64
Sebaliknya jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia lakukan ,maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu di
ragukan . jadi dalam hal ini pembuat undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat
membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri. dengan kata lain seseorang menerima perintah atau tugas dari seorang atasan haruslah waspada dan teliti.
94
2. Alasan Pembenar
Di dalam bagian kedua, terdapat juga bagian Khusus yang terdapat dalam buku kedua Tentang pengaturanKhusus secara keseluruhan membahas tentang
adanya alasan penghapusan pidana yaitu sebagai berikut :
a. Pasal 166
“Ketentuan pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang jika pemberitahuan itu akan mendatangkan bahaya jika pemberitahuan itu akan medatangkan bahaya
penuntutan bagi dirinya, bagi salah seorang kaum keluarganya sedarah atau keluarganya karena perkawinan dalam keturunan yang lurus atau derajat kedua
atau ketiga dari keturunan menyimpang bagi suaminya isterinya atau bekas suaminya isterinya atau bagi orang lain, yang kalau di tuntut, boleh ia meminta
supaya tidak usah memberi keterangan sebagai saksi, berhubung dengan jabatan atau pekerjaanya.”
Pasal 166 ini berkaitan dengan pasal 164 dan pasal 165 yang memberikan ancaman pidana kepada seseorang yang meskipun mengetahui akan terjadinya
94
Remmelink. Op.cit.hlm .252-257, lihat juag Soesilo . Op.cit Hlm.67. Utrecht .Hlm .381-382
65
beberapa kejahatan tertentu yang sangat sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang berwajib pada waktu tindak-tindak pidana itu masih dapat di
hindarkan atau di cegah. Sanksi pidana ini baru dapat di jatuhkan apabila kemudian ternyata tidak pidana yang bersangkutan benar-benar terjadi.
Jadi menurut paal 166, kedua pasal tersebut pasal 164 dan 165 tidak berlaku apabila si pelaku melakukan tindak-tindak pidana itu untuk
menghindarkan dari penuntutan pidana terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sanak keluarga dalam keturunan lurus dan kesamping samai derajat ketiga, atau
terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang yang dalam perkaranya ia dapat di bebaskan dari kewajiban memberi kesaksian di muka sidang
pengadilan.
95
b. Pasal 186 ayat 1
“ Saksi dan tabib yang menghadiri perkelahian satu lawan satu tidak dapat di hukum”
Di Negara Indonesia perbuatan seperti ini di atur dalam Bab VI KUHPidana kita, yaitu tentang “ perkelahian satu lawan satu,” yang terdapat
dalam pasal-pasal 182 sampai dengan pasal 186. Akan tetapi saksi –saksi atau medis yang menghadiri atau yang menyaksikan perang tanding ini misalnya
dalam olah raga tinju, karate, dan lain sebagainya tidak boleh di hukum berdasarkan pasal 186 ayat 1 ini.
96
95
Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-tindak Piadana tertentu di Indonesia. Bandung : Refika Aditama 2002. Hlm 224-225
96
Ibid.hlm.168-169
66
c. Pasal 314 ayat 1
“ Kalau orang yang di hinakan, dengan keputusan hakim yang sudah tetap, telah di persalahkan melakukan perbuatan yang di tuduhkan itu, maka
tidak boleh di jatuhkan hukuman karena memfitnah.” Dalam hal ini ada satu hal yang dapat menghilangkan sifat melawan
hukumnya perbuatan itu, yaitu apabila ternyata apa yang di lakukan yang di tuduhkandi hinakan kepada orang itu, terbukti benar sesuai dengan keputusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain orang yang di hinakandi cemarkan nama baiknya ini telah di jatuhi pidana terhadap perbuatan
yang di hinakan dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu sifat melawan hukum yang di lakukan oleh si penghina atu pencemar nama baik tersebut di hapuskan
hilang.
97
Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “penganiayaan ringan” pasal 352 ayat 1, yang pelaku di ancam dengan pidana. Akan tetapi dengan adanya ayat 2
pasal ini, maka percobaan melakukan penganiayaan ringan tidak dapat di pidana; merupakan alasan penghapus pidana. seharusnya sesuai dengan peraturan umum,
yaitu pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan penganiayaan ringan ini juga harus di pidana. Akan tetapi sanyangnya pembuat undang-undang
D.Pasal 352 ayat 2 “ Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di hukum”
97
Hamdan, Ibid. hlm 56-57
67
tiak merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di pidana.
98
98
Ibid, hlm.57
9
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang