Perlindungan Hukum Terhadap Industri Perekaman Suara Dari Tindak Pidana Pembajakan Kaset

(1)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Ali Achmad, Menguak Takbir Hukum Industri Perekaman Suara, Gunung Agung, Jakarta, 2002.

Arnel Affandi, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum Industri Perekaman Suara, cet.V,(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997).

Damian, Eddy, Pengaluran dan Pengertian Hak Cipta Sebagai Hak Kekayaan Intelektual, Jurnal, Pro Justitia Tahun XIX No. 3, Juli, FH Unpar, Bandung, 2001. Hutagalung, Sophar Maru, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Dalam

Pembangunan, Akademika Pressindo, Jakarta, 2004.

M. Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. M. Djumhana & R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (sejarah, teori & prakteknya di

Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Raharjo, Agus, 2002, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Saidin, OK, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Sanusi Bintang, Perlindungan Hak Cipta, PT Elex Media Komputindo. Jakarta, 1998. Sulistia, Teguh, Pelanggaran Hak Cipta Dalam Perspektif Hukum Pidana (Suatu

Pemahaman pada Makna dan Keberadaan UU No.19 Tahun 2002), Jurnal, Delicti, Vol. I No. 2, Desember, FH UNAND, Padang 2003.

Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta 2002.

Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam Menghadapi Era Global, Cet. 1. Riau: UIR Press, 2001.

Tanya-Jawab UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta Lengkap dan Terpadu Dengan Jawabannya, Cet. 1. Semarang: Dahara Prize.

Widyopramono, Tindak Pidana Hak Cipta Analisis dan Penyelesaiannya, Sinar Grafika, Jakarta 1992.


(2)

II. Internet

Polisi Musnahkan Nakorba danVCD Bajakan” , Republika Online, <http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=242624&kat_id=286&kat_id1= &kat_id2=>, diakses 3 Maret 2009.

Masalah Pembajakan rekaman video, Asirevi, Jakarta. www.hukumonline.com, diakses tanggal 10 Februari 2009.

Ranti Fauza Maulana, Rabu Agustus 2003, Penegakkan Hukum Hak Cipta, www.pikiranrakyat.com. diakseskan tanggal1 Maret 2009.

www.TinjauanBadanHukumPerusahaan.co.id. Diakses hari Rabu tanggal 14 Februari 2009.

Barang Bajakan dilarang tetapi dirindukan, Kompas, tanggal 20 April 2009.

III. Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

IV. Sumber lain

Yuliati, et, al, Laporan Penelitian Efektivitas Penerapan UUNo.19/2002 Tentang Hak Cipta Terhadap Karya Musik Indilabel, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2004.

Peran POLRI dalam mengatasi Pembajakan Film –Video, Makalah Kapolri pada Worksop sehari tentang penanggulangan Pembajakan Film-Video. Diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Kepariwisataan, Jakarta, 1 Agustus 2002.


(3)

BAB III

PELAKSANAAN UU HAK CIPTA KHUSUSNYA TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN KASET

A. Status perlindungan karya rekaman suara

Permasalahan mengenai hak cipta sangat beragam, ada yang menunjukkan persamaan dengan situasi dan kondisi industri musik nasional dan ada pula yang menunjukkan kondisi setempat yang unik. Seperti halnya pada situasi dan kondisi industri musik nasional, pada kondisi industri musik lokal pun ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan.

Pihak pertama yang mendapat keuntungan dari produk bajakan adalah para pembajak. Secara ekonomis pelaku pembajakan mendapatkan keuntungan yang paling besar, karena tanpa susah payah dapat menjual karya orang lain. Si pembajak tidak terlibat dalam proses panjang pembuatan suatu produk album musik yang meliputi perencanaan, pengadaan lagu, pencarian penyanyi, dan proses perekaman yang memakan waktu panjang. Dari segi biaya, si pembajak juga sangat diuntungkan. Karena tidak perlu membayar penyanyi, musisi, pencipta lagu, biaya iklan, kemudian tidak membayar pajak dan dijual di emperan yang juga tidak bayar pajak.

Sementara dari sisi konsumen, ada yang dirugikan dan diuntungkan. Konsumen yang dirugikan adalah konsumen yang membeli dengan harga barang asli (original) tetapi pada kenyataannya mendapatkan barang bajakan. Sedangkan konsumen yang diuntungkan adalah konsumen yang memang secara sadar menghendaki barang bajakan. Hal itu disebabkan harga yang jauh lebih murah, tanpa memperdulikan kualitas produk. Dalam industri musik pada umumnya, konsumen yang secara sadar membeli produk bajakan adalah target marketing yang utama bagi


(4)

pembajak. Konsumen tersebut pada umumnya adalah masyarakat kelas menengah bawah yang memerlukan hiburan dengan biaya murah. Pertautan antara produsen dan konsumen tersebut menjadi salah satu sebab maraknya pembajakan dalam industri musik lokal.

Selain itu penyebab maraknya produk bajakan dalam industri musik lokal adalah lemahnya pengawasan aparat (dalam hal ini kepolisian). Pembajakan menyangkut perkara pidana dengan bentuk delik umum. Artinya pihak kepolisian tidak perlu menunggu pengaduan masyarakat korban pembajakan, melainkan harus aktif mencegah dan memberantas pembajakan. Akan tetapi, tidak demikian dengan yang terjadi di berbagai daerah. Pada umumnya keberadaan pembajak tidak tersentuh hukum, dengan demikian para pedagang produk bajakan dengan leluasa menggelar dagangannya secara terbuka. Seperti di Pasar Genteng di Surabaya, Pasar Kota Kembang, Cicadas, dan Tegalega di Bandung, berbagai pasar tradisional di Bali, serta pasar Tanjungpura dan jalan Dipenogoro di Pontianak dan pajak USU dimedan adalah surga bagi pembajak dan peminatnya. Bahkan di kota Singkawang banyak dijumpai toko-toko yang menjual album-album bajakan secara terbuka, toko-toko tersebut seperti toko-toko kaset yang menjual album resmi dan legal. Operasi-operasi pemberantasan pembajakan hak cipta hanya dilakukan di beberapa wilayah saja di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung. Sedangkan di wilayah lainnya tidak pernah diadakan operasi pemberantasan album-album rekaman bajakan.10

10 Peran POLRI dalam mengatasi Pembajakan Film –Video, Makalah Kapolri pada Worksop

sehari tentang penanggulangan Pembajakan Film-Video. Diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Kepariwisataan, Jakarta, 1 Agustus 2002.


(5)

Masalah ini menyangkut perubahan bentuk perlindungan bagi karya rekaman suara, karya siaran dan karya pertunjukan. Sesuai UU Hak Cipta 2002, ketiga jenis ciptaan itu dialihkan perlindungannya kedalam rejim Hak Terkait (Related Right/ Neighbouring Right). Dengan pengalihan itu lantas timbul perbedaan yang signifikan yang menyangkut addressat perlindungan. Bila dalam konsepsi Hak Cipta yang dilindungi adalah karya Ciptanya, yaitu ciptaan yang bersifat kebendaan, sebaliknya dalam konsepsi Hak Terkait yang dilindungi adalah hak orang perorangan, badan hukum atau lembaga. Perbedaan ini tampak jelas pada definisi Hak Terkait yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 9 sebagai berikut :“Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya”.11

Dari segi hukum, perubahan ini juga membawa dampak serius bagi perlindungan karya rekaman suara asing di Indonesia. Masalahnya, selama ini basis perlindungan bagi karya rekaman suara asing serupa itu dibangun berdasarkan konsepsi Hak Cipta. ketentuan ini mengindikasikan bahwa Konvensi Bern mengakui adanya bentuk-bentuk ciptaan derivatif atau derivative works yaitu berupa karya turunan. Misalnya, rekaman lagu yang telah diberi ilustrasi dan aransemen musik.

11 Ranti Fauza Maulana, Rabu Agustus 2003, Penegakkan Hukum Hak Cipta, www.pikiran rakyat.com. diakseskan hari selasa 1 Juni 2009


(6)

Bentuk karya seperti itu pada dasarnya berbeda dengan feature lagu aslinya. Ciptaan komposisi lagu dan musik dalam bentuk rekaman inilah yang dahulu ditempatkan dalam lingkup obyek perlindungan Hak Cipta. Jadi, perlindungan Hak Cipta bagi karya rekaman suara sesungguhnya tidak berdosa dan secara hukum sebenarnya juga memiliki logika. Namun adanya kesan perlindungan ganda memang tidak bisa ditepiskan.

Sejak diputuskannya perubahan Hak Cipta ke Hak Terkait, masih tersisa pemikiran kritis yang cenderung anomali. Yaitu, ajakan untuk serentak membajak rekaman suara asing. Tentu sinisme ini terasa berlebihan, meskipun secara yuridis memperoleh pembenaran. Sebab, memang tidak ada lagi instrumen bilateral maupun multilateral yang mendasari perlindungan.

Belajar dari keputusan revisi itu, yang perlu dicatat adalah adanya kebijakan penyempurnaan UU Hak Cipta yang sebenarnya miskin aspirasi. Langkah meniadakan perlindungan ganda itu tidak intensif dikonsultasikan pada berbagai stakeholders di dalam negeri sendiri. Banyak pihak merasa terlambat dilibatkan. Bahkan sewaktu sudah di DPR pun, mestinya beberapa konsepsi RUU masih dapat dikonsultasikan. Tentu, ini bukan kelemahan siapa-siapa, ini kekurangan kita semua.

