BAB III KEBERHASILAN MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
PERTANAHAN DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG
A. PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DI INDONESIA tinjauan secara teoritis
Penyelesaian sengketa alternatif telah lama digunakan oleh masyarakat tradisional di Indonesia dalam rangka menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Penyelesaian sengketa alternatif secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam masyarakat.
44
Pengembangan penyelesaian sengketa alternatif sebagai model penyelesaian sengketa di Indonesia dan di Amerika mempunyai latar belakang histori yang
berbeda. Penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia adalah merupakan bagian dari tradisi dari masyarakat Indonesia, sedangkan pihak penyelesaian sengketa alternatif
di Amerika adalah suatu bentuk baru dari strategi penyelesaian sengketa yang sengaja di desain untuk menghindarkan penyelesaian melalui pengadilan.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang sesuai dengan asas kerukunan adalah harus sedemikian rupa sehingga pihak-pihak yang bersengketa dikemudian hari dapat
meneruskan kehidupan bersama kembali sebagaimana sebelumnya. Intinya adalah
44
Lihat Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Bandung: CV.
Mandar Maju, 1992, hlm. 247.
Universitas Sumatera Utara
perbaikan hubungan yang juga merupakan salah satu sasaran penyelesaian sengketa alternatif modern.
45
Ketika di awal reformasi 1998 meledak gerakan hukum rakyat, dengan mengambil kembali reclaiming hak-hak mereka yang telah dikuasai perusahaan
perkebunan, pembabatan serta penjarahan hutan jati milik Perum Perhutani oleh rakyat, menarik Presiden Abdurrahman Wahid untuk ikut urun rembug mengenai
penyelesaian sengketa tanah di negeri ini. Di depan peserta “Konferensi Nasional Sumberdaya Alam”, mengumumkan 5 lima butir pikiran, diantaranya:
46
Pertama, peran negara pemerintah dalam pengelolaan tanah dan sumberdaya alam akan dikurangi seminimal mungkin. Bahkan pada saatnya, pemerintah hanya
berperan sebagai pengawas bagi pengelolaan sumber-sumber agrarian yang dijalankan oleh masyarakat dan atau pengusaha.
Kedua, menyoroti soal maraknya fenomena ‘penjarahan’ tanah perkebunan oleh masyarakat, Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa tidak tepat jika rakyat
dituduh menjarah, karena “sebenarnya perkebunan yang nyolong mencuri tanah rakyat. Ngambil mengambil tanah kok gak tidak bilang-bilang.
Ketiga, sebaiknya 40 lahan dari perkebunan dibagikan kepada petani penggarap yang membutuhkan. Bahkan kalau mau, saham perkebunan itu juga bisa
dimiliki oleh masyarakat.
45
Yang dimaksud dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif adalah Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Minitrial dan Summary Jury Trial.
46
Sebagaimana dikutip Noer Fauzi, “Penyelesaian Sengketa Agraria Petani Versus Perkebunan”, Suatu Pengantar dalam JOS Hafid, Perlawanan Petani: Kasus Tanah Jenggawah,
Bogor: Putaka Latin, 2001 hlm. x-xi.
Universitas Sumatera Utara
Keempat, dalam hal operasi bisnis usaha yang berhubungan dengan tanah, menurut Abdurrahman Wahid sebaiknya selalu melalui proses musyawarah untuk
mufakat antara badan hukum yang ingin mengelola berbisnis dengan masyarakat yang sebelumnya telah memiliki atau menguasai sumber-sumber agrarian tersebut.
Dalam pandangannya, mengutamakan prinsip musyawarah untuk mufakat lebih penting dibanding sebatas legalitas formal atas perusahaan tersebut.
Pernyataan di atas dapat dimaknai sebagai keinginan untuk menyelesaikan masalah sengketa tanah secara win-win solution. Musyawarah mufakat lebih
dikedepankan untuk kemenangan dan kesejahteraan bersama seraya membatasi peran negara dan legalitas formal dalam penyelesaian sengketa. Musyawarah mufakat atau
bentuk-bentuk penyelesaian sengketa lainnya dalam kepustakaan hukum disebut penyelesaian sengketa non-litigasi.
