BAB III PELAKSANAAN UU HAK CIPTA KHUSUSNYA TINDAK PIDANA
PEMBAJAKAN KASET
A. Status perlindungan karya rekaman suara
Permasalahan mengenai hak cipta sangat beragam, ada yang menunjukkan persamaan dengan situasi dan kondisi industri musik nasional dan ada pula yang
menunjukkan kondisi setempat yang unik. Seperti halnya pada situasi dan kondisi industri musik nasional, pada kondisi industri musik lokal pun ada pihak-pihak yang
merasa diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan. Pihak pertama yang mendapat keuntungan dari produk bajakan adalah para
pembajak. Secara ekonomis pelaku pembajakan mendapatkan keuntungan yang paling besar, karena tanpa susah payah dapat menjual karya orang lain. Si pembajak
tidak terlibat dalam proses panjang pembuatan suatu produk album musik yang meliputi perencanaan, pengadaan lagu, pencarian penyanyi, dan proses perekaman
yang memakan waktu panjang. Dari segi biaya, si pembajak juga sangat diuntungkan. Karena tidak perlu membayar penyanyi, musisi, pencipta lagu, biaya iklan, kemudian
tidak membayar pajak dan dijual di emperan yang juga tidak bayar pajak. Sementara dari sisi konsumen, ada yang dirugikan dan diuntungkan.
Konsumen yang dirugikan adalah konsumen yang membeli dengan harga barang asli original tetapi pada kenyataannya mendapatkan barang bajakan. Sedangkan
konsumen yang diuntungkan adalah konsumen yang memang secara sadar menghendaki barang bajakan. Hal itu disebabkan harga yang jauh lebih murah, tanpa
memperdulikan kualitas produk. Dalam industri musik pada umumnya, konsumen yang secara sadar membeli produk bajakan adalah target marketing yang utama bagi
41
Universitas Sumatera Utara
pembajak. Konsumen tersebut pada umumnya adalah masyarakat kelas menengah bawah yang memerlukan hiburan dengan biaya murah. Pertautan antara produsen dan
konsumen tersebut menjadi salah satu sebab maraknya pembajakan dalam industri musik lokal.
Selain itu penyebab maraknya produk bajakan dalam industri musik lokal adalah lemahnya pengawasan aparat dalam hal ini kepolisian. Pembajakan menyangkut
perkara pidana dengan bentuk delik umum. Artinya pihak kepolisian tidak perlu menunggu pengaduan masyarakat korban pembajakan, melainkan harus aktif mencegah
dan memberantas pembajakan. Akan tetapi, tidak demikian dengan yang terjadi di berbagai daerah. Pada umumnya keberadaan pembajak tidak tersentuh hukum, dengan
demikian para pedagang produk bajakan dengan leluasa menggelar dagangannya secara terbuka. Seperti di Pasar Genteng di Surabaya, Pasar Kota Kembang, Cicadas, dan
Tegalega di Bandung, berbagai pasar tradisional di Bali, serta pasar Tanjungpura dan jalan Dipenogoro di Pontianak dan pajak USU dimedan adalah surga bagi pembajak dan
peminatnya. Bahkan di kota Singkawang banyak dijumpai toko-toko yang menjual album-album bajakan secara terbuka, toko-toko tersebut seperti toko-toko kaset yang
menjual album resmi dan legal. Operasi-operasi pemberantasan pembajakan hak cipta hanya dilakukan di beberapa wilayah saja di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung.
Sedangkan di wilayah lainnya tidak pernah diadakan operasi pemberantasan album- album rekaman bajakan.
10
10
Peran POLRI dalam mengatasi Pembajakan Film –Video, Makalah Kapolri pada Worksop sehari tentang penanggulangan Pembajakan Film-Video. Diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan
dan Kepariwisataan, Jakarta, 1 Agustus 2002.
