Tindak pidana pembajakan pesawat udara menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana positif

(1)

TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA

MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

DAN HUKUM PIDANA POSITIF

Disusun oleh : Abdul Jabbar NIM : 103045128131

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/ 2008 M


(2)

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

Puji syukur selalu tercurahkan kepada sang pemilik ilmu pengetahuan, karena berkah, rahmat, hidayah dan inayah-Nyalah yang menjadikan keindahan bagi seluruh makhluk di muka bumi. Shalawat dan salam tak lupa senantiasa disanjungkan kepada manusia yang telah membuka cahaya pemikiran kearah yang paling mulia Dialah Rasulullah Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, beserta penerus ajaran agama-Nya yang telah mencapai kesempurnaan hingga akhir zaman.

Skripsi ini merupakan buah perjuangan penulis agar dapat lulus dari universitas, dan sebuah langkah permulaan membuat karya penelitian dengan menerapkan ilmu-ilmu yang penulis peroleh selama mempuh pendidikan perkuliahan, sesuai dengan bidang pada jurusan jinayah siyasah, maka penulis membuat penelitian yang membahas tentang Tindak Pidana Pembajakan Pesawat Udara Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

Penulis merasa penelitian ini belum bisa dianggap sempurna, namun meskipun demikian penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan yang sedang ingin mengetahui tentang propaganda kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan, khususnya tidak pidana pembajakan, dengan demikian penulis sangat berharap menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Banyak element yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, baik dalam bentuk moril maupun spiritual, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Yth:


(3)

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., MM., selaku dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Asmawi, M.Ag dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, masing-masing selaku ketua program studi dan sekretaris program studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis selama masih dalam masa kuliah.

3. Bapak prof. Dr. H. Abduh Malik, M.A.,selaku dosen pembimbing I dan Bapak Burhanudin, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing II, karena berkat bimbingan, perhatian dan kesabarannya. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah berbagi pengetahuan, pemikiran dan gagasan dengan penulis selama menempuh pendidikan di universitas.

5. Seluruh pimpinan dan staff perpustakan Fakultas Syari’ah dan Hukum, perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanan yang memuaskan. Dan juga Departemen Perhubungan Udara, terima kasih atas petunjuknya.

6. Teristimewa, Skripsi ini penulis persembahkan untuk Almarhum Ayahanda H. Ahmad Mumadjdjad dan Ibunda Hj. Aenah tercinta yang senantiasa mendorong baik secara moril maupun materiil, dengan kesabaran ibarat sebagai guru, pembimbing dan juga sahabat yang mereka berdua berikan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Dan kepada Kakak-kakak dan Adikku tersayang: Ceu Nengsih dan Suami, Aa Diding dan Istri, Ceu Nani dan Suami, Ceu Hj. Ida dan Suami, Ceu Ade dan Suami, serta Ahmad dan Istri yang telah memberikan motivasi kepada penulis dan semoga menjadi saudara-saudara yang dapat menegakkan agama Allah SWT dan Rasulullah SAW.


(4)

7. Untuk seluruh guru-guru yang telah membimbing, penulis ucapkan terima kasih kepada: Guru-guru Pon-Pes Husnul Khatimah Kuningan, Pon-Pes As-Syafi’iah Sukabumi. Pak Herman Prayitno diriut PT. Persero Pelindo Pelabuhan Indonesia II Tg. Priok, Pak Evi dirut PT. Persero Pelindo Pelabuhan Indonesia II Cirebon. 8. Untuk seluruh sahabat seperjuanganku: teman-teman dari PMII, HMI, IMM,

IPPMK, KMSGD, FORMALIDA, HMB, HIMALAYA dan seluruh organisasi primordial daerah PASUNDAN terima kasih atas pelajaran yang kalian berikan. Khususnya Apip Firmansyah, Hamzah, Yudi, Nuno, Badri, Aziz, dan Mamam. Terima kasih atas kebaikan kalian yang telah mau suka-duka bersama.

9. Untuk sahabat-sahabat terbaikku: Mursalim Trisakti, Lela , De’Ari, De’ Mia, De’ Nenk Nay, Asep Margana, Adin, Yusuf Mahdani, Hj. Kokom, Rahmat, Beben, Iwan, Isya, Ana, Diana, Asep ketum Komfaksy dan Eldri. Terlebih khusus buat De’Wiet yang selalu dihati dan dinanti, Terima kasih atas do’a dan dukungan kalian semua. Semoga silaturrahim kita terus terjalin.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan kebaikan yang berlipat ganda. Jazakumullah khairan katsiran. Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas tiada henti hingga akhir zaman.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat, bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 24 maret 2008


(5)

TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

DAN HUKUM PIDANA POSITIF

KATA PENGANTAR………... i

DAFTAR ISI………. iv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………. 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……….…… 8

D. Tinjauan Pustaka……….. 8

E. Metode Penelitian ……… 10

F. Sistematika Penulisan………. 11

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PESAWAT UDARA

A. Pengertian Pesawat Udara ……… 13


(6)

B. Sejarah………. 14

1. Sejarah Perkembangan Pesawat Udara………. 14

2. Sejarah Perkambangan Hukum Penerbangan ……… 15

C. Pesawat Udara Sebagai Objek Hukum……… 24

1. Batasan Pesawat Udara………. 24

2. Status Hukum Pesawat Udara ……… 25

BAB III TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ... 28

1. Pengertian Tidak Pidana Menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam…... ……….. 28


(7)

dan Hukum Pidana Islam………. 32

3. Pembagian Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Positif

dan Hukum Pidana Islam……... 35

B. Pengertian Pembajakan……… .. 44

1. Menurut Hukum Pidana Positif………. .. 44

2. Menurut Hukum Pidana Islam………

45

C. Bentuk-bentuk Pembajakan………..

47

1. Menurut Hukum Pidana Positif……… 47

2. Menurut Hukum Pidana Islam..……….. 48

BAB IV SANKSI PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA

A. Sanksi Pidana Pembajakan Menurut Hukum Pidana Positif…… 51

B. Sanksi Pidana Pembajakan Menurut Hukum Pidana Islam…….. 55


(8)

C. Pembajakan “Sama Dengan” Terorisme ……….. 60

D. Analisa Sanksi Pidana Pembajakan Pesawat……….. 62

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………

68

B. Saran-Saran………

72

DAFTAR PUSTAKA... 73


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia tercinta adalah sebuah negara hukum (rech staat) bukan negara kekuasaan (mach staat), berdasarkan ideologi pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) serta menjamin segala hak warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan.1

Sudah berabad-abad lalu Indonesia yang terdiri dari gugusan berbagai pulau baik besar maupun kecil yang jumlahnya tidak kurang 13.000 buah sepanjang garis katulistiwa, dijuluki sebagai untaian zamrud yang amat mempesona merupakan daya pikat yang mengundang kekaguman banyak kalangan Nasional dan Internasional. Berbagai jenis sumberdaya alam atau panorama indah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, sungguh merupakan modal yang tak ternilai harganya.

Indonesia sebagai negara kepulauan, sarana maritim yang tangguh merupakan keharusan yang tak mungkin ditawar, disamping itu untuk memenuhi tuntutan sarana transportasi yang relatif lebih cepat, yakni lewat udara, juga merupakan kebutuhan yang tak bisa di abaikan. Sehubungan dengan itu, maka peran pesawat udara selaku alat trasportasi akan menjadi alternatif yang strategis. Harus diakui bahwa angkutan lewat udara memiliki krakteristik dan keunggulan tersendiri kalau dibandingkan dengan jenis transportasi lainnya

1


(10)

Indonesia sebagai negara yang memiliki sarana dan prasarana transportasi yang lengkap baik di darat, di laut dan di udara. Dengan luasnya negara ini maka perlu adanya sarana dan prasarana yang memadai. Sebagai bukti bangsa berkembang, transportasi mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam memantapkan perwujudan wawasan nusantara, mampu memperkokoh pertahanan nasional dan mempercepat hubungan antar bangsa dalam rangka mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. pertumbuhan ekonomi dan politik negara yang dipengaruhi oleh perkembangan transportasi domestik sangat signifikan. Ciri masyarakat yang lebih maju adalah mobilitas manusia, barang dan jasa.

Penerbagngan sebagai salah satu alat transportasi tidak dapat dipisahkan dari alat-alat transportasi lain yang ditata dalam sistem transportasi nasional yang dinamis, dituntut untuk mampu mengadaptasi kemajuan yang makin pesat berkembang. Dengan memiliki karakteristik mampu mencapai tujuan dalam waktu singkat, berteknologi tinggi dan ditunjang dengan tingkat keselamatan yang memadai. Sehingga mampu mengatasi kendala kemajuan zaman yang pesat.

Perkembangan ilmu pengetahuan modern ini, tidak menutup kemungkinan tindak pidana dapat terjadi dibidang sarana dan prasarana penerbagan yang memiliki teknologi tinggi, jelas memberikan pertanda bahwa sarana angkutan udara pada masa-masa mendatang akan semakin penting kedudukannya dalam sketsa kehidupan bangsa Indonesia. Untuk mendukung itu semua amat diperlukan suatu kebijakan Nasional yang sifatnya dapat mengintegrasikan dan mendinamisasikan segala unsur pendukung transportasi udara, baik yang menyangkut sarana, prasarana, peraturan perundangan, maupun lainnya.


(11)

Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di Indonesia, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menetukan perbuatan-perbuatan, mengacu pada pengertian teoritik, menurut Prof. Muljanto, S.H., hukum pidana adalah hukum yang menjadi bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk: 1). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut; 2). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.; dan 3). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut 2

Begitu pula dalam ajaran Islam, cukup banyak ayat al-Qur’an maupun Hadits yang berkaitan tentang hukum pidana untuk saling menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifdz al-nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia tetapi ia adalah anugerah dari Allah SWT.3 Oleh karenanya, seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkan tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri. Di antara firman Allah yang menyinggung soal jiwa atau nafs adalah:

ﺮ ا

نﻮ راﻮـ ا

و

و

ﺎﱠإ

و

:

Artinya:

“Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi” (QS. al-Hijr: 2).

2

Prof, Muljanto, SH. Azaz-azaz Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1993), h. 1

3

Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer IV, (Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2002), cet ke III, h. 69


(12)

ا

ﺎ أ

و

تﺎ أ

ﻮه

ﻪﱠإ

و

:

٤٤

Artinya:

“Dan bahwasanya dialah yang mematikan dan menghidupkan” (QS. al-Najm: 44). Agar supaya manusia tidak memandang murah terhadap jiwa manusia, maka Allah memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkannya. Tindakan merusak atau menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga peradilan (Pemerintah Islam) sesuai dengan aturan pidana Islam. Ini pun dilakukan dalam rangka memelihara dan melindungi jiwa manusia secara keseluruhann. Sebagaimana tergambar dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 179:

ةﺮ ا

ناﻮ ﱠ

ﻜﱠ

ﻷا

ؤﺂ

ةﻮ

صﺎ

ا

ﻜ و

:

Artinya:

“Dan dalam Qishash itu terdapat (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 179)

Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia diancam dengan hukuman yang setimpal (Qishas atau Diyat).

Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, dalam implementasinya tidak begitu saja menerapkan hukum syari’at tentang kejahatan yang terjadi dalam sarana dan prasarana penerbangan. Proses dialektika sosial dan kreatifitas produk hukum manusia tidak harus selalu dieliminasi, dibasmi atau dianggap musuh yang membahayakan. Melainkan sebagai partner dan element yang harus diadopsi secara selektif dan proporsional. Melalui penelitian skripsi ini semoga dapat menjadi acuan untuk lebih memahami kejahatan yang berkenaan dengan sarana dan prasarana penerbangan khususnya pembajakan pesawat udara.


(13)

Setelah perang dunia kedua, kemajuan teknologi pesawat udara sangat pesat dan dapat dibuatnya motor penggerak yang sangat kuat seperti mesin jet dan turbo jet. Secara komersial penggunaannya bukan hanya terbatas pada pengangkutan penumpang saja, tetapi semua jenis barang yang sangat banyak. Ini semua menuntut kemajuan dibidang penerbangan, apalagi ditambah dengan perkembangan helikopter4.

Telah kita ketahui bahwa didalam perkembangan penerbangan tidak hanya terbatas pada penerbangan komersil saja, tetapi juga meliputi penerbangan non komersil. Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan: “penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas lain yang terkait”.

Sedangkan yang dimaksud dengan penggunaan pesawat terbang secara komersil adala, menurut SK Menteri perhubungan No. SK. 13/S/1971 tentang syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan pesawat terbang secara komersil di Indonesia, dalam pasal 1 ayat 1 menyatakan “ penggunaan pesawat terbang secara komersil ialah usaha pengangkutan melalui udara dari penumpang-penumpang, barang-barang dan pos, atau kegiatan keudaraan lain dengan memungut bayaran”.5

Pembentukan peraturan-peraturan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan nasional yang hanya bisa terwujud apabila didukung oleh cara dan

4

R. Ali Ridh. SH. Hukum dagang tenttang aspek-aspek hukum asuransi udara dan perkembangan perseroan terbatas (Bandung, PT Remaja Karya, 1984) h. 5

5

R. Ali Ridh. SH. Hukum dagang tenttang aspek-aspek hukum asuransi udara dan perkembangan perseroan terbatas (Bandung, PT Remaja Karaya, 1984) h. 158


(14)

metode yang relevan, dalam Islam membuat kerusakan atau merugikan orang lain adalah perbuatan yang sangat tercela secara moral kemanusiaan, karena akan membahayakan kelangsungan hidup manusia, juga merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama. Seperti dalam firman Allah SWT surat al-Qashas ayat 77:

☺ ☯

☺ ⌧

☺ Artinya:

“Dan carilah pada apa yang dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Dalam rangka penegakan hukum dan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia.sesuai dengan tujuan dibuatnya undang-undang di Indonesia dan sesuai dengan sifat dasarnya agama Islam yang menyukai kesejahteraan dan kedamaian.

Dalam Islam tindak pidana kejahatan penerbangan dikenal dengan istilah Ta’zir, yaitu suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada pemerintah (ulil Amri) untuk menetapkannya.6 Hukuman ta’zir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan umum, meskipun perbuatan awalnya bukan maksiat melainkan mubah, perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini tidak dapat ditentukan sebab perbuatan tersebut tidak diharamkan karena zatnya melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut ada, maka perbuatannya mubah sifat yang menjadi alasan (illat)

6


(15)

dikenakan atas hukuman tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan umum.

Melihat beberapa permasalahan tersebut diatas itulah, sebagai mahasiswa fakultas syariah dan hukum, Penulis merasa berkepentingan membahas persoalan ini. yang menarik perhatian penulis serta menjadi alasan bagi penulis untuk menulis judul skripsi tentang “TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF” dalam sebuah skripsi sebagai tugas akhir jenjang S1 yang ditempuh penulis.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada titik tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan batasan dan perumusan masalah.

Mengingat permasalahan di bidang penerbangan amat luas untuk dibahas maka dalam skripsi ini dibatasi pada aspek pidana yang berkaitan dalam pembajakan pesawat udara sipil UU No. 15 Tahun 1992,7 khususnya mengenai sanksi pidananya. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana Indonesia adalah hukum pidana yang berlaku di Indonesia yaitu, ketentuan-ketentuan pidana dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Apa yang menjadi unsur-unsur tindak pidana menurut hukum pidana islam dan hukum pidana positif?

7

Pesawat udara sipil adalah pesawat udara selain pesawat udara Negara (Undang-Undang No. 15/1992 Tentang Penerbangan, Pasal 1 Ayat 8)


(16)

2. Apa yang dimaksud dengan pembajakan menurut hukum pidana islam dan hukum pidana positif?

3. Bagaimana sanksi pidana menurut hukum pidana islam dan hukum pidana positif yang dijatuhkan kepada pelaku pembajakan pesawat udara?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud unsur-unsur tindak pidana menurut hukum pidana islam dan hukum pidana positif.

2. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pembajakan menurut hukum pidana islam dan hukum pidana positif.

3. Untuk memahami pandangan hukum pidana islam dan hukum pidana positif tentang sanksi pidana pelaku pembajakan pesawat udara.

b. Kegunaan penelitian

1. Secara akademis, menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum pidana islam dan hukum pidana positif umumnya kepentingan akademik, khususnya tentang akibat dari kejahatan penerbangan yang dapat mengekang kehidupan masyarakat yaitu hak hidup bebas bergerak kemanapun yang ia inginkan tanpa adanya ancaman.

2. Secara praktis, bermanfaat khususnya bagi peneliti dan pada umumnya bagi masyarakat agar dapat mengetahui dampak tentang tindak pidana


(17)

pembajakan pesawat udara, implementasinya terhadap pencegahan kejahatan penerbangan secara bersama-sama.

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian tentang polemik tindak pidana pembajakan telah banyak dikaji oleh berbagai kalangan. Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian hasil karya-karya tersebut: Karya Drs, Rahmat Hakim, yang berjudul Hukum Pidana Islam,(Fiqh Jinayah).8 Pokok masalah yang dikajinya yaitu konsep awal tentang turut serta berbuat jarimah, yang meliputi pengertian turut serta, turut berbuat langsung, turut berbuat tidak langsung, serta perumusan tindak pidana, pengertian tindak pidana unsur-unsur dan hukumannya. Temuan pokok penelitian ini antara lain: bahwa dalam suatu kerjasama dalam berbuat tindak pidana ada empat kemungkinan, yaitu: pelaku melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain, pelaku berkesepakatan dengan orang lain untuk melakukan tindak pidana, apelaku menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana, orang yang memberi bantuan ataqu kesempatan tindak pidana dengan berbagai cara, tanpa turut serta melakukannya.

Karya Topo Santoso, SH. MH. Mengagas hukum pidana Islam penerapan syari’at Islam dalam konteks modernitas.9 Pokok masalah yang dikajinya ialah definisi, unsur, dan klasifikasi tindak pidana dan tujuan hukum pidana Islam, temuan masalah yang dikajinya adalah: dalam hukum Islam ada dua istilah yang kerap

8

Drs, Rahmat Hakim, Berjudul Hukum Pidana Islam,(Fiqh Jinayah),(Bandung: CV. Pustaka Setia 2000), Cet 1

9

. Topo Santoso, SH. MH. Mengagas Hukum Pidana Islam Penerapan Syari’at Islam Dalam Konteks Modernitas (Bandung as-Syammil press 2000), Cet 1 .


(18)

dipergunakan dalam tindak pidana yaitu: Jinayah dan Jarimah. Dapat dikatakan bahwa kata Jinayah yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah jarimah. Karya Syaiful Lutfi S.THi, Al-hirabah Dalam Kajian Tafsir Al-Manar.10 Pokok masalah yang dikajinya adalah definisi dan konsep al-hirabah, temuan masalah yang dikajinya adalah, Al-hirabah disebut juga pembajakan, adalah tindakan melakukan pembunuhan yang disertai perampokan harta benda secara sewenang-wenang dan mengakibatkan kerusakan serta kerusuhan dalam suatu negeri muslim. Di samping itu dalam kajian Islam terdapat pula buku-buku yang menjadi rujukan dalam penelitian ini diantaranya kitab “At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy” karangan Abdul Qadir Audah yang secara spesifik membicarakan segala macam tindak pidana (Jarimah), klasifikasi, dan sanksinya dalam pandangan hukum Islam. Dan bahan-bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah).

E. Metode Penelitian

Untuk mencapaia tujuan dari penulisan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah diskriftif-analisis, yaitu memberikan paparan secara sistematis dan logis, serta kemudian menganalisanya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridisnormatif dan historis.

Penelitian ini menjadikan riset kepustakaan (Library research) sebagai data utama.sedangkan data lapangan digunaka sebagai pelengkap dalam rangka mendukung kebenaran kualitatif data utama. Adapun sumber data dari penulisan skripsi ini didasarkan pada data-data sebagai berikut:

10

Karya Syaiful Lutfi S.THi, Al-Hirabah Dalam Kajian Tafsir Al-Manar.Jurusan Tasfsir Hadist Fakultas Ushuludin dan pilsafat, UIN Jakarta, 2005


(19)

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunaka berupa Kitab Undang-undang Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 15 tahun 1992 tentang Sarana dan prasarana Penerbangan.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku teks, dan artikel dari berbagai koran maupun majalah yang diperoleh melalui internet yang berkaitan dengan permasalahan yang akan di bahas. dapat memperoleh data dari al-Quran, al-Hadist. Sedangkan,

Untuk memperoleh data yang diperlukan maka peneliti menggunakan teknik studi Library research yaitu: penelitian dalam hal ini untuk mengetahui informasi yang terdapat dalam dokumen-dokumen di Pengadilan Negeri baik berupa tuntutan hakim, buku-buku, serta artikel-artikel yang berkaitan dengan masalah yang ada.

Adapun teknik dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku “pedoman penulisan skripsi, teisi dan disertasi yang disusun oleh tim Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007”.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini secara sistematis terbagi menjadi lima pembahasan yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN. Mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.


(20)

BAB II : GAMBARAN UMUM TENTANG PESAWAT UDARA. Menjelaskan tentang Pengertian Pesawat Udara, Sejarah yang dibagi menjadi: 1. Sejarah Perkembangan Pesawat Udara 2. Sejarah Perkambangan Hukum Penerbangan, Pesawat Udara Sebagai Objek Hukum dibagi menjadi: 1. Batasan Pesawat Udara 2. Status Hukum Pesawat Udara.

BAB III :TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF. Menjelaskan tentang Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana yang di bagi menjadi: 1. Pengertian Tidak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif 3. Pembagian Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif, Pengertian Pembajakan yang terdiri dari: 1. Menurut Hukum Pidana Islam 2. Menurut Hukum Pidana Positif, Bentuk-bentuk Pembajakan yang terdiri dari: 1. Menurut Hukum Pidana Islam 2. Menurut Hukum Pidana Positif

BAB IV : SANKSI PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA. Dibagi menjadi: Sanksi Pidana Pembajakan Menurut Hukum Pidana Islam, Sanksi Pidana Pembajakan Menurut Hukum Pidana Positif, Pembajakan “Sama Dengan” Terorisme, Analisa Sanksi Pidana Pembajakan Pesawat BAB V : PENUTUP. Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan

dan saran. Di akhir penulisan ini dilampirkan daftar pustaka yang menjadi acuan dalam menyusun skripsi.


(21)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PESAWAT UDARA

D. Pengertian Pesawat Udara

Kini manusia bukan saja mampu melakukan perjalanan dengan tranportasi darat dan laut saja akan tetapi kini manusia dapat melakukan perjalanan di atas awan dengan menggunakan alat transpotasi udara, yaitu pesawat terbang. Usaha tersebut merupakan hasil kemajuan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan teknologi penerbangan.

Sebelumnya perlu dijelaskan dahulu apa yang dimaksud dengan “pesawat udara” . Pesawat terbang sebagai alat transportasi udara, dalam perspektif kehidupan masyarakat sekarang banyak diakui kalangan luas memiliki posisi sangat sentral. Sedang arti pesawat udara sendiri dengan mengacu pada pasal 1 ayat 3 UU No.15/1992 diartikan sebagai setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara. Sedang istilah lain yang banyak digunakan secara umum, yakni pesawat udara. Dalam penulisan skripsi ini telah termasuk pengertian pesawat udara, dalam pasal 1 ayat 3 UU No.15/1992 arti pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaganya sendiri.11

11

Departemen Perhubungan, Himpunan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, tt), h. 2


(22)

E. Sejarah

3. Sejarah Perkembangan Pesawat Udara

Penerbangan oleh manusia sudah ada dalam khayalan orang yunani kuno, yang terungkap dari dongeng-dongengnya. Yang terkenal ialah dongeng Daedalus. Yang membuatkan sayap untuk anaknya Icarus, yang akhirnya mencelakakan anaknya itu.

Tetapi awal mulanya analisis yang sungguh-sungguh tentang kemampuan terbang terdapat dalam tulisan Aristoteles (384-322 sebelum masehi). Ia mengemukakan, suatu benda hanya mungkin meluncur atau terbang, bila ada daya atau kekuatan yang terus-menerus mendorongnya. Jika daya atau kekuatan tersebut dihilangkan, maka benda itu akan berhenti meluncur dan jatuh. Menurut Aristoteles, daya atau kekuatan itu berasal dari udara. Jadi, udara justru mendorong terbangnya benda-benda tersebut.

Sebagimana diketahui, di dusun Kitty Hawk, Carolina Utara, Amarika Serikat, Wright bersaudara melakukan penerbangan bersejarah yang pertama kali dilakukan manusia. Pada waktu itu, Orville Wright dengan rendah hati melukiskan pengalaman secara tepat dan mengatakan: “penerbangan ini berlangsung hanya 12 detik. Namun ini penerbangan pertama kali dalam sejarah dunia. Penerbangan dengan pesawat yang mampu mengangkut manusi, mampu tinggal-landas dengan tenaganya sendiri untuk melakukan penerbangan penuh, dan bergerak maju tanpa kecepatan berkurang, dan mampu mendarat dengan


(23)

selamat.” Pada tahun 1905 Wright bersaudara membuat rekor dengan melakukan penerbangan sejauh 24 mil.12

4. Sejarah Perkambangan Hukum Penerbangan

Banyak kejadian terutama sejak setelah Perang Dunia II, penerbangan sipil mengalami bentuk terorisme udara. Tercatat terorisme udara pertama tahun 1948 sebuah pesawat Cathay Pasific dibajak saat terbang yang menyebabkan seluruh penumpangnya tewas, setelah itu ada berbagai macam terorisme udara lainnya seperti pemasangan bom pada tragedi Kashmir Princess, meningkatnya pembajakan demi motif politik mencari suaka saat konflik Cina dan Taiwan, konflik dua Korea, konflik Amerika Serikat dan Kuba. Naiknya tingkat pembajakan dan terorisme udara sangat terasa di Timur Tengah saat konflik Arab-Israel pada kurun waktu 1960-1980. Tercatat peledakan tiga buah pesawat dari maskapai BOAC, SwissAir, dan TWA di Jordania oleh gerilyawan Palestina, pembajakan pesawat El Al Israel, pembajakan pesawat Lufthansa, dan usaha penembakan pesawat B747 El Al dengan rudal panggul oleh gembong terorisme Carlos The Jackal. Beberapa tindakan sabotase juga dilakukan. Tercatat ada dua buah kasus peledakan terhadap pesawat udara sipil yang membawa implikasi politis yaitu peledakan pesawat Korean Airlines Korea Selatan tahun 1987 oleh badan intelijen Korea Utara dan peledakan pesawat PANAM tahun 1988 di Lockerbie diduga dilakukan oleh badan intelejen Libya. Indonesia-pun juga tidak

12

Achmad Moegandi, Mengenal Dunia Penerbangan Sipil, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


(24)

luput dari usaha terorisme udara ini seperti pembajakan pesawat Merpati dan pembajakan DC-9 Woyla13.

Terlihat pada kejadian-kejadian diatas bahwa tidak ada satupun negara yang mengoperasikan pesawat udara yang benar-benar aman terhadap terorisme udara bahkan pada suatu negara yang keamanannya luar biasa ketat seperti Israel sekalipun. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang cukup meresahkan ini maka dibuatlah konvesi yang mengaturnya. Konvensi ini ada tiga yaitu Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan Konvensi Montreal 1971. Konvensi ini diadakan untuk mengatur tindak pidana pada pesawat udara dimana pada tiap konvensi melakukan berbagai macam perbaikan. Badan dunia seperti Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB juga membuat beberapa resolusi serta International Civil Aviation Organization (ICAO) dan International Air Transport Assosiation (IATA) mengeluarkan bentuk perjanjian serupa. Indonesia juga tidak ketinggalan membuat UU no.2 1976 dan no.4 1976 yang akan dijelaskan nanti.

Instrumen Hukum Instrumen hukum Internasional yang mengatur masalah tindak pidana dan bentuk-bentuk terorisme penerbangan diantaranya tiga Konvensi Internsional yaitu Konvensi Tokyo, Den Haag, dan Montreal. Beberapa resolusi juga telah dibuat oleh PBB dan ICAO. Sementara di Indonesia telah

13

Artikel ini diakses pada tanggal 12 desember 2007,

http://www.sudirodesign.com/index.php?m=news&id=0&hash_token=&my_category=&lower_limit= 24


(25)

mengambil ketentuan-ketentuan dalam ketiga konvensi tersebut sebagai dasar pembuatan undang-undang (UU) no.2 dan no.4 1976 sehingga pelaku tindak pidana penerbangan atau terorisme udara tidak kebal hukum di negara ini.

Seperti yang diketahui, mengenai masalah tindak pidana penerbangan telah dibuat tiga konvensi yaitu:

a. Konvensi Tokyo pada tahun 1963 (Convention on Offence and certain Acts Committed on Board Aircraft)

b. Konvensi den Haag pada tahun 1970 (Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft)

c. Konvensi Montreal pada tahun 1971 (Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation)

Konvensi Tokyo Asal mulanya Konvesi Tokyo dipersiapkan untuk menampung status hukum suatu pesawat udara (legal status of aircraft), yurisdikasi peradilan (judical jurisdiction), hukum yang dapat diterapkan terhadap kejahatan yang dilakukan dalam pesawat udara dalam penerbangan (the applicable substantive law to govern allege offences committed on board aircraft in flight), dan wewenang komandan atau pilot menurut hukum yang berlaku yaitu wewenang hukum terhadap pesawat udara, awak pesawat,dan penumpang selama penerbangan.

Konvensi Tokyo mengatur tindak pidana dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan diatas laut lepas atau terra nullius. Yang dimaksudkan sebagai tindak pidana itu


(26)

adalah segala bentuk tindak pidana yang termasuk atau diatur didalam UU Pidana masing-masing negara peserta Konvensi Tokyo dan perbuatan-perbuatan tertentu adalah perbuatan baik pidana atau bukan yang melanggar ketentuan disiplin dan ketertiban didalam pesawat udara. Kedua tindak pidana dan perbuatan-perbuatan ini berlangsung saat penerbangan diatas laut lepas. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Konvensi.

Unsur-unsur di dalam Pasal 1 Konvensi yaitu:

1. Tindak pidana itu dilakukan didalam pesawat udara.

2. Pesawat udara tersebut harus didaftarkan di negara peserta Konvensi.

3. Pesawat udara sedang berada dalam penerbangan di atas laut lepas. 4. Pesawat udara berada di permukaan laut lepas.

Sedangkan pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindakan pidana diatur dalam Pasal 3 Konvensi yaitu negara tempat pesawat udara didaftarkan dan juga ada kemungkinan bagi negara lain yang bukan tempat pesawat udara didaftarkan untuk melaksanakan yurisdikasinya bila negara tempat pesawat udara didaftarkan tidak mau melaksanakannya. Sedangkan pada Pasal 4 Konvensi juga diatur kemungkinan kepada negara-negara untuk melaksanakan yuridikasi bersama artinya negara-negara tersebut punya wewenang yang sama dengan negara tempat pesawat udara terdaftar untuk menyelesaikan tindakan pidana yang tercantum pada Pasal 1 Konvensi. Konvensi Tokyo ini masih memiliki banyak kelemahan seperti :


(27)

1. Tindak pidana sabotase yang sebagian besar memasukan bahan peledak secara diam-diam pada pesawat udara saat didarat dan juga terlalu mengkhususkan diri pada tindak pidananya yang kurang jelas terlebih lagi pada masalah pembajakan dan terorisme udara.

2. Hanya negara peserta Konvensi saja yang dapat dikenai ketentuan-ketentuan Konvensi.

3. Terlalu membatasi kondisi “diatas laut lepas” karena tidak seluruh negara memiliki kekuatan yurisdiksi saat pesawat udara berada dilaut lepas ataupun diatas wilayah diluar kekuasaan negara. Hal ini dapat terjadi oleh karena beberapa pihak saat itu masih mengganggap tindak pidana diatas laut lepas itu tidak terjangkau oleh hukum pidana manapun.

Oleh karena masih banyak kekosongan yurisdiksi pada Konvensi Tokyo ini maka negara-negara peserta konvensi ini mengadakan konvensi berikutnya yaitu Konvensi den Haag pada tahun 1970.

Konvensi Den Haag Konvensi ini diadakan karena timbulnya kelemahan pada Konvensi Tokyo terlebih lagi perkembangan tindak pidana seperti melebarnya dimensi perbuatan pembajakan terhadap pesawat udara yang dulunya sangat terbatas menjadi suatu bentuk kejahatan yang sangat mengganggu dan membahayakan penerbangan sipil pada lingkungan Internasional yang berhubungan dengan keamanan masyarakat Internasional dengan ideologi dan politik yang berbeda-beda.

Konvensi ini juga terkenal dengan nama konvensi mengenai hijacking pesawat udara (unlawful seizure of aircraft) atau dalam bahasa Indonesia


(28)

pembajakan pesawat udara. Pada Pasal 1 Konvensi Den Haag memberikan batasan mengenai pembajakan pesawat udara, yaitu apabila orang tersebut telah melakukan tindakan pidana dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan sebagai berikut:

Ayat a: unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercises control of, that aircraft, or attempts to perform any such act ,or

Ayat b: is an accomplice of a person who performs or attempts to perform any such act.

Terlihat jelas bahwa Konvensi Den Haag hanya mengkhususkan tindak pidana penguasaan pesawat udara secara melawan hukum dengan jalan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Sedangkan pada bidang yurisdiksinya pada Konvensi Den Haag menghendaki negara-negara anggota memiliki yurisdiksi bilamana :

a. Kejahatan dilakukan didalam pesawat udara yang didaftarkan di negara yang bersangkutan.

b. Pesawat udara terhadap dari mana dilakukan pembajakan, mendarat diwilayahnya dengan pembajak berada didalam pesawat tersebut.

c. Kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang disewakan (tanpa awak) kepada seseorang yang mempunyai domisili di negara tersebut.

Yuridiksi pada konvensi ini menetapkan yurisdiksi pertama ditentukan oleh negara dimana pesawat udara mendarat dan adanya pembajak didalam pesawat udara.


(29)

Konvensi Montreal Konvensi Montreal pada tahun 1971 sengaja ditujukan untuk menakuti mereka yang ingin melakukan tindakan kekerasan didalam pesawat pada umumnya dan juga tindakan sabotase dimana pada Konvensi Den Haag tidak mengatur secara jelas karena lebih memfokuskan pada pembajakan pada pesawat udara. Konvensi ini juga dimaksudkan sebagai suplemen pada pengaturan terhadap pembajakan pada Konvensi Den Haag tersebut.

Latar belakang terbentuknya konvensi antara lain disebabkan dua peristiwa sabotase terhadap pesawat sipil SwissAir dan peledakan ruang kargo pesawat Austrian Airlines. Disamping itu kemajuan dan keberhasilan cara-cara pemberantasan pembajakan udara juga memberikan implikasi diadakannya konvensi ini. Pada Pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal mengatur tidak pidana sebagai berikut :

a. Dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang didalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan dan tindakannya itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut. b. Dengan sengaja dan secara melawan hukum merusakkan pesawat udara

dalam dinas (in service) atau menyebabkan pesawat udara tersebut tidak mampu untuk melakukan penerbangan dengan sempurna sehingga membahayakan keselamatannya dalam penerbangannya.

c. Menempatkan atau memungkinkan penempatan suatu bahan peledak atau suatu zat dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara bagaimanapun, sehingga dapat memusnahkan atau menyebabkan peswat udara tidak dapat


(30)

terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat dalam penerbangan.

d. Memusnahkan atau merusak fasilitas penerbangan atau turut campur secara melawan hukum dalam pengoperasiannya, sehingga dapat membahayakn keselamatan pesawat udara dalam penerbangan.

e. Memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan pesawat udara dalam penerbangan.

Konvensi ini mengikuti pola yang ada dalam konvensi terdahulu bahkan dalam aspek yurisdiksi hukum telah dimasukkan sangsi-sangsi hukum yang lebih berat terhadap pelakunya dan kemungkinan untuk ekstradisi pelakunya (penyerahan) ke negara dimana tindakan tersebut mula-mula dilakukan. Pada konvensi ini juga berisi tindakan pembajakan dan terorisme udara sehingga konvensi ini dapat dikatakan sempurna karena memuat kedua tindakan tersebut.

Instrumen Hukum Internasional Lainnya Selain beberapa Konvensi dan Resolusi ternyata juga terdapat beberapa instrumen hukum yang cukup diakui keberadaanya terutama yang berasal dari ICAO, badan penerbangan kelas dunia yang sangat memperhatikan keamanan dan keselamatan terbang.

Beberapa instrumen hukum yang dikenal saat ini adalah :

a. Mukadimah Konvensi Chicago 1944 yang mejamin adanya kebebasan ruang udara (freedom of the air) dan kutipan yang menyatakan : “…that International civil aviation should be develop in a safe and orderly manner.” Memang tampaknya cukup


(31)

luas pengertian “safe” ini, tetapi hal ini juga dimaksudkan sebagai keamanan terhadap gangguan teror dan kejahatan.

b. Perjanjian multilateral yaitu “Convention for the Prevention and Punishment of Terorism” di Genewa, Swiss pada tanggal 16 November 1937. Dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak peserta konvensi telah memandang secara jauh pada tahun 1937 mengenai masalah ini.

c. Di bawah naungan ICAO terbentuk pada tahun 1973 yaitu Convention on the Pervention and Punishment of Crimes Againts Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, lalu pada tahun 1977 diadakan The European Convention on The Suppression of Terrorism.

d. Beberapa deklarasi juga dibuat terutama untuk kerjasama internasional seperti The Bonn Declaration 1978.

Hukum Nasional Indonesia Indonesia meratifikasi ketiga konvensi tersebut menjadi undang-undang (UU) No.2 tahun 1976, yang menjadikan Indonesia secara langsung terikat oleh ketentuan-ketentuan pada ketiga konvensi tersebut. Dengan kata lain Indonesia berhak melaksanakan hal yurisdikasi bila

hukum nasional belum mengaturnya. Sedangkan untuk hukum pidana, sebelum tahun 1976 tidak berlaku tindak pidana

yang dilakukan didalam pesawat udara Indonesia yang sedang terbang diluar wilayah Indonesia. Lalu Indonesia memperluas berlakunya hukum pidana Indonesia sehingga berlaku terhadap pesawat udara yang berada diluar wilayah


(32)

Indonesia dalam bentuk UU No. 4 tahun 1976 yakni Undang-undang tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Beberapa Pasal dalam KUHP ini ada pada Pasal 479 KUHP. Sangat jelas terlihat pada Pasal 479 Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) mengambil ketentuan pada Konvensi Montreal bahkan dapat diambil bandingannya. Pasal 479 yang dimaksud adalah :

a. Pasal 479a s/d 479d mengatur tindak pidana yang dilakukan pada fasilitas penerbangan, sedangkan pada Konvensi tercantum pada Pasal 1 ayat 1 (d). Perhatikan pada pembahasan Konvensi Montreal sebelumnya.

b. Pasal 479e s/d 479h mengatur tindak pidana menghancurkan, mencelakakan, membuat tidak dipakainya pesawat udara, baik sengaja atau kealpaan, menimbulkan kebakaran, ledakan, kecelakaan, kehancuran, dan sebagainya terhadap pesawat udara dengan maksud mencari keuntungan untuk dirinya sendiri atas kerugian penanggungan asuransi. Dapat dibandingkan dengan jelas Pasal 1 ayat 1 (b) Konvensi Montreal. c. Pasal 479l mengenai tindak pidana sengaja melakukan kekerasan terhadap

seseorang dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan. Tercantum pula pada Pasal 1 ayat 1 (a) Konvensi Montreal.

d. Pasal 479n mengatur penempatan alat atau bahan peledak yang dapat menghancurkan pesawat udara dalam dinas. Hal ini tercantum pada Pasal 1 ayat 1 (c) Konvensi.


(33)

e. Pasal 479p yang berisi memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan yang juga sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 (e) Konvensi.

F. Pesawat Udara Sebagai Objek Hukum 3. Batasan Pesawat Udara

Batasan pesawat udara (aircraft) dalam arti luas mencakup segala macam pesawat udara seperti pesawat terbang, kapal terbang, helikopter, pesawat terbang laying, balon yang bebas dan dapat dikendalikan seperti yang digunakan untuk bidang metreologi.14

Perlu dikemukakan bahwa dalam menggunakan batasan pesawat udara adalah penting untuk memperhatikan kriteria pokok, yaitu:

a. Kemampuan suatu pesawat udara untuk bergerak dalam ruang udara, dan

b. Kemampuan suatu pesawat udara untuk mengangkut orang dan barang.15

Disamping kriteria tersebut diatas menurut tujuan penggunaan pesawat udara, terdapat pula kriteria yang melihat pada sifat jasa penerbangan pesawat udara tersebut, kriteria lain adalah mengaitkan pesawat udara dengan status pihak

14

Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara Di Ruang Udara, (Bandung: Bina Cipta, 1972), cet. I, h. 41

15

Mieke Komar Kantaatmadja, lembaga Jaminan Kebendaan Pesawat Udara Indonesia Di Tinjau Dari Hukum Udara, (Bandung: PT. Alumni, 1989), cet. I, h. 26


(34)

pemilik pesawat udara, yaitu apakah dimiliki Negara, perseorangan, atau badan hukum lainnya.16

Suatu masalah yang dapat dikemukakan berkaitan dengan kriteria di atas, adalah: apabila suatu pembajakan terjadi diatas pesawat udara, maka diperlukan hukum apa yang digunakan, apakah hukum Negara yang memiliki pesawat tersebut atau hukum internasional. Untuk mengatasi penyelesaian hukum yang terjadi diatas udara.

4. Status Hukum Pesawat Udara

Mengenai pembahasan status hukum pesawat udara sebagai obyek hukum, dalam lingkup baik hukum Nasional maupun hukum Internasional, atau lebih tepat pesawat udara sebagai objek hukum dari hukum nasional yang diakui dalam hukum Internasional, mengutip pandangan ahli hukum angkasa yang ternama, yaitu, J. C. Cooper, yang berpendapat bahwa pembahasan tentang status hukum suatu pesawat udara, dapat ditinjau dari segi:

a. Status hukum pesawat udara dalam hukum publik, dan b. Status hukum pesawat udara dalam hukum perdata.17

Menurut J. C. Cooper, hal pertama akan mempermasalahkan hubungan hukum antara suatu pesawat udara dengan suatu negara tertentu. Karena, masalah status hukum pesawat udara dalam hukum publik, yang berkaitan dengan pemberian tanda nasionalitas, dan tanda registrasi pesawat udara adalah amat

16

Ibid, h. 26-27

17


(35)

penting. Hal ini akan menentukan hukum nasional mana yang menguasai peswat udara dalam hubungan hokum publik, yang diakui pula oleh hukum internasional. Dalam Undang-undang penerbangan Indonesia juga di perjelas pada bab v pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara serta penggunaannya sebagai jaminan, yaitu:

Pasal 9

1. Pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran.

2. Pesawat udara sipil yang dapat memperoleh tanda pendaftaran Indonesia adalah pesawat udara yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan sebagai berikut :

a.dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia;

b. dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing dan dioperasikan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya minimal dua tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha atau bentuk perjanjian lainnya;

c.dimiliki oleh instansi Pemerintah;

d. dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan Pemerintah.

3. Ketentuan mengenai pendaftaran pesawat udara sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan pendaftaran pesawat udara Angkatan


(36)

Bersenjata Republik Indonesia diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 10

(1) Selain tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), pesawat terbang dan helikopter yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda kebangsaan.

(2) Tanda kebangsaan Indonesia hanya diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. (3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh dan mencabut tanda

kebangsaan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan jenis-jenis pesawat terbang dan helikopter tertentu yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1) Dilarang memberi atau mengubah tanda-tanda pada pesawat udara sipil sedemikian rupa sehingga menyerupai pesawat udara negara. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku

terhadap pesawat terbang dan helikopter. Pasal 12

(1) Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek.


(37)

(2) Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan.18

18

Departemen Perhubungan, Himpunan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, tt), h. 4-5


(38)

BAB III

TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

D. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif

4. Pengertian Tidak Pidana

Menurut Hukum Pidana Positif

Menurut hukum pidana positifi tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit19 Secara etimologis (bahasa) pengertian tindak pidana adalah suatu tindakan kejahatan, jika dilihat dari segi hukum mengenai perbuatan-perbuatan dan pelanggaran-pelanggaran terhadap penguasa.20 Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau (Een Gedelte Van De Werkelijkheid), sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau pun tindakan.21

19

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas-batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke I, h. 67

20

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1999), h. 750

21

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1997), cet ke III, h. 181


(39)

Sedangkan menurut pengetian terminologis (istilah), kata tindak pidana memiliki banyak pengertian sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum sebagai berikut :

1. Menurut Prof. Moeljatno, SH, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan (tindak) pidana atau delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar laranga-larangan tersebut).22

2. Propesor POMPE, memberikan definisi tindak pidana sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau pun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.23

3. Sedangkan menurut R. Tresna, merumuskan atau memberikan definisi perihal peristiwa (tindak) pidana menyatakan bahwa, “Peristiwa (tindak) pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”.24

22

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2002), cet ke VII, h. 2

23

POMPE, Handboek, hlm 39, dan Lamintang, h. 182

24


(40)

Dari pengertian di atas selanjutnya Tresna menyatakan bahwa dalam peristiwa (tindak) pidana itu mempunyai beberapa syarat, yaitu:

1. Harus ada suatu perbuatan manusia

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum

3. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan

4. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum

5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.

Menurut Hukum Pidana Islam

Asal kata (ﺔ ﺮ ) jarimah berakar dari kata (مﺮ ) yang maknanya ialah )

ﻄ و آ

( mendapatkan atau mengerjakan dan memutuskan sesuatu. Menurut Imam Muhammad Abu Zahra, kata jarimah dahulu dikhususkan untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dibenci (keji) selain perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu kata (مﺮ , jarama) mempunyai makna pekerjaan yang memikul dosa.25 Sebagaimana dalam Firman Allah:

ﺎ و

مﻮ

وأ

دﻮه

مﻮ

وأ

حﻮ

مﻮ

بﺎ أ

نأ

ﻜﱠ ﺮ

مﻮ

ﺎ و

دﻮﻬ ا

ﻜ ﱢ

طﻮ

مﻮ

:

Artinya:

“Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku dengan kamu menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang

25

Imam Abu Zahra, Al-Jarimah Wal ‘Uqubah Fil Fiqh Islamiy, (Kairo, Daar Al-Fikr Al-‘Araby, 1997), h. 19


(41)

menimpa kaum Nuh atau kaum Huud atau kaum Shaleh, sedang kamu Luth tidak pula jauh tempatnya dari kamu”. (Q.S: Al-Huud: 89).

Kata jarimah ( ﺔ ﺮ ) dapat juga diartikan sebagai larangan-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.26

Sedangkan menurut Imam Al-Mawardi memberikan definisi tentang jarimah ialah sebagai berikut:

ﺮ ﺰ

وأ

ﺎﻬ

ﻰ ﺎ

ﷲا

ﺮ ز

تارﻮﻈ

ﺋاﺮ ا

27

Artinya:

“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir”.

Para fuqaha sering memakai kata-kata jinayah (ﺔ ﺎ , jinayah) untuk jarimah. Semula jinayah pada awalnya bermakna hasil perbuatan seseorang, yakni perbuatan-perbuatan yang dilarang.

Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir ‘Audah pengertian jinayah sebagai berikut :

ﺎ ﺮ

مﱠﺮ

إ

ﺔ ﺎ

,

ا

و

ءاﻮ

ﻚ اذ

وأ

لﺎ

وأ

28

Artinya:

“Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya”.

26ﺮ ﺰ وأ ﺎﻬ ﷲاﺮ زﺔ ﺮ تارﻮﻈ

, lihat Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 2005), cet VI, h. 3

27

Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Mesir, Musthafa Al-Baby Al-Halaby, 1975), cet ke III, h. 219

28

Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut, Muassasah Risalah, 1992 M/ 1412 H), cet ke II, h. 67


(42)

Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan kata-kata syara’ pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara’, juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancamkan hukuman kepadanya.

Sebagaimana disebutkan di atas, pengertian jarimah ialah larangan-larangan syara’ yang diancamkan hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut adakalanya berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh.

5. Unsur-unsur Tindak Pidana

Menurut Hukum Pidana Positif

Di dalam hukum pidana potitif perbuatan yang dapat dipidana dikenal adanya dua unsur yang melekat, yaitu Criminal Act (unsur yang melekat pada perbuatannya) dan Criminal Responsibility atau Criminal Liability (unsur yang melekat pada orang yang melakukan tindak pidana) yang dalam istilah hukum disebut sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana.29

Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan setidaknya dari dua sudut pandang, yakni30:

a. Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis

29

Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku ke II, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006), Cet I, h. 26

30


(43)

b. Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang 1). Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis

Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis adalah unsur-unsur apa yang ada dalam tindak pidana melihat bagaimana bunyi rumusan-rumusan berdasarkan para ahli hukum. Beberapa contoh menurut pendapat atau teori para ahli hukum ialah:

Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana adalah: a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). Menurut Jonkers, unsur-unsur tindak pidana adalah:

a.Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan); c.Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); d. Dipertanggungjawabkan.

2). Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang

Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang adalah unsur-unsur lain baik sekitar atau mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak pidana, yaitu:


(44)

1. Unsur tingkah laku 2. Unsur melawan hukum 3. Unsur kesalahan

4. Unsur akibat konstitutif

5. Unsur akibat keadaan yang menyertainya

6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana 7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana 8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Menurut Lamintang bahwa setiap tindak pidana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan dan dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.31

Unsur-unsur subjektif, adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya.

Sedangkan unsur-unsur objektif, itu ialah unsur-unsur yang berhubungan dengan keadaan-keadaan, yaitu di mana keadaan tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Menurut Hukum Pidana Islam

Setiap perintah dan larangan yang datang dari syara’ itu hanya ditunjukan kepada orang yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan ( ﻜ, taklif),

31


(45)

sebab pembebanan itu merupakan panggilan (بﺎﻄ , khitab), dan orang yang tidak dapat memahami seperti hewan dan benda-benda mati tidak mungkin menjadi objek panggilan tersebut.

Dari pembicaraan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap jarimah harus mempunnyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi, yaitu32:

1. Secara yuridis normatif, di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman.33 Nash yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman tersebut dapat disebut juga dengan “unsur formal” ( ﻰ ﺮ آر , rukun syari’).

2. Secara yuridis normatif mempunyai unsur materil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atau adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata atau pun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut “unsur materil”(ىدﺎ آر, rukun maddi).

3. Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan, dan unsur ini bias disebut “unsur moral” ( دأ آر , rukun adabi).

Ketiga unsur tersebut harus terdapat pada sesuatu perbuatan untuk digolongkan kepada suatu “jarimah”. Di samping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat unsur-unsur khusus untuk dapat dikenakan hukuman,

32

Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 6

33


(46)

seperti unsur “pengambilan dengan diam-diam” bagi jarimah pencurian. Perbedaan antara unsur-unsur umum dengan unsur-unsur khusus ialah kalau untuk unsur-unsur umum satu macamnya pada semua jarimah, maka unsur-unsur khusus dapat berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut perbedaan jarimah.

6. Pembagian Tindak Pidana

Menurut Hukum Pidana Positif

Menurut hukum pidana positif, perbuatan (tindak) pidana berdasarkan sifatnya secara kualitatif, Moeljatno menyebutkan di dalam KUHP dikenal adanya dua jenis perbuatan pidana, yang terdiri dari:

a. Kejahatan (misdrijven), misalnya pencurian (pasal 362 KUHP), penggelapan (pasal 378 KUHP), penganiayaan (pasal 351 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), dan sebagainya.

b. Pelanggaran (overtredingen), misalnya: kenakalan (pasal 486 KUHP), mengemis di tempat umum (pasal 504 KUHP), mengadakan pesta atau keramaian umum tanpa izin pejabat yang berwenang (pasal 510 KUHP), dan sebagainya.34

Perbuatan-perbuatan pidana ini oleh Moeljatno dikatakan sebagai perbuatan yang menurut wujud dan atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat.

34


(47)

Selain membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, menurut Moeljatno biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam35 :

1. Delik dolus dan Delik culpa (tindak pidana sengaja dan kealpaan)

Delik dolus merupakan delik (perbuatan pidana) yaitu dilakukan dengan sengaja, sebagai contoh pasal 338 KUHP yang merumuskan: “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, …”.36

Sedangkan delik culpa merupakan perbuatan pidana yang tidak disengaja atau merupakan kealpaan dan kelalaian, sebagaimana disebutkan dalam pasal 359 KUHP:

“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati…”.

2. Delik commissionis dan Delikta commissionis

Delik commissionis merupakan perbuatan pidana yang terjadi karena seseorang berbuat sesuatu (melakukan sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (pasal 362 KUHP), menggelapkan (pasal 372 KUHP), atau menipu (pasal 378 KUHP), dan sebagainya.

Sedang delikta commissionis adalah perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana karena seseorang tidak berbuat atau melakukan sesuatau yang seharusnya ia lakukan. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, memberikan istilah lain dari delikta ommissionis yaitu delik omisi atau tindakan pasif (passive handeling) yang diharuskan, yang jika tidak

35

Ibid, h. 75

36


(48)

melakukannya diancam dengan pidana.37 Misalnya, (pasal 224 KUHP) keharusan menjadi saksi, (pasal 164 KUHP) mewajibkan untuk melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan, tatkala ia mengetahui adanya permufakatan jahat, maka orang yang tidak melaporkan permufakatan kejahatan yang oleh undang-undang diwajibkan lapor tersebut dianggap telah melakukan delikta commissionois.

3. Delik biasa dan Delik yang dikualifisir (dikhususkan)

Pengertian delik biasa adalah perbuatan pidana yang sederhana, misalnya pencurian biasa (pasal 362 KUHP), pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (pasal 338 KUHP). Sedangkan delik yang dikualifisir adalah delik biasa yang ditambah dengan unsur-unsur lain yang memperberat ancaman pidananya yang oleh Moeljatno tambahan unsur-unsur tersebutkan antara lain:

a. Unsur yang khas dalam melakukan delik biasa, misalnya pencurian dengan jalan membongkar rumah atau dilakukan dengan beberapa orang (pasal 363 KUHP)

b. Bersamaan dengan peristiwa lain, misalnya pencurian pada waktu terjadi kecelakaan, atau kebakaran.

c. Dilakukan pada waktu tertentu, misalnya pencurian di malam hari. 4. Delik menerus dan Tidak menerus

37

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta, Storia Grafika, 2002), cet ke III, h. 237


(49)

Dalam delik menerus, ialah perbuatan yang dilarang minimbulkan keadaan yang berlangsung terus, misalnya (Pasal 221 KUHP) tentang orang yang sengaja menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatan. Walaupun orang yang menyembunyikan sudah ditangkap, tetapi perbuatan yang dilarang masih dapat berlangsung terus, selama waktu persembunyiannya tersebut.

Delik tidak menerus artinya perbuatan yang dilarang telah selesai atau habis pada saat pelaku sudah tidak melakukan perbuatan lagi, misalnya pencurian. Pencurian akan berhenti bila si pencuri sudah ditangkap dan tidak melakukan perbuatan lagi.

Agak sedikit berbeda dengan Moeljatno, Rubai membedakan dan memberikan tambahan lain mengenai jenis-jenis tindak pidana adalah sebagi berikut38:

1. Tindak pidana formil dan Tindak pidana materil

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya lebih dititik beratkan kepada larangan terhadap perbuatannya. Contohnya (pasal 263 KUHP) tentang perbuatan memalsukan surat.

38

Anny Isfandyari dan Fachrizal Afandi, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku ke II, h. 37


(50)

Sedangkan tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya lebih dititik beratkan kepada akibat yang dilarang. Misalnya (pasal 359 KUHP) yang menitik beratkan kepada terjadinya kematian sebagai akibat kekhilafan atau kelalaian dan kealpaan.

2. Tindak pidana aduan dan Tindak pidana bukan aduan

Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari korban, atau dengan perkataan lain, dasar penuntutan dari tindak pidana adalah pengaduan korban. Tindak pidana aduan terbagi menjadi dua yaitu:

Tindak pidana aduan bersifat absolut, adalah pengaduan korban merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi agar tindak pidana ini dapat dilakukan penuntutan, misalnya perzinahan (pasal 284 KUHP). Tindak pidana aduan yang bersifat relatif, yang artinya tindak pidana yang sebenarnya termasuk di dalam tindak pidana bukan aduan, karena adanya hubungan khusus antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian di kalangan keluarga (pasal 367 KUHP).

Sedangkan tindak pidana bukan aduan adalah semua tindak pidana yang penuntutannya tidak perlu adanya pengaduan dari korban yang dirugikan seperti dalam tindak pidana pembunuhan, terorisme, dan lain-lain.


(51)

Dalam hukum pidana Islam tindak pidana (jarimah) dapat berbeda penggolongannya, sesuai dengan sudut tinjauannya39:

1. Dilihat dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dibadi menjadi tiga yaitu: jarimah hudud (دوﺪ ﺔ ﺮ ), jarimah qishas diyat (ﺔ دوأصﺎ ﺔ ﺮ ), dan jarimah ta’zir (ﺮ ﺰ ﺔ ﺮ ).

2. Dilihat dari segi niat si pembuat, jarimah dibagi dua yaitu: jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja.

3. Dilihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif dan jarimah negatif.

4. Dilihat dari segi orang yang menjadi korban (yang terkena) akibat perbuatan, jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat.

5. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah biasa dan jarimah politik.

Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Audah, tindak pidana dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam kriteria tertentu:

Tindak pidana (jarimah) jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman terbagi menjadi40:

1. Kejahatan hudud, (دوﺪ ا ﺋاﺮ )

Kejahatan hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Adapun pengertian hukuman Had sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir ‘Audah, adalah:

39

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 7

40


(52)

ﺪ او

ﻰ ﺎ ﷲﺎ ةرﺪ اﺔ ﻮ اﻮه

“Hukuman Had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan merupakan hak Allah SWT”

meliputi tujuh macam jarimah, ialah jarimah perzinahan, menuduh zina (Qadzaf), menkonsumsi khamar, pencurian, perampokan, murtad, dan pemberontakan.

2. Kejahatan qishas dan diyat (ﺔ ﺪ اوصﺎ ا ﺋاﺮ )

Kejahatan qishas diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman qishas atau hukuman diyat. Dan tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban atau ahli warisnya dapat memaafkan si pelaku kejahatan. Bila dimaafkan, maka hukumannya menjadi terhapus. Jarimah ini terdiri dari lima macam, yaitu:

1. pembunuhan sengaja

2. pembunuhan menyerupai sengaja 3. pembunuhan karena kesalahan 4. penganiayaan sengaja

5. penganiayaan tidak sengaja41

3. Kejahatan Ta’zir, )(ﺮ ﺰ ا ﺋاﺮ

41


(53)

Sedangkan dalam kejahatan ta’zir ialah tindak pidana yang tidak tergolong ke dalam dua jenis kejahatan di atas. Jarimah ta’zir terbagi menjadi tiga bagian42:

a) Jarimah hudud atau qishas diyat yang terdapat unsur syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pembunuhan, percobaan pencurian di kalangan keluarga. b) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadits,

namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, dan menghina agama.

c) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Ulil Amri untuk kemaslahatan umum, dalam hal ini ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.

Dilihat dari sisi maksud atau tujuan pelaku tindak pidana (jarimah) dibagi ke dalam:

1. Tindak pidana sengaja/ delik dolus, (ﺔ ﺪ ﺋاﺮ )

Ialah tindakan atau perbuatan seseorang dengan sengaja untuk melakukan perbuatan yang dilarang, seperti pembunuhan yang direncanakan sebelumnya.

2. Tindak pidana tidak sengaja atau karena kesalahan (delik culpa), ﺋاﺮ ) ﺔ ﺪ ﺮ

(

42

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta, Rajawali Pers, 2000), h. 13


(54)

Jika si pelaku dengan sengaja atau tidak sengaja berbuat sesuatau dengan tidak menghendaki akibat-akibat perbuatannya atau karena kurang hati-hati, contohnya penganiayaan yang membawa kematian.

Ditinjau dari sisi mengerjakannya, suatu tindak pidana (jarimah) tergolong ke dalam:

1. Kejahatan positif atau Delict commissionis, )(ﺔ ﺎ ﻹاﺔ ﺮ

Yaitu kejahatan dengan melanggar larangan yang berupa perbuatan aktif, contohnya seperti mencuri, merampok, membunuh, dan lainnya. 2. Kejahatan negative atau Delict ommissionis, )(ﺔ اﺔ ﺮ

Adalah kejahatan yang melanggar perintah, seperti tidak melaksanakan amanah, tidak membayar zakat bagi orang-orang yang telah wajib membayarnya dan lainnya.

3. Omisi tidak murni, (ﺎ ﺮﻄ ﺔ ﺎ ﻹاﺔ ﺮ )

Contoh dari kejahatan omisi tidak murni ialah seperti seorang ibu yang tidak memberikan air susu pada anaknya dengan maksud untuk membunuhnya.

Dan tindak pidana (jarimah) jika dilihat dari aspek kerugian (korban) akibat jarimah tersebut, terbagi menjadi:


(55)

Adalah suatu jarimah dimana hukuman dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat dan keamanannya, menurut para fuqaha penjatuhan hukuman atas perbuatan tersebut menjadi hak Allah.

2. Jarimah perseorangan, (داﺮ ﻷاﺪﺿﺔ ﺮ )

Suatu jarimah yang mana penjatuhan hukumannya untuk melindungi kepentingan individu, contohnya pada jarimah diyat seperti hutang dan gadai. Pemaafan dari korban dapat memringankan hukuman bahkan menghapus hukuman-hukuman pokok akan tetapi tidak berarti ia bebas dan tetap dikenakan ta’zir43.

Akan tetapi Ibn Rusyd memberikan penjelasan lain mengenai pembagian tindak pidana (jarimah). Menurutnya ada lima kejahatan yang dikenai hukuman tertentu dari syara’, yaitu44:

a) Kejahatan atas badan, jiwa, adan anggota-anggota badan, yaitu yang disebut pembunuhan (al-qatl) dan pelukaan (al-jarh).

b) Kejahatan kelamin, yaitu yang disebut zina dan pelacuran (sifah).

c) Kejahatan atas harta, seperti perampokan (hirabah), pencurian (sariqah), perampasan (ghashb), dan lainya.

d) Kejahatan atas kehormatan, seperti contohnya tuduhan melakukan zina (qadzaf).

Kejahatan berupa pelanggaran dengan membolehkan makanan dan minuman yang diharamkan oleh syara’. Hanya saja dalam syariat Islam yang

43

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 9

44


(56)

dikenal dari kejahatan tersebut hanya minuman keras saja, yang hukumannya telah disepakati sepeninggalnya pembawa syari’at, Muhammad SAW.

E. Pengertian Pembajakan

3. Menurut Hukum Pidana Positif

Kata pembajakan di dalam kamus Bahasa Indonesia di ambil dari kata “Bajak” yang berarti merampok.45 Pembajakan pesawat disebut juga pembajakan udara dan perompakan pesawat, adalah pengambilan alih sebuah pesawat terbang, oleh satu orang atau berkelompok, umumnya bersenjata. Dalam beberapa kasus, pilot dipaksa terbang berdasarkan aturan si pembajak.46 Tidak seperti pembajakan kendaraan darat atau kapal laut, pembajakan udara biasanya tidak diorder untuk merampok barang kargo. Agaknya, beberapa pembajakan pesawat menggunakan penumpang sebagai sandera untuk mengirim pembajak ke tujuan yang diinginkan, menahan mereka untuk tebusan.

2. Menurut Hukum Pidana Islam

Di dalam hukum pidana islam tidak dikenal kata pembajakan pesawat, yang ada adalah perampokan terjemahan dari kata al-hirabah, Secara etimologi al-hirabah diambil dari kata al-harb (بﺮ - بﺮ - ﺎ ﺮ ) dengan memberi baris atas (fathah) pada huruf “ر” yang bermakna perang/ancaman terhadap keselamatan. Dengan menambahkan huruf )( diantara huruf “ا ح” dan “ر” menjadi

45

Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya, Terbit Terang 1999), h. 31

46


(57)

(برﺎ ـ برﺎ ـ ﺎ اﺮ ـ ﺔ اﺮ ـ ﺔ رﺎ ). Namun, bila huruf “ر” diberi huruf baris bawah (kasroh), maka bermakna mengambil harta.47 Secara terminologi, jumhur ulama berpendapat bahwa al-hirabah berarti sekelompok orang yang melakukan tindak pengerusakan (perusuh) dan pengganggu keamanan. Al-hirabah atau dengan nama lain qath’u al-thariq (pembajak/perampok/penyamun) sesungguhnya adalah tindakan melakukan berbagai tindakan pembunuhan yang disertai perampokan harta benda secara sewenang-wenang dan mengakibatkan kerusakan serta kerusuhan dalam suatu negeri muslim, tanpa didasari suatu ta’wil (penjelasan) apapun.48 Pengertian ini difahami dalam konteks adanya tindakan sekelompok orang, atau perorangan, sebagai penyamun yang sengaja mencegat orang-orang yang melalui sebuah jalan secara menakutkan untuk mengambil barang bawaannya.49 Pendefinisian ini sangat sesuai dengan dan setelah kita menelusuri akar katanya, yaitu bermakna perang (membunuh) dan juga dapat berarti merampok atau membajak.

Menurut Hanafiah, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah, definisi hirabah adalah:

وا لﺎ اﺬ ا وا ا ﺔ ﺎ ا ﻰ ا جوﺮ ا اﺬه ىدا اذا ﺔ ﺎ ا ﻰ لﺎ ا ﺬ ﻷ جوﺮ ا ﺔ اﺮ او

نﺎ ا 50

Artinya:

47

Ibnu Manzur, Lisan al-Arab. (Beirut: Dar al-fikr, tt), jilid ke-1, h. 302-304

48

M. Luthfi, skripsi Al-Hirabah Ditinjau Menurut Tafsir Al-Mannar, Jurusan tafsir hadis. (Jakarta: UIN Jakarta, 2002), h. 37

49

M. Amin Suma dkk, Pidana Islam di Indonesia : peluang, prospek, dan tantangan (Jakarta: pustaka firdaus, 2001), cet. 1, h. 130

50

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-jinai’ Al-islami, juz II, (Beirut: muatsatsah al-hirabah, 1998). Jilid II, h. 639


(58)

“hirabah adalah keluar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan, atau mengambil harta, atau membunuh orang”.

Menurut Syafi’iah definisi hirabah adalah:

ثﻮ ا ﺪ ا ﺔآﻮ اﻰ ادﺎ إةﺮ ﺎﻜ بﺎ رإوا والﺎ ﺬ ﻷ وﺮ ا هﺔ اﺮ ا

51

Artinya:

“hirabah adalah keluar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti dengan cara kekerasan, dengan berpegang pada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan)”.

Menurut Imam Malik, hirabah adalah:

ﺎﻬ ﺎ امﺪ ﺔ دﺎ لﺎ اﺬ ا 52

Artinya:

“Mengambil harta dengan tipuan (taktik), baik menggunakan kekuatan atau tidak”.

F. Bentuk-bentuk Pembajakan

3. Menurut Hukum Pidana Positif

Pada Pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal mengatur pembagian tidak pidana terhadap pesawat udara adalah sebagai berikut :

1. Dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang didalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan dan tindakannya itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut. 2. Dengan sengaja dan secara melawan hukum merusakkan pesawat udara

dalam dinas (in service) atau menyebabkan pesawat udara tersebut tidak

51

Ibid, h. 640

52


(59)

mampu untuk melakukan penerbangan dengan sempurna sehingga membahayakan keselamatannya dalam penerbangannya.

3. Menempatkan atau memungkinkan penempatan suatu bahan peledak atau suatu zat dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara bagaimanapun, sehingga dapat memusnahkan atau menyebabkan peswat udara tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat dalam penerbangan.

4. Memusnahkan atau merusak fasilitas penerbangan atau turut campur secara melawan hukum dalam pengoperasiannya, sehingga dapat membahayakn keselamatan pesawat udara dalam penerbangan.

5. Memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan pesawat udara dalam penerbangan.

Konvensi ini mengikuti pola yang ada dalam konvensi terdahulu bahkan dalam aspek yurisdiksi hukum telah dimasukkan sangsi-sangsi hukum yang lebih berat terhadap pelakunya dan kemungkinan untuk ekstradisi pelakunya (penyerahan) ke negara dimana tindakan tersebut mula-mula dilakukan. Pada konvensi ini juga berisi tindakan pembajakan dan terorisme udara sehingga konvensi ini dapat dikatakan sempurna karena memuat kedua tindakan tersebut.

4. Menurut Hukum Pidana Islam

Dilihat dari beberapa pendefinisian terhadap al-hirabah, sesungguhnya memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Pembunuhan, perampokan


(1)

baris bawah (kasroh), maka bermakna mengambil harta.80 Secara terminologi, jumhur ulama berpendapat bahwa al-hirabah berarti sekelompok orang yang melakukan tindak pengerusakan (perusuh) dan pengganggu keamanan. Al-hirabah atau dengan nama lain qath’u al-thariq (pembajak/perampok/penyamun) sesungguhnya adalah tindakan melakukan berbagai tindakan pembunuhan yang disertai perampokan harta benda secara sewenang-wenang dan mengakibatkan kerusakan serta kerusuhan dalam suatu negeri muslim, tanpa didasari suatu ta’wil (penjelasan) apapun.81 Pengertian ini difahami dalam konteks adanya tindakan sekelompok orang, atau perorangan, sebagai penyamun yang sengaja mencegat orang-orang yang melalui sebuah jalan secara menakutkan untuk mengambil barang bawaannya.82 Pendefinisian ini sangat sesuai dengan dan setelah kita menelusuri akar katanya, yaitu bermakna perang (membunuh) dan juga dapat berarti merampok atau membajak.

Pembajakan pesawat disebut juga pembajakan udara dan perompakan pesawat, adalah pengambilan alih sebuah pesawat terbang, oleh satu orang atau berkelompok, umumnya bersenjata. Dalam beberapa kasus, pilot dipaksa terbang berdasarkan aturan si pembajak.83 Tidak seperti pembajakan

80

Ibnu Manzur, Lisan al-Arab. (Beirut: Dar al-fikr, tt), jilid ke-1, h. 302-304

81

M. Luthfi, skripsi Al-Hirabah Ditinjau Menurut Tafsir Al-Mannar, Jurusan tafsir hadis. (Jakarta: UIN Jakarta, 2002), h. 37

82

M. Amin Suma dkk, Pidana Islam di Indonesia : peluang, prospek, dan tantangan (Jakarta: pustaka firdaus, 2001), cet. 1, h. 130

83

Artikel ini di akses pada tanggal 12 desember 2007. http://id.wikipedia.org/wiki/Pembajakan_pesawat


(2)

kendaraan darat atau kapal laut, pembajakan udara biasanya tidak diorder untuk merampok barang kargo. Agaknya, beberapa pembajakan pesawat menggunakan penumpang sebagai sandera untuk mengirim pembajak ke tujuan yang diinginkan, menahan mereka untuk tebusan.

3. Mengenai sanksi pidana yang dijatuhkan atas pelaku tidak pidana al-hirabah, maka para fuqaha sependapat bahwa hukumannya tersebut berkaitan dengan hak Allah dan hak Adami (manusia). Disepakati pula bahwa hak Allah tersebut adalah hukuman mati, hukuman salib, potong tangan dan kakinya secara bersilang, dan hukuman pengasingan, sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam surat al-Maidah ayat 33:84

⌧ ⌧

Artinya:

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”

84

Sebagian ulama berpendapat, bahwa maksud penyaliban adalah disalib sampai mati kerena lapar. Ulama yang lainnya mengatakan bahwa maksud penyaliban adalah dihukum mati dan disalib bersama-sama. Sebagian lagi berpendapat, dihukum mati terlebih dahulu baru kemudian setelah itu di salib. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 671


(3)

Atau untuk masing-masing perbuatan diterapkan hukuman tertentu yang sesuai dengan bentuk kejahatannya.85

Pada UU No. 15 Tahun 2003 pasal 6: Setiap orang yang dengan sengaja mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

B. Saran-saran

1. Untuk Departemen Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, diharapkan mampu merevisi ulang undang-undang No.15 Tahun 1992, dengan mengedepankan keselamatan adalah faktor utama dalam penerbangan, dan juga menegaskan lebih jauh tentang sanksi pidana pembajakan pesawat.

2. untuk seluruh pemilik maskapai penerbangan agar lebih (tegas) kepada pegawainya yang kurang disiplin, memeriksa barang bawaan penumpang dan perlu adanya alat yang canggih mendeteksi langsung terjadinya kejahatan diatas pesawat udara.

3. Perlu pembentukan suatu lembaga yang menangani terorisme pembajakan pesawat udara secara nasional yang bersifat tetap (Mahkamah Penerbangan).

85


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasyid, Priyatna, Kedaulatan Negara Di Ruang Udara, Bandung: Bina Cipta, 1972 _________, Pengantar Hukum Ruang Angkasa, Bandung: Bina Cipta, 1977, cet. I

Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’ Al-jinai’ Al-islami, juz II, Beirut Libanon: Al-Risalah Publisher, 1998

A. Wahab, Afif, Hukum Pidana Islam, Serang: Yayasan Ulumul Qur’an, 1998

Assyaukanie, Luthfi. Politik, Ham, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, cet pertama.

As-Shan’ani. Subulussalam. Surabaya: Al-Ikhlash, 1995, Juz III, cet 1.

Bungin, Burhan, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo, 2004, cet.ke-3 Bukhori, Imam, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-fikr, 1994

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002, cet. I Departemen Perhubungan, Direktorat Jendral Perhubungan Udara, Undang-undang

Penerbangan nomor 15 Tahun 1992

_________, Directory Peraturan Perundang-Undangan Penerbangan, Jakarta tt Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya

Djazuli, H.A.,Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990, cet. I

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1970

Hamidy, Mu’ammal dkk. Terjemah Nailul Authar. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001. Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT Renika Cipta Cet 12, 2005 Hanafi, Ahmad.,Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005 Hakim, Rahmat., Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: CV. Pustaka Setia,

2002, cet. I

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembajakan_pesawat http://id.wordpress.com/tag/sanksi/

http://www.cuii.org

http://www.sudirodesign.com/index.php?m=news&id=0&hash_token=&my_category=& lower_limit=24


(5)

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=8&mnorutisi=2

http://lib.atmajaya.ac.id/DDefault.aspx?tabID=52&tpk=%22pesawat+udara%22

http://www.google.com.sg/search?hl=en&q=artikel+pidana+kejahatan+penerbangan&btn G=Search&meta

Ibn Manzur. Lisanul ‘Arabi, (Cairo: Darul Hadits, 1423 H- 2003 M), Juz III.

Isnaeni, Moch., Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, Surabaya: CV. Dharma Muda, 1996, cet. I

Kanter, dkk.., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, Cet III, 2002.

Komar, Mieke., lembaga Jaminan Kebendaan Pesawat Udara Indonesia Di Tinjau Dari Hukum Udara, Bandung: PT. Alumni, 1989, cet. I

Lamintang P.AF., Dasas-dasar Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditiya Bakti, Cet III, 1997.

Luthfi, Siful., Al-hirabah Dalam Kajian Tafsir Al-Manar.Jurusan Tasfsir Hadist Fakultas Ushuludin dan pilsafat, UIN Jakarta: 2005

Mawardi, Abu Hasan, Al, Ahkam As-Sulthaniyah, Mesir: Musthofa Baby Al-Halaby, Cet III, 1975.

Marhijanto, Bambang, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Terbit Terang 1999. Marpaung, Laden, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet.

Ke-3

Mertokusumo, sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta:Liberty, 1996 Muslich, H.A., Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, cet. II

Moegandi, Achmad, Mengenal Dunia Penerbangan Sipil, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, cet. I

Moeljatno, KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, cet. XXIV, 2005

________, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet. VII, 2002

Poernomo, Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, cet. 7 Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, bandung: PT. Eresco

Jakarta, 1981, cet. 3


(6)

Rusyd Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut: Dar Al-Jiil, Cet I, 1989.

Ridh, R. Ali, Hukum Dagang Tentang Aspek-Aspek Hukum Asuransi Udara dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Bandung: PT. Remaja Karya, 1984

Sabiq, Sayyid, fiqh Sunnah, Bandung: al-Ma’arif, 1996

Sahetapy, J.E., Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Pusaka Sinar Harapan, 1987, cet. I

Santoso, Topo, Mengagas Hukum Pidana Islam Penerapan Syari’at Islam Dalam Konteks Modernitas, Bandung As-Syammil press, 2000

Shihab, Quraish, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003

Suma, M., Amin, dkk, pidana islam di Indonesia : Peluang, Prospek, dan Tantangan Jakarta: pustaka firdaus, 2001, cet. I

Syafaat, Muchamad Ali, Tindak Pidana Teror, Belenggu Baru bagi Kebebasan, dalam Rusdi Marpaung dan Al-Araf (Ed), Terorisme, Defenisi, Aksi dan Regulasi, Jakarta: Imparsial, 2005

Tahido Yanggo, Chuzaimah, DR., Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, Buku ke IV, Cet III, 2002

Undang-undang no.15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bandung: Fokus Media, 2003

Undang-undang Dasar negara republik Indonesia tahun 1945 dan perubahannya

Zahra, Abu, Al-Jarimah wal ‘Uqubah Fil Fiqh Islamy, Kairo: Daar Al-Fikr Al-‘Araby, 1997.