BAB IV KEDUDUKAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN
KREDIT DAN KAITANNYA DENGAN PERAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA JAMINAN FIDUSIA
A. Kedudukan Jaminan Fidusia Dalam Suatu Perjanjian Kredit Yang
Dibuat Dan Ditandatangani Oleh Pihak Kreditur Dan Pihak Debitur.
Timbulnya Fidusia disebabkan kebutuhan masyarakat akan suatu jaminan di dalam suatu perjanjian kredit. Fidusia sebagai Jaminan dalam suatu Perjanjian
Kredit memiliki kedudukan yang sangat penting, yaitu mengenai jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menanggung hutang si debitur
kepada kreditur, dimana barang yang dijaminkan oleh debitur menjadi milik si debitur, akan tetapi barang yang dijaminkan oleh si debitur tersebut tetap dalam
penguasaan si debitur. Dewasa ini dalam hal perkreditan, Jaminan Fidusia merupakan suatu lembaga jaminan untuk pelunasan hutang tertentu yang dibuat
antara debitur dengan pihak kreditur yang diwujudkan dalam suatu perjanjian. Di lain pihak, “pengaturan lembaga Jaminan Fidusia dalam rangka sistematik
hukum perdata termasuk dalam bidang hukum benda”.
1
1. Aspek Hukum Perjanjian
Dari hal yang telah penulis uraikan di atas, maka kedudukan Jaminan Fidusia dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dikatakan bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan atau dengan katan lain bahwa
1
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Pengaturan Hukum Tentang Hipotek, Kreditverban Dan Fidusia, Seminar Hukum Jaminan, Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN Departemen
Kehakiman, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1981, hal. 54
Jaminan Fidusia adalah merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, dimana perjanjian tentang Jaminan Fidusia tersebut mengikuti perjanjian pokoknya yang
biasanya merupakan suatu perjanjian kredit atau perjanjian hutang piutang antara kreditur dengan debitur.
Di samping itu Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 5 dan angka 6 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatakan sebagai
berikut : Pasal 1 angka 1
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Pasal 1 angka 2 Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Pasal 1 angka 5 Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda
yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
Pasal 1 angka 6 Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang
mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.
Dari bunyi Pasal 1 angka 5 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 di atas diketahui bahwa di dalam perjanjian Jaminan Fidusia debitur
disebut dengan “Pemberi Fidusia” dan kreditur disebut dengan “Penerima Fidusia”, sehingga dengan adanya kata “Pemberi Fidusia” dan kata “Penerima
Fidusia” diketahui bahwa telah timbul perikatan antara antara 2 dua pihak yaitu pihak si Pemberi Fidusia dan pihak si Penerima Fidusia.
Selanjutnya berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 5 dan angka 6 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 di atas dikaitkan dengan bunyiPasal 1 angka 1
dan angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, maka di dalam perikatan antara pihak si Pemberi Fidusia dan pihak si Penerima Fidusia tersebut,
kedudukan pihak si Pemberi Fidusia adalah sebagai pemilik benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dan orang yang mempunyai hutang terhadap pihak si
Penerima Fidusia, sedangkan kedudukan pihak si Penerima Fidusia adalah pihak yang mempunyai piutang terhadap pihak si Pemberi Fidusia yang pembayarannya
dijamin dengan obyek Jaminan Fidusia milik dari pihak si Pemberi Fidusia, atau dengan kata lain antara pihak si Pemberi Fidusia dengan pihak si Penerima
Fidusia telah terjadi perjanjian pemberian kredit dengan Jaminan Fidusia, dan Fidusia sebagai jaminan, diberikan dalam bentuk perjanjian.
1
1
Oey Hoey Tiong, Op Cit, hal. 32.
Dalam hal dilaksanakannya perjanjian pemberian kredit dengan Jaminan Fidusia haruslah sesuai dan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diatur di dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang menyebutkan bahwa : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
maka perjanjian tersebut dikatakan adalah suatu perjanjian yang sah menurut hukum dan akibatnya perjanjian tersebut mengikat sebagai undang-undang bagi
kedua belah pihak yang membuatnya. Ke empat syarat tersebut dapat bedakan menjadi dua golongan, dimana
syarat angka 1 dan angka 2 merupakan syarat subyektif yang orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat angka 3 dan angka 4 merupakan syarat obyektif yang
mengatur tentang perbuatan yang dilakukan oleh orang yang membuat perjanjian tersebut.
