Kesimpulan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang disesuaikan dengan perumusan masalah dalam penelitian ini, maka kesimpulannya adalah sebagai berikut: 1. Dalam pengaturan tindak pidana menurut UUPPLH 2009, diatur hal-hal yang secara khusus lex spesialis dan tidak diatur di dalam KUH Pidana secara umum, pengaturan lex spesialis tersebut dimaksudkan karena masalah lingkungan hidup menyangkut kepentingan umum sehingga diatur hal-hal yang dikecualikan. Selain itu, masalah tindak pidana dalam lingkungan hidup saat ini merupakan kejahatan luar biasa, sehingga penangannya pun harus dilakukan luar biasa pula, yakni dengan mencantumkan hal-hal yang tidak diatur di dalam KUH Pidana. 2. Pengaturan kesalahan di dalam UUPPLH 2009 adalah ditiadakannya unsur kesalahan sebagaimana dianut dalam KUH Pidana. Unsur kesengajaan dan unsur kelalaian yang diakibatkan dalam Pasal 98 ayat 1, Pasal 99 ayat 1, Pasal 100 ayat 1, Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 tidak dianut dalam UUPPLH 2009. 3. Pertanggungjawaban yang dianut di dalam UUPPLH 2009 adalah pertanggungjawaban mutlak sebagaimana dalam Pasal 88 UUPPLH 2009, Universitas Sumatera Utara dimana setiap orang, atau korporasi badan usaha dan bukan badan usaha bertanggung jawab absolut mutlak atas segala kerugian-kerugian yang timbul dari tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban mutlak ini disebut dengan strict liability yaitu suatu pertanggungjawaban yang tidak didasarkan kepada kesalahan pelaku. Akan tetapi berdasarkan fakta-fakta yang ada, setelah diadakan tim ahli di bidang lingkungan, dan dinyatakan telah terjadi kerusakan terhadap lingkungan, maka berdasarkan inilah pelaku tersebut dapat dijatuhkan sanksi pidana dan perdata. Jadi, pembuktian atas kesalahan,tidak perlu dilakukan oleh pelaku.

B. Saran

Terhadap pembahasan ketiga-tiga masalah di atas, maka saran dalam penelitian ini adalah: 1. Diharapkan dalam penelitian ini khususnya kepada dewan legislatif dan Pemerintah, agar dicantumkan sanksi yang terberat dalam sistem pemidanaan di Indonesia yaitu sanksi pidana mati bagi pelaku untuk kriteria tindak pidana lingkungan yang berdampak sangat parah terhadap masyarakat luas, menimbulkan kerugian yang cukup banyak baik materil maupun immateril masyarakat misalnya kasus lumpur lapindo, seharusnya pelaku dijatuhkan kepada ancaman pidana mati, sebab hal ini merupakan kelsahan telak bagi PT. Lapindo Brantas Tbk sebagai korporasi. Dapat diamati akibatnya hingga di tahun 2010 lumpur tersebut tetap aktif dan memakan banyak korban. Universitas Sumatera Utara 2. Diharapkan kepada Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait agar tetap mensosialisasikan UUPPLH 2009 ini khususnya mengenai eksistensi ”kesalahan” tidak mesti harus dipenuhi di dalam tindak pidana lingkungan hidup sebab masih banyak orang-orang dan korporasi yang belum sepenuhnya memahami hal tersebut. Buktinya masih banyak kasus-kasus pengelolaan limbah yang seakan-akan korporasi tidak mau peduli dengan pengolahan limbah tersebut. 3. Diharapkan dalam penerapan tanggung jawab mutlak terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, tidak membeda-bedakan siapa pelakunya, baik terhadap masyarakat, maupun terhadap pemerintah sebagi subyeknya harus diadakan persamaan di hadapan hukum tanpa dibedakan latar belakangnya. Universitas Sumatera Utara

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009

A. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sebagai Lex Specialis Dalam literatur ilmu hukum pidana, ada berbagai istilah bagi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang lingkungan hidup. Diantaranya tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana di bidang lingkungan hidup, kejahatan di bidang lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena dalam Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPPLH 2009, tidak terdapat rumusan yang mutlak tentang tindak pidana lingkungan hidup tersebut. 23 Aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate lex generali dilihat menurut teori sistem hukum dari Hart, termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur pembatasan penggunaan kewenangan aparatur Terhadap persoalan ini, menjadi relevan dimunculkan pertanyaan kapan suatu pelanggaran dalam UUPPLH 2009 dapat dijerat dengan ketentuan undang-undang? Dan dalam hal-hal apa saja tindak pidana lingkungan hidup dapat dijerat dengan ketentuan UUPPLH 2009 23 http:raspati.blogspot.com200803tinjauan-yuridis-penerapan-asas-lex.html, diakses tanggal 1 November 2010. Universitas Sumatera Utara negara dalam mengadakan suatu represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut. 24 Akibat dari persoalan di atas, seperti yang dikatakan oleh Hart dan Peters, yang dikutip oleh Davit Downes, “The paradigm now constituted a problem rather than a solution: not waiving but drowning. The public prosecutorial executive had re-organized and re-orianted the criminal justice process from a case to a policy basis. The executive has become the prime mover in the criminal justice sphere”. Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan-kejanggalan, atau bahkan menyiratkan ketidakadilan karena menggunakan unsur paksaan. Jika demikian maka putusan yang dihasilkan Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas lex specialis derogat lex generali merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi application policy. Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum formulation policy, tetapi berkenaan dengan atauran main game rules dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”. Sementara, yang “ini” atau “itu” tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus. 24 M. Arief Amrullah., Op. cit., hal. 20. Universitas Sumatera Utara malah mengaburkan substansi norma-norma yang seharusnya dilindungi dari undang-undang tersebut. 25 Khsusnya undang-undang lingkungan hidup. 26 Secara umum, baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengartikan suatu bentuk tindakan tertentu actus reus atau guilty act, serta membuktikan unsur mens rea criminal act. Oleh karena itu, kejahatan korporasi memiliki karakteristik yang lebih khusus dari pada kejahatan perorangan, karena kejahatan korporasi lebih bersifat abstrak untuk menyangka dan menuntut subjek hukum yang melakukan kejahatan korporasi tersebut. 27 Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUH Pidana Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami naturlijkee person. Selain itu, Bukan saja tindak pidana dalam UUPPLH 2009 namun seluruh tindak pidana crime dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian harm, yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. 25 Roeslan Saleh., Op. cit., hal. 80. 26 Khudzaifah Dimayti., “Pola Pemikiran Hukum Responsif”, Jurnal Ilmu Hukum, Voli. 10, No. 1, Maret 2007. 27 Korporasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenal sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan seperti layaknya manusia alamiah, yang mempertanggungjawabkan itu adalah orang-orang sebagai pengurus korporasi itu sendiri. Unsur-unsur kejahatan korporasi adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana korporasi dilakukan oleh pengurus dan atau pegawai yang melaksanakan pekerjaannya atas nama korporasi. 2. Pertanggung jawaban dibebankan kepada korporasi dan pengurus korporasi secara langsung atau pun tidak langsung. 3. Motif tindak kejahatan korporasi untuk mencapai kebutuhan, keuntungan dan tujuan korporasi. 4. Tindak kejahatan korporasi terkait ke dalam bidang hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. 5. Beban pembuktian dan sangsi memiliki karakteristik khusus. Universitas Sumatera Utara KUH Pidana juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. 28 Secara yuridis terhadap Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009, yang disebutkan bahwa “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang Jadi, dasar pemikiran yang digunakan oleh KUH Pidana itu adalah bahwa kejahatan tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi, karena walaupun tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang persorangan atau legal persoon. Perlu diketahui bahwa, pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya seperti dalam hukum lingkungan hidup, yang akan lahir sebagai satu kesatuan yang diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Oleh karena itu, dalam KUH Pidana, pembuat undang-undang dapat merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi apabila mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehubungan dengan itu, mengingat Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia belum mengatur secara tersurat mengenai tindak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, maka tindak pidana korporasi dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia, dapat menggunakan undang-undang yang lebih khusus, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPPLH 2009. 28 Ibid., hal. 70. Universitas Sumatera Utara berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Maka, subjek tindak pidana yang dimaksud dalam hal ini adalah korporasi. Perlu diketahui, bahwa seseorang atau badan hukum atau suatu korporasi yang melakukan kejahatan dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas. 29 Mengenai hal tersebut di atas, UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis, bukan merupakan suatu penyimpangan asas akan tetapi merupakan penyempurnaan terhadap asas umum, sebab kejahatan di bidang lingkungan hidup tersebut saat ini dikategotikan sebagai kejahatan yang luar biasa extra oridnary crime sehingga Selain dari pada korporasi yang diatur sebagai subjek hukum dalam hukum lingkungan, juga diatur hal-hal yang berkenaan dengan pertanggungjawaban mutlak, dimana bahwa pertanggungjawaban mutlak ini tidak diatur di dalam KUH Pidana sebagai lex generalis. Karena hukum pidana masih menggunakan pertanggungjawaban dengan kesalahan, sementara pertanggungjawaban mutlak ini menggunakan asas pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Jadi, kesalahan di dalam hukum lingkungan tidak mesti harus dibuktikan ada atau tidaknya kesalahan si pembuat. 29 T. Suhaimi., Pertanggungjawaban Pidana Direksi, Bandung: BooksTerrace Library, 2010, hal. 32. Universitas Sumatera Utara penanganannya harus dilakukan luar biasa termasuk dalam hal pengaturannya ada hal-hal yang dikecualikan dari asas-asas yang berlaku umum.

B. Perbandingan Pengaturan Antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)

1 45 140

Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Di Kota Binjai

1 36 154

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI INDONESIA BERDASAR UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

0 3 12

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PASAL 118 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

0 4 16

PENDAHULUAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PASAL 118 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

0 6 24

PENUTUP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PASAL 118 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

0 4 4

Undang Undang No 32 TAHUN 2009 tentang PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

0 0 110

Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 0 41

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP (UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP) - repo unpas

0 0 12

UNSUR-UNSUR DAN SANKSI TINDAK PIDANA PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

0 0 57