Sejak awal, perubahan itu sudah mengundang pertanyaan mendasar. Bila memang sistem yang dibangun selama ini salah dan perlu perbaikan, masyarakat (internasional) sudah pasti akan keras bereaksi. Anehnya, tidak satupun komplain dialamatkan ke Indonesia. Kalaupun timbul berbagai keluhan, hal itu lebih menyangkut kualitas penegakan hukum yang rapuh, lemah dan tidak mampu memberikan jaminan perlindungan. Kalangan industri di dalam negeri sendiri juga


(7)

sepi tidak bereaksi. Tetapi ironisnya, ide penyempurnaan itu justru datang pada saat industri rekaman sedang collapse karena tekanan pembajakan. Pada saat industri rekaman dan seniman musik sedang kusut mendambakan penegakan hukum yang efektif dan memadai, muncul kebijakan yang tidak endorsable seperti ini. Masalahnya, dengan sistem yang ada saja kualitas penegakan hukum kita masih memprihatinkan. Apalagi dengan konsepsi baru yang belum banyak dipahami ini. Untuk tidak dikatakan kounter produktif, harus diingatkan kembali bagaimana masalah rekaman suara lagu-lagu mandarin dahulu menjadi polemik di Indonesia. Pada waktu itu sulit meluruskan pendapat bahwa lagu-lagu Cina memang tidak dilindungi di Indonesia, tetapi karya rekaman suaranya dilindungi penuh karena di release oleh produser rekaman suara Amerika, atau negara lain yang memiliki persetujuan bilateral di bidang Hak Cipta dengan Indonesia. Oleh karena itu, tanpa sosialisasi yang intensif, perubahan ketentuan pada UU yang baru dikawatirkan akan menyeret langkah mundur untuk beberapa waktu. Yang pasti, peran pencipta lagu akan dipinggirkan. Yang akan lebih harus tampil adalah para produser. Kepolisian juga harus mengubah pikiran dan konsep dasar penyidikan. Arahnya, harus jelas bahwa penanganan pembajakan kaset dan CD musik, tidak lagi mendasarkan pada Hak Cipta.12

Demikian pula proses penuntutan dan persidangannya di pengadilan yang harus belajar dari awal menerapkan aturan hukum Hak Terkait. Masih harus dilihat, bagaimana dampak perubahan ini, terutama dari sisi penegakan hukumnya. Ada

12 Sulistia, Teguh, 2003, Pelanggaran Hak Cipta dalam Perspektif Hukum Pidana (Suatu Pemahaman pada Makna dan Keberadaan UU No.19 Tahun 2002), Jurnal, Delicti, Vol. I No. 2, Desember, FH Unand, Padang


(8)

masalah lain yang tersisa. Hal itu menyangkut karya rekaman suara atau bunyi yang dibuat tanpa motif komersial. Misalnya, rekaman suara-suara artificial angin, ombak, letupan senjata, ledakan bom, deru mobil dan raungan peluit kereta api dan banyak ragam lain yang lazim digunakan untuk ilustrasi pertunjukan drama panggung.13

Karena hanya dibuat oleh orang perorangan dan bukan “produser rekaman suara” serta tidak untuk diperdagangkan, maka karya-karya seperti itu kemungkinan luput dari jangkauan perlindungan. Betapapun harus diakui, kata “produser” jelas berkonotasi industri dan komersial. Bandingkan misalnya dengan kata “pembuat”. Sungguh, tampaknya bakal ada jenis ciptaan yang kehilangan pegangan. Ini terjadi karena tidak lagi ada Hak Cipta bagi karya rekaman suara. Konsekuensinya, rekaman suara akan hanya bermakna sebagai bagian dari proses fiksasi, yang dapat terjadi untuk segala ciptaan yang berelemen suara atau bunyi.

Masalah yang sama juga tampil dalam rasionalita peniadaan karya siaran dan karya pertunjukan. Pembahasan mengenai keduanya juga tidak kalah peliknya. Secara umum hal itu terkait dengan makna harfiah yang terkesan duplikasi dengan esensi hak untuk mengumumkan (performing rights).

Hak untuk mengumumkan dalam UU Hak Cipta 2002 dijabarkan sebagai hak untuk membacakan, menyiarkan, memamerkan, menjual, mengedarkan, atau menyebarkan suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain.


(9)

Ketidakpastian pemahaman juga timbul dalam kaitannya dengan karya rekaman suara dan/atau gambar pertunjukan pelaku (performers). Terhadap karya seperti itu, performer berhak untuk melarang pihak lain memperbanyak atau menyiarkan rekaman UU Hak Cipta 2002 telah menetapkan karya rekaman suara tunduk pada rejim Hak Terkait. Menurut rejim ini, perlindungan difokuskan pada subyeknya, yaitu produser rekaman suara. Perlindungan diberikan karena pihak produser yang telah memprakarsai kegiatan merekam lagu-lagu dengan melibatkan penyanyi (performer/pelaku) dan musisi termasuk arranger. Dalam kegiatan rekaman itu, lagu hanya merupakan salah satu unsur yang terkait. Hasilnya, terwujud dalam bentuk kaset atau CD atau bahkan VCD. Lalu, apabila kaset, CD atau VCD tersebut digunakan oleh para users, apakah penyanyi dan produsernya tidak berhak mendapatkan sebagian.14

B. Prospek pelaksanaan UU Hak Cipta

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat

14 Hutagalung, Sophar Maru, Hak Cipta kedudukan dan peranannya di dalam pembangunan, Akademika Pressindo, Jakarta, 2004, hlm 82


(10)

meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para Penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara.

Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 yang selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta. Walaupun perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan TRIPs, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tersebut di atas. Dari beberapa konvensi di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang disebut di atas, masih terdapat beberapa ketentuan yang sudah sepatutnya dimanfaatkan. Selain itu, kita perlu menegaskan dan memilah kedudukan Hak Cipta di satu pihak dan Hak Terkait di lain pihak dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas.15

Dengan memperhatikan hal-hal di atas dipandang perlu untuk mengganti Undang-undang Hak Cipta dengan yang baru. Hal itu disadari karena kekayaan seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar terdapat iklim persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang

15 Damian, Eddy, Pengturan dan Pengertian Hak Cipta Sebagui Hak Kekayaan Intelektual, Jurnal, Pro Justitia Tahun XIX No. 3, Juli, FH Unpar, Bandung, 2001.


(11)

tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan.

Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.

Undang-undang No.19 tahun 2002 ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain, mengenai:

1) database merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi;

2) penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disc) melalui media audio, media audiovisual dan/atau sarana telekomunikasi;

3) penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa;

4) penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi pemegang hak;

5) batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait, baik di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung;

6) pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi;

7) pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produk-produksi berteknologi tinggi;


(12)

9) ancaman pidana dan denda minimal;

10)ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan Program Komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.

Tanpa mengabaikan berbagai permasalahan lain yang relevan, terdapat beberapa ketentuan penting dalam UU Hak Cipta 2002 yang perlu dikaji. Hal itu utamanya terkait dengan anggapan sebagian pelaku bisnis yang bereaksi merasa haknya tereduksi.

Beberapa ketentuan tersebut diantaranya mencakup jabaran hak ekonomi, end user piracy, dan peniadaan perlindungan ganda bagi karya rekaman suara. Sejauh menyangkut jabaran hak ekonomi, UU Hak Cipta 2002 telah menegaskan kembali status dan legitimasi hak penyewaan atau rental right. Namun, hak seperti ituhanya berlaku untuk karya film/sinematografi dan program komputer. UU Hak Cipta 2002 memang tidak mengaplikasikannya pada karya rekaman suara sebagai obyek UUHak Cipta sebagaimana sebelumnya, karena status karya rekaman suara telah dipindahkan perlindungannya kedalam rejim Neighbouring Right atau Hak Terkait. Di domain yang baru itu hak penyewaan diakui dan tetap diberlakukan.

Menurut Pasal 1 angka (8) Undang- undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang intruksi-intruksi tersebut.


(13)

Hak cipta untuk program computer berlaku selama 50 tahun (Pasal 30). Harga program komputer/ software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat murah. Misalnya, program anti virus seharga Rp 500.000,00 dapat dibeli dengan harga Rp20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 5.000,00 perkeping.16

C. Pelaksanaan Undang-undang Hak Cipta khususnya tindak pidana pembajakan kaset serta cara menanggulanginya dari pihak industri perekaman suara maupun upaya dari pihak pemerintah

Dibentuknya beberapa UU Hak Cipta sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia sekaligus menegaskan sikap Indonesia untuk mengakui dan melindungi HKI. Ketegasannya juga bisa dilihat dari jenis dan besarnya sanksi yang diancamkan kepada siapa saja yang terbukti melanggar ketentuan dalam undang-undang tersebut.

UU Hak Cipta misalnya, mengancam pelanggarnya dengan ancaman pidana penjara maksimal hingga tujuh tahun dan/atau denda hingga Rp5 miliar. UU Merek juga mengancam pelanggarnya dengan pidana yang cukup berat, yaitu maksimal 5 tahun pidana penjara dan/atau denda hingga Rp1 miliar.

Yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa di Indonesia berlaku tiga norma hukum. Selain hukum positif, berlaku juga hukum Islam dan hukum adat. Idealnya

16 Widyopramono, 1992, Tindak Pidana Hak Cipta Analisis dan Penyelesaiannya, Sinar Grafika, Jakarta


(14)

apa yang diatur dalam satu norma hukum bersesuaian atau tidak bertentangan dengan norma hukum lainnya. Dengan kata lain, misalnya, apa yang diatur dalam norma hukum positif tidak bertentangan dengan norma hukum Islam dan norma hukum adat.

Hal yang sama berlaku juga untuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan HKI. Idealnya, norma hukum positif yang dimuat dalam beberapa UU berkaitan dengan HKI tidak bertentangan dengan norma hukum lainnya.

Ketidakjelasan prosedur dan kekurangjelian pemerintah daerah dalam merespon industri musik di daerah mengakibatkan hilangnya suatu peluang untuk sumber pemasukan kas daerah dan menunjukkan ketidakpedulian pemerintah daerah dalam melindungi hak cipta karya-karya musik daerah.Hambatan dari ketidakadaan label dalam setiap produksi album rekaman lokal sempat membuat distributor album rekaman resmi menolak mengedarkan produk tanpa label izin produksi. Baru setelah adanya jaminan bahwa kalau terjadi sesuatu masalah yang berkaitan dengan hukum maka si produser album rekaman lokal sendiri yang akan bertanggungjawab, maka beberapa distributor album rekaman resmi mau mendistribusikannya. Selain ketidaktahuan prosedur untuk mengesahkan produknya sehingga dapat dijual di pasaran secara resmi, produk-produk bukan bajakan tetapi illegal, memperlihatkan suatu gejala kekurang tanggapan dari aparat terkait. Misalnya tidak nampak adanya pendekatan atau sosialisasi kepada para produser-produser musik di daerah. Kemudian juga lamanya prosedur pengesahan, dalam kasus di Pontianak lamanya izin industri memakan waktu selama tiga bulan. Ketiadaan label ijin produksi dan pajak bagi produk album rekaman lokal menyebabkan kesulitan tersendiri untuk menghadapi pembajakan. Apabila mereka melaporkan produknya telah dibajak


(15)

mereka takut mendapat tuduhan balik bahwa produknya juga illegal berada di pasaran. Dalam hal ini produser produk-produk illegal bukan bajakan berada dalam posisi yang lemah.

Sementara itu bagi produser produk musik album lokal yang legal yang pernah menjadi korban pembajakan menunjukkan adanya keengganan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah pihak kepolisian akan meminta uang penyisiran yang tidak sedikit jumlahnya tanpa jaminan adanya suatu penyelesaian masalah. Dengan melaporkan kepada pihak yang berwajib dalam hal ini polisi sebagai aparat negara mereka akan mendapat kerugian yang lebih besar. Padahal ASIRI sebagai suatu lembaga yang berkepentingan dengan pemberantasan pembajak ini seharusnya dapat merespon atau bahkan membantu produser-produser yang legal di daerah. Suatu fenomena memprihatinkan adalah putus asanya para produser yang legal terhadap upaya-upaya pemberantasan pembajakan. Upaya pemberantasan pembajak dianggap suatu yang sia-sia. Salah satunya nampak dari cover album rekaman kaset Genk Cobra, cukup terkenal di Yogyakarta dan Solo, yang menuliskan “Silahkan dibajak”.17

Upaya lain yang dilakukan oleh produser musik lokal adalah dengan mencoba memberikan sentuhan moral dengan pesan yang dituliskan dalam produknya. Pesan tersebut seperti “sebagian dari penjualan kaset ini akan disumbangkan ke yatim piatu”. Hal seperti itu telah dilakukan oleh Jansen record di Makasar. Meskipun

17 Raharjo, Agus, Pemahaman dan Upaya Pencegahan kejahatan Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.


(16)

pesan moral tersebut dianggap juga tidak berhasil mengatasi pembajakan secara tuntas.

Cara penyelesaian kasus pembajakan di Pontianak nampaknya sangat unik dan dianggap berhasil untuk melindungi produk-prodduk industri musik lokal dari pembajakan. Yaitu dengan cara denda adat, yang melibatkan tokoh-tokoh adat setempat. Pembajak dan korban dipertemukan oleh para tetua adat, kemudian disepakati jumlah denda yang harus dibayarkan. Nampaknya proses penyelesaian dengan cara seperti itu efektif diterapkan di Pontianak. Karena, sejak kasus itu di Pontianak tidak ditemui lagi kasus pembajakan terhadap produk-produk industri musik lokal.18

Jika seseorang melakukan suatu pelanggaran terhadap hak cipta orang lain maka orang tersebut dapat dikenakan tuntutan pidana maupun gugatan perdata. Jika perusahaan melanggar hak cipta pihak lain, yaitu dengan sengaja dan tanpa hak memproduksi, meniru atau menyalin, menerbitkan atau menyiarkan, memperdagangkan atau mengedarkan atau menjual karya-karya hak cipta pihak lain atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta (produk-produk bajakan).

Disamping itu, dapat dikenakan gugatan perdata dari pemegang atau pemilik hak cipta itu, yang dapat menuntut ganti rugi dan atau memohon pengadilan untuk menyita produk-produk bajakan tersebut dan memerintahkan atau perusahaan menghentikan pelanggaran-pelanggaran itu.

18 Polisi Musnahkan Narkoba danVCD Bajakan” , Republika Online,

<http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=242624&kat_id=286&kat_id1=&kat_id2=>, diakses 3 Juli 2008


(17)

Langkah pemerintah ini telah menuai protes dari kalangan pengusaha industri dan artis rekaman yang tergabung dalam Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), meskipun sejumlah artis lain mendukung kebijakan pemerintah ini. Alasan pemerintah untuk mengenakan pita cukai rekaman pada Industri Musik adalah untuk mengatasi maraknya pembajakan, selain untuk meningkatkan penerimaan negara melalui cukai.

Jika tujuan pemerintah adalah untuk memberantas pembajakan terhadap produk-produk rekaman, sepertinya pengenaan cukai pada industri musik tersebut bukan merupakan solusi yang tepat untuk memberantas pembajakan. Pada era tahun 80-an, Indonesia telah dihebohkan oleh adanya laporan dari musisi asal Amerika Serikat – Bob Geldof yang mengatakan bahwa negara Indonesia telah melakukan pembajakan terhadap produk-produk rekaman dalam bentuk kaset, dimana seluruh rekaman musik asing yang diperjualbelikan di Indonesia dilakukan tanpa memperoleh ijin dari perusahaan rekaman yang menjadi pemegang lisensi. Atas tekanan dari pemerintah Amerika Serikat, akhirnya pemerintah Indonesia mengambil langkah serius untuk menanggulangi praktek pembajakan dengan memerintahkan pengusaha rekaman agar menarik semua produk-produk rekaman yang tidak memiliki lisensi.19

Peristiwa tersebut sangat ironis, karena Indonesia merupakan negara yang memiliki kedaulatan hukum, namun dalam menegakkan hukum harus mendapat kontrol dan tekanan dari negara asing. Tidak mengherankan apabila penegakan hukum di negeri ini tidak dapat dilakukan secara konsisten. Salah satu contoh nyata

19 Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.


(18)

adalah pada saat mulai diberlakukannya Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pada tanggal 29 Juli 2003, hampir seluruh pedangang CD, VCD dan DVD bajakan tidak tampak di pinggir-pinggir jalan, di tempat mereka biasa menggelar barang dagangannya.

Namun beberapa minggu kemudian, sedikit-demi sedikit para pedagang tersebut mulai tampak menggelar kembali barang dagangannya, dan hingga sampai saat ini mereka dengan sangat leluasa dan terang-terangan berani menjual barang dagangannya di tempat keramaian.

Kondisi ini semakin diperburuk dengan tindakan para aparat penegak hukum yang hanya melakukan razia terhadap para pedagang tetapi tidak terhadap sumber produk bajakan tersebut, sehingga produksi barang bajakan terus berlanjut. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum secara tuntas menyelesaikan masalah pembajakan, oleh karena masih terdapat produsen yang memproduksi barang bajakan tersebut yang belum tersentuh oleh aparat penegak hukum.

Jika memang niat pemerintah adalah untuk memberantas praktek pembajakan, maka tanpa pengenaan cukai terhadap produksi rekamanpun sebenarnya hal tersebut sudah dapat dilakukan sejak belakunya UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Namun dalam kenyataannya, praktek perdagangan barang ilegal tersebut bukan semakin berkurang, malahan semakin marak diperdagangkan di kaki lima. Untuk membedakan bahwa suatu produk rekaman merupakan produk bajakan, tidaklah sulit, karena dari tampilan fisik dan kualitas produk serta harga jual, dapat dengan mudah diketahui bahwa produk tersebut merupakan hasil bajakan.


(19)

Dari ketentuan tersebut, maka dengan pembuktian yang cukup sederhana sebenarnya aparat penegak hukum sudah dapat melakukan tindakan terhadap praktek pembajakan, sehingga kerugian negara yang diakibatkan oleh praktek pembajakan tersebut dapat dikurangi. Jika dilihat dari sisi penerimaan negara, pengenaan cukai terhadap produk-produk rekaman diharapkan akan menambah pendapatan bagi negara. Namun apabila hal tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memberantas tindak pidana pembajakan nampaknya hal tersebut tidak akan berjalan efektif. Praktek pembajakan yang merupakan pelanggaran terhadap UU Hak Cipta, sudah sepatutnya jika sanksi pidana yang dikenakannya didasarkan pula pada UU Hak Cipta.

Pelanggaran hak cipta dalam industri musik lokal dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa cara. Berikut ini akan dipaparkan berapa cara yang umum dilakukan dalam pelanggaran hak cipta industri musik lokal:

1) membajak dalam bentuk merekam langsung dari tv kemudian diubah ke dalam format vcd untuk diperjualbelikan di tempat-tempat umum. Cara kerja pembajakan ini cukup popular di berbagai daerah, seiring dengan berkembangnya stasiun-stasiun tv lokal. Kasus dengan modus operandi yang juga berlaku dalam industri musik nasional ini, terutama dapat ditemukan di wilayah Bali, Surabaya, dan Bandung. Untuk wilayah Bali, hal itu dimungkinkan dengan adanya program siaran khusus lagu-lagu Bali secara teratur di Bali TV. Selain itu terdapat pula selingan-selingan pada pergantian berbagai acara tv ataupun adanya penayangan iklan musik lokal. Pada kasus di Surabaya dimungkinkan dengan adanya penayangan dalam selingan acara


(20)

maupun pemasangan iklan di Jawa TV. Sementara pada kasus di Bandung pembajakan musik lokal dimungkinkan terjadi karena adanya siaran-siaran musik lokal di TVRI stasiun Bandung.

2) merekam dari vcd asli ke dalam format vcd. Beberapa daerah penelitian memang telah menghasilkan produk-produk industri musik lokal dalam format vcd. Hal itu dimungkinkan dengan pemanfaatan teknologi yang semakin familiar karena semakin mudah dipelajari dan murah. Sehingga dengan handycam yang penggunaannya semakin memasyarakat dan dibantu seperangkat komputer maka telah dapat diproduksi vcd musik lokal. Akan tetapi, pada sisi lain pemanfaatan teknologi komputer yang semakin familiar juga telah dimanfaatkan oleh para pembajak dengan cara meng- copy produk-produk asli ke dalam disk kosong untuk kemudian menjualnya ke pasaran.

3) merekam dari vcd kemudian diubah ke dalam bentuk mp3 dan diperjualbelikan ke pasaran. Produk-produk dalam format mp3 sangat digemari konsumen karena merekam banyak lagu dalam satu keping cakram (disk) dan murah harganya. Jumlah lagu yang terdapat dalam setiap keping mp3 minimal berjumlah 40 lagu. Oleh karena dapat merekam banyak lagu, maka dalam produk bajakan dengan format mp3 biasanya terdapat lebih dari dua album produk asli yang dibajak. Pada kasus industri musik di daerah terdapat produk mp3 bajakan yang merupakan campuran dari album pop lokal dan pop nasional.


