BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus-kasus yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk
meningkat di dalam kompleksitas permasalahannya maupun kuantitasnya seiring dinamika di bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Mengingat permasalahan pertanahan yang muncul dewasa ini dimana secara kwalitas maupun kwantitas semakin meningkat memerlukan penanganan
yang sistematis. Berbagai upaya penyelesaian sengketa pertanahan melalui proses litigasi peradilan yang ada dianggap belum mampu menyelesaikan
sengketa yang ada, sehingga berbagai upaya alternatif penyelesaian sengketa pertanahan seperti mediasi, fasilitasi dan lainnya kemudian mengemuka dengan
sasaran untuk meminimalisir sengketa pertanahan yang sarat dengan kepentingan, baik untuk kepentingan pembangunan maupun masyarakat
sendiri. Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik
maupun sengketa. Konflik, menurut definisi Coser adalah sebagai berikut: “Conflicts involve struggles between two or more people over values, or
Universitas Sumatera Utara
competition for status, power, or scarce resources”.
1
Jika konflik itu telah nyata manifest, maka hal itu disebut sengketa.
2
Untuk mengantisipasi konflik pertanahan yang berkembang, kualitas maupun kwantitas yang sudah tidak relevan dengan ketentuan Perundang-
undangan yang diperlukan adanya kebijakan undang-undang baru yang mengatur tentang konflik pertanahan sesuai dengan kebutuhan perkembangan
ilmu pengetahuan di bidang penologi dan viktimologi yang dapat memberikan perlindungan hukum sesuai dengan rasa keadilan hukum masyarakat
3
Secara sepesifik dan praktis untuk menyelesaikan konflik pertanahan dan menghindari pandangan aparat penegak hukum yang terlalu berpegang
pada dalil dan konsep hukum secara positivistis dan legalistis serta kurang memperhatikan dan mengembangkan hukum yang hidup dalam masyarakat
living law, perlu dikembangkan peradilan model inter-face sebagai konsekwensi karakter konflik pertanahan yaitu suatu model peradilan yang
memadukan pertimbangan ilmu pengetahuan sosial terhadap fakta yang mengandung nilai norma dan pertimbangan yuridis formal dari suatu peraturan
perundang-undangan yang secara sosiologis kurang mengikuti perubahan sosial
1
Moore, Konflik dan sengketa tanah di Indonesia, 1996, http:www. iains.comdetail- artikel.php, , hal 16 diakses tanggal 11 Juli 2009
2
Moore, Ibid., hal. 17.
3
H. Hambali Thalib, Prof, Dr, SH, M.H, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group 2009, hal. 188.
Universitas Sumatera Utara
serta pengembangan makna perbuatan melawan hukum materil materiele wederrechtlijkheid
4
Tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan secara garis besar dapat dipilah menjadi lima kelompok, yakni:
5
1. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah
perkebunan, kehutanan, dan lain-lain; 2.
Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform; 3.
Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan;
4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah;
5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.
Tipologi sengketa pertanahan yang ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional BPN dapat dikelompokkan menjadi 8 delapan terdiri dari masalah
yang berkaitan dengan : 1.
Penguasaan dan pemilikan tanah, 2.
Penetapan hak dan pendaftaran tanah, 3.
Batas atau letak bidang tanah, 4.
Pengadaan tanah, 5.
Tanah obyek landreform, 6.
Tuntutan ganti rugi tanah partikelir, 7.
Tanah Ulayat,
4
H. Hambali Thalib, Prof, Dr, SH, M.H, ibid, hal 190
5
Maria SW. Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta. 2008.hal 110.
Universitas Sumatera Utara
8. Pelaksanaan Putusan Pengadilan,
6
. Berbagai sengketa pertanahan itu telah mendatangkan berbagai dampak
baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomis, sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya. Semakin lama
proses penyelesaian sengketa itu, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Dalam hal ini dampak lanjutan yang potensial terjadi adalah
penurunan produktivitas kerja atau usaha karena selama sengketa berlangsung, pihak-pihak yang terlibat harus mencurahkan tenaga dan pikirannya, serta
meluangkan waktu secara khusus terhadap sengketa sehingga mengurangi curahan hal yang sama terhadap kerja atau usahanya.
Dampak sosial dari konflik adalah terjadinya kerenggangan sosial di antara warga masyarakat, termasuk hambatan bagi terciptanya kerja sama di
antara mereka. Dalam hal terjadi konflik antar instansi pemerintah, hal itu akan menghambat terjadinya koordinasi kinerja publik yang baik. Dapat juga terjadi
penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkenaan pelaksanaan tata ruang. Di samping itu, selama konflik berlangsung, ruang atas
suatu wilayah dan atas tanah yang menjadi objek konflik biasanya berada dalam keadaan status quo sehingga ruang atas tanah yang bersangkutan tidak
dimanfaatkan. Akibatnya adalah terjadinya penurunan kualitas sumber daya lingkungan yang dapat merugikan kepentingan banyak pihak.
6
Keputusan Kepala Badan Pertanahan RI No.34 Tahun 2007, Indonesia Legal For Law and Justice Reform Center Publishing, Karya Gemilang 2009 hal 8.
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian terhadap kasus-kasus terkait sengketa perdata, pada umumnya ditempuh melalui jalur pengadilan dengan dampak sebagaimana
diuraikan di atas. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform menunjukkan perlunya peningkatan penegakkan hukum di bidang
landreform sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara perundinganmediasi ini
mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya, dan pikiran
tenaga. Di samping itu, kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya, membuat pengadilan
merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan
dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan dan paksaan.
Menurut data dari BPN RI bahwa Operasi Tuntas Sengketa Tahap I sd III tahun 2009 yang ditugaskan kepada Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara sebanyak
90 sengketa terdiri dari tahap I sejumlah 30 sengketa, tahap II sejumlah 30 sengketa dan tahap III sejumlah 30 sengketa.
7
Dan berdasarkan analisis peta sebaran masalah
7
BPN RI 2009, Perintah Operasi Tuntas Sengketa tahun 2009, Lampiran IV. Jakarta 2009.
Universitas Sumatera Utara
ada sepuluh Provinsi yang berperingkat terbanyak dalam segi jumlah permasalahan, dan Sumatera Utara menduduki posisi ke empat dengan jumlah sengketa 11,68 .
8
Sebagai contoh, jumlah kasus sengketa tanah yang ada di Wilayah Provinsi Sumatera Utara dalam 5 lima tahun terakhir dengan rincian sebagai berikut:
1. Tahun 2004 jumlah sengketa 99 Kasus, konflik 59 kasus dan perkara 240
kasus 2.
Tahun 2005 jumlah sengketa 166 Kasus, konflik 64 kasus dan perkara 297 kasus
3. Tahun 2006 jumlah sengketa 169 Kasus, konflik 179 kasus dan perkara 421
kasus 4.
Tahun 2007 jumlah sengketa 165 Kasus, konflik 279 kasus dan perkara 328 kasus
5. Tahun 2008 jumlah sengketa 132 Kasus, konflik 208 kasus dan perkara 292
kasus
9
Sedangkan jumlah kasus sengketa di BPN Deli Serdang tahun 2004 sejumlah 15 sengketa dan 15 konflik. Pada tahun 2005 sejumlah 30 sengketa dan 17 konflik.
Pada tahun 2006 sejumlah 30 sengketa dan 14 konflik. Pada tahun 2007 sejumlah 57 sengketa dan 66 konflik serta pada tahun 2008 sejumlah 9 sengketa dan 20 konflik.
10
8
Keputusan Kepala BPN RI Nomor: 11 tahun 2009 tentang Kebijakan dan Strategi Kepala BPN RI menangani dan menyelesaikan sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan tahun 2009.hal 7
9
Profil Kantor BPN Provinsi Sumatera Utara 2009
10
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dari berbagai sengketa yang berkaitan dengan masalah pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara, pada dasarnya dapat dilihat adanya sengketa yang timbul di
antara warga masyarakat, sengketa antara warga masyarakat dengan perusahaan perkebunan, dan sengketa antara warga masyarakat dengan instansi ataupun lembaga
pemerintah. Sengketa-sengketa pertanahan di daerah ini sebenarnya timbul bukan saja
karena dampak proses reformasi yang sedang berjalan, tetapi beberapa sengketa sudah terjadi, dan benih-benih persengketaan itu memang sudah ada jauh sebelum era
reformasi dimulai. Kalau pada saat rezim Orde Baru berkuasa masyarakat diliputi rasa takut untuk menanyakan, menuntut, ataupun menggugat pihak yang sedang
berkuasa, tidak demikian halnya pada masa ini. Dilaksanakannya proses reformasi di segala bidang, mempunyai dampak
positif bagi warga masyarakat, terutama dalam hal kebebasan berfikir secara kritis dan mengeluarkan pendapatnya, serta keberanian menuntut dan menggugat kepada
pihak penguasa untuk mempertahankan ataupun mengembalikan hak-hak yang dipunyainya. Keadaan ini tercermin dari banyaknya kasus pertanahan yang muncul ke
permukaan, yang dilaporkan kepada pihak penguasa, baik pemerintah daerah maupun BPN. Untuk mengatasi dan menyelesaikan kasus-kasus pertanahan ini di Sumatera
Utara telah lahir lembagaorganisasi yang menamakan dirinya Gerakan Rakyat Reformasi Agraria GERAG. Dalam kegiatannya organisasi ini mewakili kelompok
masyarakat untuk menuntut dan mendesak kepada pihak penguasa untuk dapat segera menyelesaikan kasus-kasus pertanahan yang timbul dan dimintakan
Universitas Sumatera Utara
penyelesaiannya.
11
dengan cara mengirimkan surat yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang isinya mengusulkan keikutsertaan
perwakilan masyarakat sebagai anggota tim penyelesaian masalah tanah di Sumatera Utara pada tanggal 26 September 1988.
Hasilnya adalah, pada tanggal 17 Desember 1998 Gubernur Kepala Provinsi Sumatera Utara dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Utara
No.593.052814K Tahun 1998 membentuk Tim Terpadu Penelitian dan Pemecahan Masalah Tanah Garapan Penduduk di Areal HGU PTPN II dan Perkebunan Swasta di
Propinsi Sumatera Utara. Surat Keputusan ini merupakan penyempurnaan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara No. 593.051392K
Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Tim Penertiban Permasalahan Tanah Garapan Penduduk di areal HGU PTPN II dan lainnya di Provinsi Sumatera Utara.
Dalam Tesis ini ada beberapa kasus tanah di Provinsi Sumatera Utara yang dapat diselesaikan melalui jalan Mediasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Deli Serdang, antara lain: Misalnya,
sengketa tanah bekas Hak Milik No. 609 Bakaran Batu, yang merupakan perubahan dari Sertifikat Hak Milik No. 1 Desa Bakaran Batu, terdaftar
atas nama Sabam Siahaan, seluas 16.599 m
2
, antara ahli waris Alm. Sabar Siahaan dengan Erick Raharjo Bun Yu telah tercapai penyelesaian dengan membagi tanah
dimaksud, masing-masing ¼ bagian dari luas tanah seluas 5.194 m
2
menjadi milik
11
Harian Analisa, berdirinya GERAG di Sumatera Utara, tanggal 14 Mei 1998. Hal 7
Universitas Sumatera Utara
ahli waris Alm. Sabar Siahaan dan ¾ bagian dari luas tanah seluas 11.405 m
2
menjadi milik Erick Raharjo Bun Yu. Sengketa tanah Hak Milik Nomor 1278 Desa Sigara-gara, terdaftar atas
nama Robert Marpaung, seluas 18.005 m
2
, yang terletak di Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, antara Sdr. Jansen Tarigan dengan
Abdul Hariel Nasution dan Sengketa tanah Hak Milik Nomor 1892 Mulia Rejo, terdaftar An. Keuskupan Agung Medan dengan Nomor 1893 Mulia Rejo, terdaftar
An. Dokter Kianto Nazar dan Sumady Yusuf, terletak di Jalan Binjai Km. 11, Desa Mulia Rejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, antara Sdr. Leedert
Joseph Lopulisa dengan Sdri. Lisa Imelda Lopulisa dan pemegang hak tersebut di atas, dimana atas sengketa tersebut telah tercapai kesepakatan bersama antara para
pihak yang bersengketa.
