9
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak ada yang dapat menafikan bahwa anak adalah aset bangsa. Sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis, yakni sebagai pewaris
successor bangsa, penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus potensi sumber daya manusia bagi pembangunan nasional National Development.
1
Oleh karenanya, Anak sebagai generasi muda merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang
akan memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, dan seimbang.
2
Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Abdul Hakim Garuda
Nusantara mengatakan bahwa, masalahnya tidak semata-semata bisa didekati secara juridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan
budaya.
3
1
El Muhtaj, Majda, “Memahami Integritas Hak-hak Anak dan Impelementasinya,” dalam sulaiman Zuhdi Manik Ed., kekerasan Terhadap Anak, dalam Wacana dan Realitas
Medan: PKPA 1999, hlm. 19
2
Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 2
3
Nusantara, Abulk Hakim Garuda, “ Prospek Perlindungan Anak” dalam mulyana W.Kusumah Peny., Hukum dan Hak-hak anak Jakarta : YLBHI: Bekerjasama dengan
CV.Rajawali ,1986, hlm. 22
Sejalan dengan itu shanty Dellyana mengatakan perlindungan anak
10
merupakan satu usaha yang mengadakan kondisi di mana setiap anak dalam melaksanakan Hak dan kewajiban.
4
Memang dalam pergaulan sehari-hari, masalah batas umur antara kata dewasa dan kata anak cukup menjadi problema yang rumit. Klasifikasi umur akan
menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi hukuman serta dapat tidaknya suatu tindak pidana dipertanggungjawabkan kepadanya dalam lapangan kepidanaan.
Secara umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai inti dalam persoalan ini adalah kedewasaan, walaupun kedewasaan seseorang dengan orang lain tidak
disamakan, namun dalam peristiwa hukum klasifikasi ini akan selalu sama untuk suatu lapangan tertentu,
5
karena menyangkut titik akhir yang ingin dicapai oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam perasaan keadilan yang
sebenarnya. Sebagai motto para ahli kriminologi yang berbunyi: “ Fight crime, help delinquent, love humanity. ”
6
4
Dellyana, Shanti, Wanita dan Anak di Mata Hukum Yogyakarta : Liberty,1988, hlm. 18-19
5
E. Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 19.
6
Ibid., hlm. 42.
Dalam masa ini seorang anak banyak mengalami keragu-raguan dan menimbulkan kesulita-kesulitan yang tidak hanya terjadi pada dirinya tapi juga
pada keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Jelaslah bahwa sifat individu manusia dalam suatu masyarakat khususnya bagi seorang anak selalu merasa
tidak puas terhadap apa yang di dapatkanya, bahkan ingin kaidah-kaidah hidup dan peraturan-peraturan hukum yang ada di langgarnya.
11
Paul A. Samuelson berpendapat bahwa “kepentingan atau kebutuhan manusia pada dasarnya tidak terbatas, sedangkan alat untuk memenuhi
kepentingan atau kebutuhan itu sangat terbatas sehingga manusia cenderung untuk selalu berusaha apa yang di perlukanya itu.”
7
Pidana atau tidak pelaku bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan apakah pelaku tercela atau tidak karena telah
melakukan perbuatan pidana itu. Oleh karena itu, dapat di katakan bahwa dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, yakni asas yang menentukan
bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan di ancam dengan pidana barang siapa yang melakukanya, sedangkan dasar dari pada di pidananya si pelaku tidak
di pidana jika tidak ada kesalahan. Sudah lazim apabila setiap perbuatan pasti akan melahirkan pertanggung
jawaban dari si pelaku. Tanggung Jawab itu akan selalu ada, meskipun belum tentu akan dituntut oleh pihak yang berkepentingan. Pada umumnya seseorang
bertangungjawab atas perbuatanya sendiri. Betapapun demikian, aturan undang-undang lah yang menetapkan siapa-
siapa saja yang di pandang sebagai pelaku yang bertanggungjawab itu. Walaupun telah di tegaskan bahwa seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan
pidana yang terjadi, namun langkah selajutnya adalah menegaskan apakah ia juga memenuhi syarat yang di perlukan untuk sebuah nama pertanggungjawaban itu.
8
7
Rais, Moch Lukman Fathullah, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar Jakarta : Pustaka Sianar Harapan , 1997, hlm.2
8
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Jakarta: Aksara Baru,1983 , hlm.76
12
Dengan kata lain, orang tidak mungkin di pertanggungjawabkan dan di jatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. tetapi meskipun ia
melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dapat di pidana. Jadi, adanya kesalahan yang mengakibatkan di pidananya seseorang, maka ia harus : a
melakukan kesalahan; b mampu bertanggungjawab; c dengan kesengajaan atau kealpaan ;dan d tidak adanya alasan pemaaf.
9
Di dalam memori penjelasan KUHP tahun 1881, para perencana telah menyatakan bahwa toerekenhaarheid hal dapat di pertanggungjawabkannya
suatu tindakan itu dapat menjadi tidak ada karena hal-hal yang terdapat dari pelakunya sendiri, yaitu : 1 keadaan yang tidak normal dari geestvermogens
atau kemampuan jiwa si pelaku; 2 usia yang sangat masih muda. Dalam Hukum Positif, yaitu ketentuan Pasal 44 ayat 1 KUHP telah di
nyatakan bahwa tidak dapat di hukum barang siapa melakukan sesuatu perbuatan yang tidak dapat di pertanggungjawabkan padanya, oleh karena pertumbuhan
akal sehatnya yang tidak sempurna atau karena gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa menurut ketentuan tersebut seseorang dapat di sebut sebagai “ tidak dapat di pertanggungjawabkan” atas tindakanya
apabila orang tersebut ternyata memenuhi salah satu syarat, yaitu apakah ia mempunyai “pertumbuhan yang tidak sempurna dari kemampuan akal sehatnya”
atau adanya gangguan suatu”gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya”
10
9
Ibid. hlm.78
10
Lamintang ,P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997 , hlm. 395
13
Menurut Jonkers, orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit,
tetapi juga karena umurnya masih sangat muda, terkena hypnose dan sebagainya.Walaupun anak yang masih di bawah umur dalam keadaan tertentu di
anggap tidak mampu bertanggungjawab, namun bila mereka melakukan kejahatan, hukum pidana telah mengaturnya sedemikian rupa, sehingga di dalam
pengaturan pelaksanaanya di tuntut kejelian seorang hakim di dalam menentukan hukumannya.
Sejak keluarnya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mulai berlaku sejak tanggal 3 Januari 1997, maka ketentuan mengenai
penyelanggaraan pengadilan anak di lakukan secara khusus. Salah satu tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak adalah usia atau umur. Dalam hal ini
masalah umur merupakan masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat di ajukan dalam sidang anak.
Hukum pidana Islam mengatur tentang pertanggungjawaban pidana, Sebagai ajaran universal dan relavan dengan watak interistik manusia, Islam
hadir dengan seperangkat ajaran yang komprihensif. Tidak saja mengatur persoalan tauhid dan ibadah, Islam juga mengatur berbagai prinsip umum
mengenai hidup kemasyarakatan seperti ekonomi, politik, dan hukum. Meskipun proliferasi terma hukum Islam sedemikian variatif, namun patut di tegaskan
bahwa terma-terma hukum Islam, agaknya berada dalam sebuah konsensus bahwa hukum Islam merupakan terma baru dalam khazanah keilmuan Islam itu
sendiri.
14
Hukum Islam di pandang sebagai bagian integral dengan prinsip-prinsip ketauhidan dalam Islam. Salah satu bagian hukum Islam baca:fikih yang
mengatur hak-hak individu dan publik tertuang dalam fikih jinayat hukum pidana Islam .
Hukum Pidana Islam membincangkan berbagai hal seputar pelanggaran dan tindak pidana. Dalam hubungan itu, diatur tidak saja prosedur penghukuman
dan materi hukuman, tetapi juga di atur kemungkinan terjadi pengecualian, pengurangan dan pengahapusan hukuman, yang di lihat dari perspektif pelaku
tindak pidana.
11
12
Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman had karena kejahatan yang dilakukannya, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak
atas usia berapapun sampai dia mencapai usia puber, qadhi hanya akan berhak untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya
11
Lihat Santoso,Topo, Membumikan Hukum Pidan islam;Penegakan Syariat dalam wacana dan Agenda Jakarta : Gema Insani Press,2003 , hlm.7
12
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, III: 289.
15
yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat kesalahan di masa yang akan datang.
Tidak terkecuali juga dalam aturan pidana Islam, bagi seorang pelaku pidana yang masih dalam kapasitas anak-anak di bedakan hukumanya dengan
pelaku dewasa. Pembedaan ini erat kaitanya dengan asas pertanggungjawaban pidana. Hal ini sesuai dengan hadis:
13
Dalam literature hukum pidana Islam, di kenal juga tiga istilah yang berhubungan dengan tindak pidana yakni Jinayat, Jarimah dan Uqubat.
14
Yang pertama adalah perbuatan yang mengenai jiwa atau harta benda atau pun lainya.
Yang kedua di pahami sebagai larangan-larangan syara
’
yang di ancamkan oleh Allah SWT dengan hukuman had atau takzir. Meskipun kelihatan memiliki
stressing point yang berbeda, namun para ulama kelihatan sering mengidentikan jarimah dan jinayah.
15
Pengidentikan ini kemudian membuahkan sebuah pengertian bahwa baik Jarimah maupun Jinayah sebagai perbuatan pidana yang di ancam dengan
hukuman yang telah di tetapkan oleh Allah SWT meliputi hudud, Qisas-diyat dan Takzir.
16
13
Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, alih bahasa Sulaiman Rasjid, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 16.
14
Lihat Ibn Zaid, Zaid ibn Abdul Karim Ibn Ali, al-Afwu
,
an al-Uqubah fi al-islamy Riyad : Dar al-Ashimah, 1408 H, hlm. 178
15
Lebih lanjut baca Haliman, Hukum Pidana sjariat Islam Menurut ajaran ahlus Sunnah Djakarta : Bulan Bintang, 1970
16
Lihat lebih lanjut Bahnassi, Ahmad Fath, Madkhal al-Fiqh al-jina
,
iy al-islamiy Beirut ;dar as-syuruq,1989
Dengan kata lain, kedua istilah tersebut di sebut dengan criminal act. Sedangkan uqubah adalah punishement, yakni hukuman yang telah di tetapkan
untuk kemaslahatan publik atas pelanggaran-pelanggaran perintah syara
,
pertanggungjawaban pidana al-mas
,
uliyyat al-jina
,
iyyalcriminal responsibility adalah penerimaan akibat atas tindakan yang di lakukan seseorang.
16
Dalam persepektif Islam, pertanggungjawaban pidana adalah pembebanan seseorang dengan hasil akibat perbuatan atau tidak perbuatan yang di
kerjakanya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatanya itu.
Dengan dasar ini, maka sebuah pertanggungjawaban pidana berlaku atas tiga hal yakni 1 adanya perbuatan yang dilarang; 2 dikerjakan dengan kemauan
sendiri; dan 3 pelaku mengetahui akibat perbuatan tersebut.
17
Dengan demikian, bagi orang-orang dewasa bagi berakal dan berkemauan sendiri berlaku pertanggungjawaban pidana. Sebaliknya, tidak ada
pertanggungjawaban pidana bagi komunitas anak-anak, orang gila, dungu, orang yang sudah hilang kemauanya dan orang yang berada dalam kapasitas terpaksa
atau pun di paksa. Nash-nash syariat menegaskan makna ini dengan jelas melalui sabda Rasullulah SAW, yang menyatakan,:
Ketiga hal di atas merupakan ratio legis bagi berlakunya sebuah pertanggungjawaban pidana.
18
Telah tegas dan menjadi konsensus di kalangan ulama bahwa anak-anak terbebas dari pertanggungjawaban pidanan. Hal ini di karenakan mereka dalam
status tidak cakap untuk bertindak secara hukum, dalam istilah pidana Islam di “Pena di angkat dari tiga hal dibebaskan dari segala catatan dosa pen
kepada tiga kondisi ; 1 orang yang tertidur sampai ia bangun;2 anak-anak sampai dewasa; 3 orang gila sampai ia sembuh berakal.”
17
ibid
18
Said Hawwa, Al Islam, diterjamahkan olleh Abdul Hayyie al Kattani, Arief Chasanul Muna dan Sulaiman Mapiase, Cet.Pertama, Jakarta: Gema Insani. 2004. Hlm.694
17
sebut sebagai laisa min ahli al-
,
uqubah bukan termasuk kelompok yang mendapatkan hukuman .
19
1 Usia belum mummayiz. periode ini di mulai dari sejak kelahiran
sampai usia tujuh tahun. Kalaupun kemampuan berpikir sudah dimiliki oleh anak, apalagi hal itu sangat di pengaruhi oleh kondisi lokalitas
sebuah daerah, namun pada periode ini anak-anak tetap belum mampu membedakan mana yang baik mana yang buruk. Dengan kata lain,
mereka secara umum masih di pandang belum cakap bertindak prior to the age of discretion. Mereka hanya di kenakan hukuman takzir
yang di bebankan atas harta milik pribadi, yakni memberi ganti kerugian terhadap kerugian yang di derita oleh orang lain.
Namun demikan penting di tegaskan bahwa persoalan tentang statusnya dalam kapasitas sebagai anak-anak menimbulkan problematika tersendiri. Di
antaranya adalah percepatan iklim dewasa semakin menjadi fenomena di kalangan anak-anak, terutama akibat pengaruh media komunikasi dan informasi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para ulama kemudian membuat batasan yang meskipun terkesan sangan simplistik, namun pada dasarnya dapat di
pergunakan sebagai acuan dalam melihat tingkat perkembangan dan sikap yang di tampilkan oleh mereka yang berada dalam usia yang di sebut anak-anak.
Para ulama mengklasifikasikanya ke dalam bentuk usia anak, yakni sebagai berikut :
19
Lihat Bahnassi, Ahmad Fathi, as-siyash al-jina iyyah fi as-syariah al-islamiyyah Beirut, dan as-syuruq , 1988, hlm.212-217
18
2 Usia mumayyiz Periode ini di mulai sejak usia tujuh tahun sampai
menjelang tanda-tanda baligh. Kaum anak yang telah mencapai taraf demikian di pandang telah baligh dewasa, meskipun boleh jadi ia
belum dewasa dalam arti yang sebenarnya. Kalau tindak pidana terjadi pada periode tersebut, maka pertanggungjawaban pidana tidak juga
berlaku. Bagi mereka hanya di kenakan hukuman takzir yang di peruntukan untuk pengajaran li at-ta
,
dib bukan hukuman pidana. 3
Usia baligh, yakni ketika mencapai taraf usia baligh. Sebagian ulama berpendapat pada usia lima belas tahun atau delapan belas tahun. Tidak
hanya usia demikan, pada taraf ini telah tercapai kematangan fisik dan non fisik sebagai seorang remaja yang paripurna. Maka, dalam konteks
ini baik laki-laki dan perempuan, tetap di kenakan pertanggungjawaban pidana.
Berdasarkan uraian ini, maka penulis ingin mendalaminya dalam sebuah penelitian dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA POSITIP DAN HUKUM PIDANA ISLAM
B.Perumasan masalah
1. Bagaimana ketentuan dan Pertanggungjwaban Hukum Pidana terhadap Tindak pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Positif .
2. Bagaimana ketentuan dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana terhadap Tindak pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Islam.
19
3. Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjwaban Pidana anak dalam Persepktif Hukum Pidana Positp dan Hukum Pidana Islam.
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan a