92
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA YANG DI LAKUKAN OLEH
ANAK-ANAK DALAM PERPSEKTIF HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM.
A. Persepektif Hukum Pidana Positif
Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana adalah dua hal yang bersifat korelatif. Sebuah perbuatan pidana menuntut pertanggungjawaban pidana
sebagai konsekuensi atas perbuatan yang di lakukan. maka, benar yang di katakana oleh fathi Bahassi, responsibility ulitaritalty means the assumption of the
consequences for one’s act.
123
1. Barangsiapa mengerakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya
atau karena sakit akal tidak boleh di hukum. pada akhirnya pertanggungjawaban berarti
penerimaan akibat atas tindakan yang di lakukan seseorang Dalam ketentuan hukum pidana positif di Indonesia, prinsip umum
mengenal bahwa perbuatan pidana yang di lakukan oleh siapapun mutlak di pertanggungjawabkan, sebab perbuatan pidana dengan nyata telah merugikan
pihak lain, maka konsekuensinya menuntut pembalasan berupa sanksi hukuman dan sebagainya. prinsip-prinsip khusus juga di kenal dalam hukum pidana postif
Indonesia yakni, berupa pengeculaian, pengurangan dan penambahan hukuman. Ketentuan Bab III Pasal 44 menyatakan sebagai berikut :
123
Bahnassi, Ahmad Fathi, “Criminal Responsibilty in Islamic Law”, dalam M.Cherif Bassiouni ed… The Islamic Criminal Justice System New York : Oceana Publication, 1982,
hlm.176
93
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungkan kepadanya
karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila
selama-lamnya satu tahun di periksa 3.
Yang di tentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dang Pengadilan Negeri
Pasal 4 di atas menjelaskan tentang seseorang yang tidak dapat di hukum di karenakan perbutanya tidak dapat di Pertanggungjawabkan kepadanya karena :
124
1 Kurang sempurna akalnya. Yang di maksud dengan perkataan akal di
sini belandanya mengatkan “verstadelijk vermogens” Teks KUHP negeri Belanda memakai kata “geest vermogens” yang berarti kekuatan
atau daya jiwa. Siapakah yang di anggap sebgai kurang sempurna akalnya itu misalnya idiot, buta-tuli dan bisu sejak lahir. Orang-orang
semacam itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat-cacatnya mulai lahir, sehingga pikiranya tetap sebagai kanak-kanak.
2 Sakit berubah akalnya,“ziekelijke storing der verstandelijke
vermogens” yang masuk dalam kategori ini adalah, sakit gila, histeri, epilepsy dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
Penting juga di tegaskan bahwa mereka yang terganggu pikiranya karena mabuk minuman keras pada umumnya tidak di pandang masuk kategori di atas,
124
Soesilo, R.., Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP serta komentar- komentarnya lengkap demi pasal Bogor: Politeia, 1991, hlm .60-1
94
kecuali dapat di buktikan, bahwa mabuknya itu sedemikian rupa sehingga ingatanya hilang sama sekali.
Mengenai pertanggungjawaban perbuatan pidana atas tindak pidana yang di lakukan oleh kanak-kanak, semula di tegaskan dalam pasal 45 KUHP yang
menyatakan sebagai berikut : Jika seseorang yang belum dewasa di tuntut karena perbutan yang di
kerjakanya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan, supaya si tersalah di kembalikan kepada orang tuanya ; walinya atau
pemeliharanya, dengan tidak di kenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian dalam pasal 489, 490, 496, 503-505, 519, 526, 531, 532, 536
dan 540 dan perbuatan itu di lakuknya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelangaran ini atau sesuatu
kejahatan ; atau menghukum anak yang bersalah itu.
125
Kelahiran UU ini di rasakan penting sebab untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, di perlukan dukungan,
baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap Dalam konteks ini kelihatan bahwa yang di maksud dengan batas usia
kanak-kanak adalah belum mencapai 16 enam belas tahun. Diakui bahwa Indonesia belum memiliki sebuah peraturan perundang-undangan seputar
pengadilan anak sampai dengan keluarnya UU No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak.
125
Ibid
95
dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan anak perlu di lakukan secara khusus.
Bab I ketentuan umum pasal 1 UU No.3 Tahun 1997 menegaskan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawain. Selanjutnya yang di maksud dengan anak nakal a anak yang
melakukan tindak pidana ; b anak yang melakukan perbuatan yang di nyatakan terlarang bagi anak, menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan ini, maka anak yang melakukan perbuatan pidana di kategorikan sebagai anak nakal. Penamaan ini berbeda dengan kelaziman bagi
siap saja baca : orang dewasa yang melakukan perbuatan pidana. Pembedaan sekaligus pengkhususan ini menujukkan bahwa teradapat karakteristik pelaku
pidana dalam kategori pelakunya kanak-kanak.
126
Pembedaan perlakuan dan ancaman yang di atur dalam UU No.3 Tahun 1997 di maksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar
dapat meyonsong untuk lebih melindungi yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut di maksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak
melalui pembinaan akan di peroleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
126
Logis kiranya ketentuan yang termuat dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak, selain bersifat khusus, juga menetapkan ketentuan yang relative baru dari apa
yang telah di tegaskan dalam pasal 45 KUHAP. Maka , berdasarkan Bab VIII ketentuan Penutup pasal 67 dinyatakan, “ pada saat berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46 , dan
Pasal 47 kitab Undang-undang Hukum Pidana di nyatakan tidak berlaku lagi.”
96
mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri, masyarkat, bangsa, dan Negara.
127
UU No. 3 Tahun 1997 juga menyebutkan bahwa terhadap kasus-kasus Anak Nakal di sidangkan dalam sidang Anak, yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak yang kemudian di sebut dengan pengadilan anak, yakni pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di
lingkungan perdilan Umum.
128
1. Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke sidang Anak adalah
sekurang-kurangnya 8 delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin ;
Terkait dengan batas umur pertanggungjawaban pidana yang di lakukan kanak-kanak, pasal 4 UU No. 3 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur
sebagaimana anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun, tetap di
ajukan ke sidang anak. Penjelasan Pasal 4 ayat 1 menegaskan bahwa sesuai dengan asas praduga
tak bersalah, maka seorang Anak Nakal yang sedang dalam Proses peradilan tetap di anggap sebagai tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap. batas umur 8 delapan tahun bagi Anak Nakal untuk dapat di ajukan sidang Anak di dasarkan pada pertimbangan
127
Lihat ketentuan Umum UU No. 3 Tahun 1997
128
Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.3 Tahun 1997
97
sosiologis, psikologis dan pedagogis, bahwa anak yang belum mencapai umur 8 delapan tahun di anggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya.
Begitupun ketentuan pasal 5 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997 menyatakan, kalau pelaku pidana masih tergolong di bawah umur 8 delapan tahun, terhadap
anak tersebut dapat di lakukan pemeriksaan oleh penyidik, pemeriksaan ini bertujuan unuk mengetahui apakah anak melakukan tindak pidana seorang diri
atau ada unsur pengikutsertaan delnemig dengan anak yang berumur di atas 8 delapan tahun atau dengan orang dewasa.
129
Perbuatan anak nakal, menurut pasal 23 UU No. 3 Tahun 1997 dapat di pidana dengan pidana pokok pidana tambahan . pidana pokok dapat di jatuhkan
kepada anak nakal 1 pidana penjara; 2 pidana kurungan; 3pidana denda; 4 Tetapi bilamana dalam pemeriksaan penyidik ternyata ada keganjilan,
maka di tempuh cara dua cara, sebagaimana di tegaskan dalam pasal 5 ayat 2 dan ayat 3 UU No. 3 Tahun 197 sebagai berikut ; apabila menurut hasil
pemeriksaan , penyidik oleh orang tua, wali,atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali orang tua asuhnya.
Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana di maksud dalam ayat 1 tidak dapat di bina lagi oleh orang tua,
wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada departemen sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing
Kemasyarakatan.
129
Lihat lebih penjelasan Pasal 5 ayat 1 UU No.3 Tahun 1997
98
pidana pengawasan. Selain pidana pokok, anak juga dapat di jatuhkan dengan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang dan atau pembayaran ganti
rugi. Pembayaran ganti rugi sebagaimana di tegaskan pada penjelasan pasal 23
ayat 3 adalah pembayaran ganti rugi yang di jatuhkan sebagai pidana tambahan merupakan tanggungjawab dari orang tua atau dari orang lain yang menjalankan
kekuasaan orang tua. Selanjutnya Pasal 24 ayat 1 dan 2 UU No. 3 Tahun 1997 menegaskan bahwa ada beberapa tindakan yang dapat di jatuhkan kepada anak
nakal meliputi 1 mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; 2 menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja;atau 3 menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja. Penjelasan pasal menyatakan bahwa meskipun anak di kembalikan kepada
orang tua, wali atau orang tua asuh, anak tersebut tetap di bawah pengawasan dan pembimbing kemasyarakatan, antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan dan
lain-lain. Apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh tidak memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka Hakim dapat
menetapkan anak tersebut di tetapkan di Lembaga Kemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Latihan kerja dimaksudkan untuk memberikan bekal keterampilan kepada anak, misalnya dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan,
99
pertanian, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya sehingga setelah selesai menjalani tindakan dapat hidup mandiri.
Selain itu pada prinsipnya pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja di selenggarakan oleh pemerintah di Lembaga Pemasyarakatn Anak atau
Departemen Sosial, tetapi dalam hal kepentingan anak menghendaki Hakim dapat menetapkan anak yang bersangkutan di serahkan kepada organisasi sosial
kemasyarakatan, seperti pesanteren, panti sosial, dan lembaga sosial lainya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan.
Khusus bagi megenai pidana penjara bagi kasus anak nakal di tegaskan secara rinci pada pasal 26 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997 yang menyatakan,
pidana penjara yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Adapun bagi perbuatan
anak nakal yang di ancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pasal 26 ayat 2 menyatakan bahwa pidana penjara yang dapat di jatuhkan
kepada anak tersebut paling lama sepuluh tahun. Untuk anak nakal yang belum usia 12 tahun yang melakukan tindak pidana
yang di ancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pasal 26 ayat 3 menyatakan, anak tersebut hanya dapat di jatuhkan pidana dengan cara
menyerahkan kepada Negara unutk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Adapaun anak nakal yang belum mencapi usia 12 tahun yang melakukan
tindak pidana yang tidak di ancam dengan pidana mati atau tidak di ancam pidana penjara seumur hidup, maka pasal 26 ayat 4 menyatakan, anak tersebut di
100
kembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh atau di serahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan pelatihan kerja atau di serahkan
kepada Departemen Sosial, atau Organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Sebagaimana di yakini bahwa UU No.3 Thuan 1997 merupakan bentuk nyata dari upaya perlindungan anak Indonesia, sekalipun dalam konteks sebagai
pelaku pidana, maka sebenarnya kesemua itu kembali kepada kesadaran yang tinggi atas hak-hak anak. anak nakal, seperti di tegaskan dalam UU No. 3 Tahun
1997, baik dalam ancama hukuman maupun dalam proses peradilanya, di bedakan dengan kaum dewasa, pada hakikatnya mengacu kepada keterjaminan hak asasi
anak. Pasal 1 angka 12 UU No. 23 Tahun 2992 tentang Perlindungan anak
menyatakan, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib di jamin, di lindungi, dan di penuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
Negara. pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 juga mengaskan bahwa setiap anak yang mejadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan
bantuan lainya. Yang di maksud dengan bantuan lainya adalah bantuan medik, sosial, rehabilitasi, dan pendidikan.
Berdasarkan penjelasan ini dapat di pahami bahwa ketentuan perundang- undangan menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidana
yang di lakukan anak-anak mendapatkan perhatian yang serius. Melalui pembatasan umur di atas 8 tahun sampai umur 18 delapan belas tahun dan
101
belum pernah kawin merupakan standarisasi seorang anak pelaku tindak pidana memeprtanggungjwabkan perbuatanya.
Sekalipun UU memberikan “kelonggaran” bagi komunitas anak dalam upaya mempertanggungjawabkan perbuatan pidanya, namun tetap saja terdapat
pengecualian tersendiri sebagai bukti jaminan dan perlindungan terhadap kepentingan kaum anak pengeculaian di maksudkan sebagai wujud pengakuan
atas realitas kehidupan komunitas anak yang selain perlindungan tentang nasib kehidupan mereka.
Harus di pahami bahwa hak asasi anak HAN adalah juga sebagai bagian dari hak asasi manusia HAM . Pernyataan memberikan konsekuensi penting
bahwa komunitas anak wajib di lindungi upaya untuk mewujudkan hak-hak mereka merupakan sikap proporsional dalam memposisikan HAM secara luas.
Maka, perlindungan anak adalah bagian yang tak terpisahkan dengan perlindungan dan penegakan HAM.
Pasal 66 UU. No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia menyatakan dengan tegas sebagai berikut :
1. Setiap anak berhak untuk tidak di jadikan sasaran penganiyaan,
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2.
Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat di jatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak di rampas kebebasanya secara melawan
hukum.
102
4. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh di
lakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat di laksanakan sebagai upaya akhir.
5. Setiap anak yang di rampas kebebasanya berhak mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan memperhatikan kebutuhan
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus di pisahkan dari orang dewasa , kecuali demi kepentinganya.
6. Setaipa anak yang di rampas kebebasanya berhak memperoleh bantuan
hukum atau bantuan lainya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
7. Setiap anak yang di rampas kebebasannya berhak untuk membela diri
dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak sidang yang tertutup untuk umum.
Khusus mengenai saksi terhadap anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 di tentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur
8 delapan samapai 12 dua belas tahun hanya di kenakan tindakan, seperti di kembalikan kepada orang tuanya, di tempatkan pada oragnisasi sosial, atau di
serahkan kepada Negara. Anak yang telah berumur 12 dua belas tahun sampai 18 delapan belas tahun di jatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut di
dasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan pisik, mental, dan sosial anak. Bagaimanapun, mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi
perlindungan terhadap anak, maka perkara anak nakal, wajib di sidangkan pada
103
pengadilan anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Dengan demikian proses peradilan perkara anak nakal sejak di tangkap, di tahan, di adili, dan di bina
selanjutnya, wajib di lakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak.
130
Secara psikologis masalah kejahatan anak bukan saja jadi masalah hakim, orang tuam masyarkat , ataupun pemerintah , tetapi ruang lingkup
Dengan demikian dapat di pahami bahwa pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukan anak-anak tidaklah semat-,mata sebagai persoalan
yuridis, tetapai juga persoalan psikologis, sosiologis dan pedagogis. Kaum anak dalam batasan umur yang di sebutkan di atas, wajib mendapatkan perindungan
hukum, sekalipun mereka harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang di lakukan.
Dengan kata lain, pertanggungjwaban pidana kanak-kanak berada secara diameteral dengan pertanggungjawaban pidana yang di lakukan kaum dewasa.
Dari mulai proses penyidikaan, tuntutan, bahkan penghukuman, tetap mengacu kepada upaya-upaya perlindungan terhadap nasib dan masa depan kaum anak.
Syamsudin meliala menegaskan bahwa kompleksitas kejahatan yang di lakukan anak-anak harus di pahami sebagai kesatuan kontruk berpikir bahwa
komunitas anak sebagai pelaku kejahatn tidaklah muncul begitu aja. Faktor psikologi, misalnya, memberikan pengaruh yang signifikan bagi lahirnya
perbuatan pidana selengkapnya ia mengatakan sebagi berikut :
130
Tentang pengadilan anak , lebih lanjut baca prist, Darwan, Hukum Anak Indonesia Bandung : Citra Aditya, 1997
104
lebih luas lagi, yaitu menyeluruh, karena menyangkut kelanjutan masa depan Negara…hasil perbauatan dan tindakan-tindakan anak boleh di
samakan dengan perbuatan orang-orang dewasa, namun cara atau pola perbuatanya itu sendiri tetap tidak di samakan, karena apa, karena
pandangan ankan terhadap sesuatu itu berlainan dengan pnadangan orang dewasa. Tingkah laku orang dewasa adalah tingkah laku yang
sempurna, sedangkan perangai si anak apabila di selidiki merupakan suatu masalah krisis nilai saja , karena dalam pertumbuhan kemasa
remaja sedang dalam proses mencarai identitas diri.
131
B. Persepektif Hukum Pidana Islam