28
2. Sumber Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan meliputi: a. Bahan hukum primer yang pertama kali harus dikumpulkan adalah peraturan
perundangan, konvensi-konvensi tentang isu-isu yang hendak dipecahkan. Hal ini termasuk pengumpulan karya akademik baik berupa tesis dan makalah
yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap lambang Palang Merah ditinjau dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 serta berupa hasil
wawancara dengan Pengurus PMI Pusat dan Kanwil Kemenkumham Provinsi Sumatera Utara.
b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan penelitian yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, contohnya Rancangan Undang-Undang,
hasil-hasil penelitian, yang terkait dengan Eksistensi Lambang Palang Merah Indonesia.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
contohnya kamus hukum dan ensiklopedia yang terkait dengan Eksistensi Lambang Palang Merah Indonesia.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode yang dipergunakan dalam pengumpulan data dilakukan melalui 2 dua cara :
a. Penelitian Kepustakaan library research
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
Penelitian kepustakaan
dilakukan untuk
memperoleh data
dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku teks, makalah-makalah,
dan tulisan-tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. Data tersebut akan dipilah-pilah guna memperoleh data yang berisi
kaidah-kaidah hukum
yang dihubungkan
dengan permasalahan
dalam perlindungan hukum terhadap lambang Palang Merah ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001. Metode penarikan kesimpulan akan dilakukan secara deduktif, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini
akan terjawab. b.
Penelitian Lapangan field research Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan
dengan pengumpulan data secara langsung melalui wawancara kepada pihak- pihak berwenang dan pihak lain yang berhubungan dengan penelitian ini
terutama yakni
Pengurus Palang
Merah Indonesia
Pusat dan
Kanwil Depkumham Provinsi Sumatera Utara.
4. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan tehnik kualitatif. Disebut kualitatif didasarkan pada analisis yang bertitik tolak pada penelusuran data-data,
indormasi-informasi maupun asas-asas. Proses analitis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, yaitu : dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, langkah berikutnya mengadakan reduksi data,
yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga
sehingga tetap berada didalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan.
Satuan-satuan itu
kemudian dikategorisasikan
pada langkah
berikutnya. Kategori-kategori itu dibuat sambil melakukan koding. Tahap akhir dari analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai tahap
ini, mulailah tahap penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan beberapa metode tertentu.
45
45
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hal. 247-248.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
BAB II ASPEK HUKUM LAMBANG PALANG MERAH
A. Sejarah Organisasi
Diawali dengan terjadinya Perang di Solferino antara tentara Austria dan gabungan tentara Perancis-Sardinia pada tanggal 24 Juni 1959 di Italia Utara yang
mengakibatkan banyak korban dengan luka mengenaskan dan dibiarkan begitu saja karena unit kesehatan tentara masing-masing pihak yang bersengketa tidak sanggup
lagi untuk menanggulangi para korban, maka seorang Swiss yang bernama Henry Dunant yang melihat sendiri akibat dari peristiwa tersebut, berhasil menulis sebuah
buku di tahun 1861 yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” Kenang-kenangan dari Solferino. Dalam bukunya, ia mengajukan gagasan pembentukan organisasi relawan
penolong para prajurit di medan pertempuran, serta gagasan untuk membentuk perjanjian
internasional guna
melindungi prajurit
yang cedera
di medan
pertempuran.
46
Pada saat peperangan terjadi saat itu, pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda
pengenal sendiri-sendiri
dengan warna
yang berbeda-beda.
Austria menggunakan warna putih, Perancis menggunakan warna merah, sehingga tanda
pengenal tersebut bukannya memberikan perlindungan tetapi juga merupakan target bagi tentara lawan yang tidak mengetahui apa artinya.
46
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 4.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
Buku tersebut menggemparkan seluruh Eropa sehingga pada tanggal 17 Pebruari 1863 beberapa warga terkemuka Swiss berkumpul di Jenewa untuk
bergabung dengan Henry Dunant guna mewujudkan gagasan-gagasannya, sehingga kemudian terbentuklah “Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang
terluka” “International Committee for Aid to Wounded Soldiers”. Tahun 1875 Komite menggunakan nama “Komite Internasional Palang Merah” “International
Committee of the Red Cross” ICRC, hingga saat ini.
47
Kemudian, muncul pemikiran untuk mengadopsi lambang yang menawarkan status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin perlindungan
mereka yang membantu korban perang. Kepentingan tersebut menuntut dipilihnya hanya satu lambang. Delegasi dari konferensi 1863 akhirnya memilih lambang Palang
Merah diatas dasar putih, warna kebalikan dari bendera nasional Swiss palang putih diatas dasar merah sebagai bentuk penghormatan terhadap negara Swiss. Selanjutnya
dalam Konferensi Internasional di Jenewa 1863 sepakat untuk mengadopsi lambang Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan untuk
tentara yang terluka yang nantinya menjadi Perhimpunan Nasional Palang Merah. Pada tahun 1864, lambang Palang Merah diatas dasar pitih secara resmi diakui
sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.
48
Berdasarkan gagasan Henry Dunant untuk membentuk organisasi relawan, maka didirikanlah sebuah organisasi relawan di setiap negara yang memiliki mandat
47
Hans Haug, Humanity for All. The International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.
48
Palang Merah Indonesia, Pelatihan Dasar KSR Kumpulan Materi, 2008, hal. 7.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
untuk membantu Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata pada waktu peperangan. Organisasi tersebut pada waktu sekarang disebut dengan “Perhimpunan Palang Merah
atau Bulan Sabit Merah Nasional” “National Societies” yang di masing-masing negara dikenal dengan nama Palang Merah Nasional atau Bulan Sabit Merah
Nasional, misalnya untuk Indonesia dikenal dengan nama “Palang Merah Indonesia”; di Malaysia disebut dengan “Bulan Sabit Merah Malaysia”.
Sedangkan, untuk menindaklanjuti gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional, maka pada tahun 1864 diadakan suatu Konferensi
Internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang dikenal dengan nama “Konvensi Jenewa untuk perbaikan dan kondisi prajurit yang cedera di medan
perang” “Geneva Convention for the amelioration of the condition of the wounded in armies in the field”. Karena banyaknya negara yang membentuk Perhimpunan
Nasional, maka pada tahun 1919 dibentuk “Liga Perhimpunan Palang Merah” “League
of Red
Cross Societies”,
yang bertugas
mengkoordinir seluruh
perhimpunan nasional dari semua negara. Pada tahun 1876 muncul lambang Bulan Sabit Merah yang digunakan oleh
Turki dahulu Ottoman Empire serta lambang Singa dan Matahari Merah yang digunakan oleh tentara Persia saat ini Republik Islam Iran. Negara-negara lain
kemudian juga menggunakan lambang sendiri, seperti Siam saat ini Thailand yang menggunakan lambang Nyala Api Merah red flame; Israel menggunakan lambang
Bintang David Merah red shield of david; atau Afganistan yang menggunakan Red Arrchway Mehrab-e-Ahmar; demikian pula tahun 1877 Jepang menggunakan strip
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
merah di bawah matahari merah di atas dasar putih red strip beneath a red sun on a white ground, lambang Swastika oleh Sri Lanka, atau Palem Merah red palm oleh
Siria. Turki dan Persia, mengajukan reservasi pada Konvensi untuk tetap mengunakan bulan sabit merah dan singa dan matahari merah; sedangkan Siam dan
Sri Lanka
tidak menggunakan
klausula reservasi
dan memutuskan
untuk menggunakan lambang palang merah.
49
Didukung oleh Mesir dalam Konferensi Diplomatik, akhirnya lambang Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah
kemudian secara resmi diadopsi dalam Konvensi Jenewa tahun 1929. Akan tetapi pada tanggal 4 September 1980, Republik Islam Iran memutuskan tidak lagi
menggunakan lambang Singa dan Matahari Merah dan memilih lambang Bulan Sabit Merah “red crescent”. Sejak itu, disepakati bahwa tidak diperbolehkan lagi untuk
menggunakan lambang lainnya, kecuali sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Konvensi Jenewa.
50
Akhirnya, semakin banyak negara yang membentuk Perhimpunan Nasional dan tergabung ke dalam Liga Palang Merah termasuk di Indonesia dibentuk Palang
Merah Indonesia berdasarkan Keppres No. 25 tahun 1950 jo. Keppres No. 264 tahun 1963.
51
Pada tahun 1991 Liga Palang Merah tersebut kemudian mengganti namanya
49
Jean-Francois Queiguiner, “Commentary to the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the adoption of an additional distinctive emblem
Protocol III, International Review of the Red Cross, Vol. 89 No. 865, March 2007, hal. 2-3.
50
Francois Bugnion, Red Cross, Red Crescent and Red Crystal, ICRC, Geneva, May 2007, hal. 10-16.
51
Saat ini terdapat 151Perhimpunan Nasional yang menggunakan lambang palang merah dan 32
negara yang
menggunakan lambang
bulan sabit
merah; lihat
pada http:
icrc.orgWebEngsiteeng0.nsfhtmlemblem-history
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
menjadi Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies IFRC.
Adapun, gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional telah tercapai dengan dihasilkannya Konvensi Jenewa tahun 1864 tersebut, yang telah
mengalami dua kali penyempurnaan di tahun 1906 dan 1929, dan akhirnya kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa 1949 mengenai
perlindungan kepada korban perang, sebelum akhirnya kembali disempurnakan dengan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 yang mengatur perlindungan para
korban perang; di mana aturan mengenai penggunaan lambang juga terdapat di dalam masing-masing perjanjian internasional tersebut.
Pada bulan
Desember 2005,
diadakan Konferensi
Diplomatik yang
menghasilkan suatu perjanjian internasional, yaitu Protokol Tambahan III tahun 2005 pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 yang mengatur tentang penggunaan
lambang baru di samping lambang palang merah dan bulan sabit merah, karena kedua lambang terakhir ini dianggap berkonotasi dengan suatu agama tertentu. Lambang
yang baru tersebut dikenal dengan lambang Kristal Merah “red crystal”.
52
Kristal merupakan sebagai lambang dari kemurnian purity yang seringkali dihubungkan
dengan air, yakni suatu unsur yang esensial bagi kehidupan manusia.
53
52
Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Adoption of an Additional Distinctive Emblem Protocol III
,
http:icrc.orgWebEngsiteeng0 nsfhtmltreaties-third20protocol-emblem-081205
, diunduh pada tanggal 14 Desember 2012.
53
Michael Meyer, “The proposed new neutral protective emblem : a long-standing problem”, dalam International Conflict and Security Law : Essays in Memory of Hilaire McCoubrey, Cambridge
University Press, Cambridge, 2005, edited by Richard Burchill, Nigel D. White, and Justin Morris hal. 98.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
Lambang Palang Merah bukanlah sebuah simbol religius melainkan hanya sekedar kebalikan dari warna bendera Swiss. Kekeliruan pengertian disebabkan
karena sebutan “palang” dan “salib” dalam bahasa Inggris memiliki penyebutan yang sama cross.
54
Dengan demikian, di samping lambang palang merah, terdapat pula lambang bulan sabit merah dan kristal merah yang telah diakui dan disahkan di dalam
perjanjian internasional. Ketiga lambang tersebut memiliki status internasional yang setara dan sederajat, sehingga ketentuan pokok tentang tata-cara dan penggunaan
lambang palang merah berlaku pula untuk lambang bulan sabit merah dan kristal merah sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 ayat1 Protokol Tambahan III tahun
2005 yang berbunyi “this Protocol recognizes an additional emblem in addition to, and for the same purposes as, the distinctive emblem of the Geneva Conventions. The
distinctive emblems shall enjoy the equal status”
55
, serta dipergunakan oleh organisasi yang berhak menggunakannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional International Red Cross and Red Crescent Movement.
B. Fungsi Lambang Palang Merah
Lambang palang merah memiliki dasar hukum di tingkat internasional, antara lain, seperti dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-protokol
54
Haris Munandar, Mengenal Palang Merah Indonesia PMI dan Badan Sar Nasional Basarnas, PT. Gelora Aksara Pratama, 2008, hal. 22.
55
Pasal 2 ayat 1 Protokol Tambahan III Tahun 2005.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
Tambahannya tahun 1977 serta Regulation on the Use of the Red Cross or Red Crescent by the National Societies tahun 1991 selanjutnya disebut Regulation.
Lambang palang merah dipergunakan sesuai dengan aturan di dalam Pasal 44 Konvensi Jenewa 1949 yang meliputi dua jenis penggunaan, yaitu dipergunakan
sebagai ‘tanda pelindung’ “protective use” dan ‘tanda pengenal’ “indicative use”.
56
Sedangkan Regulation on the Use of the Red Cross or Red Crescent by the National Societies Tahun 1991 mengatur secara lebih detail tentang tata-cara ke dua
jenis penggunaan tersebut.
1. Penggunaan Lambang Sebagai Tanda Pelindung “P