BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENYELESAIAN MEDIASI
A. Karakteristik Resolusi Konflik Non-Litigasi
Menurut Friedman, sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, salah satu langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis lembaga peradilan adalah pengembangan
mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien di luar pengadilan yang berlaku.
60
Dukungan pentingnya penggunaan alternatif penyelesaian sengketa akibat runtuhnya wibawa peradilan juga banyak dikemukakan oleh para pakar yang menggeluti cara-
cara alternatif dalam menyelesaikan sengketa.
61
Dengan kata lain, lahirnya mekanisme alternatif penyelesaian sengketa merupakan respon terhadap
kekurangmampuan peradilan dalam memberikan keadilan kepada masyarakat secara maksimal.
Proses litigasi menghasilkan keputusan bersifat adversial,
62
belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat
dalam penyelesaiannya, biaya mahal, tidak responsif dan sering kali menimbulkan permusuhan antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya dalam ADR Alternative
Despute Resolution, dapat menghasilkan kesepakatan yang win-win solution, dijamin kerahasiaan para pihak, dihindari kelambanan atau kelambatan karena hal prosedural
60
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1979, hlm. 88-89.
61
Lihat, antara lain: Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution, Toronto: West Publishing Co, 1992. Thomas E. Carbonneau, Alternative Dispute Resolution, Melting the
Lances and Diemounting the Steeds, Chicago: University of Illionis, 1989, dan lain-lain.
62
Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.
Khusus mengenai mediasi dianggap salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa terbaik dibanding sistem dan bentuk ADR lainnya.
63
Sebab menurut pendapat Moore, suatu proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal
karena memenuhi 3 tiga syarat kepuasan, yaitu: 1.
Kepuasan substantif yakni kepuasaan yang berhubungan dengan kepuasan khusus dari pihak-pihak yang bersengketa, misalnya terpenuhinya ganti
kerugian berupa uang ataupun memberikan kepuasan karena perundingan diselesaikan dengan cepat,
2. Kepuasan prosedural yakni kedua belah pihak diberikan kesepakatan yang
sama dan bebas mengemukakan pendapatnya. Kesempatan itu dapat pula diwujudkan kedalam sebuah perjanjian tertulis serta disepakati untuk
dilaksanakan, dan 3.
Kepuasan psikologis yaitu apabila masing-masing pihak memiliki tingkat emosi terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan serta dilakukan
dengan sikap positif bahwa hubungan masih dapat dipelihara pada masa mendatang.
64
Menurut Yahya Harahap, pertimbangan di mana orang cenderung memanfaatkan jasa lembaga mediasi karena dua faktor, yaitu faktor motivasi dan
63
Ibid, hlm. 37.
64
T.M. Luthfi Yazid, “Penyelesaian Sengketa Melalui ADR”, dalam Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun III No. 1 1996, hlm. 97.
Universitas Sumatera Utara
faktor kedudukan mediasi sebagai langkah awal. Faktor motivasi dipengaruhi oleh beberapa karakteristik dalam mediasi: yaitu penyelesaian cepat terwujud, biaya
murah, bersifat rahasia, prosesnya bersifat fair, hubungan kedua belah pihak bersifat kooperatif, tidak emosional dan sama-sama menang.
65
Mediasi sebagai langkah awal tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan sengketa di pengadilan. Di samping itu, mediasi juga mempunyai karakteristik dan
keuntungan lain, seperti: 1
Dapat mencapai kesepakatan-kesepakatan secara komprehensif; 2
Sebagai media praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian sengketa secara kreatif;
3 Mempunyai tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga;
4 Sebagai media pemberdayaan individu;
5 Melestarikan hubungan dengan cara lebih ramah;
6 Menghasilkan keputusan yang bisa dilaksanakan; dan
7 Keputusannya berlaku tanpa batas.
66
Menurut Leo Kanowitz, penyelesaian sengketa non-litigasi memiliki karakteristik yang unik, antara lain:
a. Pelaksanaan perundingan bersifat pribadi dan rahasia;
b. Forum dikontrol oleh para pihak;
65
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 61-5.
66
C.W. Moore, “Prinsip-prinsip Pokok dalam Mendesain Sistem Penyelesaian Sengketa Designing Dispute Resolution System” dalam Pengaduan Masyarakat dan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan, Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law, 1997, hlm. 23-4.
Universitas Sumatera Utara
c. Tujuannnya untuk merefleksikan kepentingan dan prioritas para pihak;
d. Mempertahankan kelanjutan hubungan para pihak;
e. Pelaksanaannya fleksibel; dan
f. Putusannya cenderung dijalankan oleh para pihak
67
. Penyelesaian sengketa non-litigasi merupakan alternatif penyelesaian yang
belum tentu dapat menyelesaikan semua masalah. Meski demikian, ada beberapa keuntungan yang dapat dipetik bila penyelesaian sengketa semacam ini
dilaksanakan,
68
yaitu: 1.
Untuk mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara court congestion di lembaga peradilan. Penumpukan perkara ini berdampak pada lamban dan
lamanya memperoleh keadilan di pengadilan. Menumpuknya perkara di pengadilan, di satu sisi sebenarnya merupakan gejala yang menggembirakan
karena hal ini menunjukkan makin tingginya kesadaran hukum masyarakat. Banyak kasus juga bagian dari upaya untuk menguji profesionalisme hakim dan
integritas terhadap tugas yang diemban. Namun penumpukan perkara ini, yang berakibat pada lamban penyelesaian perkara menjadi ladang empuk terjadinya
tawar-menawar putusan dan bisnis perkara. Kongesti ini sekaligus menunjukkan adanya ketidakpuasan para pencari keadilan justitiabelen atas putusan yang
lebih rendah dirasa belum memenuhi rasa keadilan. Penumpukan perkara di
67
Munir Fuady, Alternatif Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 35.
68
Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006, hlm. 157-8.
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Agung merupakan persoalan klasik yang belum ditemukan solusinya hingga kini. Sebagian pakar hukum mengusulkan perlunya pembatasan perkara
yang boleh diajukan kasasinya ke MA, namun hal ini membutuhkan waktu yang sangat lama. Sebab untuk merancang, menelaah, membicarakan atau menggodok
sampai disahkannya suatu aturan menjadi undang-undang memerlukan waktu relatif lama. Belum lagi perdebatan akademis soal pengajuan kasasi adalah bagian
dari hak asasi para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, penggunaan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa merupakan salah satu alternatif
mengurangi kengesti perkara di pengadilan. 2.
Untuk melibatkan keterlibatan masyarakat desentralisasi hukum untuk memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya.
Peran serta untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan tidak mungkin diwujudkan melalui, misalnya masyarakat tidak menciptakan sengketa dengan
sesamanya. Idealnya memang demikian, yaitu terjadi harmoni sosial di mana kehidupan berlangsung guyub dan rukun. Sebisa mungkin hal-hal yang dapat
memicu konflik dapat dihindari. Mimpi demikian tentu boleh, tetapi faktanya konflik hampir tidak mungkin lepas dari kehidupan sosial. Justru masyarakat
tidak akan berubah dan menjadi lebih baik tanpa ’diuji’ dengan berbagai konflik. Cara terbaik menghadapi konflik adalah menyelesaikan menurut cara-cara yang
sesuai dengan ketentuan hukum atau sesuai dengan yang dikehendaki masyarakat. Penyelesaian di luar pengadilan melatih masyarakat menyelesaikan masalahnya
sendiri tanpa keterlibatan hukum negara. Masyarakat atau para pihak yang
Universitas Sumatera Utara
bersengketa dapat saling belajar untuk menghormati hak dan kewajiban orang lain. Dengan melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam menyelesaikan
masalahnya sendiri. Masyarakat yang kuat dan berdaya dapat mengurangi intervensi negara dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal demikian
sejalan dengan Tesis Joe S. Miqdal bahwa negara akan menjadi kuat manakala masyarakat lemah strong state, soft society yang mutatis mutandis berarti bahwa
negara akan berjaya manakala kemampuan masyarakat untuk menciptakan ketertibannya sangat lemah. Masyarakat dapat melengkapi supplemented atau
bahkan mengisi atau mengganti hukum negara dengan hukum yang mereka ciptakan sendiri rules of their own.
3. Untuk memperlancar akses masyarakat memperoleh keadilan acces to justice.
Jagad keadilan tidak hanya disediakan oleh negara dan perangkatnya. Membicarakan akses pada keadilan semata-mata mengharuskan rakyat membawa
persoalannya ke pengadilan merupakan pengertian yang sempit. Pengadilan harus diperluas sehingga mencakup sejumlah variasi-variasi badan-badan yang juga
melakukan penyelesaian masalah remedial agencies. Masyarakat diperkenankan membuat pranata-pranata alternatif sbagai bagian dari partisipasinya membantu
menuntaskan masalah-masalah setempat. 4.
Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan saling menguntungkan win-win solution. Sudah
menjadi kodrat kemanusiaannya, setiap orang tidak mau kepentingannya diganggu. Mereka juga selalu menginginkan kemenangan bila sedang berkonflik
Universitas Sumatera Utara
dengan sesama. Resolusi konflik dengan cara non-litigasi akan menjamin masing- masing pihak yang bersengketa akan menemukan pemecahan yang saling
menguntungkan. Solusi menang-menang ini bukanlah isapan jempol semata. Sebab rumusan pemecahan tersebut dilakukan secara bersama, tidak ada paksaan
dari pihak lain, dan dilambari kesadaran dari dalam bahwa konflik harus diakhiri secara baik-baik. Asas-asas silaturahmi dan saling memaafkan atas masalah yang
sedang terjadi, akan sangat mempengaruhi proses penyelesaian konflik tersebut. 5.
Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah. Resolusi konflik non-litigasi tidak megharuskan para pihak untuk membayar biaya administrasi perkara, tidak
menyewa jasa pengacara, dan tanpa prosedur dan tata cara yang rumit. Secara potensial, ADR juga lebih cepat karena semua proses sangat bergantung pada
komitmen masing-masing pihak. Cepat dan biaya murah ini bukan berarti mengakibatkan substansi masalah yang disengketakan dan keadilan yang
diharapkan. 6.
Bersifat tertutup dan rahasia confidential. Penyelesaian konflik non-litigasi akan menjamin kerahasiaan masing-masing pihak yang berperkara. Konflik dan proses
penyelesaiannya dapat ditata sedemikian rupa sehingga harga masing-masing dapat terjaga dan dan tidak diketahui oleh pihak luar. Ini berarti, tidak ada salah
satu pihak yang merasa dipermalukan oleh pihak lain di depan umum. 7.
Lebih tinggi kemungkinan dilaksanakannya kesepakatan bersama sehingga hubungan pihak-pihak yang bersengketa di masa depan masih dimungkinkan
terjalin dengan baik. Keberlanjutan hubungan baik ini sangat dipengaruhi oleh
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan yang win-win itu. Kedua belah pihak legowo, nuansa permusuhan direduksi sedemikian rupa sehingga jalinan silaturrahmi masih dimungkinkan
terbina dengan baik. 8.
Mengurangi merebaknya “permainan kotor” dalam lembaga peradilan. Setiap orang yang sedang berperkara seringkali menggunakan berbagai cara untuk
menggapai kemenangan. Cara-cara kotor dan manipulasi dianggap tidak masalah, asal tujuannya tercapai. Cara-cara demikian tidak mungkin terjadi bila sengketa
diselesaikan secara baik-baik dan kekeluargaan. 9.
Mampu memenuhi segitiga kepuasan triangle satisfaction. Segitiga dimaksud meliputi aspek substansi yakni bahwa pihak-pihak yang bersengketa memperoleh
kesepakatan sesuai yang diharapkan. Kepuasan yang kedua dalam bentuk kepuasan prosedural di mana tata cara dan mekanisme penyelesaian dilakukan
dalam suasana nyaman, damai dan tidak dalam semangat permusuhan. Kepuasan yang ketiga dalam bentuk kepuasan psikologis. Masing-masing pihak merasa
menjadi bagian dari keseluruhan proses penyelesaian part of the process. Masing-masing pihak tidak merasa di exclude dalam proses. Buah kesepakatan
merupakan kerja keras bersama. Keuntungan dan kelebihan penyelesaian non-litigasi yang telah dikemukakan
di atas tidak serta-merta menutupi kelemahan-kelemahannya. Menurut Sulistiyono, ada 3 tiga kelemahan mendasar yang dimiliki penyelesaian sengketa berparadigma
non-litigasi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Kadangkala terjadi pemaksaan terselubung kepada salah satu pihak untuk mau
duduk berunding, demi kepentingan keharmonisan komunitas dan demi kelangsungan hubungan di dalam komunitas tersebut. Keinginan duduk bersama
untuk berunding idealnya harus dimiliki oleh kedua belah pihak yang bersengketa, namun dalam beberapa kasus bisa saja terjadi salah satu pihak
merasa terpaksa berunding atau motif-motif kemanusian lain. 2.
Penyelesaian sengketa berparadigma non-litigasi tidak memiliki pranata coersive paksaan seperti yang dimiliki atau digunakan oleh paradigma litigasi. Oleh
karena itu, eksekusi atas putusan bersama dilaksanakan menurut dan mengandalkan itikad baik pihak-pihak yang berunding. Bila masing-masing
pihak yang bersengketa memiliki itikad baik mengakhiri sengketanya dengan baik-baik, maka keputusan bersama akan dijalankan dengan sangat mudah.
Sebaliknya, sikap ogah-ogahan baca: tidak serius untuk menunaikan kesepakatan yang telah diikrarkan bersama menjadi sinyal diperlukan
penyelesaian lain yang bisa memaksa masing-masing pihak untuk tunduk pada keputusan yang sudah diketok hakim.
3. Penggunaan penyelesaian sengketa secara alternatif tanpa batas yuridiksi yang
jelas pada objek sengketa publik akan menyebabkan masyarakat tidak lagi mendasarkan nilai rule of law. Mungkin mereka akan mengalihkan atau
menyelesaikan semua sengketa publik dengan berdasarkan nilai-nilai keadilan pihak-pihak yang bersengketa.
Universitas Sumatera Utara
Kembali dinyatakan sekali lagi bahwa pranata hukum maupun non-hukum adalah salah satu dari beberapa kaidah sosial yang dapat digunakan untuk menjaga
jagat ketertiban di masyarakat. Penggunaan dan pilihan salah satu dari keduanya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat atau karena menurut
motif-motif tertentu, bila diselesaikan di luar pengadilan akan lebih baik bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Meskipun demikian, sebagai salah satu pendekatan
alternatif dalam menyelesaikan sengketa, sekarang ia sedang didorong ke depan untuk lebih sering tampil menyelesaikan sengketa-sengketa hukum yang dihadapi
masyarakat. Jika merunut pada pembahasan diatas, karakteristik penyelesaian sengketa
non-litigasi ini, tidak lepas dari konsep Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yaitu Musyawarah untuk mencapai suatu kata mufakat. Namun kadang kala sesuai dengan
karakteristik sifat kemanusiaan masyarakat Indonesia yang heterogen ini, kadang kala semua itu bisa kabur dan akibatnya akan timbul kendala-kendala yang bisa
meniadakan keberhasilan proses Mediasi ini. Tapi suatu keberhasilan dibidang non-litigasi tidak akan ada apabila tidak
timbul pula kendala yang menjadi titik dasar keberhasilan tersebut kemudian hari. Kendala-kendala ini bisa saja timbul karena sesuatu hal dan kepentingan dari para
pihak yang bersengketa.
Universitas Sumatera Utara
B. KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENYELESAIAN MEDIASI