Dalam perjanjian pemberian Jaminan Fidusia juga harus memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif sebagaimana yang dirumuskan di dalam Pasal 1320
KUH Perdata di atas.
Syarat subyektif yang pertama, yaitu kesepakatan dari ke dua belah pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia dalam suatu perjanjianpemberian Jaminan
Fidusia haruslah merupakan perwujudan dari kehendak ke dua belah pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia dalam perjanjian tersebut, misalnya dalam
hal apa saja yang dikehendaki oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia untuk melaksanakannya, mengenai saat pelaksanaannya dan mengenai pihak yang
berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal yang disepakati tersebut. Begitu pula halnya dengan syarat subyektif yang ke dua yaitu kecakapan
para pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia dalam membuat suatu perikatan Jaminan Fidusia yang dalam hal ini kecakapan yang menyangkut tentang
kecakapan untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 KUH Perdata mengatur tentang orang-orang yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian, yaitu : 1.
Orang-orang yang belum dewasa. 2.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan Curatele. Jadi berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut di atas, pemberi fidusia
dan penerima fidusia haruslah orang yang cakap bertindak dalam hukum, yaitu orang yang sudah dewasa serta bukan orang yang ditaruh di bawah pengampuan
Curatele. Sementara itu syarat obyektif dari sahnya suatu perjanjian tertuang di
dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian dan Pasal 1335 sampai dengan Pasal
1337 KUH Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Mengenai syarat suatu hal tertentu tertuang di dalam Pasal 1333 KUH Perdata yang berbunyi :
Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Jadi dapat kita lihat bahwa KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang, dan jika
diperhatikan lebih lanjut rumusan tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau
untuk tidak berbuat sesuatu, dalam KUH Perdata semua jenis perikatan pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu dan
kebendaan tersebut haruslah sesuatu yang dapat ditentukan atau dihitung secara pasti.
Sejalan dengan syarat obyektif yang pertama, yaitu suatu hal tertentu tersebut, dikaitkan dengan perjanjian Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh si
pemberi fidusia dengan si penerima fidusia, maka di dalam perjanjian antara si pemberi fidusia dengan si penerima fidusia isinya adalah bahwa si pemberi
fidusia berhutang kepada si penerima fidusia, dimana si pemberi fidusia akan membayar hutangnya kepada si penerima fidusia yang dijamin dengan obyek
yang menjadi jaminan Fidusia yang merupakan milik dari si pemberi fidusia, dan si penerima fidusiamempunyai piutang terhadap si pemberi fidusia yang
pembayarannya dijamin dengan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia milik
si pemberi fidusia, dan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia tersebut tetap dalam penguasaan si pemberi fidusia.
Sehingga yang merupakan suatu hal tertentu di dalam perjanjian pemberian jaminan fidusia adalah hutang piutang antara si pemberi fidusia
dengan si penerima fidusia, dimana si pemberi fidusia akan membayar hutangnya kepada si penerima fidusia yang dijamin dengan obyek yang menjadi jaminan
Fidusia yang merupakan milik dari si pemberi fidusia, dan si penerima fidusiamempunyai piutang terhadap si pemberi fidusia yang pembayarannya
dijamin dengan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia milik si pemberi fidusia, dan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia tersebut tetap dalam
penguasaan si pemberi fidusia. Adapun syarat obyektif yang kedua, yaitu suatu sebab yang halal yang
diatur di dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1337 KUH Perdata mengatakan :
Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Berdasarkan bunyi Pasal 1337 KUH Perdata tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan suatu sebab yang halal di dalam perjanjian Jaminan Fidusia
yang dilakukan oleh si pemberi fidusia dengan si penerima fidusia adalah bahwa apa yang diperjanjikan antara si pemberi fidusia dengan si penerima fidusia
tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, atau tidak berlawanan dengan kesusilaan maupun dengan ketertiban umum.
Kita mengetahui bahwa Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang Hukum Perikatan menganut sistem terbuka dan sifat dari Buku III KUH Perdata
tersebut adalah sebagai pelengkap, sehingga para pihak diperbolehkan membuat perjanjian apa saja, asalkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak
bertentangan dengan pasal 1320 KUH Perdata dan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata adalah perjanjian-perjanjian yang terkenal
saja serta kalau para pihak tidak mengatur perjanjian yang mereka buat dengan lengkap, maka undang-undang yang melengkapinya, sehingga apabila hal tersebut
kita kaitkan dengan perjanjian pemberian jaminan fidusia, maka para pihak diperbolehkan membuat perjanjian pemberian jaminan fidusia yang tidak dikenal
oleh KUH Perdata, asalkan perjanjian pemberian jaminan fidusia tersebut tidak bertentangan dengan pasal 1320 KUH Perdata.
