BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN
HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Sebagaimana telah diuraikan bahwa korporasi dapat memiliki harta kekayaan sebagaimana halnya manusia. Persoalan yang timbul adalah, apakah
korporasi dapat juga dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Sekarang ini, korporasi atau badan-badan usaha dalam dunia bisnis dapat diminta
pertanggungjawaban pidananya secara luas atas tindakan kriminal yang dilakukan oleh agen-agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi tersebut.
Pandangan yang semula bahwa korporasi tidak dapat dinyatakan bersalah atas suatu kejahatan, korporasi tidak mempunyai pikiran akal sehingga dianggap
tidak mampu mempunyai niat jahat sebagai syarat dari semua kejahatan, korporasi tidak mempunyai badan fisik sehingga tidak bisa dipenjarakan. Pandangan-
pandangan tersebut telah berubah seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan korporasi di dunia bisnis modern, telah diakui secara universal bahwa suatu
korporasi dapat diminta pertanggungjawaban pidana untuk perbuatan wakil- wakilnya, baik perbuatan aktif, maupun pasif yang bertindak atas namanya.
Mengenai kedudukannya sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana suatu korporasi, maka ada tiga 3 sistem pertanggungjawaban pidananya,
yaitu: 1.
Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab. Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan, sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam suatu lingkungan korporasi maka
tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Pada sistem ini, pengurus-pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang
sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggung jawab. Sebagaimana Pasal 59 KUH Pidana memuat alasan penghapusan
pidana yaitu pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran. Kesulitan yang timbul dalam Pasal
59 KUH Pidana ini adalah berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana yang menimbulkan kewajiban bagi seorang pemilik atau
pengusaha dari korporasi.
67
2. Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab. Sistim
pertanggungjawaban korporasi yang kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat
dilakukan oleh perserikatan atau badan hukum korporasi, akan tetapi tanggungjawab itu menjadi beban dari pengurus badan hukum korporasi
tersebut. Secara pelahan-lahan tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan atau dengan larangan
melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Dalam situasi pertanggungjawaban ini korporasi dapat menjadi pembuat tindak pidana, akan
67
Setiyono., Op. cit., hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
tetapi yang bertanggungjawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.
68
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Sistem
pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan pertanggungjawaban permulaan adanya tanggungjawab yang langsung dari korporasi. Dalam sistem
ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang dapat dipakai
sebagai dasar pembenar atau alasan-alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut;
69
a. Dalam tindak pidana ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh
korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat sedemikian besarnya sehingga tidak mungkin akan seimbang bilamana pidana hanya
dijatuhkan pada pengurus saja;
b. Dengan hanya memidana pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan
bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi, dengan memidana, korporasi dapat mentaati peraturan yang bersangkutan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hanafi, yang menyatakan bahwa terdapat dua cara untuk dapat memidana korporasi, yaitu:
70
a. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas strict liability atas
kejahatan yang dilakukan pegawainya; b.
Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi. Berdasarkan asas identifikasi ini pengadilan mengakui bahwa tindakan
anggota tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan urusan korporasi, maka dianggap sebagai tindakan dari korporasi itu
sendiri.
68
Ibid.
69
Muladi., “Kebijakan Pidana dalam Upaya Menanggulangi PencemaranPerusakan Lingkungan Hidup”, Makalah pada Seminar Nasional Pengenalan Lingkungan Hidup dan
Kebijakan Penyidik secara Integratif Hotel Emeral Garden Medan, tanggal 7-8 Januari 1997, hal. 67-68.
70
Hanafi., Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana dan Relevensinya Bagi Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: FH UI, 1997, hal. 154.
Universitas Sumatera Utara
Teori identifikasi ini merupakan salah satu teori yang menjustifikasi salah satu pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Teori ini menyebutkan
bahwa tindakan dan kehendak dari korporasi itu senidiri. Jadi, korporasi juga dapat diminta pertanggungjawaban pidananya berdasarkan konsep strict liability
dan vicarious liability.
71
Korporasi juga dapat diminta pertanggungjawaban pidananya berdasarkan konsep vicarious liability.
Uraian di atas menggambarkan bahwa dasar pemikiran untuk diadakannya undang-undang mengenai strict liability adalah bahwa kepentingan publik begitu
besar untuk menjamin suatu standar perlindungan yang mutlak sehingga terdakwa tidak mempunyai alasan pemaaf untuk tidak mematuhi hukum. Oleh karena
banyaknya kasus yang muncul di bawah pengaturan undang-undang, maka diperlukan pemeriksaan peradilan yang cepat dan sederhana tanpa dihalangi oleh
pemeriksaan dari niat subjektif setiap terdakwa.
72
71
Harkrisnowo Harkristuti., “Beberapa Masalah Mendasar Dalam Hukum Lingkungan”, Makalah pada seminar nasional perlindungan lingkungan hidup dalam perspektif yuridis
kriminologi, Yayasan Masumoto Jepang, Jakarta, tanggal 16 Oktober 1996, hal. 11.
72
Ibid, hal. 12.
Bahwa pertanggungjawaban ini dibatasi pada pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan oleh peraturan-
peraturan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dengan fakta sederhana, maka badan legislatif bertujuan untuk menjatuhkan
pertanggungjawaban pada suatu korporasi.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di atas, berbeda dengan pendapat Sutan Remy Sjahdeini, yang menyebutkan ada empat
kemungkinan sistem pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, yaitu:
73
1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya
penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana; 2.
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana;
3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang
harus memikul pertanggungjawaban pidana; dan 4.
Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yag harus memikul pertanggungjawaban pidana.
Dalam KUH Pidana menganut sistem pertanggungjawaban yang pertama. KUH Pidana menganut pendirian bahwa oleh karena korporasi tidak dapat
melakukan sendiri suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dan tidak dapat memiliki kalbu yang salah guilty mind, tetapi yang melakukan perbuatan
tersebut adalah pengurus korporasi yang di dalam melakukan perbuatan itu dilandasi oleh sikap kalbu tertentu baik yang berupa kealpaan atau kesengajaan,
maka pengurus dari korporasi itulah yang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukannya sekalipun perbuatan itu dilakukan untuk dan
atas nama korporasi yang dipimpinnya. Dengan kata lain KUH Pidana tidak menganut pendirian bahwa korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.
Pendirian KUH Pidana yang menganut sistem yang pertama sejalan atau konsekuensi dari pendirian KUH Pidana itu bahwa manusia yang merupakan
subjek tindak pidana. Tidak demikian halnya dengan berbagai undang-undang pidana di luar KUH Pidana. Menurut berbagai undang-undang pidana di luar
KUH Pidana, selain manusia, korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana,
73
Sutan Remy Sjahdeini., Op. cit., hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, atau dengan kata lain, korporasi dapat dipidana.
B. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Prinsip Pertanggungjawaban