Latar belakang masalah Peralihan Mata Pencaharian Masyarakat dari Sektor Pertanian ke Sektor Pertambangan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang masalah

Dalam kehidupan sehari-hari manusia mempunyai kebutuhan yang harus di penuhinya untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan ini bersumber dari dorongan- dorongan dalam dirinya sejak ia di lahirkan. Dorongan alamiah yang terdapat pada manusia baik dalam mempertahankan hidup ataupun mengembangkan diri termanifestasikan dalam pola tingkah laku yang terlihat jelas dari segala jenis aktifitas sehari-hari. Pola tingkah laku sehari-hari tersebut terkait lingkungan yang di tempatinya. Salah satu lingkungan yang ditempatinya adalah desa yang menyediakan segala kemungkinan bagi manusia untuk mengembangkan diri khususnya dalam bidang pertanian. Masyarakat pedesaan merupakan masyarakat tradisional yang terisolir dari pengaruh dunia luarRaharjo,1999:47. Sistim sosial-ekonominya memiliki ciri khas tersendiri yang dilatar belakangi alam yang ada di sekelilingnya. Komposisi penduduknya relatif sedikit dan homogen serta sistim aktifitasnya hamper seluruhnya sector pertanian. Masyarakat yang khas mempfokuskan terhadap segi-segi ekonomi yang di pengaruhi oleh situasi dan kondisi serta letak geografi dan dalam relatif realita sehari-hari kurang berorientasi kepada sistim sosial ekonomi lebih dominan berpegang terhadap tradisi-tradisi lama. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sebagaimana telah di ketahui bahwa masyarakat baik arti mikro maupun makro didalamnya senantiasa terdapat lapisan-lapisan atau strata-strata secara hirarkis atau secara bertingkat atau berjenjang. Pembagian lapisan yang dimaksud didasarkan kepada beberapa aspek salah satunya adalah aspek sosial ekonomi. Kondisi sosial ekonomi baik secara individu atau kelompok tidak terpisahkan dari nilai-nilai tradisionalnya, bahkan nilai-nilai tradisionalnya yang berlaku dalam masyarakat tersebut dapat menjadi norma-norma yang dapat di operasionalkan menjadi landasan dan rambu-rambu pengamanan. Kehidupan sosial ekonomi seseorang menjadi salah satu indikator yang akan menentukan status sosial ekonominya dalam masyarakat. Keadaan sosial ekonomi menunjukkan kemampuan finansial yang dimiliki. Kondisi lingkungan alam juga akan sangat berpengaruh terhadap sistem ekonomi masyarakatnya paling tidak terhadap sistem mata pencahariannya. Apabila kita meletakkan Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk maka didalam masyarakat Indonesia tersebut juga sudah terbentuk lapisan-lapisan di masyarakatnya. Pada masyarakat Indonesia yang menjadi dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial adalah dilihat dari ukuran-ukuran atau kriteria yang menonjol sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial. Pada umumnya ukuran criteria itu dapat di bagi menjadi empat. Pertama, berupa ukuran kekayaanmateri atau kebendaan dimana untuk penempatan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial yang ada yang mempunyai kekayaan lebih banyak terletak pada lapisan atas. Kedua, ukuran kekuasaan dan wewenang. Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistim pelapisan sosial yang ada. Ketiga, ukuran kehormatan. Hal ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat. Keempat, ukuran ilmu pengetahuan yang sering dipakai oleh anggota- anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan teratas dalam sistim pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Propinsi Bangka Belitung selain terkenal sebagai penghasil timah, juga dikenal sebagai penghasil lada putih white papper atau yang di dunia dikenal sebagai white muntok papper, dalam bahasa setempat bahasa Bangka dikenal dengan nama sahang. Di propinsi ini tanaman lada sangat banyak seperti tanaman padi di daerah sentra penghasil beras. Tanaman lada Piper nigrum L. merupakan salah satu komoditas tanaman rempah yang hanya dapat tumbuh di daerah tropis. Tercatat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil lada terbesar selain Brazil, Vietnam, Srilanka, China dan Malaysia. lada merupakan komoditas penghasil devisa no-6 setelah karet, sawit, kopi, teh, dan coklat. Petani lada di pulau Bangka akhir-akhir ini mengalami kegundahan yang tidak menentu dikarenakan dengan harga jual yang tidak menentu, Di tahun 1990-an, ketika lada naik daun dan harganya gila-gilaan, petani lada di pulau ini menjadi OKB orang kaya baru mendadak. Bagaimana tidak, ketika itu dipasaran dunia harga lada putih mencapai Rp. 80.000,- - Rp. 120.000,- per kilogram. Bisa dibayangkan seandainya 1 orang petani memiliki 2 ton lada putih kering, berapa penghasilan petani UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tersebut. Selain sekarang ini harga jual yang tidak menentu dengan kisaran harga Rp. 25.000 sampai Rp. 30.000 rupiah per kilogram nya, petani juga di hadapkan dengan penyakit terhadap pohon lada itu sendiri, salah satunya yang sering terjadi adalah penyakit kuning yang menyerang daun hingga menjalar ke akar dari pohon lada itu sendiri yang sampai saat ini menjadi musuh utama dari para petani tersebut. Kendala yang dihadapi petani lada justru pada mahalnya harga pupuk. Pemupukan dilakukan sampai umur tanaman lada mencapai tiga tahun. Makin besar tanaman lada, semakin besar jumlah pupuk yang diperlukan. Jenis pupuk yang dibutuhkan adalah urea dan NPK. Ian Sancin, dalam artikel kebun lada yang di tinggalkan, akses 20 maret 2010 Sejak tahun 2001, ketika Perda Kab. Bangka No.6 terbit, mulailah marak TI Tambang Inkonvensional. Sebagian masyarakat seperti histeris menyambut Perda tersebut dan berusaha mencari kesempatan bergabung atau mendirikan TI-TI. Begitu asyiknya melihat hasil yang didapat sehingga tak peduli dengan segala aturan pertambangan, aturan keselamatan kerja, aturan lingkungan hidup, dan aturan administrasi dari Pemerintah Daerah. Maka seperti jamur di musim hujan berdiri tak terkendali TI tanpa izin, TI tanpa amdal dan TI tanpa reklamasi. Pemodal-pemodal besar dari luar Babel berdatangan, termasuk dari luar negeri, pekrja-pekrja TI berduyun-duyun datang dari luar Babel, dari kota Palembang, dari daerah-daerah transmigrasi Sumsel, dari Jambi, Lampung, Jakarta, dan JawaMadura. Konon kini ada 16.000 TI sebagian besar ilegal, ada 2000 alat berat exscavator yang mengobrak abrik muka bumi Bangka Belitung. Konon ini adalah jumlah exscavator terbesar di dunia dalam kawasan sebanding Bangka Belitung. Apa yang kemudaian kita saksikan adalah kehancuran lingkungan hidup, hutan lindung di babat habis, daerah aliran UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sungai DAS besar kecil dirusak, pantai wisata dan nelayan diobrak-abrik, kebun- kebun rakyat di intervensi serta jalan-jalan raya terancam erosi. Melalui media massa nyaris setiap hari ada korban tewas, baik TI darat maupun TI apung, tak ada yang diasuransikan nyawanya, kapal-kapal ferry datang hilir-mudik membawa exscavator bekas dari Palembang, Batam, dan Jakarta, lokalisasi pelacuran berkembang di sekitaran TI, anak-anak sekolah berhenti sekolah dan terjun ke TI, minuman energi dan alkohol mengalir dengan deras ke kawasan TI Rusli Rachman, dalam buku Redupnya Hati Nurani: Catatan Hitam Putih Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146MPPKep41999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis, Bupati Bangka saat itu, Eko Maulana Ali yang sekarang adalah Gubernur Provinsi Bangka Belitung, memberikan izin bagi aktivitas-kativitas penambangan berskala kecil. Sejak saat itulah, aktivitas penambang liar atau tambang inkonvensional TI semakin tak terkendali. Dengan maraknya aktivitas-aktivitas penambangan liar ini secara tidak sadar dinilai sebagai pelampiasan penduduk Bangka Belitung atas kesenjangan sosial yang terjadi selama puluhan tahun sebelumnya. Sektor ini kini malah telah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat yang mendatangkan hasil jutaan rupiah. Dan lebih dari 70 persen penduduk dari setiap desa di Bangka Belitung saat ini hidup dari tambang inkonvensional TI sendiri. Serta sektor ini kemudian malah menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah PAD disetiap daerahnya di Bangka Belitung UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Di desa Rambat sendiri proses seperti di atas sudah mulai tampak beberapa bulan terakhir, yang dahulunya mereka menanam lada sekarang sudah beralih menjadi penambang timah inkonvensional, walaupun tidak semua petani lada beralih untuk menjadi penambang timah tersebut.

1.2. Perumusan Masalah