Dengan demikian hubungan perjanjian pemberian jaminan fidusia yang dibuat antara si Pemberi Fidusia dengan si Penerima Fidusia dengan hukum
perjanjian adalah :
1
1. Hubungan hukum antara pemberi dan penerima fidusia adalah hubungan
perikatan, berdasarkan mana kreditur berhak untuk menuntut penyerahan barang jaminan secara constitutum possessorium kepada kreditur.
2. Perikatan itu mengikuti suatu perikatan lain yang telah ada, yaitu
perikatan utang piutang antara kreditur dan debitur. Perikatan antara pemberi dan penerima fidusia dengan demikian merupakan perikatan
yang sifatnya accesoir sedangkan perikatan pokoknya ialah utang piutang itu.
3. Perikatan fidusia itu terjadi karena perjanjian pemberian fidusia sebagai
jaminan, sehingga dapat dikatakan bahwa sumber perikatannya adalah perjanjian.
4. Perjanjian itu merupakan perjanjian yang tidak dikenal oleh KUH
Perdata.
1
Oey Hoey Tiong, Op Cit, hal. 32 – 33.
Selanjutnya bahwa mengenai bentuk perjanjian Jaminan Fidusia dalam praktek perbankan di Indonesia selalu dibuat dalam bentuk tertulis, hal tersebut
memberikan manfaat sebagai berikut :
1
1. Si pemegang fiducia demi kepentingannya akan menuntut cara yang
paling gampang untuk dapat membuktikan adanya penyerahan tersebut terhadap si debitur. Hal demikian penting untuk menjaga kemungkinan si
debitur meninggal dunia sebelum si kreditur dapat melaksanakan haknya. Tanpa adanya akta akan sulit baginya untuk membuktikan hak-
haknya terhadap akhli waris dari debitur.
2. Dengan adanya akta akan dapat dicantumkan janji-janji khusus antara
debitur dan kreditur yang mengatur hubungan hukum mereka. Perjanjian secara lesan tidak akan dapat menentukan secara teliti jika menghadapi
keadaan yang sulit yang kemungkinan timbul.
3. Perjanjian yang tertulis dari fiducia sangat bermanfaat bagi si kreditur
jika ia akan mempertahankan haknya terhadap pihak ketiga. Sebagaimana perikatan pada umumnya yang dikenal didalam KUHPerdata
dapat hapus, maka perikatan yang lahir dari perjanjian pemberian jaminan fidusia juga dapat hapus. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang
Fidusia yang berbunyi sebagai berikut : Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau
c. Musnahnya benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
Sejalan dengan uraian tersebut di atas, maka perikatan pemberian jaminan fidusia antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia lahir karena perjanjian
yang dibuat oleh pemberi fidusia dengan penerima fidusia, dan perikatan jaminan
1
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Cetakan pertama, Penerbit Liberty, Yoyakarta, 1980,
hal.40-41.
fidusia tersebut bersifat mengikuti perikatan pokoknya yaitu hutang piutang bersifat accesoir serta perjanjian pemberian jaminan fidusia tersebut dapat
hapus sebagaimana perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata. Jaminan Fidusia tidak dikenal dalam Buku III KUH Perdata, akan tetapi perjanjian pemberian
jaminan fidusia boleh dilakukan asalkan tidak melanggar syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata dan apabila para
pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia tidak mengatur perjanjian yang mereka buat dengan lengkap, maka semua ketentuan-ketentuan yang terdapat di
dalam Buku III KUH Perdata yang melengkapinya dan perjanjian Jaminan Fidusia tersebut dibuat secara tertulis, dengan demikian Jaminan Fidusia adalah termasuk
dalam aspek hukum perjanjian.
2. Aspek Hukum Kebendaan.
Menurut Jurisprudensi maupun menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dikatakan bahwa Jaminan Fidusia adalah merupakan salah satu
bentuk lembaga jaminan yang tidak diatur di dalam KUH Perdata yang bertujuan untuk menjamin pembayaran hutang debitur kepada kreditur dengan bendabarang
milik debitur, walaupun bendabarang milik debitur yang dijadikan jaminan untuk membayar hutang debitur kepada kreditur tersebut tetap berada dalam
penguasaan debitur. Adanya jaminan seperti yang disebutkan di atas memang diperlukan oleh
kreditur, karena dalam suatu perikatan antara kreditur dan debitur, pihak kreditur
mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur memenuhi kewajibannya dalam perikatan tersebut.
