104
lebih luas lagi, yaitu menyeluruh, karena menyangkut kelanjutan masa depan Negara…hasil perbauatan dan tindakan-tindakan anak boleh di
samakan dengan perbuatan orang-orang dewasa, namun cara atau pola perbuatanya itu sendiri tetap tidak di samakan, karena apa, karena
pandangan ankan terhadap sesuatu itu berlainan dengan pnadangan orang dewasa. Tingkah laku orang dewasa adalah tingkah laku yang
sempurna, sedangkan perangai si anak apabila di selidiki merupakan suatu masalah krisis nilai saja , karena dalam pertumbuhan kemasa
remaja sedang dalam proses mencarai identitas diri.
131
B. Persepektif Hukum Pidana Islam
Dalam perspektif hukum pidana islam Fiqih al-jinayah al-islamya, pertanggungjawaban pidana disebut dengan istilah al-mas’ulyyah al-jinaiyah.
Menurut A.Hanafi, pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang akibat perbuatanya atau tidak berbuat dalam delik omisi
yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri di mana ia mengetahui maksud- maksud dan akibat-akibat dari perbuatnya itu.
132
Berdasarkan pengertian ini, maka sebuah pertangungjawaban pidana dalam syaria’at Islam di tegakkan atas tiga hal, yaitu : 1 adanya perbutan yang di
larang; 2 di kerjakan dengan kemauan sendiri; dan 3 perbuatanya mengetahui akibat perbuatanya tersebut. Kalau ketiga hal itu ada, maka berlakulah
131
Meliala, A. Qirom Syamsuddin dan E. Sumaryono, kejahatan Anak suatu tinjauan dari Psikologi dan Hukum, Yogyakarta Liberty, 1985, hlm. 22-23
132
Hanafi , A. Asas-asas Hukum Pidana Islam Jakarta: Bulan bintang, 1976 ,hlm . 173
105
pertanggungjawaban pidanan. sebaliknya jika tidak ada, maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian ketiga hal tersebut merupakan
unsur –unsur dari pertanggungjawaban pidana.
133
1. Hukuman memiliki daya kerja yang cukup, sehingga bisa menahan
untuk tidak mengulangi perbuatanya. Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjwaban pidana
di maksudkan untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat, atau dengan kata lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat. Oleh karena
itu, besarnya hukuman, harus di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, yakni tidak boleh melebihi apa yang di perlukan untuk melindungi kepentingan
masyarakat atau kurang dari yang di perlukan untuk menjatuhkan akibat-akibat buruk dari perbuatan jarimah.
Sesuatu hukuman dapat dia anggap mewujudkan kepentingan masyarakat, manakala memenuhi syarat-sayarat berikut ini :
2. Hukuman memilik daya kerja bagi orang lain, sehingga ia memikirkan
akan melakukan jarimah maka terpikir pula olehnya bahwa hukuman yang akan menimpanya lebih besar dari pada keuntungan yang akan di
perolehnya. 3.
Ada persesuaian antara hukuman dengan jarimah yang di perbuat.
133
Ibid,. hlm . 174
106
4. ketentuan hukuman berisifat umum, artinya berlaku untuk setiap orang
yang melakukan jarimah tanpa memandang jabatan, keturunan, atau pertimbangan-pertimbangan lain.
134
Hubungan hukuman dengan pertanggungjawaban pidana di tentukan oleh sifat “ keseorangan hukuman” yang merupakan salah satu dalam syariat islam, di
mana seseorang tidak bertanggungjawab kecuali terhadap jarimah yang telah di perbuatnya sendiri, dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjawab atas jarimah
orang lain sedekat apapun tali kekurangan atau tali persahabantanya anatara keduanya.
Prinsip tersebut berkali-kali di tandaskan dalam Alquran surat an-nisa ayat 123,
135
al-Anam ayat 164,
136
Fathir ayat 18,
137
an-Najm ayata 39,
138
134
Ibid
135
Artinya, “ pahala dari allah itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-anagn ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya
akan di beri pembalasan dengan kejahatan itu adan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari allah.”
136
Artinya, “ katankanlah : Apakah aku akan mencari tuhan selain Allah, padahal di adalah tuhan bagi segal sesuatu. Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudaratnnya
kembali akan dirinya sendiri ; dan seorang yang berdosa tidka kembali, dan akn di beritakanya kepadamu apa yang kamu persilishkan.”
137
Artinya , dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil orang lain untuk memikul dosanya itu tiadaalah akan
di pikikulkan untuknnya sedikitpun meskipun yang di panggilnya itu kaum kerabtanya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri perindagatan hanya orang-orang yang takut kepada azab
tuhanya sekalipun mereka tidak melihatnya dan mereka mendirikan shalat. Dan barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri, dan
kepada Allalah kembali mu.”
138
Artinya,” dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah di usahakan.”
dan
107
fuslihat ayat 46,
139
dan juga hadis Nabi SAW yang berbunya : seseorang tidak di hukum karena perbuatan ayahnya atau perbuatan saudaranya.
140
Khusus dalam konteks pertanggungjawaban pidana, hukum islam mensyaratkan kebalighan dewasa.
141
Maka, anak-anak tidak di kenakan kewajiban mempertanggungjawabkan perbuatan pidana. Menurut syariat islam,
pertanggungjawaban pidana di dasarakn atas dua perkara, yakni pertama kekuatan berpikir dan kedua pilihan iradah dan ikhtiar. ketentuan ini berdasarkan pada
hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi ; diangkat dalam tiga hal ; orang yang di atur sampai terbangun, anak-anak sampai dewasa, dan orang gila sampai
ia terkala atau sembuh.
142
Mengenai kedewasaan baligh sebagai pembebanan kewajiban agama takif ada beberapa pendapat ulama. Ada yang mengatakan, apabila telah
berumur dua belas tahun, dan menurut pendapat Hadawiyah yang di kutip oleh kahlani, seorang perempuan di anggap telah cukup apabila telah mencapai usia
lima belas tahun, dan telah menampakkan pertumbuhan biologis kedewasaanya.
143
139
Artinya , “”barangsiapa yang emnegrjakan amala yang saleh maka pahalanya untuk dirinya sendir dan barang siapa yang berbuat jahat maka dosanya atas dirinya sendiri; dan sekali-
kali tidaklah tuhan mu menganiaya hamba-hambanya.”
140
Ibid
141
Kata baligh terambil dari akar kata balgha yang atrinya menerima, tiba sampai, mencapai pubertas dan tahap usia dewasa. Usia baligh adalah usia yang di pandang tepat sebagi
batas di mulainya kewajiban-kewajiban agama. Liha wehr, hans, A dictionary of modern Written Arabic otto Harrassowitz: Wiesbaden , 1979, hlm . 73
142
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, hadis ini di rawayatkan oleh imam yang empat kecuali Tirmizi, hadis ini di rawayakan oleh imam yang empat kecuali Tirmizi, dan di sahkan oleh Hakim,
dan di keluarkan oleh Ibn Hibban. Lihat al-asqalani, ibn Hajar, bulugh al-Marram min Adillat al- Ahkam singapura:Silaiman Mar’I,tt, hlm.136
143
Al-kahlani,Muhammad Ibn Ismail , subul as-Salam; Syarh Bulugh al-Maram, juz III Mesir :Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960, hal 180-181
sedangkan kedewasaan laki-laki, secara ijmak consensus di
108
kalangan ulama mujtahid, menurut yang di utarakan oleh kahlani, adalah apabila dia telah bermimpi bercampur dengan perempuan telah mengeluarkan
sperma.
144
Sebagaimana di tegaskan di atas bahwa menurut syariat islam, pertangungjawaban pidana di dasarkan atas dua perkara, yaitu ketentuan berpikir
dan pilihan iradah dan ikhtiyar, oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda- beda menurut perbedaan masa hidupnya. Setidaknya fukaha memberikan batasan
masa kanak-kanak sebagai berikut : Sebelum batas kedewasaan tersebut di capai seseorang, maka belum dapat
di katakan mukllaf orang yang mendapatkan kewajiban agama, dan karenanya, berdasarkan ketentuan hadis di atas, maka kepada orang itu tidak dapat di
pertanggungjawabkan tindak pidana yang di perbuatanya, dan karenanya ia tidak dapat di hukum atas perbuatan tersebut.
145
1. masa tidak adanya kemampuan berpikir
masa ini di mulai sejak di lahirkan dan berakhir pada usia tujuh tahun. Pada masa tersebut seorang anak di anggap tidak mempunyai kemampuan
berpikir, atau biasa disebut dengan anak belum mumayiz. Sebenarnya kemampuan berpikir bisa membedakan, tamyiz tidak terbatas pada usia tertentu, sebab
kemampuan berpikir kadang-kadang bisa timbul sebelum usia tujuh tahun dianggap paling lazim dan memadai bagi seorang anak bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
144
Ibid
145
Hanafi , A. Op.cit , hlm 398
109
jika pada usia tersebut mereka melakukan perbuatan pidana, maka tidak di jatuhi hukuman, baik sebagai hukum pidana, atau sebagai pengajaran. Akan
tetapi, anak tersebut di kenakan pertanggungjawaban perdata, yang di bebankan kepada orang tua, yaitu memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang di
derita oleh diri dan harta milik orang lain.
146
walaupun demikian, kewajiban mengganti rugi tetap tidak terlepas dari padanya, sebagaimana telah di tegaskan
oleh amidi.
147
mengenai tidak berlakunya hukum qisas bagi anak-anak oleh karena ketiadaan taktif, di tegaskan juga oleh syurbaini Khatib
148
dan imam ar- Ramli.
149
2. Masa kemampuan berpikir lemah
Masa ini di mulai sejak usia 7 tujuh tahun sampai mencapai kedewasaan balig , dan kebanyakan fukaha membatasinya dengan usia lima
belas tahun. Kalau seorang anak telah mencapai usia tersebut maka ia di anggap dewasa, meskipun boleh jadi ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya.
Menurut A. Hanafi, pada masa tersebut seorang anak tidak di kenankan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukanya, melainkan
anak tersebut mendapat hukuman dalam bentuk pengawasan, bukan hukuman pidana. Kalau pun anak dalam usia tersebut melakukan tindak pidana secara
berulang-ulang, hal itu tidak di kategorikan sebagai pengulang kejahatan
146
Ibid, hlm .399
147
Al – amidi , saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- ihkam fi Usul al-Ahkam , juz I Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt, hlm 78
148
Khatib, Muhammad Syarbani, Mughi al-Muhtaj Ila –Ma’rifat , Ma’ani Alfadz Minhaj ‘ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II kairo : Dar al- Fikr, 1958, hlm . 279
149
Ar-Ramli , Muhammad Syihabuddin , nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al –minaj, juz V Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt hlm.246
110
recidivist . hukuman pengajaran itu, tidak berarti melepaskan dirinya dari hukuman ganti rugi sebgai bentuk pertanggungjawaban perdata.
150
3. Masa kemampuan berpikir penuh
Masa ini di mulai sejak seseorang mencapai usia kecerdikan sin Ar-rasyd, atau dengan kata lain, setelah mencapai usia lima belas tahun atau
delapan belas tahun. Jika pada usia tersebut melakukan perbutan pidana, maka berlaku pertanggungjawaban pidana atasnya dari seluruh jenis jarimah yang di
lakukanya tanpa terkecuali.
151
Sebagaimana di tegaskan, dalam pandangan Islam, komunitas usia anak belum di pandang sebagai mukallaf, maka dalam konteks perbuatan hukamanya
pun di pandang belum sempurna, usia anak-anak, baik dalam ibadah maupun di luar ibadah islam tidak di kategorikan sebagai perintah wajib. Dengan kata lain,
perbuatan anak-anak, tepatnya, masih dalam kategori anjuran, ajakan dan pembinaan. Dengan demikian, kondisi sebagai kanak-kanak di akui sebagai alasan
pembenar untuk menghapuskan dan mengurangi hukuman sebagaimana di kenakan pada komunitas dewasa.
Berdasarkan penjelasan ini dapat di pahami bahwa pertanggungjawaban pidana atas delik pidana yang di lakukan kanak-kanak mendapatkan tempat
pembahasan khusus dalam lingkup hukum pidana Islam. Dalam konteks ini maka dapat di katakan bahwa komunitas usia anak mendapatkan perhatian tersendiri
dalam hukum Islam.
150
Ibid.
151
Ibid hlm. 400
111
C. Persamaan dan Perbedaan