Universitas Sumatera Utara
Masalah ini menyangkut perubahan bentuk perlindungan bagi karya rekaman suara, karya siaran dan karya pertunjukan. Sesuai UU Hak Cipta 2002, ketiga jenis
ciptaan itu dialihkan perlindungannya kedalam rejim Hak Terkait Related Right Neighbouring Right. Dengan pengalihan itu lantas timbul perbedaan yang signifikan
yang menyangkut addressat perlindungan. Bila dalam konsepsi Hak Cipta yang dilindungi adalah karya Ciptanya, yaitu ciptaan yang bersifat kebendaan, sebaliknya
dalam konsepsi Hak Terkait yang dilindungi adalah hak orang perorangan, badan hukum atau lembaga. Perbedaan ini tampak jelas pada definisi Hak Terkait yang
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 9 sebagai berikut :“Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak
atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan
bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya”.
11
Dari segi hukum, perubahan ini juga membawa dampak serius bagi perlindungan karya rekaman suara asing di Indonesia. Masalahnya, selama ini basis
perlindungan bagi karya rekaman suara asing serupa itu dibangun berdasarkan konsepsi Hak Cipta. ketentuan ini mengindikasikan bahwa Konvensi Bern mengakui
adanya bentuk-bentuk ciptaan derivatif atau derivative works yaitu berupa karya turunan. Misalnya, rekaman lagu yang telah diberi ilustrasi dan aransemen musik.
11
Ranti Fauza Maulana, Rabu Agustus 2003, Penegakkan Hukum Hak Cipta, www.pikiran rakyat.com. diakseskan hari selasa 1 Juni 2009
Universitas Sumatera Utara
Bentuk karya seperti itu pada dasarnya berbeda dengan feature lagu aslinya. Ciptaan komposisi lagu dan musik dalam bentuk rekaman inilah yang dahulu
ditempatkan dalam lingkup obyek perlindungan Hak Cipta. Jadi, perlindungan Hak Cipta bagi karya rekaman suara sesungguhnya tidak berdosa dan secara hukum
sebenarnya juga memiliki logika. Namun adanya kesan perlindungan ganda memang tidak bisa ditepiskan.
Sejak diputuskannya perubahan Hak Cipta ke Hak Terkait, masih tersisa pemikiran kritis yang cenderung anomali. Yaitu, ajakan untuk serentak membajak
rekaman suara asing. Tentu sinisme ini terasa berlebihan, meskipun secara yuridis memperoleh pembenaran. Sebab, memang tidak ada lagi instrumen bilateral maupun
multilateral yang mendasari perlindungan. Belajar dari keputusan revisi itu, yang perlu dicatat adalah adanya kebijakan
penyempurnaan UU Hak Cipta yang sebenarnya miskin aspirasi. Langkah meniadakan perlindungan ganda itu tidak intensif dikonsultasikan pada berbagai
stakeholders di dalam negeri sendiri. Banyak pihak merasa terlambat dilibatkan. Bahkan sewaktu sudah di DPR pun, mestinya beberapa konsepsi RUU masih dapat
dikonsultasikan. Tentu, ini bukan kelemahan siapa-siapa, ini kekurangan kita semua. Sejak awal, perubahan itu sudah mengundang pertanyaan mendasar. Bila
memang sistem yang dibangun selama ini salah dan perlu perbaikan, masyarakat internasional sudah pasti akan keras bereaksi. Anehnya, tidak satupun komplain
dialamatkan ke Indonesia. Kalaupun timbul berbagai keluhan, hal itu lebih menyangkut kualitas penegakan hukum yang rapuh, lemah dan tidak mampu
memberikan jaminan perlindungan. Kalangan industri di dalam negeri sendiri juga
Universitas Sumatera Utara
sepi tidak bereaksi. Tetapi ironisnya, ide penyempurnaan itu justru datang pada saat industri rekaman sedang collapse karena tekanan pembajakan. Pada saat industri
rekaman dan seniman musik sedang kusut mendambakan penegakan hukum yang efektif dan memadai, muncul kebijakan yang tidak endorsable seperti ini.
Masalahnya, dengan sistem yang ada saja kualitas penegakan hukum kita masih memprihatinkan. Apalagi dengan konsepsi baru yang belum banyak dipahami ini.
Untuk tidak dikatakan kounter produktif, harus diingatkan kembali bagaimana masalah rekaman suara lagu-lagu mandarin dahulu menjadi polemik di Indonesia.
Pada waktu itu sulit meluruskan pendapat bahwa lagu-lagu Cina memang tidak dilindungi di Indonesia, tetapi karya rekaman suaranya dilindungi penuh karena di
release oleh produser rekaman suara Amerika, atau negara lain yang memiliki persetujuan bilateral di bidang Hak Cipta dengan Indonesia. Oleh karena itu, tanpa
sosialisasi yang intensif, perubahan ketentuan pada UU yang baru dikawatirkan akan menyeret langkah mundur untuk beberapa waktu. Yang pasti, peran pencipta lagu
akan dipinggirkan. Yang akan lebih harus tampil adalah para produser. Kepolisian juga harus mengubah pikiran dan konsep dasar penyidikan. Arahnya, harus jelas
bahwa penanganan pembajakan kaset dan CD musik, tidak lagi mendasarkan pada Hak Cipta.
12
Demikian pula proses penuntutan dan persidangannya di pengadilan yang harus belajar dari awal menerapkan aturan hukum Hak Terkait. Masih harus dilihat,
bagaimana dampak perubahan ini, terutama dari sisi penegakan hukumnya. Ada
12
Sulistia, Teguh, 2003, Pelanggaran Hak Cipta dalam Perspektif Hukum Pidana Suatu Pemahaman pada Makna dan Keberadaan UU No.19 Tahun 2002, Jurnal, Delicti, Vol. I No. 2, Desember, FH Unand, Padang
Universitas Sumatera Utara
masalah lain yang tersisa. Hal itu menyangkut karya rekaman suara atau bunyi yang dibuat tanpa motif komersial. Misalnya, rekaman suara-suara artificial angin, ombak,
letupan senjata, ledakan bom, deru mobil dan raungan peluit kereta api dan banyak ragam lain yang lazim digunakan untuk ilustrasi pertunjukan drama panggung.
13
Karena hanya dibuat oleh orang perorangan dan bukan “produser rekaman suara” serta tidak untuk diperdagangkan, maka karya-karya seperti itu kemungkinan
luput dari jangkauan perlindungan. Betapapun harus diakui, kata “produser” jelas berkonotasi industri dan komersial. Bandingkan misalnya dengan kata “pembuat”.
Sungguh, tampaknya bakal ada jenis ciptaan yang kehilangan pegangan. Ini terjadi karena tidak lagi ada Hak Cipta bagi karya rekaman suara. Konsekuensinya, rekaman
suara akan hanya bermakna sebagai bagian dari proses fiksasi, yang dapat terjadi untuk segala ciptaan yang berelemen suara atau bunyi.
Masalah yang sama juga tampil dalam rasionalita peniadaan karya siaran dan karya pertunjukan. Pembahasan mengenai keduanya juga tidak kalah peliknya. Secara
umum hal itu terkait dengan makna harfiah yang terkesan duplikasi dengan esensi hak untuk mengumumkan performing rights.
Hak untuk mengumumkan dalam UU Hak Cipta 2002 dijabarkan sebagai hak
untuk membacakan, menyiarkan, memamerkan, menjual, mengedarkan, atau
menyebarkan suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca,
didengar atau dilihat orang lain.
13
Barang Bajakan dilarang tetapi dirindukan, Kompas, Sabtu, 2 Juli 2005
Universitas Sumatera Utara
Ketidakpastian pemahaman juga timbul dalam kaitannya dengan karya rekaman suara danatau gambar pertunjukan pelaku performers. Terhadap karya
seperti itu, performer berhak untuk melarang pihak lain memperbanyak atau menyiarkan rekaman UU Hak Cipta 2002 telah menetapkan karya rekaman suara
tunduk pada rejim Hak Terkait. Menurut rejim ini, perlindungan difokuskan pada subyeknya, yaitu produser rekaman suara. Perlindungan diberikan karena pihak
produser yang telah memprakarsai kegiatan merekam lagu-lagu dengan melibatkan penyanyi performerpelaku dan musisi termasuk arranger. Dalam kegiatan rekaman
itu, lagu hanya merupakan salah satu unsur yang terkait. Hasilnya, terwujud dalam bentuk kaset atau CD atau bahkan VCD. Lalu, apabila kaset, CD atau VCD tersebut
digunakan oleh para users, apakah penyanyi dan produsernya tidak berhak mendapatkan sebagian.
14
B. Prospek pelaksanaan UU Hak Cipta