BAB II PENERAPAN MEDIASI DALAM SENGKETA PERTANAHAN STUDI
KASUS DI KANTOR PERTANAHAN DELI SERDANG A. PENGATURAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA PERTANAHAN DALAM HUKUM NASIONAL
Bahwa dalam rangka menetapkan langkah dan arah dalam menangani dan menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara Pertanahan secara efektif
telah ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan RI No.11 Tahun 2009 Tentang Kebijakan dan Strategi Kepala BPN RI Menangani dan Menyelesaikan
Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan Tahun 2009, dimana sistem penanganan masalah Pertanahan dengan berpedoman kepada Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional No.34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.
Salah satu metode penyelesaian kasus pertanahan ditetapkan melalui Mediasi dimana mekanisme Pelaksanaan Mediasi diatur di dalam Petunjuk
Teknis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 05JUKNISD.V2007 Keputusan Kepala BPN RI No.34 Tahun 2007 tentang
Mekanisme Pelaksanaan Mediasi yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2007. Putusan mediasi juga bisa bersifat mengikat dan dapat langsung
dilaksanakan landasan hukumnya Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata.
Penyelesaian sengketa tanah atau sengketa perdata pada umumnya dimungkinkan untuk menggunakan dua macam cara penyelesaian yaitu melalui
Universitas Sumatera Utara
pengadilan dan diluar pengadilan. Meskipun, UUPA sama sekali tidak menyebut bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa tanah, kecuali ketentuan pidana Bab III
Pasal 57 ayat 1 yang menyebutkan ancaman pidana untuk yang melanggar Pasal 15 UUPA selama-lamanya 3 tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000
sepuluh ribu rupiah. Ayat 2 menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 19, 22, 24, 26 ayat 1, 46,
47, 48, 49, ayat 3, dan 50 ayat 2 dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturan perundang-undangannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3
tiga bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000. Jika melihat ketentuan pasal ini, adanya ancaman pidana menunjukkan jika sengketa tanah terjadi akan
diselesaikan melalui pengadilan. Tidak adanya ketentuan tentang penyelesaian sengketa tanah ini dalam UUPA dan karakteristik penyelesaian sengketa di
pengadilan biasa yang sering mengecewakan pencari keadilan, mendorong berbagai kalangan mengusulkan pentingnya pengadilan mendorong berbagai kalangan
mengusulkan pentingnya pengadilan khususnya agraria. Tentu saja, ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa tanah secara non-litigasi.
Ada beberapa alasan mengapa penyelesaian alternatif sengketa tanah perlu dikedepankan, yaitu:
1. ketidakpuasan terhadap peran pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah
yang terlalu formal, lama, mahal dan tidak berkeadilan; 2.
perlu tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang lebih fleksibel dan responsif bagi para pihak yang sedang bersengketa;
Universitas Sumatera Utara
3. mendorong masyarakat untuk ikut menyelesaikan sengketa tanah secara
partisipatif; dan 4.
memperluas akses untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Alternative Dispute Resolution ADR adalah merupakan istilah asing yang
masih perlu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak.
Beberapa diantaranya yang telah dapat diindentifikasi adalah: penyelesaian sengketa alternatif
36
, alternatif penyelesaian sengketa APS
37
, mekanisme alternatif penyelesaian sengketa MAPS
38
dan pilihan penyelesaian sengketa PPS
39
. Ada dua pemahaman yang berbeda terhadap arti ADR tersebut. Pertama, ADR
diartikan sebagai alternative to litigation dan yang kedua ADR diartikan dengan alternative to adjudication. Pemilihan terhadap salah satu dari kedua pengertian
tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama yang
36
Perhatikan Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan Jakarta: Chandra Pratama, 2000; Perhatikan juga Ali Budiharjo dkk, Reformasi Hukum di Indonesia Jakarta: Cyber
Consult, 1999; Baca juga Suyud Margono, ADR Arbitrase. Proses Pelembagaan dan Aspek-Aspek Hukum Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.dalam Runtung Sitepu, Desertasi : Keberhasilan dan
Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pascasarjana USU Medan 2002, hal 84
37
Lihat UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; Baca juga Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengeadilan Negoisasi, Mediasi,
Konsultasi dan Arbitrase Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2001, hlm. 25-26. dalam Runtung Sitepu, Desertasi : Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program
Pascasarjana USU Medan 2002, hal 84
38
Lihat Takdir Rahmadi, Mekanisme alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Konteks Masyarakat Indonesia Masa Kini, makalah disajikan dalam Seminar Sehari Alternatif Penyelesaian
Sengketa Dalam Kasus-Kasus Tanah, Perburuhan dan Lingkungan, Diselenggarakan Oleh Studi dan Advokasi Masyarakat bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, di Jakarta, 11 Agustus
1994. dalam Runtung Sitepu, Desertasi : Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pascasarjana USU Medan 2002, hal 84
39
Lihat UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaaan Lingkungan Hidup. dalam
Runtung Sitepu, Desertasi : Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pascasarjana USU Medan 2002, hal 84
Universitas Sumatera Utara
menjadi acuan alternative to litigation, maka seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR. Tetapi
apabila ADR diartikan sebagai alternative to adjudication, maka hanya mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif saja yang merupakan
ADR. Sedangkan arbitrase yang bersifat ajudikasi tidak termasuk di dalamnya, karena sama halnya dengan pengadilan cenderung menghasilkan putusan dengan
solusi menang-kalah win-lose. Sebelum mencari padanan istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia terlebih
dahulu diperlukan penyamaan persepsi tentang konsep dan pemahaman terhadap ADR tersebut.
Ada dua pemahaman yang berbeda terhadap arti ADR tersebut. Pertama, ADR diartikan sebagai alternative to litigation dan yang kedua ADR diartikan dengan
alternative to adjudication. Pemilihan terhadap salah satu dari kedua pengertian tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama yang
menjadi acuan alternative to litigation, maka seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR. Tetapi
apabila ADR diartikan sebagai alternative to adjudication, maka hanya mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif saja yang merupakan
ADR. Sedangkan arbitrase yang bersifat ajudikasi tidak termasuk di dalamnya, karena sama halnya dengan pengadilan cenderung menghasilkan putusan dengan
solusi menang-kalah win-lose.
Universitas Sumatera Utara
Jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka Indonesia juga merupakan salah satu
penganut dari pandangan yang kedua, karena undang-undang tersebut memisahkan secara tegas istilah arbitrase dengan alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam konteks studi ini akan digunakan penyelesaian sengketa alternatif dalam arti alternative to adjudication, dengan tidak mengurangi arti dan kebenaran
istilah-istilah lainnya. Tujuan dari pengembangan penyelesaian sengketa alternatif adalah untuk
memberikan forum bagi pihak-pihak untuk bekerja kearah kesepakatan sukarela dalam mengambil keputusan mengenai sengketa yang dihadapinya. Dengan demikian
penyelesaian sengketa alternatif adalah merupakan sarana yang potensial untuk memperbaiki hubungan di antara pihak-pihak yang bersengketa.
Bermacam-macam alasan mengapa seorang menggunakan penyelesaian sengketa alternatif. Disamping berperan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang
potensial untuk menghindari biaya tinggi, keterlambatan dan ketidakpastian yang melekat pada sistem litigasi, juga dimaksudkan sebagai sarana untuk memperbaiki
komunikasi di antara pihak-pihak. Oleh karena putusan diambil berdasarkan kesepakatan, maka hasilnya adalah win-win, sehingga penyelesaian sengketa bersifat
tuntas tidak semu. Keputusan untuk menggunakan metode penyelesaian sengketa alternatif
tergantung pada pertimbangan para pihak. Hanya saja sekurang-kurangnya ada 2 dua hal yang perlu dipertimbangkan untuk menggunakan penyelesaian sengketa
Universitas Sumatera Utara
alternatif. Pertama, prosedur penyelesaian sengketa alternatif lebih tepat guna dari pada prosedur litigasi dan kedua, perlu ditentukan pilihan bentuk mana dari
penyelesaian sengketa alternatif yang paling tepat digunakan untuk jenis sengketa yang dihadapi.
Perlu diketahui bahwa menurut W. Moore dan James Creighton ada beberapa pertanyaan lanjutan yang harus dijawab sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-
pihak untuk menggunakan pola penyelesaian sengketa alternatif, yaitu:
40
1. Berapa besar kekuatan relatif yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat, dan
bagaimana pentingnya persengketaan ini bagi setiap pihak? Sumber kekuatan meliputi:
a. Kekuasaan atau wewenang formal, yaitu wewenang yang diberikan secara
legal untuk menetapkan kebijakan, menyusun peraturan, memberi izin dan lain-lain.
b. Keahlian atau kekuatan informasi, yaitu memiliki akses atau hubungan dengan
orang-orang yang berilmu atau memiliki informasi yang tidak dimiliki oleh orang lain.
c. Kekuatan prosedural, yaitu kontrol terhadap prosedur pengambilan keputusan.
d. Kekuatan asosiasi, yaitu kekuatan yang berasal dari berasosiasi dengan orang-
orang yang berkuasa.
40
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Negoisasi, Mediasi, Konsultasi dan Arbitrase Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2001, hlm. 41-43. dalam Runtung
Sitepu, Desertasi : Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pascasarjana USU Medan 2002, hal 88
Universitas Sumatera Utara
e. Kekuatan dari penguasaan sumber daya, yaitu kemampuan untuk
menyebabkan sesuatu yang berbahaya atau menolak mementahkan manfaat dari penyelesaian sengketa.
f. Kekuatan yang diperoleh dari mengusahakan orang lain, yaitu kemampuan
untuk menimbulkan ketidakenakan bagi pihak lain. g.
Kekuatan habitual atau yang diperoleh dari kebiasaan, yaitu kekuatan atau kekuasaan dari berlakunya status quo atau sebagaimana biasa sesuatu
dilakukan. h.
Kekuatan moral, yaitu kemampuan untuk meningkatkan konflik dalam sudut pandang nilai sumber kekuatan lainnya.
i. Kekuatan pribadi, yaitu atribut-atribut pribadi atau keahlian yang
memperbesar sumber-sumber keahlian lainnya. 2.
Memperhitungkan kekuatan relatif dan komitmen dari tiap pihak apabila persengketaan ini terus berlangsung sampai sekarang. Prosedur manakah yang
kelihatannya paling baik untuk penyelesaiannya? 3.
Dengan mempertimbangkan kekuatan relatif dan komitmen yang diberikan oleh satu pihak, jika persengketaan tersebut harus berlangsung sampai sekarang, hasil-
hasil atau akibat substantive apa yang paling mungkin terjadi dan berapa besar peluang relatif relative probabilities?
4. Dengan mempertimbangkan perkiraan atau ramalan anda dalam pertanyaan
nomor dua dan tiga, berapa besar keuntungan biaya potensial dari prosedur yang
Universitas Sumatera Utara
diterapkan saat ini dan bagaimana suatu persengketaan akan diselesaikan. Keuntungan dan biaya-biaya tersebut bisa mencakup:
a. Biaya proses staf, waktu, penundaan, biaya hukum dan lain-lain;
b. Dampak terhadap hubungan antara anda organisasi anda dan pihak-pihak
lain; c.
Keuntungan finansial atau liability; d.
Resiko peningkatan penurunan yang diakibatkan oleh hasil penyelesaian yang tidak bisa diterima;
e. Menetapkan prosedur hukum;
f. Dampak-dampak politik;
g. Dukungan internal moral.
5. Apakah penggunaan prosedur yang ditetapkan sudah dicarikan pembenarannya
dijustifikasi? 6.
Mekanisme alternatif penyelesaian sengketa mana yang paling sesuai untuk menangani persengketaan ini?
Moore menggolongkan tipologi mediator menjadi tiga kategori,
41
yaitu: 1.
Mediator jaringan sosial social network mediator yaitu mediator yang dipilih karena adanya jaringan atau hubungan sosial. Jika terjadi sengketa tanah antar
tetangga, para pihak akan memilih seseorang yang dikenal baik oleh keduanya untuk menengahi sengketa dan memberikan saran pemecahannya. Para pihak
41
Sudharto P. Hadi, Resolusi Konflik Lingkungan, Semarang: BP Undip, 2006, hlm. 103.
Universitas Sumatera Utara
percaya bahwa jika yang memediasi adalah orang yang dikenal keduanya akan menjamin proses perundingan berjalan lancar. Dengan kata lain, mediator
hubungan sosial berasal dari orang yang dikenal dan dipercaya oleh para pihak. 2.
Mediator otoritatif authoritative mediator adalah mediator yang dipilih karena yang bersangkutan memiliki otoritas atau kewenangan. Kewenangan ini dapat
dibaca sebagai pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memerintah, seperti mediator dari pejabat, anggota legislatif dan sejenisnya. Pemilihan
mediator yang ‘berwenang’ ini biasanya dijadikan sebagai strategi untuk mengikat pihak-pihak yang bersengketa agar tidak main-main dan melaksanakan
hasil-hasil perundingan. Selain itu, para pihak juga berharap adanya tindak lanjut dari pemerintah bila memang obyek yang dipersengketakan berupa kebijakan dari
pihak yang berwenang. 3.
Mediator independen independent mediator yaitu mediator yang dipilih karena professional. Para pihak memilihnya bukan karena hubungan sosial, atau karena
memiliki otoritas tetapi semata-mata karena yang bersangkutan memiliki keahlian, integritas, berpengalaman dan profesional. Mediator independen ini di
negara-negara maju biasanya berkumpul pada asosiasi-asosiasi, lembaga perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga non-geverment yang memang berprofesi
sebagai mediator mandiri.
Universitas Sumatera Utara
B. PENERAPAN MEDIASI DALAM SENGKETA PERTANAHAN