Kekritisan Daerah Resapan DAS Padang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Kekritisan Daerah Resapan DAS Padang

Kondisi Kekritisan Daerah Resapan DAS Padang terbagi kedalam enam kelas kekritisan, yaitu 1 Baik; 2 Normal Alami; 3 Mulai Kritis; 4 Agak Kritis; 5 Kritis; dan 6 Sangat Kritis. Gambaran spasial tingkat kekritisan daerah resapan DAS Padang dapat dilihat pada Gambar 17. Peta Kekritisan Daerah Resapan Daerah Aliran Sungai Padang. Wilayah DAS dengan kondisi daerah resapan yang baik adalah wilayah- wilayah dengan nilai infiltrasi aktual lebih besar dibandingkan nilai infiltrasi potensialnya. Wilayah tersebut mencakup 22,23 luas wilayah DAS Padang. seluas 24.600,86 hektar. sedangkan yang termasuk kedalam kategori normal alami mencakup 23,54 wilayah DAS, yaitu seluas 26.057,67 hektar. Wilayah DAS Padang dengan kondisi daerah resapan yang mulai kritis mencakup 21,58, yaitu seluas 23.884,30 hektar. Permenhut No.32 tahun 2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik RHL DAS yang menjadi rujukan penilaian kekritisan daerah resapan, mengenal tiga kategori prioritas penanganan wilayah, yaitu agak kritis, kritis dan sangat kritis. Hal tersebut dapat diartikan bahwa hanya pada tiga kategori kekritisan itulah penanganan, baik itu rehabilitasi lahan berupa tindakan penanaman ataupun penerapan teknik konservasi tanah dilakukan. Universitas Sumatera Utara Gambar 17. Peta Kekritisan Daerah Resapan Daerah Aliran Sungai Padang Universitas Sumatera Utara Hal ini dikarenakan pada wilayah-wilayah tersebut nilai potensi infiltrasinya lebih besar dibandingkan dengan infiltrasi aktualnya, sehingga potensi air hujan untuk menjadi limpasan lebih besar dibandingkan wilayah yang berada dalam kondisi baik atau normal alami. Dengan demikian wilayah-wilayah di DAS Padang yang perlu diprioritaskan penanganannya adalah wilayah-wilayah yang tergolong kedalam kategori agak kritis sampai dengan sangat kritis yang mencakup 32,65 wilayah DAS Padang seluas 36.129,02 hektar, dengan uraian sebagai berikut, kondisi daerah resapan yang berada dalam kondisi agak kritis mencakup 25,35 wilayah DAS, yaitu seluas 28.054,22 hektar. Kondisi daerah resapan yang sudah berada dalam kondisi kritis dan sangat kritis berturut-turut mencakup 7,22 dan 0,08 dari wilayah DAS, masing-masing seluas 7.990,19 hektar dan 84,61 hektar. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, wilayah-wilayah daerah resapan yang tergolong kedalam kategori agak kritis sampai dengan sangat kritis, memiliki drainase yang buruk, di mana pada kejadian hujan, air tidak sepenuhnya meresap kedalam tanah dan segera menjadi limpasan. Hal ini seringkali ditemukan pada wilayah-wilayah dengan penggunaan lahan kebun, sebagaimana Gambar 18. Genangan Air di Wilayah Daerah Resapan yang Terindikasi Kritis berikut yang diambil saat pengamatan pada bulan April 2010 di wilayah Sub DAS Sei Padang Hilir. Universitas Sumatera Utara Gambar 18. Kondisi Daerah Resapan dengan Kategori Kritis di DAS Padang Wilayah yang termasuk kedalam kategori agak kritis sampai dengan sangat kritis mengindikasikan bahwa potensi infiltrasi wilayah tersebut lebih tinggi dibandingkan infiltrasi aktualnya, di mana kondisi biofisik dan curah hujan yang ada tidak dapat lagi tertampung oleh tanah yang dengan penggunaan lahan eksisting, akibatnya air hujan yang jatuh di wilayah tersebut hanya sebagian yang meresap kedalam tanah sementara selebihnya mengalir di permukaan sebagai limpasan. Berdasarkan hasil perbandingan antara kekritisan di wilayah DAS Padang pada waktu penelitian berlangsung dengan kondisi pada tahun 2004 berbasis Peta Penggunaan Lahan yang diterbitkan Departemen Kehutanan pada tahun 2004, terjadi perubahan tingkat kekritisan lahan di wilayah DAS Padang, di mana wilayah dengan kondisi daerah resapan yang termasuk kedalam kategori baik dan normal alami mengalami penurunan, berturut-turut sebesar 1,49 dan 0,89. Wilayah dengan Universitas Sumatera Utara kondisi daerah resapan yang termasuk kedalam kategori mulai kritis mengalami penurunan sebesar 0,23. Pada wilayah-wilayah yang termasuk kedalam kategori agak kritis dan kritis, mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 2,09 dan 0,14. Selain itu, pada tahun 2004 tidak ditemukan wilayah dengan kondisi sangat kritis sementara pada tahun 2010 ditemukan wilayah yang termasuk kedalam kategori sangat kritis. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan perlakuanpenggunaan lahan yang terjadi di wilayah DAS Padang mengakibatkan peningkatan tingkat kekritisan pada unit-unit lahan tertentu, sebagaimana dikemukakan Meigh, J.D.dan Bartlett, J.M. 2010 bahwa perubahan lahan dari hutan menjadi pertanian mengurangi kemampuan lahan menahan limpasan dan infiltrasi, terutama jika tanaman tahunan ditanam di tanah yang miring. Proses urbanisasi lebih lanjut mengurangi penahanan dan infiltrasi dan menempatkan sejumlah besar orang berisiko kebanjiran. Fakta menarik yang diperoleh di lapangan adalah bahwa perubahan kondisi penutupan lahan yang ekstrim ditemukan pada penggunaan lahan perkebunan ketika masa peremajaan tanaman, di mana lahan yang sebelumnya bervegetasi dalam waktu singkat menjadi lahan terbuka dengan cakupan yang relatif luas. Berdasarkan lokasi pengamatan yang berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, Kecamatan Dolok Masihul pada ekosistem DAS Ular dan DAS Bedagai, hasil penelusuran menggunakan GPS, luas wilayah kebun yang sedang dilakukan peremajaan dengan cara land clearing mencakup wilayah ± 3 km × 3 km, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 19. Lokasi pengamatan berada di luar Universitas Sumatera Utara wilayah DAS Padang, namun demikian sebagian wilayah perkebunan yang menjadi obyek pengamatan mencakup wilayah Kecamatan Dolok Masihul yang berada di Sub DAS Sibarau. Gambar 19. Lokasi Peremajaan Tanaman pada Perkebunan di Kecamatan Dolok Masihul Dari pengamatan di lapangan, ditemukan bahwa land clearing merupakan praktek yang umum diterapkan oleh perkebunan-perkebunan yang sedang melakukan proses peremajaan tanaman. Perlakuan lahan yang tidak memperhatikan kemampuan lahan pada skala yang besar tentunya akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan bahaya erosi, pasokan air limpahan ke sungai, pengaruh terhadap kondisi kekritisan daerah resapan, di mana penggunaan lahan yang menjadi parameter infiltrasi aktual akan mengalami penurunan hingga tiga tingkat, sehingga kondisi daerah resapannya menjadi sangat kritis. Universitas Sumatera Utara Penggunaan lahan perkebunan merupakan salah satu jenis penggunaan lahan yang mendominasi wilayah DAS Padang, yang mencakup 35,84 wilayah DAS Padang. Dengan demikian, perlakuan lahan yang tidak terkendali dan tanpa aturan pada penggunaan lahan perkebunan akan mengganggu keseimbangan ekosistem DAS Padang. Terkait dengan pengaturan penggunaan lahan dalam rangka pelestarian lingkungan di wilayah DAS, telah diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 17 5, yang menyatakan bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 tiga puluh persen dari luas daerah aliran sungai. Demikian halnya di dalam UU No. 41 tentang Kehutanan Pasal 18 1 yang menyatakan bahwa, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan dan 2 Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 minimal 30 tiga puluh persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Kecukupan luas kawasan hutan di wilayah DAS ditetapkan oleh pemerintah minimal 30 dari luas wilayah DAS guna optimalisasi manfaat lingkungan. Kondisi di wilayah DAS Padang adalah luas kecukupan kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Kepmenhut No. 44 Tahun 2005 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara Seluas ± Universitas Sumatera Utara 3.742.120 Tiga Juta Tujuh Ratus Empat Puluh Dua Ribu Seratus Dua Puluh Hektar, masih belum mencapai 30 tiga puluh persen dari luas DAS sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang, yaitu meliputi 29,24 wilayah DAS seluas 32.357,66 hektar dengan sebaran yang tidak merata. Hal yang perlu dicermati adalah, bahwa dari kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Kepmenhut No. 44 Tahun 2005, berdasarkan hasil analisis peta, diketahui bahwa hanya 26,15 dari kawasan hutan, seluas 8.462,93 hektar yang masih bertutupan hutan, sementara selebihnya, yaitu 73,85 dari kawasan hutan seluas 23.894,73 hektar merupakan tutupan non hutan. Fakta berdasarkan hasil pengamatan di lapangan adalah adanya okupasi lahan kawasan baik oleh lembaga maupun masyarakat terhadap kawasan hutan dan masih berlanjut. Okupasi lahan kawasan yang ditemukan di lapangan berupa penguasaan lahan kawasan dengan mengubah penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian ataupun perkebunan kelapa sawit atau karet secara ilegal, sebagaimana pada Gambar 20,21 dan 22 berikut. Universitas Sumatera Utara Gambar 20. Plang Tanda Kawasan Hutan Negara Kab. Sergai Gambar 21. Okupasi Lahan Kawasan Hutan Menjadi Lahan Pertanian Kab. Sergai Universitas Sumatera Utara Gambar 22. Okupasi Lahan Kawasan Hutan Menjadi Perkebunan Kab. Sergai Berdasarkan hasil temuan Bradshaw et al. 2007, diketahui bahwa penurunan drastis kawasan hutan alam sebesar 10, menghasilkan rerata peningkatan frekuensi banjir antara 4 hingga 28 di antara negara-negara yang menjadi model. Menggunakan hipotetis penurunan yang sama pada kawasan hutan alam diperoleh hasil berupa peningkatan 4 – 8 dalam total durasi banjir. Korelasi ini menunjukkan bahwa pola berskala global pada tren rerata hutan di berbagai negara memiliki hubungan erat dengan dinamika banjir. Berkurangnya hutan secara berlanjut dapat meningkatkan atau memperburuk jumlah bencana yang terkait banjir. Kajian empiris berskala global ini menunjukkan bahwa hutan berkorelasi dengan risiko banjir dan tingkat kerentanan di negara-negara berkembang memperkuat keharusan bagi perlindungan hutan dalam skala besar untuk melindungi kesejahteraan manusia, dan Universitas Sumatera Utara menyarankan bahwa reboisasi dapat membantu mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan bencana yang terkait banjir. Perubahan penggunaan lahan yang dinamis dan berubah setiap waktu merupakan keterbatasan dari penilaian kekritisan daerah resapan dalam penelitian ini, artinya bahwa kondisi kekritisan daerah resapan yang terpetakan dalam penelitian ini adalah kondisi saat penelitian berlangsung atau kondisi penggunaan lahan saat terekam oleh citra yang menjadi rujukan dalam peta penggunaan lahan. Apabila wilayah dengan kategori Agak Kritis sampai dengan Sangat Kritis merupakan wilayah-wilayah yang perlu penanganan melalui tindakan, baik itu rehabilitasi lahan maupun penerapan teknik konservasi tanah, maka wilayah-wilayah yang tergolong Mulai Kritis merupakan wilayah-wilayah yang belum dianggap perlu mendapat tindakan namun dapat berfungsi sebagai peringatan dini bagi pemangku kepentingan di wilayah DAS Padang, sehingga tidak meningkat kekritisannya menjadi Agak Kritis atau bahkan Kritis. Oleh karena itu, pada lahan-lahan yang teridentifikasi Mulai Kritis perlu dilakukan langkah-langkah antisipasi sehingga tidak meningkat kekritisannya baik itu melalui upaya-upaya vegetatif, sosialisasi maupun pengelolaan lahan yang tepat. Salah satu upaya yang telah dilaksanakan saat ini adalah program Kebun Bibit Rakyat KBR. Program KBR diselenggarakan oleh Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan pemerintah daerah. Selain bersifat tindakan penanganan terhadap lahan kritis, KBR juga bersifat sebagai upaya pencegahan terhadap terjadinya lahan kritis. Pada dasarnya KBR adalah kebun pembibitan tanaman yang diusahakan oleh Universitas Sumatera Utara masyarakat dengan fasilitasi dari Kementerian Kehutanan bersama pemerintah daerah dan dimanfaatkan untuk kepentingan rehabilitasi lahan ataupun penghijauan. Pada prinsipnya, KBR ditujukan bagi rehabilitasi lahan dan penghijauan di wilayah dengan kategori Agak Kritis sampai dengan Sangat Kritis, sehingga penempatan lokasinya harus dapat menjangkau wilayah-wilayah tersebut. Dalam perkembangannya KBR juga mengakomodir animo masyarakat yang tinggi untuk menghijaukan lingkungannya, walaupun pada daerah tersebut tidak terindikasi terdapat wilayah- wilayah dengan kategori Agak Kritis sampai dengan Sangat Kritis, sehingga penempatannya tidak hanya pada lokasi-lokasi yang dapat menjangkau lahan-lahan dengan kategori Agak Kritis sampai dengan Sangat Kritis, namun juga menjangkau wilayah-wilayah dengan kategori Mulai Kritis. Terlebih dalam pelaksanaan KBR, tiap kabupaten dilengkapi Petugas Lapangan KBR yang memiliki tugas dan fungsi melakukan pemantauan pelaksanaan kegiatan KBR dan melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat terkait pelaksanaan KBR dan pengelolaan DAS. Dengan demikian upaya pencegahan bagi terjadinya peningkatan kekritisan lahan pada wilayah-wilayah yang terindikasi Mulai Kritis salah satunya dapat dilakukan melalui program KBR yang saat ini telah menjadi program nasional. Cakupan luas tingkat kekritisan daerah resapan di wilayah DAS Padang sampai dengan tingkat Sub DAS dapat dilihat pada Tabel 27 berikut. Universitas Sumatera Utara Tabel 27. Tingkat Kekritisan Daerah Resapan DAS Padang Keterangan: luas dalam hektar No. Kondisi Daerah Resapan Sub DAS Total Luas di DAS Bah Hilang Bah Kaliat Bah Sumbu Sei Kalembah Sei Padang Sei Padang Hilir Sei Sibarau 1 Baik 1.105,65 6.121,38 43,17 536,56 11.658,59 2.756,82 2.378,69 24.600,86 22,23 2 Normal Alami 3.603,59 1.999,69 1.451,48 2.780,72 6.387,09 3.023,27 6.811,84 26.057,67 23,54 3 Mulai Kritis 2.126,64 3.506,66 3.329,85 274,32 6.448,90 2.398,23 5.799,70 23.884,30 21,58 4 Agak Kritis 1.261,77 1.070,27 5.867,53 564,20 5.160,71 5.332,47 8.797,29 28.054,22 25,35 5 Kritis 1.379,06 105,10 316,85 204,66 601,49 4.166,49 1.216,54 7.990,19 7,22 6 Sangat Kritis 64,41 - 0,69 - 19,51 - - 84,61 0,08 Luas Sub DAS 9.541,12 12.803,10 11.009,56 4.360,45 30.276,27 17.677,27 25.004,07 110.671,85 Universitas Sumatera Utara

3.2. Pasokan Air Banjir DAS Padang