Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam

111

C. Persamaan dan Perbedaan

Pertanggungjawaban pidana criminal responsibility dalam perspektif hukum pidana Indonesia konsekuensi logis dan yuridis dari perbuatan pidana yang di lakukan. Sebagaimana lazimnya di tegaskan bahwa sebuah perbuatan pidana mensyaratkan pertanggungjawaban pidana. Begitu pula hanya dalam perspektif hukum pidana islam al-mas’uliyah al-jinayiayah. Perbedaan secara kentara terjadi pada pembagian kejahatan atau delik pidana yang di lakukan. Dalam persepektif hukum pidana positif, kejahatan atau delik pidana meliputi kejahatan mal in se dan pelanggaran mala prohabita . dalam dua lingkup pembagian delik pidana, kelihatan bahwa cakupan delik jauh lebih kecil di bandingkan dengan apa yang di tegaskan dalam hukum pidana islam. Sebagaimana di maklumi, jenis kejahatan atau di sebut jarimah, di kenal tiga macam, yaitu hudud untuk kasus-kasus tertentu yang hukumanya telah di gariskan dalam syariat islam, alquran dan Hadis Nabi Muhammad saw. Jenis kejahatan kategori hudud juga terbatas, yakni perizinan, pencurian, perampokan,dan murtad. Selain out, jenis kejahatan orang lain, termasuk pembunuhan sengaja al –qatl al-amdu, pembunuhan serupa sengaja al-qatl al-‘amdi, pembunuhan karena tersalah al-qatl, al-al khata’, pelukaan sengaja al-jarh al-‘amdu, dan pelukaan karena tersalah al-jarh al-kahtha’. Dan ta’zir, melingkupi jenis-jenis, kejahaan selain dari yang di atur dalam kedua jarimah di atas. 112 Berdasarkan hal, tersebut maka kondisi kanak-kanak sebagai alasan pengecualian hukuman di akui berlaku dalam dua persepektif hukum tersebut, baik di lingkungan hukum pidana positif, maupun di lingkungan hukum pidana islam, selain itu, kondisi kanak-kanak mendapat perlakuan tersendiri yang di perlakukan berbeda dengan komunitas orang dewasa. Hal ini tidak lain sebagai wujud perlindungan hak-hak anak. Penyamaan intensitas perbuatan antara orang dewasa dengan anak-anak jelas tidak dapat di terima sebab kematangan pola pikir mempengaruhi intentensitas sebuah perbuatan pidana. Kedua persepektif hukum, baik hukum pidana Indonesia maupun hukum pidana islam dengan tegas memasukkan kategori anak-anak sebagai alasan pengecualian hukum, maka, pertanggungjawaban hukum atas perbuatan pidana sekalipun yang mereka lakukan di kategorikan tidak sempurna sekaligus di pandang sebagai tidak mutlak, berbeda dengan kategori usia dewasa, kedua persepektif hukum ini memandangnya sebagai termasuk pelaku pidana yang terkait langsung dengan bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana yang di lakukanya. Adapun perbedaan-perbedaan dari kedua persepektif hukum ini dapat di lihat dari aspek-aspek sebagai berikut : 1. Kekuasaan kehakiman Dalam lingkup hukum pidana Indonesia, khususnya setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang peradilan Anak, penanganan kasus anak nakal menunjukkan bahwa hakim berperan penting dalam menyelesaikan kasus anak 113 nakal , yakni anak yang dalam kategori sebagai pelaku pidana. Pembatasan umur juga menjadi hal penting yang harus di perhatikan dalam menjatuhkan hukuman kepada anak nakal. Dalam persepektif ini, batas umum adalah 8 delapan sampai dengan delapan belas tahun. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, tidak di kenal istilah anak nakal, dalam perspektif Islam, pelaku pidana yang tergolong usia ank-anak berada sepenuhya dalam kewenangan dan pertimbangan hakim. Akibatnya, batas usia tidak di tetapkan secara defenitif, melainkan di lihat dari aspek kematangan pola pikir dan mental anak. Di sinilah batas usia muncul setelah proses pematangan anak terlihat secara penuh. Bagaimanapun kekuasaan hakim berlaku sepenuhnya pada tindak pidana qisa-diyat dan takzir. Keleluasaan hakim dalam tindak pidana qisas dan diyat sebenarnya sangat terkait dengan system peradilan Islam di mana hakim berperan dalam upaya penemuan dan penafsiran hukum. Temuan dan tafsiran hukum oleh hakim memeberikan pengaruh tersendiri yang melalui pertimbangan hakim akan dasar penjatuhan hukuman. Maka, dalam konteks ini, hakim dalam peradilan islam bisa saja melihat sisi-sisi lain yang tidak formal berdasarkan batas usia semata, terutama dalam kategori balig. Sebab, ukuran balig dalam pandangan islam tidak semata-mata di capai melalui batas usia, tetapi di lihat dari intensitas perbuatan dan kencenderungan pola pikir anak. 114 Hal ini sangat berdasarkan karena tujuan pemidanaan dalam hukum pidana islam setidaknya untuk mencapai tiga hal sebagai berikut : 1. Menjamin keamanan dari kebutuhan – kebutuahn hidup yang mendasar dahruriyyat. di sinilah lahir lima kategori pencapian syariat yang di kenal dengan istilah maqashid as-syariah, yakni 1 hifz ad-din pemeliharaan agama; 2 hifz an-nafs pemeliharaan jiwa ; 3 hifz al-maal pemeliharaan hara; 4 hifz an-nasl pemeliharaan keturunan; dan 5 hifzh al-‘aql pemeliharaan akal. 2. Menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidup sekunder hajiyat. Ini mencakup hal-hal yang penting ketentuan itu dari berbagai fasilitas utnuk penduduk dan memudakan kerap keras dan beban tanggungjawab mereka. 3. Membuat perbaikan-perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik yang di sebut dengan tahnsiniyyat. 152 2. Jenis hukuman Sebagaimana di tegaskan dalam pasal 23 UU No. 3 ahun 1997 tentang pengadilan anak, disebutkan sebagai berikut : 1. Pidana yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. 2. Pidana pokok yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal ialah : 152 Topo Santoso, Menggagas hukum pidana islam Bandung Asy Syaamil, 2001, hlm.130-131 115 a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda;atau d. Pidana pengawasan 3. Selain pidana pokok sebagaimana di maksud dalam ayat 2 terhadap anak nakal dapat juga di jatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. 4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi di atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dalam persepektif hukum pidana islam, jenis hukuman yang di jatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, sebagaimana di tegaskan dalam pembahasan sebelumnya, sangat tergantung kepada kemampuanya untuk mempertanggungjawabkan perbuatanya. Adapun jenis hukuman yang di berikan adalah hukuman pokok dalam tindak pidana qisas-diayat, yakni hukuman qisas dan hukuman pengganti, yakni membayar diyat denda. Penting ditegaskan bahwa hukuman qisas dan diyat sangat terkait dengan jenis perbuatan pidana. Sebagaimana dimaklumi bahwa kategori usia anak-anak as-shobiyyun tidaklah sama dengan kategori dewasa mukallafun. Kategori anak-anak dalam hukum Islam tidak termasuk kategori yang diwajibkan hukum padanya laysa lahu khilabun. Maka, kalaupun mereka melakukan tindak pidana, hal itu tidak disebut sebagai perbuatan pidana sempurna. Maksudnya, terdapat pengecualian hukuman 116 bagi mereka. Hukuman bagi kategori shobiyyun adalah wujud ad-dham’an fi malihi kewajiban membayar ganti rugi dari hartanya. Begitupun hakim memiliki kekuasaan untuk melihat secara jernih dan proporsional tingkat intensitas perbuatan dan kematangan pola pikir anak. Hakim dapat saja berpandangan lain, manakala terdapat indikator kuat bahwa kematangan pola pikir anak tercermin dari perbuatan pidana yang dilakukannya. Di sinilah hukuman takzir dapat dikenakan kepada mereka. Sedangkan untuk kategori tindak pidana takzir, hakim memiliki kewenangan penuh untuk menjatuhkan hukuman termasuk jenis hukuman kepada anak sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan dalam hukum Islam hanya menyebutkan bahwa melalui pertimbangan hakim tersebut, maka batasan hukuman tidak tertentu, dari hukuman yang terendah sampai hukuman yang tertinggi. Jika kedua sistem hukum, pidana positif dan pidana Islam, dilekatkan untuk melihat kasus persidangan Raju yang beberapa waktu lalu terjadi. Maka, setidaknya dapat dikatakan bahwa apa yang menimpa Raju seharusnya tidak boleh terjadi. Seorang anak yang masih dalam kategori bocah istilah Indonesia untuk menyebutkan masih kanak-kanak harus disidangkan dipengadilan. Muhammad Azwar yang akrab disapa Raju, bocah berusia sekitar 8 tahun asal Pangkalan Brandan, Sumatera Utara akhirnya mengalami trauma psikologis. Pasalnya, bocah malang ini disidangkan dan ditahan atas perbuatannya berkelahi 117 dengan teman sebayanya, Ermansyah usia 14 tahun. Raju untuk beberapa lama harus mendekam dalam sel tahanan bersama dengan komunitas dewasa. Madja El Muhtaj dalam artikelnya, Anak Juga Manusia mengatakan kekerasan terhadap anak tidaklah semata-mata bermakna kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan dalam pengertian luas yang mengakibatkan terabaikannya hak-hak anak secara mendasar. Apa yang diperankan oleh Pengadilan Negeri PN Stabat di Pangkalan Brandan terhadap kasus Raju dapat diindikasikan sebagai bentuk nyata dari kekerasan terhadap anak. PN Stabat hanya bertengger pada normativitas hukum secara kaku, tanpa melihat sisi lain yang objektif terhadap realitas perkembangan psikologis Raju. 153 Selain persoalan batas umur Raju, yang layak dipertanyakan adalah, sejauhmana tugas profesional yang dapat diperankan aparatur hukum yang menangani kasus Raju, khususnya dalam memberikan perlindungan hukum bagi Raju sebagaimana juga telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Harus disadari bahwa tindakan yang bertentangan dengan asas tidak Pada bagian lain artikelnya, Majda El Mustaj juga menegaskan bahwa mekanisme hukum terhadap kasus Raju bertentangan secara asasi dengan nilai- nilai dan martabat seorang anak. Memang, masih menjadi perdebatan tentang usia Raju. Oleh karena itu, harus dilakukan penyelidikan secara menyeluruh tentang inti permasalahan kasus Raju. 153 Lihat El Mustaj, Majda, “Anak Juga Manusia,” dalam Harian Analisa, Medan 1 Maret 2006 118 akan pernah mencapai tujuan yang hakiki, actus repugnus non potest in esse produci. 154 Jika diamati dalam perspektif hukum pidana Islam, Raju masih belum dikategorikan anak pada usia balig yang serta merta bertanggungjawab secara pidana. Usia Raju dalam pandangan hukum Islam sepatutnya mendapatkan pengecualian dari hukuman. Raju hanya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang dalam istilah hukum Islam disebut ta’dib. Maka, hemat penulis, seyogianya untuk kasus Raju, pihak aparatur hukum tidak terjebak secara kaku menerapkan normativitas batas usia sebagaimana digariskan dalam UU No 3 Tahun 1997, Kasus Raju, kalau hanya dilihat dari sudut normativitas hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 UU No 3 tahun 1997 yang menegaskan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara Anak nakal telah mencapai usia 8 delapan dan belum mencapai usia 18 delapan belas tahun serta belum pernah kawin, terlalu simplisitik. Memang, penetapan usia Raju yang menurut aparatur hukum telah mencapai usia 8 delapan tahun masih menjadi perdebatan, sepanjang kasus tersebut muncul. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam, batas usia 8 delapan tahun masih sulit dikategorisasi layak bertanggungjawab secara pidana. Sebab usia 8 delapan jika ditilik perkembangan psikologis Raju terbilang tidak tepat dijadikan sebagai status anak nakal yang oleh UU No 3 Tahun 1997 dikategorikan sebagai anak yang melakukan tindak pidana. 154 Ibid. 119 melainkan dengan kemampuan dan pertimbangannya, hakim dapat mempertimbangkan hal lain diluar batas usia tersebut. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Adrianus Meliala, kriminolog UI, yang mengatakan jelas dibutuhkan pertimbangan yang matang dalam menjatuhkan hukuman kepada anak. Apalagi, semakin tinggi proses hukumnya, harusnya semakin banyak hal yang harus dipertimbangkan. Usia 8 delapan tahun sebagai batas minimal disebut anak nakal dalam UU No 3 Tahun 1997, dalam perkembangan psikologis anak, jelas sulit membedakannya dengan anak berusia 8 delapan tahun yang lewat satu atau dua hari. 155 155 “Hak anak belum diperhatikan,” dalam Harian Kompas, Jakarta, edisi 7 Juli 2006 Atas dasar itulah, hemat penulis dalam konteks Islam, penyelesaian kejahatan anak meniscayakan pertimbangan psikologis dengan tanda-tanda biologis. Apabila tanda-tanda itu tidak diketemukan, maka batas usia bisa diterapkan dengan menggunakan batasan usia yang lazim diketemukan pada anak- anak. Hal ini, tidak lain adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi komunitas anak yang berdasarkan pertimbangan keadilan dan kepatutan. 120 BAB V PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka akhir dari penulisan skripsi ini dapat di tarik kesimpulan dan saran sebagi berikut A. Kesimpulan : 1. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukan anak- anak dalam persepktif hukum pidana positif di kenal dengan kriminal responsibility berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja tindak pidana tersebut di golongkan kepada perilaku anak nakal, sehingga anak sebagai pelaku pidana teresebut sebagai anak nakal. UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks hukum materil maupun hukum formil. 2. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukan anak- anak dalam perspektif hukum pidana Islam di kenal dengan istlah al- mas’uliyyah al-jinayyiah berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja terdapat pembatasan keberlakuanya yang di sesuaikan dengan umur anak dan kematangan pola pikir anak. Dua kategori penting yang harus di perhatikan adalah adanya unsur iradah keinginanmaksud dan ikhtiyar kompetensi. 3. Persamaan antara hukum pidana positip dengan hukum pidana Islam adalah bahwa kondisi masa kanak-kanak merupakan alasan pembenar untuk mengurangi dan menghapuskan hukuman. Kedua system hukum juga sama dalam memandang adanya batasan tetentang usia yang 121 termasuk kategori kanak-kanak. Akan tetapi di temukan perbedaan antara hukum pidana positif dan hukum pidana islam bahwa hukum dalam hukum pidana positip, khususnya dalam UU No, 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak telah menggariskan batas usia seoarang dalam kategori anak nakal, yakni minimal 8 delapan tahun maksimal 18 delapan belas tahun. perubahan positif semakin kelihatan pada RUU KUHPidana yang secara tegas mencantumkan pertimbangan psikologi anak, termasuk kematangan emosional, intelektual, dan mental. Pertimbangan-pertimbangan ini patut di berikan dalam menyelesaikan perbuatan pidana yang di lakukan oleh anak-anak. Hal yang lebih menarik adalah pencantuman batas usia pertanggungjawaban anak yang telah mencapai usia 12 dua belas tahun sampai usia 18 delapan belas tahun. Batas usia ini muncul sebagai konsekuensi pembatasan usia dengan melihat kencenderungan perkembangan psikologis anak. Dan menurut persepektif hukum pidana Islam bahwa hukum pidana Islam memandang batas usia tidak serta merta menjadi alasan penjatuhan hukuman, selain usia hal kematangan pola pikir dan mental rohani turut menjadi faktor penting dalam mengkualifikasi status sebagai anak. 122 B. Saran 1. Pertanggungjawaban pidana merupakan elemen penting dalam upaya penegakan dan kepastian hukum. Maka dalam konteks pelaku pidana dalam kategori usia anak-anak di butuhkan sebuah kepastian hukum dalam rangka penegakan hukum yang adil dan beradab. Maka, di harapkan kepada penegak hukum agar menerapkan prinsip kemaslahatan terbesar bagi anak sekalipun dalam upaya penegakan hukum yang bersaskan equality before the law. 2. Bagi aparatur hukum di harapkan memiliki penegtahuan psikologi hukum yang dapat menopang ketajaman dan pertimbangan hukum sehingga kasus-kasus pidana yang di lakukan anak-anak, tidak saja memenuhi unsur formalitas yuridis, tetapi juga dapat memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum di tengah-tenagh masyarakat. 3. Dalam kerangka penguatan system hukum pidana nasional, maka penelitian terhadap khazanah system hukum pidana islam harus terus di lakukan. Telah menjadi keyakinan dan konsensus nasional terpenting bersama dengan system hukum nasional. Maka kepada para sarjana hukum dan sarjana hukum silam agar dapat menjadikan kedua system hukum pidana ini sebagai kajian akademik unuk melahirkan kedua system hukum pidana ini sebagai kajian akademik untuk melahirkan seperangkat system hukum pidana nasional yang kuat dan tangguh. 39 BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF A. Kemampuan Bertanggungjawab Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban tindak pidana bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat di pertanggungjwabkan tindak pidana. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang di lakukanya, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat di pertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak hanya terbatas pada pelaku sendiri tetapi juga di jatuhkan pula pada keluarga atau teman-teman pelaku meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang di jatuhkanya atas atau jenis perbuatan sangat berbeda-beda yang di sebabkan oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman. Namun setelah revolusi prancis pertanggungjawaban pidana di dasarkan atas dasar falsafah kebebasan berkehendak yang di sebut dengan teori tradisionalisme mashab taqlidi, kebebasan berkehendak di maksud bahwa seorang dapat di mintai pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang di katakana perbuatan baik dan mana yang tidak baik. 58 58 Alie Yafie, Ahkad Sukaraja, Muhammad Amin Suma,dkk, ibid hlm. 64 40 Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa : I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to the exaction.” 59 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan, 60 Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu. menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat. 61 Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat 59 Roscoe Pound. “ introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Bandung:Mandar Maju,2000,hlm.65 60 Romli Atmasasmita.Ibid 61 S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Jakarta :Alumni Ahaem-Peteheam,1996,hlm .245 41 yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatanya. 62 Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban.Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat. 63 Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. 64 Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu 1 harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif, dan 2 terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif. 62 Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ,hlm.75 63 Ibid 64 Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 1997 hlm.31 42 mengenai hakikat kejahatan, 65 Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat. yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang di lakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat. 66 Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran – ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan 65 Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy ed.…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9 Jakarta: Pustaka sinar Harapan,19870 ,hlm.41-42 66 Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana Tijauan terhadap pasal 44 KUHP,” dalam Andi Hamzahed., Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana Jakarta :Ghalia Indonesia ,1986, hlm. 78 43 pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : 1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum 2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa. 3. Yang di tentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri. 67 Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 tiga syarat, yaitu : 1 dapat menginsafi mengerti makna perbuatannya dalam alam kejahatan, 2 dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat, 3 mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi. 68 Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan 67 R. Soesilo Ibid, hlm. 60-61 68 Sutrisna, I Gusti Bagus , Op.cit, hlm.79 44 dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya. 69 Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu : 1 kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; 2 kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. 70 Menurut Jonkers, ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda usia tidak bisa di dasarkan pada pasal 44 KUHP. Yang di sebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat di salurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam pasal- pasal 44, 48, 49, 50, dan 51. Jadi, bagi Jonkers orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya. Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang di larang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran. 71 69 Ibid 70 Sutrisna, Ibid. hlm 83 71 Saleh Roeslan “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana” dua pengertian dalam Hukum Pidana” Jakarta: Aksara Baru,1983, hlm.83 45 Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, menurut Roeslan Saleh, dalam keadaan-keadaan yang tertentu untuk di anggap tidak mampu bertanggungjawab haruslah didasarkan pada pasal 44 KUHP, jadi sama dengan orang dewasa.Tidak mampu bertanggungjawab karena masih muda saja, menurut Roeslan Saleh hal itu tidak di benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana, menurut Roeslan Saleh, tidak mempunyai kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna perbuatan yang di lakukan. Anak memiliki ciri dan karakteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang sempurna. Maka, dia tidak di pidana karena tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. sebab, menurut Roselan Saleh, satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karenanya dia di pandang tidak bersalah, sesuai dengan asas tidak di pidana tidak ada kesalahan, maka anak belum cukup umur ini pun tidak di pidana. 72

B. Kesalahan