Secara garis besar, penyelesaian sengketa di masyarakat dapat digolongkan menjadi dua jalur, yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Kedua istilah ini
dipahami dan namai secara berbeda-beda oleh para ahli, namun intinya bertemu pada kesamaan substansi penyelesaian sengketa. Sebagian ahli menggunakan istilah
penyelesaian sengketa melalui lembaga negara state institutions dan lembaga rakyat folk traditional institutional.
47
Vago menggunakan istilah penyelesaian sengketa publik dan formal public and formal methods of conflict resolutions dan
47
F. von. Benda-Beckman, “Some Comparative Generalizations about The Differential Use of State and Folk Institutions of Dispute Settlement”, dalam A.N. Allot, dan G. Goodman ed.,
People’s Law and State Law, Foris, Dordrecht, 1986, hlm. 188. Dalam Runtung Sitepu, Disertasi: Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pasca Sarjana USU Medan ,
hal.74
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian sengketa non-hukum non-legal methods of conflicts resolutions. Kubasek dan Silverman menggunakan istilah litigasi litigation process untuk
penyelesaian sengketa di pengadilan, dan extrajudicial settlement of disputes atau populer dengan istilah alternative dispute resolutions ADR untuk menyelesaikan
sengketa di luar pengadilan.
48
Dalam kepustakaan Indonesia, ADR disebut pula Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Kooperatif MPSSK atau Mekanisme Alternatif Penyelesaian
Sengketa MAPS. Penggunaan kata “ di luar pengadilan”, “alternatif” dan “kooperatif” menunjukkan bahwa para pihak yang bersengketa bebas memilih cara
lain di luar pengadilan lembaga negara, penyelesaian formal dan publik, litigasi untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi.
49
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 10 menyebutkan:
“Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.
48
N.K. Kubasek dan G.S. Silverman, Environmental Law, Ney Jersey: Prentice Hall Upper Saddle River, 1997, hlm. 36. Dalam Runtung Sitepu, Disertasi: Keberhasilan dan Kegagalan
Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pasca Sarjana USU Medan , hal.76
49
The adversary system adalah jaringan kerja jurisprudensi hukum, aturan dan prosedur yang dicirikan adanya dua pihak yang saling berhadapan untuk menghasilkan keputusan yang
menguntungkan pihaknya sendiri. Lihat Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Term and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern, Sixth edition,
Paul Min West Publishing Co, 1990, hlm. 471. Dalam Runtung Sitepu, Disertasi: Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pasca Sarjana USU Medan , hal.74
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian sengketa non-litigasi sebenarnya dapat dilakukan baik di dalam inside the court maupun di luar pengadilan outside the court. Dalam beberapa
literature, penyelesaian sengketa non-litigasi di dalam pengadilan atau kadang disebut dengan Court Connected ADR atau ADR Inside the court atau Court Dispute
Resolution CDR
50
dapat berupa, misalnya perdamaian di pengadilan. Dalam sistem hukum acara di Indonesia, pranata perdamaian di pengadilan disebut dading. Secara
formal, pedoman hakim untuk mengarahkan penyelesaian sengketa melalui dading diatur dalam Pasal 130 HIR, sedangkan para pihak yang terlibat sengketa dalam
membuat kesepakatan perdamaian diatur dalam Pasal 1851 KUHPerdata. Pada sisi lain, pranata penyelesaian sengketa non-litigasi di luar pengadilan diantaranya
meliputi: negoisasi, mediasi, konsiliasi dan lain-lain. Peluang penerapan penyelesaian sengketa alternatif di pengadilan juga diatur
dalam Pasal 130 HIR 154 RBg, di mana pada persidangan pertama Hakim wajib mendamaikan para pihak yang bersengketa. Namun dalam praktek belum di
dayagunakan secara optimal. Hakim wajib mendamaikan para pihak yang bersengketa. Namun dalam praktek belum didayagunakan secara optimal. Hakim-
hakim di pengadilan masih bersifat pasif dan upaya menuju kearah penyelesaian sengketa secara perdamaian diserahkan sepenuhnya kepada inisiatif para pihak yang
bersengketa.
50
Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006, hlm. 145.
Universitas Sumatera Utara
Gagasan untuk lebih memberdayagunakan upaya perdamaian yang terdapat dalam Pasal 130 HIR 154 RBg ini telah menjadi topik utama peserta Komisi I dalam
diskusi yang dilakukan pada Rapat Kerja Nasional Terbatas Mahkamah Agung RI dengan para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dari empat lingkungan peradilan
seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta pada Tanggal 25 dan 26 September 2001 yang lalu.
51
Untuk bidang sengketa Pertanahan, salah satu proses pelaksanaan upaya perdamaian diluar Pengadilan adalah dengan melalui cara Mediasi.
Lahirnya gagasan tersebut didasarkan pada pertumbuhan bahwa salah satu solusi untuk mengatasi menumpuknya jumlah perkara kasasi di Mahkamah Agung
adalah melalui upaya perdamaian. Oleh karenanya upaya perdamaian yang tercantum dalam Pasal 130 HIR 154 RBg yang selama ini dilakukan oleh Hakim tingkat
pertama secara pasif, perlu diubah menjadi bersifat aktif. Di mana untuk mencapai hasil yang optimal Mahkamah Agung RI merasa sikap aktif Hakim itu perlu
dilengkapi dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang cukup. Berdasarkan pokok-pokok pikiran yang muncul dan berkembang dalam
diskusi tersebut, Tim Perumus yang diketuai Sunardi Padang, SH dan Sekretaris A. Siregar, SH, serta para anggota masing-masing Prof. Dr. Valerine J.L. Krekhoff, SH,
MA; Syahril Thaher, SH; Drs. H.A. Nawawi Ali, SH dan Drs. Chatib Rasyid, SH antara lain menyimpulkan bahwa: usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam
51
H.P. Panggabean, Praktek Peradilan Mengenai Kasus-Kasus Asset Yayasan Termasuk Asset Lembaga Keagamaan dan Lembaga Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian
Sengketa Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002, hlm. 187-189.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 130 HIR 154 RBg sebagai salah satu bentuk yudicial reform perlu diberdayakan untuk mengurangi tunggakan perkara di Mahkamah Agung sekaligus
membangun citra peradilan yang bermartabat dan dihormati. Selanjutnya disebutkan bahwa upaya perdamaian dapat ditempuh dengan
tahapan-tahapan: Pertama, upaya penyempurnaan petitum gugatan sesuai dengan posita gugatan seperti diatur dalam Pasal 132 HIR 156 RBg, untuk mencegah
putusan yang non execurable. Kedua, mengupayakan para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui upaya damai dading. Kemudian di Pengadilan
Tingkat Pertama, Hakim bertindak sebagai fasilitator dan pada sidang kedua, Hakim bertindak sebagai mediator dengan berpegang pada prinsip win-win solution.
Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi di atas, Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Surat Edaran SE MARI No. 1 Tahun 2002 pada tanggal 30 Januari
2000, dan telah disosialisasikan kepada para Hakim Pengadilan Tingkat Pertama. SE MARI No. 1 Tahun 2002 tersebut menginstruksikan kepada semua Hakim
Majelis yang menyidangkan perkara agar dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan Pasal 130 HIR 154 RBg, tidak hanya sekedar
formalitas menganjurkan perdamaian. Dalam penanganan perkara itu dibagi dalam beberapa tahap.
Pertama, hakim yang ditunjuk dapat bertindak sebagai fasilitator yang membantu para pihak baik dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data dan
argumentasi dalam rangka persiapan kearah perdamaian. Tahap selanjutnya, apabila dikehendaki para pihak yang berpekara, Hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat
Universitas Sumatera Utara
bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok-pokok persoalan yang disengketakan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh serta keinginan masing-masing pihak dalam rangka perdamaian, mencoba menyusun proposal perdamian yang kemudian
dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan win-win solution. Waktu yang diberikan kepada Hakim sebagai
fasilitator maupun mediator selama 3 tiga bulan dan dapat diperpanjang apabila alasan untuk itu dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
Jika para pihak telah sepakat berdamai, maka persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis di tanda tangani dan kemudia dibuatkan Akte
Perdamaian Dading oleh Pengadilan. Tetapi apabila upaya perdamaian gagal, Hakim yang bersangkutan melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri KetuaMajelis
dan Pemeriksaan Perkara dapat dilanjutkan dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung.
Menurut Mas Achmad Santoso
52
paling tidak terdapat empat faktor utama yang memberikan dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian sengketa
alternatif di Indonesia. Pertama, sebagai upaya meningkatkan daya saing dalam mengundang
penanam modal ke Indonesia. Kepastian hukum termasuk kesediaan sistem penyelesaian sengketa yang efisien dan reliable merupakan faktor penting bagi pelaku
ekonomi mau menanam modalnya di Indonesia. Penyelesaian sengketa alternatif yang didasarkan pada prinsip kemandirian dan profesionalisme dapat menepis
keraguan calon investor tentang keberadaan forum penyelesaian sengketa yang reliable mampu menjamin rasa keadilan.
52
Mas Achmad Santoso, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, tuntutan masyarakat terhadap mekanisme yang efisien dan mampu memenuhi rasa keadilan.
Ketiga, upaya untuk mengimbangi meningkatnya daya kritis masyarakat yang dibarengi dengan tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan termasuk
pengambilan keputusan terhadap urusan-urusan publik. Meningkatnya daya kritis masyarakat sejalan dengan berkembangnya peraturan perundang-undangan yang
memberi akses pada masyarakat untuk berperan serta dalam penetapan kebijaksanaan seperti halnya dalam penetapan kebijaksanaan tata ruang UU No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang, peran serta dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan PP No. 50 Tahun 1993 tentang AMDAL dan hak hukum berperan serta
dalam proses pengambilan keputusan dalam undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 23 Tahun 1997.
Hak masyarakat berperan serta menimbulkan konsekuensi diperlukan wadah atau mekanisme penyelesaian sengketa untuk mewadahi perbedaan pendapat
conflicting opinions yang muncul dari keperansertaan masyarakat tersebut. Keempat, menumbuhkan iklim persaingan yang sehat peer pressive bagi
lembaga peradilan. Kehadiran lembaga-lembaga penyelesaian sengketa alternatif dan kuasi pengadilan tribunal apabila sifatnya pilihan optional maka akan terjadi
proses seleksi menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelesaian sengketa tertentu. Kehadiran pembanding peer dalam bentuk lembaga
penyelesaian sengketa alternatif ini diharapkan mendorong lembaga-lembaga penyelesaian sengketa tersebut meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat.
Faktor kelima yang tidak kalah pentingnya juga adalah sebagai langkah antisipatif untuk membendung derasnya arus perkara mengalir ke pengadilan.
Berbicara sedikit mengenai kelembagaan penyelesaian sengketa alternatif ini,
ada beberapa contoh yang dapat dilihat sebagai bentuk kelembagaan penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini misalnya tertuang dalam beberapa bidang seperti :
Di bidang ketenagakerjaan UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan memberikan porsi yang sangat besar bagi penerapan penyelesaian sengketa alternatif
Universitas Sumatera Utara
melalui P4 dan penengahan mediasi oleh Pegawai Perantara bagi pihak-pihak yang berselisih.
53
Di bidang lingkungan hidup, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan landasan hukum bagi penerapan mekanisme
penyelesaian sengketa alternatif dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Beberapa hal penting yang diatur dalam undang-undang ini berkenaan dengan PSA
adalah penyelesaian sengketa alternatif merupakan pilihan optional dan bukan merupakan kewajiban mandatory. Penyelesaian sengketa alternatif tidak dapat
diterapkan dalam kasus tindak pidana lingkungan. Larangan untuk menempuh jalan penyelesaian pengadilan, apabila penyelesaian sengketa alternatif sedang diupayakan
penyelesaian sengketa alternatif dapat ditempuh melalui perundingan negosiasi, perantara pihak ketiga yang netral mediasi, maupun perwasiatan arbitrase,
prasyarat minimal penengah mediator yang mengarah kepada sifat kemandirian dan ketidakberpihakan dan pembentukan lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian
sengketa yang dibentuk oleh pemerintah untuk kepentingan publik maupun swasta dengan berlandaskan kepada prinsip ketidakberpihakan dan profesional.
54
Di bidang keperdataan, telah dikeluarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, undang-undang ini mengatur
penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas
53
Lihat Pasal 59-65 dan Pasal 66-70 UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
54
Lihat Pasal 30-33 UU no. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
55
Di sektor penyiapan sumber daya manusia, Indonesian Center for Enfiromental Law ICEL
56
bekerjasama dengan CDR Associates Boulder Colorado pada bulan April 1998 yang lalu menyelenggarakan pelatihan untuk pelatih
instruktur mediasi. Bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang diperkenalkan dalam undang-
undang ini adalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli.
57
Namun pengaturannya masih sumir dan bersifat umum. Perkembangan penting lainnya di bidang pelembagaan penyelesaian sengketa
alternatif adalah ditandatanganinya Nota Kesepakatan kerjasama di bidang pelembagaan penyelesaian sengketa alternatif antara Menteri Kehakiman RI dengan
The Asia Foundation pada tanggal 20 Agustus 1998. Nota kesepakatan ini merupakan komitmen kerjasama untuk mendukung program-program pelembagaan penyelesaian
sengketa alternatif yang dilaksanakan oleh Tim Pengarah Nasional Pelembagaan penyelesaian sengketa alternatif yang diketuai oleh Menteri Kehakiman RI.
58
55
Baca Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
56
ICEL adalah suatu badan swasta LSM yang amat peduli terhadap pengembangan Penyelesaian Sengketa Alternatif di Indonesia terutama di bidang penyelesaian sengketa lingkungan
hidup.
57
Perhatikan Pengertian Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999.
58
Mas Achmad Santosa, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan baru telah terjadi setelah ditandatanganinya nota kesepakatan kerjasama ini adalah ditegaskannya alternatif penyelesaian sengketa sebagai salah
satu cara penyelesaian sengketa di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual HAKI nemun pengaturannya masih bersifat sumir.
59
Salah satu gagasan yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia dibidang penyelesaian sengketa alternatif
adalah dengan memasukkan penyelesaian sengketa alternatif sebagai salah satu mata kuliah wajib ke dalam Kurikulum Fakultas Hukum dan Program Megister Ilmu
Hukum. Dalam penyelesaian sengketa di bidang pertanahan, kelembagaan Mediasi
diatur dengan Keputusan Kepala BPN No 34 Tahun 2007, Petunjuk Teknis No 05JUKNISD.V2007, dengan mekanisme sebagai berikut
1. Persiapan untuk mempertemukan kedua belah pihak :
a. Mengetahui pokok masalah dan duduk masalah.
b. Apakah masalah tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi atau tidak
c. Pembentukan tim penanganan sengketa tentatif, tidak keharusan, ada
kalanya pejabat struktural yang berwewenang dapat langsung menyelenggarakan mediasi.
59
Perhatikan Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Pasal 47 UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Pasal 39 UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu, Pasal 24 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek.
Universitas Sumatera Utara
d. Penyiapan bahan, selain persiapan prosedur disiapkan bahan-bahan yang
diperlukan untuk melakukan mediasi terhadap pokok sengketa, resume telaahan. Agar mediator sudah menguasai substansi masalah, meluruskan
persoalan, saran bahkan peringatan jika kesepakatan yang diupayakan akan cenderung melanggar peraturan dibidang pertanahan, misal melanggar
kepentingan pemegang hak tanggungan , kepentingan ahli waris lain, melanggar hakekat pemberian haknya berkaitan dengan tanah Redistribusi
e. Menentukan waktu dan tempat mediasi.
2. Undangan :
a. Disampaikan kepada Para pihak yang berkepentingan, instansi terkait
apabila dipandang perlu untuk mengadakan musyawarah penyelesaian sengketa dimaksud, dan diminta, untuk membawa serta data informasi yang
diperlukan. b.
Penaatan struktur pertemuan dengan posisi tempat duduk huruf ”U seat” atau lingkaran
3. Kegiatan mediasi :
a. Mengatasi hambatan hubungan antar pihak hubungan personal antar pihak
b. Mencairkan suasana diantara kedua belah pihak yang bersengketa, suasana
akrab, tidak kaku c.
Penjelasan peran mediator 1. Sebagai pihak ketiga yang tidak memihak berkedudukan netral.
2. Kehendak para pihak tidak dibatasi
Universitas Sumatera Utara
3. Kedudukan para pihak dan kedudukan mediator sendiri harus netral. 4. Kunci dari sesi ini adalah penegasan mengenai kesediaan para pihak
untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi dan oleh mediator Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
5 Dalam hal-hal tertentu berdasarkan kewenangannya authoritas mediator autoritatif mediator dapat melakukan intervensi campur tangan dalam
proses mencari kesepakatan dari persoalan yang disengketakan bukan memihak, untuk menempatkan kesepakatan yang hendak dicapai sesuai
dengan hukum pertanahan. Hal ini perlu dipahami oleh para pihak agar tidak menimbulkan dugaan apriori.
4. Klarifikasi para pihak a. Para pihak mengetahui kedudukannya.
b. Dikondisikan tidak ada rasa apriori pada salah satu pihak kedua belah pihak dengan objektivitas penyelesaian sengketa, kedudukan, hak, dan kewajiban
sama. c. Masing-masing berhak memberikan dan memperoleh informasi data yang
disampaikan lawan. d. Para pihak dapat membantah atau meminta klarifikasi dari lawan dan wajib
menghormati pihak lainnya. e. Pengaturan pelaksanaan mediasi
f. Dari permulaan mediasi telah disampaikan aturan-aturan mediasi yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam mediasi.
Universitas Sumatera Utara
g. Aturan tersebut inisiatif dari mediator atau disusun baru kesepakatan para pihak, penyimpanan tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan para
pihak. h. Aturan-aturan tersebut antara lain untuk menentukan :
1. apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan mediator 2. aturan tata tertib diskusi dan negoisasi
3. pemanfaatan dari kaukus 4. pemberian waktu untuk berpikir, dsb.
5. Perumusan aturan tersebut mungkin akan mengundang perdebatan yang panjang, namun bagi mediator yang sudah terbiasa melakukan tugasnya
tidak sulit mengatasinya. 5. Menyamakan pemahaman dan menetapkan agenda musyawarah :
a. Para pihak diminta untuk menyampaikan permasalahannya serta opsi-opsi
alternatif penyelesaian yang ditawarkan, sehingga ditarik benang merah permasalahannya agar proses negoisasi selalu terfokus pada persoalan isu
tersebut. Disini dapat terjadi kesalahpahaman baik mengenai permasalahannya, pengertian yang terkait dengan sengketanya atau hal yang
terkait dengan pengertian status tanah Negara dan individualisasi. Perlu upaya kesepakatan untuk menyamakan pemahaman mengenai berbagai hal.
Mediator Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia harus memberi koreksi jika pengertian-pengertian persoalan yang disepakati tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, agar tidak terjadi kesesatan.
Universitas Sumatera Utara
b. Menetapkan agenda musyawarah setting agenda
1. Setelah persoalan yang dapat menimbulkan mis interpretasi dapat diatasi, kemudian ditentukan agenda yang perlu dibahas setelah diketahui
persoalan yang melingkupi sengketa. 2. Agenda musyawarah bermaksud agar proses musyawarah, diskusi,
negoisasi dapat terarah dan tidak melebar keluar dari fokus persoalan mediator harus menjaga momen pembicaraan sehingga tidak terpancing
atau terbawa larut oleh pembicaraan para pihak. 3.
Mediator menyusun acara agenda diskusi yang mencakup substansi permasalahan, alokasi waktu, jadwal pertemuan berikutnya yang perlu
memperoleh persetujuan para pihak 6. Identifikasi kepentingan :
a. Dilakukan identifikasi untuk menentukan pokok masalah sebenarnya, serta
relevansi sebagai bahan untuk negoisasi. Pokok masalah harus selalu menjadi fokus proses mediasi selanjutnya. Jika terdapat penyimpangan
mediator harus mengingatkan untuk kembali pada fokus permasalahan. b.
Kepentingan yang menjadi fokus mediasi dapat menentukan kesepakatan penyelesaiannya. Kepentingan disini tidak harus dilihat dari aspek hukum
saja, dapat dilihat dari aspek lain sepanjang memungkinkan dilakukan negoisasi dan hasilnya tidak melanggar hukum.
Universitas Sumatera Utara
7. Generalisasi opsi-opsi Para Pihak : c.
Pengumpulan opsi-opsi sebagai alternatif yang diminta kemudian dilakukan generalisasi alternatif tersebut sehingga terdapat hubungan antar alternatif
dengan permasalahannya. d.
Dengan generalisasi terdapat kelompok opsi yang tidak dibedakan dari siapa, tetapi bagaimana cara menyelesaikan opsi tersebut melalui negoisasi,
maka proses negoisasi lebih mudah e.
Opsi adalah sejumlah tuntutan dan alternatif penyelesaian terhadap sengketa dalam suatu proses mediasi.
f. Kedua belah pihak dapat mengajukan opsi-opsi penyelesaian yang
diinginkan : 1. Dalam mediasi autoritatif mediator juga dapat menyampaikan opsi atau
alternatif yang lain. Contoh
: Generalisasi opsi yang dipilih misalnya: batas tanah tetap dibiarkan, tanah
tetap dikuasasi secara nyata, pihak yang seharusnya berhak meminta ganti rugi.
2. Tawar-menawar opsi dapat berlangsung alot dan tertutup kemungkinan dapat terjadi dead-lock. Disini mediator harus menggunakan sesi pribadi
periode session atau cancus 3. Negoisasi tahap terpenting dalam mediasi.
Universitas Sumatera Utara
a. Cara tawar-menawar terhadap opsi-opsi yang telah ditetapkan, disini dapat timbul kondisi yang tidak diinginkan. Mediator harus
mengingatkan maksud dan tujuan serta fokus permasalahan yang dihadapi.
b. Sesi pribadi sesi berbicara secara pribadi dengan salah satu pihak harus sepengetahuan dan persetujuan pihak lawan. Pihak lawan harus
diberikan kesempatan menggunakan sesi pribadi yang sama. c. Proses negoisasi seringkali harus dilakukan secara berulang-ulang
dalam waktu yang berbeda. d.
Hasil dari tahap ini adalah serangkaian daftar opsi yang dapat dijadikan alternatif penyelesaian sengketa yang bersangkutan.
8. Penentuan opsi yang dipilih : a. Ada daftar opsi yang dipilih
b. Pengkajian opsi-opsi tersebut oleh masing-masing pihak. c. Menentukan menerima atau menolak opsi tersebut
d. Menentukan keputusan menghitung untung-rugi bagi masing-masing pihak. e. Para pihak dapat konsultasi pada pihak ketiga misalnya : pengacara, para ahli
mengenai opsi-opsi tersebut. f. Mediator harus mampu mempengaruhi para pihak untuk tidak menggunakan
kesempatan guna menekan pihak lawan. Disini diperlukan perhitungan dengan pertimbangan logis, rasional dan objektif untuk merealisasikan kesepakatan
terhadap opsi yang dipilih tersebut.
Universitas Sumatera Utara
g. Kemampuan mediator akan diuji dalam sesi ini.
h. Hasil dari kegiatan ini berupa putusan mengenai opsi yang diterima kedua
belah pihak, namun belum final, harus dibicarakan lebih lanjut. 9. Negoisasi akhir :
a. Para pihak melakukan negoisasi final yaitu klarifikasi ketegasan mengenai opsi-opsi yang telah disepakati bagi penyelesaian sengketa dimaksud.
b. Hasil dari tahap ini adalah putusan penyelesaian sengketa yang merupakan kesepakatan para pihak yang bersengketa.
c. Kesepakatan tersebut pada pokoknya berisi: opsi yang diterima, hak dan kewajiban para pihak.
d. Klarifikasi kesepakatan kepada para pihak. e. Penegasan klarifikasi ini diperlukan agar para pihak tidak ragu-ragu lagi
akan pilihannya untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan sukarela melaksanakannya.
10. Formalisasi kesepakatan penyelesaian sengketa : a. Dirumuskan dalam bentuk kesepakatan atau agreementperjanjian .
b. Dengan kesepakatan tersebut secara substansi mediasi telah selesai, sementara tindak lanjut pelaksanaannya menjadi kewenangan pejabat Tata
Usaha Negara. c. Setiap kegiatan mediasi hendaknya dituangkan dalam Berita Acara Mediasi
d. Hasil mediasi dilaporkan kepada pejabat yang berwewenang untuk ditindak lanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
e. Formulasi kesepakatan secara tertulis dengan menggunakan format perjanjian.
f. Dalam setiap mediasi perlu dibuat laporan hasil mediasi yang berlangsung g. Agar mempunyai kekuatan mengikat berita acara tersebut ditandatangani
oleh para pihak dan mediator. Sesuai dengan Keputusan Kepala BPN No 34 Tahun 2007, Petunjuk Teknis No
05JUKNISD.V2007, pelaksana Mediasi dilaksanakan oleh pejabat pegawai yang ditunjuk dengan surat tugas surat perintah dari Kepala Kantor Pertanahan, Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Mediator yang mengelola mediasi tersebut adalah termasuk tipe Authoritative Mediator pejabat yang berwenangberkompetensi dalam sengketa yang sedang
ditangani. Para pihak yang bersengketa harus mempunyai kepentingan langsung terhadap masalah yang dimediasikan
B. KEBERHASILAN MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN