × PL : 100
HH = Skor hujan harian max. KD
= Skor kerapatan drainase BD = Skor bentuk DAS
LD = Skor lereng DAS
GS = Skor gradien sungai PL
= Skor penggunaan lahan Klasifikasi skor tertimbang daerah pemasok air banjir dapat dilihat pada Tabel
14 berikut:
Tabel 14. Skor Tertimbang Identifikasi Kerawanan Daerah Pemasok Air Banjir
No. Skor Tertimbang
Kategori
1. 4,3
Tinggi 2.
3,5 – 4,3 Agak Tinggi
3. 2,6 – 3,4
Sedang 4.
1,7 – 2,5 Agak Rendah
5. 1,7
Rendah
Sumber: Paimin et al. 2009
Metode identifikasi tingkat pasokan air banjir secara skematis ditunjukkan oleh Gambar 3 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Tingkat Pasokan Air Banjir
C. Identifikasi Daerah Rawan Banjir
Tingkat kerawanan daerah yang terkena banjir diidentifikasi dari karakter wilayahnya, seperti bentuk lahan, lereng kiri-kanan sungai, meandering,
pembendungan alami dan adanya bangunan pengendali banjir.
Universitas Sumatera Utara
1 Bentuk Lahan
Data bentuk lahan diperoleh dari Peta Landsystem. Data bentuk lahan dari Peta Landsystem dikalibrasikan dengan Citra SRTM melalui proses dijitasi
menggunakan ArcView v.3.x. Proses kalibrasi tersebut diperlukan untuk memperoleh keakurasian bentuk lahan yang lebih baik data, di mana bentuk lahan yang dihasilkan
memiliki akurasi setara peta Skala 1 : 50.000. Kelas bentuk lahan dataran aluvial, lembah aluvial, kelokan sungai dan rawa-
rawa, merupakan daerah yang rentan terkena banjir karena merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng 2 Paimin, 2009.
Kelas bentuk lahan yang telah dikalibrasi selanjutnya ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana
Tabel 15 berikut:
Tabel 15. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk Lahan
ParameterBobot Klasifikasi
Kategori Skor
Bentuk lahan 30
Pegunungan, perbukitan Kipas aluvial
Dataran, teras Dataran aluvial, lembah
Aluvial, jalur kelokan Rendah
Agak Rendah Sedang
Agak Tinggi Tinggi
1 2
3 4
5
Sumber: Paimin et al. 2008
2 Kemiringan Lereng
Parameter kemiringan lereng pada daerah rawan banjir diasumsikan sebagai lereng di kiri dan kanan sungai, di mana lereng yang lebih landai akan
memungkinkan terjadinya limpasan air ketika sungai melampaui daya tampungnya dibandingkan lereng yang lebih curam.
Universitas Sumatera Utara
Data kemiringan lereng diperoleh dari pengolahan citra SRTM. Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster .asc menggunakan Global Mapper v.11.x,
selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut diolah menjadi Peta Kemiringan Lereng. Peta Kemiringan Lereng yang dihasilkan dibagi kedalam
tiga kelas lereng untuk kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 16 berikut:
Tabel 16. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kemiringan Lereng Kiri–Kanan Sungai
ParameterBobot Klasifikasi
Kategori Skor
Lereng lahan kiri-kanan sungai
10 8 Sangat lancar
2 – 8 Agak lancar 2 Terhambat
Rendah Sedang
Tinggi 1
3 5
Sumber: Paimin et al. 2009
3 Pembendungan Alami
Pembendungan alami adalah keberadaan percabangan sungai, penyempitan sungai, dan atau daerah di sekitar muara di mana aliran sungai tertahan oleh air laut
pasang. Pembendungan alami diidentifikasi dari Peta Aliran Sungai. kemudian
ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 17 berikut:
Tabel 17. Klasifikasi Skoring dan Bobot Pembendungan Alami
ParameterBobot Klasifikasi
Kategori Skor
Pembendungan oleh percabangan sungai
air pasang 10
Tidak ada Anak cabang s. induk
Cabang s. induk S. indukbottle neck
Pasang air laut Rendah
Agak Rendah Sedang
Agak Tinggi Tinggi
1 2
3 4
5
Sumber: Paimin et al. 2009
Universitas Sumatera Utara
4 Sinusitas Meandering
Tingkat kebanjiran diukur dengan nilai sinusitas P, yaitu panjang sungai sesuai kelokan dengan panjang sungai secara horizontal yang berupa garis lurus
dalam satuan peta Paimin et al. 2009. Sinusitas meandering diidentifikasi dari Peta Pola Aliran Sungai dan dibatasi pada lereng-lereng ≤ 5 yang berada di kanan-kiri
sungai.
Gambar 4. Parameter untuk Menggambarkan Meander Hugget, j. R., 2007 dengan Modifikasi
Berdasarkan parameter untuk menggambarkan meander seperti Gambar 4, maka penghitungan sinusitas P adalah nisbah antara panjang sungai yang berkelok
digambarkan dengan garis putus-putus berwarna merah dengan total panjang gelombang meander meander length yang terbentuk pada alur sungai tersebut.
Sinusitas meandering yang dihasilkan kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 18 berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 18. Klasifikasi Skoring dan Bobot Sinusitas Meandering
ParameterBobot Klasifikasi
Kategori Skor
Sinusitas meandering 5
1 – 1,1 1,2 – 1,4
1,5 – 1,6 1,7 – 2,0
2,0 Rendah
Agak Rendah Sedang
Agak Tinggi Tinggi
1 2
3 4
5
Sumber: Paimin et al. 2009
5 Keberadaan Bangunan Air
Keberadaan Bangunan Air diperoleh berdasarkan pengumpulan data primer lokasi bangunan air dengan bantuan GPS pada daerah yang secara alami terindikasi
rawan banjir. Parameter keberadaan bangunan air tersebut selanjutnya menjadi dasar bagi
penilaian parameter manajemen terhadap daerah yang secara alami terindikasi rawan banjir. Parameter keberadaan bangunan air pada daerah yang secara alami terindikasi
rawan banjir kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 19 berikut:
Tabel 19. Klasifikasi Skoring dan Bobot Keberadaan Bangunan Air
ParameterBobot Klasifikasi
Kategori Skor
Bangunan air 45
Waduk+tanggul tinggi baik Waduk
Tanggulsodetanbanjir kanal Tanggul tidak terawat
Tanpa bangunan Rendah
Agak Rendah Sedang
Agak Tinggi Tinggi
1 2
3 4
5
Sumber: Paimin et al. 2009
6 Analisis Daerah Rawan Banjir
Parameter bentuk lahan, lereng lahan kiri-kanan sungai, pembendungan alami, sinusitas meandering dan keberadaan bangunan air yang telah ditransformasi kedalam
Universitas Sumatera Utara
skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir, selanjutnya dilakukan overlay terhadap kelima parameter tersebut untuk dapat menghasilkan Peta Daerah
Rawan Banjir. Penghitungan skor dan bobot perlu dilakukan setelan proses overlay selesai
untuk memperoleh skor tertimbang yang menjadi dasar bagi penilaian tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap banjir.
Formulai yang digunakan untuk memperoleh skor tertimbang daerah rawan banjir adalah sebagai berikut:
Skor Tertimbang = 30 × BL + 10 × KL + 10 × PA + 5 × SM + 45 × BA : 100 BL
= Skor bentuk lahan SM
= Skor sinusitas meandering Kl
= Skor kemiringan lereng BA
= Skor bangunan air PA
= Skor pembendungan alami
Klasifikasi skor tertimbang daerah rawan terkena banjir dapat dilihat pada Tabel 20 berikut:
Tabel 20. Skor Tertimbang Identifikasi Daerah Rawan Banjir
No. Skor Tertimbang
Kategori
1. 4,3
Sangat Rawan 2.
3,5 – 4,3 Rawan
3. 2,6 – 3,4
Agak Rawan 4.
1,7 – 2,5 Sedikit Rawan
5. 1,7
Tidak Rawan
Sumber: Paimin et al. 2009
Metode identifikasi tingkat kerawanan banjir secara skematis ditunjukkan oleh Gambar 5 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Tingkat Kerawanan Banjir
Universitas Sumatera Utara
IV. DESKRIPSI WILAYAH DAS PADANG