12
Selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan litigasi, di dalam sistem hukum nasional dikenal penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar peradilan non
litigasi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Salah satu alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan melalui proses mediasi yang merupakan proses
penyelesaian berdasarkan prinsip win-win solution yang diharapkan penyelesaiannya secara memuaskan dan diterima semua pihak.
12
Wawancara dengan Sontian Siahaan SH, Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara, Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 8 Desember 2009.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu fungsi Deputi Bidang Pengkajian dan Penyelesaian Sengketa dan konflik pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 345 Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 adalah pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui
bentuk mediasi, fasilitasi, dan lainnya. Pengaturan mengenai mediasi secara tertulis di Indonesia, awalnya terdapat
di dalam hukum acara perdata yaitu HIR Pasal 130 dan Rbg 154 telah mengatur tentang lembaga perdamain, di mana Hakim yang mengadili wajib terlebih dahulu
mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa secara adjudikasi. Namun dalam pelaksanaannya kurang berhasil. Untuk memberdayakan
pasal tersebut, maka dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dalam Pasal 130 HIR dan
Pasal 154 Rbg. Untuk melengkapinya, dikeluarkan pula Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, karena memang
lembaga mediasi bukanlah lembaga litigasi melainkan berada di luar pengadilan. Seperti diumpamakan oleh Lawrence M. Friedman, bahwa pengadilan formal
bagaikan restoran mewah di tengah-tengah masyarakat yang juga membutuhkan pizza dan hamburger untuk makanan murah dan cepat saji.
13
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia PERMA RI Nomor 1 Tahun 2008, menyebutkan bahwa mediasi sudah dimasukkan ke dalam proses
13
Lawrence M. Friedman, American Law and Introduction, 2
nd
Edition, Penerjemah: Wisnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta: Pattatanusa, 2001, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
peradilan formal dalam Pasal 2 ayat 1 yang menegaskan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan wajib didahulukan penyelesaian melalui
perdamaian dengan bantuan mediator. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses Mediasi harus memerlukan beberapa tahapan di antaranya adalah
tahapan mengajukan pendaftaran perkara, penetapan hakim majelis. Dalam sidang pertama hakim mewajibkan para pihak yang berperkara menempuh mediasi terlebih
dahulu sebelum sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya dan memilih para mediator dengan menunjukkan dan menetapkan mediator sekaligus menyerahkan fotocopy
berkas perkara kepada para mediator. Dalam penyerahan perkara kepada mediator, di luar pengadilan diberi waktu 20 dua puluh hari sejak dimintakan hakim untuk
berdamai dan apabila tercapai kesepakatan di luar pengadilan, maka para pihak merumuskan kesepakatan secara tertulis dan memberitahukan hasil kesepakatan itu
kepada hakim untuk memenuhi pengukuhan kesepakatan sebagai akta perdamaian oleh hakim.
14
14
Runtung Sitepu, “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia”, Disampaikan dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum
Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah