Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Prinsip Pertanggungjawaban

sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, atau dengan kata lain, korporasi dapat dipidana.

B. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Prinsip Pertanggungjawaban

Mutlak Salah satu pemecahan praktis terhadap masalah pembebanan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja di lingkungan suatu organisasi atau perusahaan atau suatu korporasi, maka kepada korporasi dimana tempat seseorang itu bekerja dibebankan pertanggungjawaban doktrin atau asas atau prinsip strict liability. Menurut doktrin strict liability pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup dengan tidak perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan kesengajaan atau kelalaian pada pelakunya. Oleh karena menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tidak dipermasalahkan, maka strict liability disebut juga pertanggungjawaban mutlak absolute liability. Jadi, istilah dalam bahasa Indonesia digunakan pertanggungjawaban mutlak. 74 Peranggungjawaban strict liability ini berbeda dengan asas hukum pidana yang dikenal selama ini yaitu actus non facit reum, nisi mens sit rea, atau geen straf zonder schuld yang memiliki arti tiada pidana tanpa kesalahan yang dikenal sebagai doktrin pidana dengan kesalahan mens rea. Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggunjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya 74 Ibid., hal. 78. Universitas Sumatera Utara sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Pertanggungjawaban mutlak strict liability di Belanda dikenal dengan nama leer van het materielle feit atau feit materielle. Pada mulanya ajaran ini hanya diberlakukan pada pelanggaran saja. Tetapi sejak peristiwa arrest susu tahun 1916 oleh Mahakamah Agung Negeri Belanda, penerapannya ditiadakan dengan kata lain tidak dibenarkan untuk dianut lagi. 75 Dalam penjelasan Pasal 35 ayat 2 RUU KUH Pidana tersebut digariskan ketentuan bahwa, ketentuan dalam ayat ini juga merupakan suatu perkecualian seperti hal ayat 2. Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang- Sejalan dengan pendirian Muladi dan Priyatno, ajaran pertanggungjawaban mutlak yang tidak mempersoalkan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada pelakunya seyogiayanya dianut dan diberlakukan di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam konsep Rancangan Undang-Undang RUU KUH Pidana 2004 telah diterima asas pertanggungjawaban mutlak ini. Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 35 ayat 2 RUU KUH Pidana, ditentukan bahwa “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalaha”. 75 Molejatno., Op. cit., hal. 104. Universitas Sumatera Utara undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidananyatelah dapat dipidana bahwa karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melaksanakan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas strict liability. Dengan demikian, RUU KUH Pidana berpendirian bahwa apabila terhadap suatu tindak pidanapelakunya akan dipertanggungjawabkan tanpa keharusan melakukan pembuktian terhadap adanya kesalahan mens rea pada pihak pelaku ketika pelaku actus reus, baik perilaku yang berupa “melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang” commission maupun “tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan undang-undang” ommission, dilakukan oleh pelakunya, haruslah hal itu dengan tegas ditentukan dalam udang-undang itu sendiri. Apabila tidak ditentukan secara tegas di dalam udang-undang itu bahwa “seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”. Perlu diingat bahwa “kesalahan” bukan merupakan unsur tindak pidana tetapi merupakan unsur pertanggungjawaban pidana. 76 76 Sutan Remy Sjahdeini., Op. cit., hal. 82. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa strick liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan liability without fault, artinya si pembuat sudah dapat dipidana jika si pembuat itu telah melakukan perbuatan tertentu yang telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat sikap batinnya. Universitas Sumatera Utara Untuk lebih didalami mengenai pertanggungjawaban mutlak ini, berikut dipetik beberapa pendapat para pakar yang memberikan batasan strict liability tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Marise Cremona, bahwa strict liability adalah suatu ungkapan yang menunjukkan kepada suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan kesalahan terhadap satu atau lebih unsur dari actus reus. 77 Sementara, Smith dan Brian Hogan, mendifinisikan bahwa strict liability adalah kejahatan yang tidak mensyaratkan kesengajaan, kesombongan atau bahkan kealpaan sebagai satu atau lebih unsur dari actus reus. 78 Ditegaskan bahwa dalam perbuatan pidana yang bersifat strick liability, hanya dibutuhkan dugaan foresight atau pengetahuan knowledge dari para pelaku terdakwa, sehingga hal itu sudah dianggap cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea sehingga: Berdasarkan definisi strict liability di atas, dapat disimpulkan bahwa strict liability tetap dipertahankan dengan pengertian mencakup pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dimana pembuat sudah dapat dipidana apabila pembuat itu telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana di rumuskan dalam undang- undang, tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. 79 1. Dengan demikian disebut no mens rea, tidak perlu ada unsur sengaja intention dan kelalaian negligent; 77 Marise Cremona., Criminal Law, diterjemahkan oleh Setityono, London: Macmillan Press Ltd, 1989, hal. 123. 78 J. C. Smith., Brian Hogan., Criminal Law, Fourth Edition, diterjemahkan oleh Barda Nawawi Arief, London: Butterworths, 1978, hal. 79. 79 Sutan Remy Sjahdeini., Op. cit., hal. 87. Universitas Sumatera Utara 2. Unsur pokok dalam strick liability crime adalah perbuatan actus reus; dan 3. Dengan demikian yang harus dibuktikan hanya actus reus, bukan mens rea. Asas strick liability ini pada awalnya berkembang dalam praktek peradilan di Inggris. Sebagian hakim berpendapat asas mens rea tidak dapat dipertahankan lagi asas mens rea untuk setiap kasus pidana. Adalah tidak mungkin apabila kita tetap berpegang teguh pada asas mens rea untuk setiap kasus pidana dalam ketentuan undang-undang moderen sekarang ini. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk menerapkan strick liability terhadap kasus-kasus tertentu. Asas strick liability dalam hukum pidana pertanggungjawaban pidananya menjadi lenyap, jika ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Melahirkan pula aneka tingkatan keadaan-keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk pengenaan pidananya cukup dengan strick liability. Adanya kejahatan yang dalam terjadinya itu keadaan mental terdakwa adalah tidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan pidana. Sungguh pun demikian, seseorang dipandang tetap bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan yang dilarang tersebut, walaupun seseorang pelaku sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan yang ternyata adalah kejahatan. Biasanya ini adalah untuk kejahatan-kejahatan kecil atau pelanggaran. Pelaku dapat dipertanggungjawabkan hanya karena dipenuhinya unsur-unsur delik Universitas Sumatera Utara oleh perbuatannya, tanpa memeriksa keadaan mentalnya sebagai keadaan yang dapat meniadakan pengenaan pidana. Sering dipersoalkan, apakah strick liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal itu ada dua pendapat. Pendapat itu dikemukakan oleh Smith dan Brian Hogan, yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief. Ada dua alasan yang dikemukakan yaitu: 80 1. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara strick liability apabila tidak ada mens rea yang perlu dibuktikan sebagai satu-satunya unsur untuk actus reus yang bersangkutan. Unsur utama atau unsur satu- satunya itu biasanya merupakan salah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti bahwa mens rea itu tidak disyaratkan sebagai unsur pokok yang tetap ada untuk tindak pidana itu. Misalnya, A dituduh melakukan tindak pidana “menjual daging yang tidak layak untuk dimakan karena membahayakan kesehatan atau jiwa orang lain”. Tindak pidana ini menurut hukum Inggris termasuk tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara strick liability. Dalam hal itu tidak perlu dibuktikan bahwa A mengetahui daging itu tidak layak untuk dikonsumsi, tetapi tetap harus dibuktikan, bahwa sekurang-kurangnya A memang menghendaki sengaja untuk menjual daging itu. Jadi, jelas dalam hal itu strick liability tidak bersifat absolut. 2. Dalam kasus-kasus strick liability memang tidak dapat diajukan alasan pembelaan untuk “kenyataan khusus” particular fact yang dinyatakan 80 Smith dan Brian Hogan., dalam Barda Nawawi Arief., Op. cit, hal. 32-33 Universitas Sumatera Utara terlarang menurut undang-undang. Misalnya, dengan mengajukan “reasonable mistake”. Kita tetap dapat mengajukan alasan pembelaan untuk keadaan-keadaan lainnya. Contoh lain, misalnya dalam kasus “mengendarai kendaraan yang membahayakan” melampaui batas maksimum, dapat diajukan alasan pembelaan bahwa dalam mengendarai kendaraan itu ia berada dalam keadaan automatism. Misal lain, A mabuk- mabukan dirumahnya sendiri. Akan tetapi dalam keadaan tidak sadar pingsan, A diangkat oleh kawan-kawannya dan diletakkan di jalan raya. Dalam hal itu memang ada strick liability, yaitu berada di jalan raya dalam keadaan mabuk, tetapi A dapat mengajukan pembelaan berdasarkan adanya compulsion. Jadi, dalam hal itu pun strick liability bukanlah absolute liability. Pendapat itu juga dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, pendapat pertama mengatakan strick liability merupakan absolute liability. Alasannya adalah bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang actus reus sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan mens rea atau tidak. Jadi, seseorang yang sudah melakukan perbuatan pidana menurut rumusan undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana. Pendapat kedua menyatakan strick liability bukan absolute liability. Alasannya bahwa orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana. 81 81 Sutan Remy Sjahdeini., Op. cit., hal. 89-90. Universitas Sumatera Utara

C. Pertanggungjawaban Mutlak Dalam Tindak Pidana Lingkungan

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)

1 45 140

Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Di Kota Binjai

1 36 154

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI INDONESIA BERDASAR UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

0 3 12

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PASAL 118 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

0 4 16

PENDAHULUAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PASAL 118 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

0 6 24

PENUTUP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PASAL 118 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

0 4 4

Undang Undang No 32 TAHUN 2009 tentang PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

0 0 110

Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 0 41

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP (UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP) - repo unpas

0 0 12

UNSUR-UNSUR DAN SANKSI TINDAK PIDANA PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

0 0 57