1
Adapun yang dimaksud dengan hak-hak kebendaan adalah sebagai berikut
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa jaminan fidusia adalah merupakan hak kreditur untuk meminta kepada debitur memenuhi kewajibannya
yaitu melunasi hutang si debitur kepada kreditur dan yang menjadi jaminan hutang si debitur tersebut adalah bendabarang milik debitur, sehingga oleh
karena itu jaminan fidusia mempunyai sifat hak kebendaan.
2
1. Hak Kebendaan adalah hak yang diberikan oleh undang-undang. Orang
tidak boleh atau tidak dapat menciptakanhak-hakkebendaan lain, selain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
:
2. Hak Kebendaan yang bersumber pada hukum kebendaan bersifat memaksa
tidaklah dapat dikesampingkan oleh siapapun juga. Hak kebendaan mengikat semua orang.
3. Hak Kebendaan adalah suatu droit de suite, yang berarti hak kebendaan
senantiasa mengikuti bendanya kemanapun benda tersebut beralih atau dialihkan.
4. Hak Kebendaan yang paling luas adalah Hak Milik.
5. Hak Milik yang dimiliki oleh seseorang atas kebendaan tertentu
memberikan kepadanya hak untuk memberikan hak-hak kebendaan- kebendaan lain diatasnya, baik yang bersifat umum, maupun yang bersifat
terbatas Jura in re alinea.
6. Terhadap benda bergerak hak menguasai atau pemegang kedudukan
berkuasa memiliki hak yang sama dengan seseorang pemegang Hak Milik Pasal 1977 angka 1 KUH Perdata.
7. Terhadap kebendaan bergerak, pemberian hak kebendaan baik yang
umum maupun yang terbatas dalam bentuk Jura in re alinea harus dilakukan dengan menyerahkan kebendaan bergerak tersebut.
8. Terhadap kebendaan tidak bergerak, seorang pemegang kedudukan
berkuasa hanya memperoleh hak untuk menikmati benda tidak bergerak tersebut semata-mata hak kebendaan secara terbatas, sehingga ia
1
Oey Hoey Tiong, Op Cit, hal. 14.
2
Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005, hal. 143.
dimungkinkan untuk, melalui kadaluarsa menjadi pemilik dari benda tersebut.
9. Bagi kebendaan tidak bergerak, pemberian hak kebendaan baik umum
maupun yang terbatas dalam bentuk Jura in re alinea harus dilakukan dengan pendaftaran dan pengumuman akan pemberian hak tersebut.
10. Hak-hak kebendaan yang bersifat umum, yang merupakan pemberian hak
lebih lanjut dari Hak Milik tersebut memungkinkan pemegang hak kebendaan untuk menikmati, menyerahkan, atau mengalihkan dan
membebani kembali hak kebendaan tersebut dengan hak kebendaan yang bersifat terbatas.
11. Hak-hak kebendaan yang bersifat terbatas tersebut hanya memberikan hak
kepada pemegangnya untuk menikmati hak pakai, atau hanya untuk memperoleh pelunasan sebagai atau dalam rangka jaminan utang.
12. Dalam hal pemegang hak kebendaan lebih lanjut Jura in re alinea
tersebut adalah juga pemegang hak kebendaan terhadap mana hak Jura in re alinea diberikan, maka demi hukum Jura in re alinea tersebut hapus
demi hukum asas percampuran.
13. Pemberian hak kebendaan adalah bersifat menyeluruh untuk keseluruhan
bagian dari benda tersebut yang merupakan satu kesatuan, termasuk kebendaan yang berdasarkan asas permelekatan menjadi satu dengan
kebendaan tersebut.
14. Dalam hal kebendaan yang diberikan hak kebendaan kemudian dapat
dipisahkan, maka hak kebendaan tersebut demi hukum mengikuti semua bagian dari kebendaan yang telah dipisahkan tersebut.
15. Khusus terhadap hak kebendaan terbatas yang diberikan sebagai jaminan
utang, maka hak kebendaan tersebut memiliki sifat droit de preference, yang berarti memberikan hak kepada pemegangnya untuk memperoleh
pelunasan terlebih dahulu terhadap kreditor lainnya dari hasil penjualan benda yang dijaminkan secara kebendaan tersebut, untuk seluruh nilai
piutangnya tidak prorata. Lain halnya tentang hak kebendaan yang berlaku di dalam jaminan fidusia
dengan apa yang dimaksud dengan hak kebendaan tersebut di atas, dimana terhadap kebendaan bergerak, pemberian hak kebendaan baik yang umum
maupun yang terbatas dalam bentuk Jura in re alinea harus dilakukan dengan menyerahkan kebendaan bergerak tersebut dan terhadap kebendaan tidak
bergerak, seorang pemegang kedudukan berkuasa hanya memperoleh hak untuk menikmati benda tidak bergerak tersebut, sedangkan di dalam jaminan fidusia
terhadap kebendaan bergerak maupun tidak bergerak, maka pemberian hak kebendaan dilakukan tidak dengan menyerahkan kebendaan bergerak maupun
tidak bergerak tersebut dan seorang pemegang hak kebendaan berdasarkan jaminan fidusia tidak memperoleh hak untuk menikmati benda yang menjadi
jaminan fidusia tersebut, karena di dalam jaminan fidusia benda yang menjadi jaminan tetap berada di dalam penguasaan debitur pemberi fidusia dan bukan
berada di dalam penguasaan kreditur penerima fidusia. Sejalan dengan hal tersebut di atas, Sri Soedewi Masjchun Sofwan
mengatakan : “Hak kebendaan memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya dan tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan bermaksud
memberikan hak verhaal hak untuk meminta pemenuhan piutangnya kepada si kreditur, terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu dari debitur untuk
pemenuhan piutangnya dan ciri khas dari jaminan yang bersifat kebendaan ialah dapat dipertahankan dimintakan pemenuhan terhadap siapapun juga, yaitu
terhadap mereka yang memperoleh hak baik berdasarkan atas hak yang umum maupun yang khusus, juga terhadap para kreditur dan pihak lawannya. Hak
tersebut selalu mengikuti bendanya droit de suite; zaakgevolg dalam arti bahwa yang mengikuti bendanya itu tidak hanya haknya tetapi juga kewenangan untuk
menjual bendanya dan hak eksekusi”.
1
Jaminan Fidusia yang di dalamnya terdapat sifat hak kebendaan, yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan selalu mengikuti bendanya serta
dapat dialihkan,
2
1
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op Cit, hal.38.
2
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
selain itu di dalam Jaminan Fidusia berlaku asas spesialitas yaitu
kewajiban untuk menguraikan ciri-ciri dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, misalnya bagi benda bergerak harus diuraikan jumlahnya, jenisnya,
merknya, tahun pembuatannya, bukti terhadap kepemilikan benda tersebut dan lain-lain, sedangkan bagi benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek harus diuraikan letaknya, luasnya, tanda bukti kepemilikannya dan lain-lain.
Disamping itu dengan sifat hak kebendaan yang dimiliki oleh Jaminan Fidusia mensyaratkan bahwa terhadap benda yang menjadi obyek jaminan
Fidusia tersebut harus didaftarkan dalam register yang diperuntukkan untuk itu asas Publisitas.
Dengan adanya kedua asas tersebut, maka Jaminan Fidusia merupakan suatu pembuktian yang kuat untuk sahnya jaminan terhadap pelunasan hutang si
debitur dan janji si debitur tersebut dapat dilaksanakan dengan mudah serta terhadap benda yang menjadi jaminan fidusia tersebut dapat dieksekusi
mempunyai kekuatan eksekutorial. Sehingga dengan adanya asas spesialitas dan asas publisitas tersebut menjamin kuatnya Fidusia merupakan suatu lembaga
jaminan. Sifat istimewa hak kebendaan lainnya yang dimiliki oleh Jaminan Fidusia
adalah hak kreditur untuk didahulukan pembayarannya terhadap kreditur-kreditur lainnya hak preferent, dimana apabila si debitur cidera janji untuk melunasi
hutang-hutangnya, maka benda yang menjadi jaminan fidusia tersebut dijual dan hasil penjualannya terlebih dahulu dibayarkan kepada kreditur yang menerima
jaminan fidusia dan selanjutnya sisa dari penjualan terhadap benda yang menjadi
jaminan fidusia tersebut dibayarkan kepada kreditur lainnya yang bukan sebagai penerima fidusia.
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Jaminan Fidusia mempunyai sifat-sifat hak kebendaan, sehingga Jaminan Fidusia adalah
merupakan aspek hukum kebendaan, walaupun Jaminan Fidusia tidak diatur di dalam KUH Perdata.
B. Proses Pemberian Jaminan Fidusia Dalam Suatu Perjanjian Kredit.