(21)

4) dari kaset kemudian diubah ke dalam bentuk vcd. Dalam penelitian, cara seperti ini hanya terjadi satu kasus saja yaitu di Pontianak. Seperti diketahui bahwa kaset hanya menyajikan sisi audio saja, sementara vdc bersifat audio visual. Untuk mengisi ruang visual tersebut pembajak mengambil gambar apa saja. Dalam kasus-kasus produk industri musik nasional biasanya pembajak akan mengambil gambar penyanyi yang bersangkutan ketika melakukan pertunjukan di tv-tv nasional. Meskipun lagu dan penampilan tidak nyambung, lagu yang berada di format vcd bajakan bukan lagu yang dinyanyikan ketika penyanyi tersebut tampil di tv. Dalam kasus di Pontianak ada penyanyi yang dibajak tidak pernah melakukan pertunjukan untuk program tv dan tidak memproduksi vcd. Oleh karena tidak ada gambar si penyanyi, si pembajak kemudian menempatkan film Folra dan Fauna dalam vcd bajakan tersebut.

5) mengubah lagu atau karya musik. Dalam hal ini ada dua penyebabnya, pertama si pencipta lagu mengadaptasi lagu-lagu karya orang lain tanpa izin. Kedua, disebabkan adanya campur tangan produsen yang menginginkan produknya laku di pasaran tanpa memperdulikan hak cipta. Campur tangan produser dalam menentukan suatu produk rekaman terutama berlaku pada artis atau grup band yang dikontrak oleh produser rekaman. Hal ini dikarenakan musik yang dibuat harus berdasarkan orientasi pasar sang produser. Beberapa produser melakukan cara apapun untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin. Misalnya sampai saat ini masih ada produser di Bali yang mengambil beberapa lagu Mandarin, dan dibebankan kepada


(22)

musisi untuk diganti kata-katanya, lalu lagu tersebut diganti nama penciptanya dan kemudian dinyanyikan oleh seorang penyanyi terkenal, iramanya Mandarin tapi bahasanya bahasa Bali. Demikian juga dengan lagu dangdut SMS yang diproduksi oleh sebuah perusahaan rekaman di Sumatra Barat. Adalah suatu lagu yang mengadaptasi lagu India.

6) merekam gambar pada saat pertunjukan berlangsung. Pengambilan bukan berasal dari tv tetapi langsung dari tempat suatu pertunjukan berlangsung. Biasanya diambil melalui alat rekam yang sederhana saja (handycam). Hasil rekaman tersebut kemudian dijual dalam bentuk vcd. Dalam format vcd bajakan tersebut, gambar yang dilihat dapat berupa pertunjukkan langsung dari artis atau grup band yang direkam, bisa juga diisi dengan lagu lain. Artinya gambar berasal dari pertunjukkan secara langsung tetapi lagunya adalah lagu yang lain yang tidak dinyanyikan di pertunjukkan tersebut. Selain itu, ada juga bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta lainnya. Dalam hal ini adanya penggunaan lagu-lagu untuk nada dering maupun nada panggil yang digunakan pada handphone tanpa izin. Akan tetapi, kasus ini tidak banyak dijumpai di wilayah-wilayah yang diteliti.

Fenomena yang paling umum ditemui dalam industri musik lokal adalah adanya produk legal tetapi tidak sah. Produk industri musik dibuat secara benar, artinya tanpa melakukan pembajakan atau pelanggaran karya cipta, tetapi tidak mempunyai izin produksi maupun izin penjualan dari departemen perindustrian, keuangan, atau kehakiman.


(23)

Maraknya pembajakan kaset di Indonesia yang terkesan “dimaklumi” tentunya sangat merugikan pemegang hak cipta. Tindakan pembajakan kaset tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 dan bagi yang menyiarkan, menjual, barang hasil pelanggaran hak cipta akan dikenakan hukuman sesuai dengan Pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.


(24)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN KASET

A. Kasus posisi

Berdasarkan surat penetapan pengadilan negri Medan No.3683/Pid.B/2008/PN Medan tanggal 15 Desember 2008. dengan acara pemeriksaan biasa terdakwa dihadapkan ke depan persidangan dengan dakwaan Hendry als Ahwat pada hari Kamis tanggal 9 Oktober 2008, sekitar pukul 09.00 wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Oktober 2008 bertempat dirumah terdakwa Jl. Mahkamah Dalam no.1-11 Kel. Mesjid Kec. Medan Kota Kodya Medan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih berada dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukkan tanpa persetujuan pelaku memiliki hak eksklusif yaitu berupa VCD bajakan.

Pekerjaan penggandaan CD Film atau lagu tersebut dilakukan terdakwa sudah sekitar 1 (satu) tahun lamanya. Dimana CD yang terdakwa gandakan pada CDRW berupa VCD Film Indonesia, CD lagu dan MP3 lagu saja, antara lain lagu barat, lagu India, dan dalam pengerjakan penggandaan tersebut dilakukan terdakwa tanpa ada bantuan orang lain. Selanjutnya terdakwa masukkan kaset kosong ke dalam CDR atau rak CD yang berjumlah 9 (sembilan) unit setelah itu terdakwa masukkan VCD master yang akan dicopy atau digandakan dan setelah itu mesin copy tersebut beroperasi sendiri selama lebih kurang 20 (dua puluh) menit dan apabila selesai VCD master yang akan dicopy beserta CD kosong yang telah dicopy secara otomatis akan berhenti


(25)

dan keluar sendiri hasilnya dari CDRW dan terdakwa membungkusnya kedalam plastic VCD.

Adapun jumlah CD Film ataupun lagu terdakwa gandakan perharinya sebanyak 200 (dua ratus) keping dan selanjutnya dijual terdakwa ke Pajak USU di Kampus USU, dimana untuk penggandaan CD lagu ataupun film tersebut digandakan terdakwa apabila ada pesanan. Dari Hendra (DPO) yang membuka kios penjualan VCD bajakan di Pajak USU Kampus USU yang dijual terdakwa untuk perjudul film sejumlah 2 (dua) keeping CD dengan harga Rp.3500,- (tiga ribu lima ratus) dan untuk CD lagu dan MP3 lagu perkepingnya terdakwa jual dengan harga Rp.1800 (seribu delapan ratus rupiah).

Bahwa perbedaan antara VCD/CD asli dengan VCD/CD bajakan adalah :

a. VCD/CD asli ada kena pajak dari pemerintah, sedangkan bajakan tidak kena pajak.

b. Untuk harga VCD/CD aslinya harganya jauh lebih mahal dari pada bajakan. c. Untuk VCD/CD yang asli terdapat gambar pada kemasannya, sedangkan

VCD/CD bajakan tidak terdapat gambar atau polos saja.

d. Dilihat dari Cover/gambar untuk CD original bersegel CD bajakan tidak bersegel.

Adapun perbuatan terdakwa dalam menyiarkan, memamerkan, mengedarkan kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang sehingga mengakibatkan Negara dirugikan pada aspek ekonomi/fiscal, social, budaya dan politik, pencipta serta artis pada aspek kerugian pembayaran royalty dan produser kerugian dari aspek investasi.


(26)

Berikut keterangan saksi-saksi Achiruddin hasibuan, Abdul hamid dan Sihar Siahaan (masing-masing saksi dari kepolisian) pada pokok menerangkan sebagai berikut :

 Bahwa saksi menemukan beberapa kaset VCD Film dan lagu-lagu yang digandakan oleh terdakwa Hendry als Ahwat dirumahnya di Jl. Mahkamah dalam No.1 II Kel. Mesjid Kec. Medan.

 Bahwa barang-barang yang ditemukan pada saat dirumah terdakwa di Jl. Mahkamah Dalam No.1-II Kel. Mesjid pada hari Kamis tanggal 09 Oktober 2008 sekira pukul 09.00 wib berupa :

1) 378 keping kaset VCD Film bajakan 2) 228 keping kaset VCD Film (Master) 3) 37 keping kaset CD MP3 lagu (Master) 4) 532 keping kaset CD kosong

5) 140 keping kaset CD lagu India 6) 1 unit CDRW (alat copy kaset VCD)

Serta sebagian dari barang bukti tersebut ditemukan didalam mobil terdakwa yang rencanya dari pengakuan terdakwa diantar kepada pemesan untuk dijualnya.

Bahwa kaset yang digandakan oleh terdakwa dirumahnya di Jl. Mahkamah dalam No.1 II Kel. Mesjid Kec. Medan bersama-sama dengan Sihar dan Abdul Hamid.

Bahwa cara terdakwa melakukan penggandaan dengan menggunakan alat CDRW (alat pengganda) adalah pertama kabel-kabel dihubungkan ke listrik baru dihidupkan CDRW dan membuka rak kaset, kemudian master/kaset yang akan dicopy


(27)

dimasukkan kedalam rak paling bawah kaset, kaset kosong dimasukkan ke dalam rak paling atas baru ditutup rak tersebut dan menunggu selesai copy/penggandaan sesuai dengan banyak kaset yang di copy kedalam CDRW.

B. Analisa kasus

Berdasarkan fakta baik yang berasal dari keterangan saksi-saksi dan keterangan tersangka dan barang bukti tersebut diatas diduga telah terjadi perbuatan tidak Pidana menggandakan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta dan dengan sengaja menggandakan kaset CD lagu dan film, kaset VCD lagu dan Film yang tidak lulus sensor.

Benar saksi Abdul Hamid dan Sihar Siahaan adalah anggota Polri yang telah menemukan Kaset CD/VCD lagu dan film pada hari Kamis tanggal 9 Oktober 2008 sekitar jam 09.00 Jl.Mahkamah Dalam No.1-II Kel. Mesjid Kota pemilik adalah Hendry Als Ahwat.

Bahwa tersangka juga membenarkan kegiatan yang dilakukannya Menggandakan CD/VCD lagu dan film di hari kamis tanggal 9 Oktober 2008 sekitar jam 09.00 di Jl. Mahkamah dalam No.1 II Kel. Mesjid Kec. Medan.

Ahli menjelaskan sanksi pidana bagi barang siapa melakukan tidak pidana perlanggaran hak cipta atas lagu dan film adalah pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan atau denda paling sedikit Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000 (lima miliar rupiah) bagi barang siapa melakukan perbuatan mengumumkan atau memperbanyak suatu hak cipta atas lagu dan musik yang bukan


(28)

hak ciptaannya atau tanpa ijin dari pencipta dan atau pemegang hak cipta sebagaimana tidak pidana ini diatur dalam Pasal 72 ayat 1 UU RI No.19 Tahun 2002 tentang hak cipta. Selanjutnya pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) bagi barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana tindak pidana ini diatur dalam Pasal 72 ayat 2 UU RI No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Dengan pertimbangan Pasal 72 ayat (1) UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta maka jaksa menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memutuskan agar terdakwa Hendry als Ahwat dijatuhi pidana dengan pidana penjara selama 1 tahun dikurangi selama terdakwa berada di dalam tahanan sementara.

Atas dasar tuntutan tersebut diatas maka hakim menyatakan terdakwa Hendry als Ahwat telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan gambar pertunjukan tanpa persetujuan pelaku yang memiliki hak ataupun produser yang memegang Hak Cipta, oleh karena itu majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan hukuman kurungan penjara selama 7 bulan terhitung mulai tanggal 10 Oktober 2008 dan menyatakan barang bukti berupa 1 unit Suzuki AVP warna hitam No. Pol BK 1867 AV berikut kunci kontak di kembalikan kepada wali Hendry als Sahwat dan seluruh barang hasil bajakan maupun alat membajak seluruhnya dirampas untuk dimusnahkan.


(29)

1. Barang siapa

Yang dimaksud dengan barang siapa adalah subjek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatan, dalam perkara ini berdasarkan keterangan saksi dan terdakwa, bahwa ketika di bacakan dakwaan terdakwa membenarkan seluruh identitas yang ada di dalam dakwaan, mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa akan dibuktikan dalam unsur lain dari pasal ini.

2. Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan atau gambar pertunjukan tanpa persetujuan pelaku.

Bahwa berdasarkan keterangan saksi dihubungkan dengan keterangan terdakwa dan barang bukti yang telah disita, didapat suatu fakta : bahwa pada hari Kamis pada tanggal 9 Oktober 2008 sekitar Pukul 08.00 wib saksi Achiruddin Hasibuan, SH bersama saksi Sihar Siahaan dan saksi Abdul Hamid mendapat informasi tentang adanya penggandaan VCD, selanjutnya saksi tersebut melakukan pengecekan ke Jl. Mahkamah Dalam No. 1-II Kel. Mesjid Kota Medan. Dalam proses menuju ke rumah terdakwa para saksi mendapati beberapa VCD hasil pembajakan didalam mobil terdakwa. Kemudian para saksi membawa terdakwa ke rumah terdakwa untuk melakukan pemeriksaan dan kemudian mendapati barang bukti sebagaimana tersebut diatas.

C. Pengaruh sanksi pidana yang ditujukan kepada para pelanggar Hak Cipta khususnya pembajak kaset dalam Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002


(30)

Umumnya pelanggaran hak cipta didorong untuk mencari keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pencipta dan pemegang izin hak cipta. Perbuatan para pelaku jelas melanggar hukum yang menentukan agar setiap orang dapat mematuhi, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain dalam hubungan keperdataan termasuk penemuan baru sebagai ciptaan orang lain yang diakui sebagai hak milik oleh ketentuan hukum.Faktor-faktor yang mempengaruhi warga masyarakat untuk melanggar HKI menurut Parlugutan Lubis antara lain adalah :

1) pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut;

2) para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum;

3) ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI;

4) dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan

5) masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu (aspal), yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi. Dampak dari kegiatan tindak pidana hak cipta tersebut telah sedemikian besarnya merugikan terhadap tatanan kehidupan bangsa di bidang ekonomi, hukum dan sosial budaya. Di bidang sosial


(31)

budaya, misalnya dampak semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan menimbulkan sikap dan pandangan bahwa pembajakan sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan tidak lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang (wet delicten). Pelanggaran hak cipta selama ini lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang (developing countries) karena ia dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi para pelanggar (pembajak) dengan memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan dan pemantauan tindak pidana hak cipta.Harus diakui, upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran hak cipta selama ini belum mampu membuat jera para pembajak untuk tidak mengulangi perbuatannya, karena upaya penanggulangannya tidak optimal.

Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman, pertanyaan dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apa pun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang-undang. Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak memperkenankan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal, yakni :

1) merugikan pencipta/pemegang hak cipta, misalnya mem-foto kopi sebagian atau selurulnya ciptaan orang lain kemudian dijual/belikan kepada masyarakat luas; 2) merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang

bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan atau;


(32)

3) bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video compact disc (vcd) film dewasa. Melanggar perjanjian artinya memenuhi kewajiban tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, misalnya dalam perjanjian penerbitan karya cipta disetujui untuk dicetak sebanyak 2.000 eksemplar, tetapi yang dicetak/diedarkan di pasar adalah 4.000 eksemplar. Pembayaran royalti kepada pencipta didasarkan pada perjanjian penerbitan, yaitu 2.000 eksemplar bukan 4.000 eksemplar. Ini sangat merugikan bagi pencipta.Pelanggaran hak cipta menurut ketentuan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tanggal 15 Pebruari 1984 dapat dibedakan dua jenis, yakni :

a. mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri olah ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut plagiat atau penjiplakan (plagiarism) yang dapat terjadi antara lain pada karya cipta berupa buku, lagu dan notasi lagu, dan

b. mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta dan penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan piracy (pembajakan) yang banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan gambar (vcd), karena menyangkut dengan masalah a commercial scale.Pembajakan terhadap karya orang lain seperti buku dan rekaman adalah salah satu bentuk dari tindak pidana hak cipta yang dilarang dalam undang-undang hak cipta. Pekerjaannya liar, tersembunyi dan tidak


(33)

diketahui orang banyak apalagi oleh petugas penegak hukum dan pajak. Pekerjaan tersembunyi ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari penangkapan pihak kepolisian. Para pembajak tidak akan mungkin menunaikan kewajiban hukum untuk membayar pajak kepada negara sebagaimana layaknya warga negara yang baik. Pembajakan merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan iptek di bidang grafika dan elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum (illegal) oleh mereka yang ingin mencari keuntungan dengan jalan cepat dan mudah.Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok, yakni :

1) Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijak-sanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan dan ketertiban umum;

2) Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan vcd bajakan; 3) Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk

kepentingan komersial suatu program komputer.Dari ketentuan Pasal 72 tersebut, ada dua golongan pelaku pelanggaran hak cipta yang dapat


(34)

diancam dengan sanksi pidana. Pertama, pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang. Termasuk pelaku utama ini adalah penerbit, pembajak, penjiplak dan pencetak. Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang hak cipta. Termasuk pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual dan pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang.Kedua golongan pelaku pelanggaran hak cipta di atas, dapat diancam dengan sanksi pidana oleh ketentuan UU No. 19 tahun 2002. Pelanggaran dilakukan dengan sengaja untuk niat meraih keuntungan sebesar-besanya, baik secara pribadi, kelompok maupun badan usaha yang sangat merugikan bagi kepentingan para pencipta.

Dengan adanya sanksi hukum yang tegas setelah diberlakukannya UU No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, diharapkan dapat diberlakukan secara maksimal oleh aparat penegak hukum dalam memberantas pembajakan dengan sanksi-sanksi yang tegas yang dikandung dalam UU tersebut. Sehingga dapat menghindari luputnya suatu perbuatan pembajakan dari jeratan hukum lebih jauh dari itu, penerapan sanksi maksimal dan minimal yang dikandung Pasal 72 ayat (1) tersebut dapat memberikan efek jera bagi


(35)

para pelaku tindak pidana pembajakan atas pemberlakuan sanksi tersebut, juga diharapkan efektifitas penindakannya akan terwujud.

Selain sebagai sanksi hukum yang mengancam perbuatan pembajakan, sanksi ini juga sebagai pemberi efek ancaman secara psikologis bagi para calon pembajak potensial.

Pembatasan waktu proses perkara dibidang Hak Cipta yang ditangani oleh Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung adalah untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah berlarut-larutnya penanganan suatu perkara di bidang Hak Cipta, selain akan berakibat buruk bagi ekonomi dan perdagangan dalam hal ini komoditas musik sebagai industri juga memberikan kepastian hak hukum kepada terdakwa.

Tindak pidana yang dikenakan sanksi-sanksi pidana sebagai berikut, Ketentuan pidana

Pasal 72

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

(3) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).


(36)

(4) Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah).

(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 19, pasal 20, atau pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).

(6) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 24 atau pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).

(7) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).

(8) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).

(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.500.000.000.000,00 (Satu milyar lima ratus juta rupiah).


(37)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1) Pelanggaran hak cipta akan membawa dampak buruk bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra. Tanpa adanya perlindungan hukum yang memadai atas hak cipta seseorang, maka daya inovasi dan kreativitas pencipta akan menurun tajam yang dapat merugikan semua pihak. Masuk akal dalam pemikiran para pencipta, untuk apa mencipta atau berkreativitas dalam ilmu pengetahuan, sastra dan seni, jika hasil ciptaan mereka selalu dibajak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sudah menjadi kewajiban dari negara melalui instansi yang berwenang untuk mampu melindungi hasil ciptaan tersebut dengan melakukan penegakan hukum terhadap para pelanggarnya. Sebaliknya, penegakan hukum hak cipta harus hati-hati dalam memilah bentuk pelanggaran yang dilakukan dan justru diharapkan adalah petugas penegak hukum yang betul-betul dapat memahami tentang makna akan hak cipta sesungguhnya tanpa menggeneralisasikan begitu saja suatu perbuatan pelanggaran hak cipta dalam pemikiran orang atau masyarakat awam.

2) Tindak pidana hak cipta merupakan delik biasa. Artinya, penegak hukum

dalam hal ini pihak Kepolisian, bisa melakukan tindakan hukum terhadap pelanggar hak cipta tanpa perlu adanya pengaduan dari pihak lain. Bagi mereka yang terbukti menjual atau mengedarkan produk bajakan dapat dikenakan denda minimal Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan pidana


(38)

penjara paling lama 5 tahun. Sedangkan bagi yang terbukti memperbanyak tanpa seizin pemegang hak cipta bisa dikenakan denda minimal Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan maksimal Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara sedikitnya 1 (satu) bulan dan paling lama 7 (tujuh) tahun (Pasal 72 UUHC).

Menurut UUHC, gugatan terhadap pelanggaran hukum hak cipta secara perdata diajukan kepada Pengadilan Niaga. Bila melihat substansi UUHC tersebut maka hak-hak pemegang hak cipta cukup terlindungi. Sanksi-sanksi, baik perdata maupun pidana yang akan dijatuhkan kepada pelanggar hak cipta juga dinilai telah memadai.

3) Sanksi hukum diharapkan dapat mengurangi atau menjerakan para pembajak

tanpa izin dan prosedur hukum (illegal) menggunakan ciptaan orang lain dengan maksud tertentu untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Pemberian sanksi hukum dalam ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 tidak akan menjamin pelanggaran hak cipta dapat berkurang, sejauh kesadaran hukum masyarakat masih rendah dan kurang menghargal hasil karya orang atau bangsa lain. Menghargai karya cipta ini perlu ditingkatkan mengingat adanya sanksi internasional bagi setiap bangsa yang membajak ciptaan orang lain tanpa izin atau melalui prosedur hukum yang benar.


(39)

B. Saran

1) Kerugian Barang-barang pembajakan kaset CD/VCD yang diproduksi palsu dan dijual ke pasar ini jelas harus ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang diharapkan oleh semua pihak, terutama para pencipta/pemegang izin. Daya kreatif dan inovatif para pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran hak cipta terus berlangsung tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan menindak para pelakunya. Negara melalui aparat penegak hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung harus bertanggung jawab dengan adanya peristiwa ini dengan berupaya keras melakukan penang-gulangan merebaknya pelanggaran hak cipta.

2) Selain Negara melalui perangkat hukumnya, maka para insan musik seperti pencipta lagu, pemegang hak cipta, pemusik, asosiasi penerbitan musik, para produser musik, maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan langsung agar kiranya turut berpartisipasi dalam memberikan pengenalan pada masyarakat akan pentingnya menghargai karya cipta sebagai suatu komoditi yang bernilai ekonomis yang merupakan sumber banyak pihak secara ekonomis, yang dalam hal ini agar tidak membeli kaset bajakan.

3) Agar terjadinya suatu keseimbangan dalam suatu karya musik dan meminimalkan suatu pembajakan lagu diharapkan pemerintah lebih perduli kepada masyarakat karena masyarakat membutuhkan suatu produk karya musik yang murah, berkualitas, karena yang terjadi dimesyarakat adalah beredarnya lagu tanpa lisensi sehingga lagu tersebut tidak menghasilkan suatu royalti ataupun pendapatan bagi pihak pencipta,produser,pelaku maupun pihak-pihak lain yang terkait dalam industri musik.


(40)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG INDUSTRI PEREKAMAN SUARA DALAM UU NO. 19 TAHUN 2002

A. Perkembangan Industri perekaman suara di Indonesia

Perkembangan industri musik di berbagai daerah di Indonesia pada saat ini telah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim penelitian industri budaya Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia (tahun 2006 berada di bawah naungan Fakultas Ilmu Budaya UI) selama tahun 2003-2007 telah menunjukkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia telah tumbuh industri musik dalam skala lokal. Beberapa daerah yang dijadikan tempat penelitian selama tiga tahun tersebut meliputi; Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Menado, Kupang, Medan, Makasar, dan Padang. 5

Dalam tulisan ini, pengertian industri musik di daerah adalah suatu produk musik yang diproduksi di berbagai daerah di Indonesia. Produknya dapat berupa musik tradisi lokal dan musik pop lokal maupun musik pop nasional. Musik tradisi lokal menggunakan alat musik tradisional (pentatonis) maupun alat musik modern (diatonis) yang mengkorvesi nada bunyi musik tradisi. Dalam musik tradisi lokal bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah setempat.

Dalam musik pop lokal, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan genre musik nasional ada irama dangdut bahkan juga rock. Alat musik yang digunakan juga sama dengan alat musik yang digunakan pada alat-alat musik pop nasional, yaitu alat musik diatonis. Pemakaian bahasa merupakan ciri utama yang membedakannya dengan musik nasional. Apabila musik nasional menggunakan bahasa Indonesia dalam lirik

5 M. Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm 34


(41)

lagunya, maka musik pop daerah menggunakan bahasa daerah setempat dalam lirik lagunya. Pembedaan lainnya antara musik daerah dan musik nasional adalah adanya dominasi sisipan-sisipan bunyi alat musik tradisional dalam musik pop lokal.

Pembedaan ini perlu dikemukakan dalam tulisan ini, mengingat selain industri musik lokal, di berbagai daerah di Indonesia pun telah lama menjadi pasar industri musik nasional. Apabila dikaitkan dengan judul tulisan, maka permasalahan hak cipta yang dibahas adalah yang menyangkut industri musik lokal., juga industri musik nasional di daerah.

Beberapa jenis bentuk wadah musik secara fisik hasil Industri perekaman suara di Indonesia adalah:

1. Piringan Hitam

Piringan hitam mulai ada sejak tahun 1948. Ada tiga ukuran piringan hitam dalam hitungan rpm (rotation per minute) yaitu 78, 45, 33 1/3. Piringan hitam 78 dan 45 untuk plat berdiameter 25 cm, sedangkan 33 1/3 untuk plat berdiameter 30 cm. 78, 45, 33 1/3 rpm maksudnya adalah, setiap satu menit piringan hitam itu berputar sebanyak angka yang menjadi ukurannya (78, 45, 33 1/3). Semakin besar diameter platnya, semakin kecil ukuran untuk memutarnya.

Belakangan kecepatan 78 mulai tidak digunakan lagi pada produksi piringan hitam ini sejak sekitar tahun 60an dan hanya kecepatan 45 dan 33 1/3 saja yang masih digunakan untuk memutarnya. Plat berukuran 30 cm dengan kecepatan 33 1/3 yang biasa disebut Long Play (disingkat LP), plat ukuran sedang 25 cm juga dengan kecepatan 33 1/3 masih termasuk Long Play tapi


(42)

biasanya berisi 4 buah lagu di tiap sisinya, plat ukuran 18 cm dengan kecepatan 45 atau 33 1/3 juga, berisi 1 buah lagu di tiap sisinya disebut Single Player dan yang berisi 2 buah lagu di tiap sisinya disebut Extended Player.

Ada beberapa alat untuk memutar piringan hitam, salah satunya adalah phonograph. Cara kerja piringan hitam sama saja disemua alat pemutarnya, yaitu dengan menggunakan stylus, yang berbentuk seperti jarum yang berada di pinggiran piringan hitam. Stylus itu berfungsi untuk mencatat simpangan

gelombang suara yang direkam di piringan hitam dan kemudian meneruskannya ke alat pengeras suara.

Dari segi fisik, piringan hitam besar dan agak berat, beratnya kira-kira 90-200 gram. Intinya tidak praktis untuk membawa piringan hitam kemana-mana. Akan tetapi kelebihannya adalah piringan hitam tidak mudah rusak dan suara yang direkam bagus. Jadi selama platnya tidak baret-baret, sebuah piringan hitam tidak akan bermasalah. Oleh karena itulah piringan hitam banyak disukai orang-orang. Para musisi pada tahun 1950-1970an pun banyak yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam piringan hitam. Namun biasanya mereka hanya merekam single saja kedalam piringan hitam yang berukuran 78 atau 45. Jadi kebanyakan hanya terdapat dua lagu, masing-masing satu lagu di side A dan side B. Hal itu dikarenakan pada masa itu biaya untuk merekam lagu terbilang mahal, lagipula seorang penyanyi atau sebuah grup musik biasanya hanya mempunyai satu atau dua lagu yang terkenal, maka dari itu mereka lebih memilih membuat single. Jadi kalaupun mereka membuat album,


(43)

album hanya bisa direkam di piringan hitam berukuran 33 1/3, biasanya sisa lagu yang lain yang selain single hanya filler.

Di Indonesia sendiri, piringan hitam mulai digunakan sebagai alat perekam sekitar tahun 1957. Perusahaan rekaman yang berjaya saat itu dan memproduksi piringan hitam adalah Lokananta di Surakarta dan Irama di Menteng. Beberapa artis seperti Koes Bersaudara, Titiek Puspa, dan Lilies Suryani adalah yang merekam lagunya di perusahaan rekaman tersebut dalam format piringan hitam. Pada masa itu di Indonesia, piringan hitam termasuk mahal, ditambah lagi dengan alat pemutarnya, jadi tidak semua orang di Indonesia memilikinya. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan piringan hitam kurang terkenal di Indonesia.

Untuk di dunia sendiri, piringan hitam mulai turun pamornya sejak adanya CD pada awal tahun 1980an. CD berhasil menggusur pasar piringan hitam karena fisiknya yang lebih kecil sehingga dapat dengan mudah dibawa, ditambah lagi suaranya yang jernih.

Namun, pada masa sekarang ini, piringan hitam masih dan sedang banyak dicari. Karena orang-orang yang ingin memiliki rekaman musisi idolanya, ingin mempunyai rekaman mereka dari zaman piringan hitam. Lagipula rekaman lagu-lagu untuk musisi-musisi lama, seperti contohnya The Beatles, lebih banyak di piringan hitam. Selain itu nilai tambahan untuk yang mempunyai piringan hitam sekarang ini adalah kepuasan batin, gengsi, dan esensinya dalam mengoleksi barang.


(44)

2. Kaset

Audio kaset, sudah ada sejak tahun 1963. Akan tetapi kaset tidak bisa menggusur kedudukan piringan hitam saat itu. Sekitar tahun 1970an barulah kaset mulai banyak dilirik oleh orang-orang dan juga industri rekaman.

Kaset mempunyai bentuk yang sederhana, dengan dua bolongan sebagai alat pemutar pita magnetiknya. Pita magnetik adalah media untuk merekam suara di dalam kaset. Kapasitas merekam yang dapat dilakukan sebuah kaset berbeda-beda, yang paling sedikit kapasitasnya hanya bisa merekam selam tujuh menit di setiap sidenya, jadi bila dijumlahkan durasi satu kaset adalah 14 menit, sedangkan yang paling panjang kapasitasnya adalah yang bisa merekam sampai 60 menit di setiap sidenya, jadi durasi keseluruhannya adalah 120 menit atau dua jam.

Alat untuk memutar kaset dapat kita temukan dimana-mana, dari yang besar sampai yang kecil, bahkan ada pula yang portable, jadi kita bisa membawanya kemana-mana dengan mudah. Kelebihan lainnya adalah kaset dapat digunakan untuk merekam secara manual, maksudnya adalah kita bisa merekam rekaman suara lain dan dimasukkan ke dalam kaset kosong yang kita punya. Oleh karena itulah pada tahun 1970an, hampir semua musisi pasti mempunyai rekaman single atau albumnya dalam bentuk kaset. Karena selain dapat merekam lebih banyak, apabila kita menggunakan kaset dengan kapasitas 120 menit, biaya untuk memproduksi rekaman dengan menggunakan kaset pun lebih murah. Sampai saat ini pun kaset masih menjadi alternatif


(45)

media perekam yang dipilih oleh musisi. Namun beberapa tahun belakangan ini mulai ada perusahaan rekaman yang tidak mau lagi memproduksi kaset.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan kaset kurang terkenal di awal kemunculannya, adalah kaset, yang menggunakan pita magnetik sebagai alat untuk merekam suara, terkadang tidak merekam dengan sempurna. Jadi sangat mungkin terjadi, rekaman di dalam kaset suaranya mendem atau kalau memang suaranya bagus, kemungkinan kaset itu untuk menjadi mendem pun besar. Hal itu dikarenakan pita magnetik yang terdapat dalam kaset terbilang sensitif, kita tidak boleh membiarkan kaset itu kotor, apalagi sampai pita magnetiknya yang kotor, dan kita juga harus memutar pitanya sampai ke batas pita yang biasanya berwarna putih yang tidak ada rekamannya. Selain itu kita juga harus berhati-hati jangan sampai pita magnetiknya kusut saat menggulung. Artinya kita harus merawat kaset lebih ekstra. Ditambah lagi pita magnetik untuk merekam sekarang ini lebih tipis dibandingkan dengan zaman dulu (sekitar tahun 1970an), jadi kemungkinan kaset untuk rusak lebih besar. Namun kaset zaman dulu pun tidak jaminan tidak mudah rusak.

3. Cakram Padat (CD) dan MP3

Primadona alat perekam musik sampai saat ini adalah CD. Hadir di awal tahun 1980an dan berhasil menggeser kedudukan pendahulunya, piringan hitam dan kaset. Keunggulan CD adalah bentuknya yang sangat simpel dan ringkas, kualitas suaranya yang jernih, kemampuan merekamnya yang hebat, dapat merekam hingga lebih dari 700 mega byte, selain itu perawatannya juga


(46)

mudah. Prinsip dasar perawatannya sama seperti piringan hitam, selama tidak baret-baret CD itu akan baik-baik saja.

Terdapat banyak alat untuk dapat memutar sebuah CD. CD dapat diputar apabila sensor yang berbentuk seperti mata yang terdapat di alat pemutar CD dapat membaca CD tersebut. Untuk itulah mengapa penting agar CD tetap dijaga keadaanya dan tidak baret-baret, karena kalau ada baretan akan ada masalah dalam membaca CD tersebut.

Apabila grup musik, ambil contoh lagi The Beatles ingin merekam albumnya ke dalam sebuah CD, biasanya perusahaan rekaman akan membuat dua versi rekamannya. Rekaman internasionalnya yang akan menjadi CD impor yang kualitasnya pasti lebih baik dan harganya juga lebih mahal. Sedangkan versi keduanya adalah CD lokal yang dibuat lagi oleh perusahaan rekaman yang sama seperti yang mengeluarkan rekaman CD impor, tetapi perusahaan rekaman tersebut ada di negara dimana CD lokal itu akan dipasarkan. Kekurangan CD lokal meskipun harganya jauh lebih murah dari CD impor adalah kualitasnya yang kurang bagus, selain itu prestigenya pun kurang apabila kita membeli CD local.

Kelebihan lainnya, lagu-lagu yang terdapat dalam CD dapat dipindahkan ke komputer dengan cara di rip yang nantinya dapat dengan mudah kita pindahkan lagi ke alat-alat pemutar musik portable seperti iPod. Ada lagi yang dapat dengan mudah langsung dipindahkan ke komputer tanpa perlu me-rip -nya, yaitu MP3. MP3 pada umumnya berprinsip sama seperti CD, namun kemampuan MP3 dalam merekam musik lebih banyak, jadi kita bisa


(47)

memasukkan banyak lagu kedalam satu MP3. Seharusnya harga MP3 asli sama mahalnya seperti CD impor, namun karena kecanggihan teknologi, sekarang ini dapat dengan mudah dibuat CD dan MP3 bajakan.

Pemaparan bentuk wadah musik tadi dimaksudkan untuk memberi gambaran betapa kompleksnya masalah yang dihadapi para pelaku industri musik dalam memproduksi kaset dari berbagai alat untuk mendengarkan musik yang berimbas pada mahalnya biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk memproduksi kaset, hal ini terkait pula pada harga jual kaset hasil produksi yang menjadi jauh lebih mahal dari pada harga kaset bajakan yang tidak mempertimbangkan kualitas produksi. Akibatnya industri perekaman suara terancam secara financial akibat dari maraknya pembajakan.

B. Dilema UU Hak Cipta dalam memberantas praktek pembajakan kaset, CD, VCD

Pembajakan kaset, CD, dan VCD di Indonesia kian marak saja dari tahun ke tahun. Kenyataan ini sangat memprihatinkan, sebab tindakan pembajakan tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap hak cipta yang merupakan hak eksklusif pencipta atau penerima hak. Konsekuensinya, setiap penggandaan haruslah dengan

seizin pemegang hak cipta.6

Hak cipta sendiri merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Aturan hukum terbaru yang mengatur tentang hak cipta adalah UU No. 19/2002


(48)

tentang Hak Cipta (UUHC) yang akan berlaku tanggal 29 Juli 2003. UU itu merupakan penyempurnaan dari UU No.12/1997 tentang Hak Cipta.

Menurut UUHC, semua bentuk ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra termasuk di dalamnya lagu atau musik dengan atau tanpa teks, merupakan ciptaan yang dilindungi serta berlaku selama si pemegang hak cipta hidup, sampai dengan 50 (lima puluh) tahun setelah meninggal dunia.

Tindak pidana hak cipta merupakan delik biasa. Artinya, penegak hukum dalam hal ini pihak Kepolisian, bisa melakukan tindakan hukum terhadap pelanggar hak cipta tanpa perlu adanya pengaduan dari pihak lain. Bagi mereka yang terbukti menjual atau mengedarkan produk bajakan dapat dikenakan denda minimal Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan pidana penjara paling lama 5 tahun. Sedangkan bagi yang terbukti memperbanyak tanpa seizin pemegang hak cipta bisa dikenakan denda minimal Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan maksimal Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara sedikitnya 1 (satu) bulan dan paling lama 7 (tujuh) tahun (Pasal 72 UUHC).

Menurut UUHC, gugatan terhadap pelanggaran hukum hak cipta secara perdata diajukan kepada Pengadilan Niaga. Bila melihat pada substansi UUHC tersebut maka hak-hak pemegang hak cipta cukup terlindungi. Sanksi-sanksi, baik perdata maupun pidana yang akan dijatuhkan kepada pelanggar hak cipta juga dinilai telah memadai. Masalahnya sekarang adalah, apakah UUHC ini bisa menghentikan pelanggaran hak cipta dalam bentuk penjualan kaset, CD, dan VCD hasil bajakan

seperti yang diharapkan para pencipta lagu dan produser? Tingginya tingkat


(49)

melainkan juga Pemerintah. Walaupun peraturan perundang-undangan mengenai hak cipta yang tersedia pada saat ini relatif sudah cukup memadai mengatur mengenai hal yang berkaitan dengan pendayagunaan optical disc, koordinasi dengan semua pihak yang berkompeten perlu lebih diintensifkan guna menekan tingginya produk hasil bajakan yang pada saat ini beredar di masyarakat luas. Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan yang terprogram dengan baik bagi berbagai pihak masih perlu terus ditingkatkan. Di samping itu, langkah-langkah yang bersifat lebih konkrit perlu segera dipersiapkan dan ditindaklanjuti secara sistematis.

Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain.

Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII). Memuat Pasal 1 butir 1 No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah :

Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(50)

Barang-barang yang diproduksi palsu dan dijual ke pasar, selain merugikan bagi penerimaan royalti para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan penurunan kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat konsumen. Kerugian ini jelas harus ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang diharapkan oleh semua pihak, terutama para pencipta/pemegang izin. Daya kreatif dan inovatif para pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran hak cipta terus berlangsung tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan menindak para pelakunya. Negara melalui aparat penegak hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung harus bertanggung jawab dengan adanya peristiwa ini dengan berupaya keras melakukan penanggulangan merebaknya pelanggaran hak cipta. Apabila tidak ada penegakan hukum yang konsisten terhadap para pelanggar, maka akan sulit terwujudnya suatu perlindungan hukum terhadap hak cipta yang baik. Masalah ini telah menjadi tuntutan masyarakat internasional terhadap bangsa dan negara Indonesia yang dinilai masih rendah untuk menghargai HAKI.7

Pengaturan standar minimum perlindungan hukum atas ciptaan-ciptaan, hak-hak pencipta dan jangka waktu perlindungan dalam Konvensi Bern adalah sebagai berikut. Pertama, ciptaan yang dilindungi adalah semua ciptaan di bidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni dalam bentuk apa pun perwujudannya. Kedua, kecuali jika ditentukan dengan cara reservasi, pembatasan atau pengecualian yang tergolong sebagai hak-hak ekslusif seperti:

7 M. Djumhana & R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (sejarah, teori & prakteknya di


(51)

a) hak untuk menerjemahkan,

b) hak mempertunjukkan di muka umum ciptaan drama musik dan ciptaan musik, c) hak mendeklamasikan di muka umum suatu ciptaan sastra,

d) hak penyiaran,

e) hak membuat reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apa pun, f) hak menggunakan ciptaannya sebagai bahan untuk ciptaan, dan

g) hak membuat aransemen dan adapsi dari suatu ciptaan.8

Penggunaan hak cipta tidak melampaui pada batas-batas ketentuan yang telah ditetapkan undang-undang. Keempat, jangka waktu. Penggunaan hak cipta dilakukan dalam jangka waktu perlindungan tertentu yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau berdasarkan perjanjian tertulis (lisensi).

Perlindungan hukum terhadap hak cipta merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari unsur-unsur sistem berikut. Pertama, subyek perlindungan. Subyek yang dimaksud adalah pihak pemilik atau pemegang hak cipta, aparat penegak hukum, pejabat pendaftaran dan pelanggar hukum. Kedua, obyek perlindungan. Obyek yang dimaksud adalah semua jenis hak cipta yang diatur dalam undang-undang. Ketiga, pendaftaran perlindungan. Hak cipta yang dilindungi hanya yang sudah terdaftar dan dibuktikan pula dengan adanya sertifikat pendaftaran, kecuali apabila undang-undang mengatur lain. Keempat, jangka waktu. Jangka waktu adalah adanya hak cipta dilindungi oleh undang-undang hak cipta, yakni selama hidup ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Kelima, tindakan hukum perlindungan. Apabila


(52)

terbukti terjadi pelanggaran hak cipta, maka pelanggar harus dihukum, baik secara perdata maupun pidana.

Setiap pelanggaran hak cipta akan merugikan pemilik/pemegangnya dan/atau kepentingan umum/negara. Pelaku pelanggaran hukum tersebut harus ditindak tegas dan segera memulihkan kerugian yang diderita oleh pemilik/pemegang hak atau negara. Penindakan atau pemulihan tersebut diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002. Penindakan dan pemulihan pelanggaran hak cipta melalui penegakan hukum secara :

1) perdata berupa gugatan a. ganti kerugian,

b. penghentian perbuatan pelanggaran,

c. penyitaan barang hasil pelanggaran untuk dimusnahkan. 2) pidana berupa tuntutan

a. pidana penjara maksimal 7 tahun penjara, dan / atau b. pidana denda maksimum sebesar Rp. 5 miliar,

c. perampasan barang yang digunakan melakukan kejahatan untuk dimusnahkan,

3) administratif berupa tindakan a. pembekuan/pencabutan SIUP,

b. pembayaran pajak/bea masuk yang tidak dilunasi, c. re-ekspor barang-barang hasil pelanggaran.

Selama ini, pelanggaran hak cipta termasuk dalam delik aduan (klachtdefict). Artinya, penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian bersama instansi terkait atau tuntutan sanksi pidana dapat dilakukan oleh penuntut umum atas dasar


(53)

pengaduan dari pihak-pihak yang dirugikan, baik para pencipta, pemegang izin, warga masyarakat sebagai konsumen ataupun negara sebagai penerima pajak. Delik aduan ini adalah dalam bentuk delik aduan mutlak (absolute klachidelict), yakni peristiwa pidana yang hanya dapat dituntut bila ada pengaduan. Berlakunya UU No. 19 Tahun 2002, pelanggaran hak cipta menjadi Delik Biasa yang dapat diancam pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Adanya perubahan ini sebagai upaya pemerintah mengajak masyarakat untuk menghargai dan menghormati HKI mengingat masalah pelanggaran hak cipta telah menjadi bisnis ilegal yang merugikan para pencipta dan pemasukan pajak/devisa negara di samping masyarakat internasional menuding Indonesia sebagai “surga” bagi para pembajak.9

D. Dasar tindak pidana karena perbuatan pembajakan Hak Cipta

Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta membawa kemajuan baru dalam perlindungan hak tersebut, yang meliputi perlindungan terhadap buku, program komputer, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim, seni rupa dalam segala bentuk, arsitektur, peta, seni batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Dari sekian banyak ciptaan yang dilindungi sesuai UU itu, penulis mengkhususkan pembahasannya pada hak cipta atas lagu atau musik, mengingat maraknya pelanggaran yang terjadi. Bahkan Indonesia pernah dikecam dunia

9 Yuliati, et, al, Laporan Penelitian Efektivitas Penerapan UUNo.19/2002 tantang Hak Cipta


(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI PEREKAMAN

SUARA DARI TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN KASET

(Studi Kasus Putusan No.3683/Pid.B/2008/PN.MEDAN)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

ABSTRAKSI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta ... 8

2. Pengertian industri perekaman suara ... 12

3. Pengertian tindak pidana pembajakan kaset ... 16

4. Putusan No.3683/Pid.B/2008/PN.Medan ... 18

F. Metode Penulisan ... 19

G. Sistematika Penulisan... 21

BAB II : PENGATURAN HUKUM TENTANG INDUSTRI PEREKAMAN SUARA DALAM UU NO. 19 TAHUN 2002 A. Perkembangan Industri perekaman suara di Indonesia... 23

B. Dilema UU Hak Cipta dalam memberantas praktek pembajakan kaset, CD, VCD... 31


(2)

BAB III : PELAKSANAAN UU HAK CIPTA KHUSUSNYA TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN KASET

A. Status perlindungan karya rekaman suara... 41 B. Prospek pelaksanaan UU Hak Cipta ... 47

C. Pelaksanaan Undang-undang Hak Cipta khususnya tindak pidana

pembajakan kaset serta cara menanggulanginya dari pihak industri perekaman suara maupun upaya dari pihak pemerintah... 52 BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

PEMBAJAKAN KASET

A. Kasus posisi... 63

B. Analisa kasus... 66 C. Pengaruh sanksi pidana yang ditujukan kepada para pelanggar Hak

Cipta khususnya pembajak kaset dalam pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002... 69

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 77 B. Saran ... 79


(3)

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasihnya penulis diberikan kesehatan dan kesempatan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi penulis dalam penyelesaian studi di Fakultas Hukum USU Medan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI PEREKAMAN SUARA DARI TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN KASET.

Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan, pengetahuan, wawasan, serta bahan literatur yang penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk semakin menambah wawasan dan ilmu penulis.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tekah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini maupun kepada semua pihak yang menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum USU Medan, yaitu :

1. Bapak Prof.DR.Runtung,SH,M.HUM selaku Dekan Fakultas Hukum USU Medan.

2. Bapak Prof.DR.Suhaidi,SH,M.H selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU Medan.


(4)

4. Bapak Muhammad Husni,SH,M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU sekaligus sebagai Dosen Wali penulis, yang telah memberikan semangat dan dorongan selama penulis menjalankan studi.

5. Bapak Abul Khair,SH,M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana USU Medan.

6. Ibu Liza Erwina,SH.M.HUM selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang penuh kesabaran membimbing penulis baik dalam studi maupun dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Alwan,SH,M.HUM selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini yang dengan penuh kesabaran memberi arahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Bapak/Ibu Dosen pengajar Fakultas Hukum USU Medan yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya baik dalam perkuliahan maupun diluar perkuliahan.

9. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum USU

10.Untuk kedua orang tuaku (Drs W.P.Tambun, Apth) dan (B.Siahaan, SH) yang terkasih karena dalam keikhlasan, ketulusan serta pengorbanannya telah memberikan semangat, dorongan, cinta, dan semua hal yang dibutuhkan dalam menjalani hari-hari dalam pencapaian cita-cita anaknya.

11.Buat kakak-kakakku, Purnama, Meylitha Amd, Junitha SE, Sisca SE dan buat abangku Ronald SE yang banyak membantu.


(5)

12.Teman-teman ’04 “Banalina, Herny, Ayu, Ilham, Ramon, Migdad, Gunawan, Amir Tekun, Dharma, Rozi, Moty, Agus Bulat, Josua, Clo, Endamey, Melda, Junita, Tamy, Hartanta, Siska, Ajo”

13.Anak “02 bang Novri, Adnan, Karsah “03 bang Oky, Ismud, Rifky, Rendro, Aulia, Edo. ’05 Ricky, Rio, Binsar, Dapit, Lala, Echa, Indra, Erico, Burhan, Sozy”

Semoga Tuhan memberikan berkat dan kasihnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumetera Utara.

Medan, Juni 2009 Hormat Saya

Andri Tambun 040200226


(6)

ABSTRAK

Permasalahan mengenai Hak Cipta (HAKI) akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, budaya, dan aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Cipta. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Cipta (HAKI). Dengan adanya perlindungan hukum terhadap hasil karya cipta, maka pencipta atau penerbit memiliki dan menguasai hasil karya ciptanya tersebut.

Penulisan skripsi ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Industri Perekaman Suara Dari Tindak Pidana Pembajakan Kaset”. (Studi Kasus : Putusan No.3683/Pid.B/2008/PN.Medan). Permasalahan yang ingin dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memberikan perlindungan hukum terhadap ciptaan lagu rekaman dari pelaku pembajakan kaset dan bagaimana pelaksanaan UU Hak Cipta khususnya yang menyangkut tindak pidana pembajakan kaset serta bagaimanakah pengaruh aturan sanksi pidana kepada pelanggar Hak Cipta khususnya yang menyangkut pasal 72 Undang-Undang No. 19 tahun 2002. Permasalahan ini diharapkan dapat dijawab melalui metode pendekatan hukum normatif dengan menggunakan data sekunder. Metode pengumpulan data ditempuh dengan cara studi kepustakaan yaitu mempelajari sumber-sumber bahan bacaan berupa buku, artikel, maupun kutipan pernyataan para ahli hukum serta putusan No. 3683/Pid.B/2008/PN/Medan.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka menurut UUHC No.19 Tahun 2002 penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian, bila melakukan tindakan hukum terhadap para pelanggar Hak Cipta tanpa perlu adanya pengaduan ataupun laporan dari masyarakat. Bagi mereka yang terbukti menjual atau mengedarkan produk bajakan dapat dikenakan denda maksimal Rp 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah) dan pidana penjara paling lama 5 tahun. Sedangkan bagi yang terbukti memperbanyak tanpa seizin pemegang Hak Cipta bisa dikenakan denda maksimal Rp 5.000.000.000,- (lima miliar Rupiah) serta ancaman pidana penjara maksimal 7 tahun. Sanksi hukum diharapkan dapat mengurangi atau menjerakan para pembajak kaset, namun hal ini bukan satu-satunya kendala dalam menjamin pelanggaran Hak Cipta selama kesadaran masyarakat akan hasil karya cipta orang lain masih rendah. Kesadaran untuk menghargai karya cipta ini perlu ditingkatkan mengingat adanya nilai ekonomis yang termuat dalam lingkaran produksi kaset mulai dari penciptaan lagu sampai pada pendistribusian kaset hasil karya cipta tersebut.