66
Sitanggang 2011. Apabila suhu telah mencapai 95
o
C dan pH 6 dilakukan pemanasan
selama 30 menit, untuk mengubah slurry menjadi gel dan mempermudah kerja enzim α amilase dalam memecah ikatan α-1,4 glikosida dan
menurunkan viskositas larutan. Pada proses likuifikasi tidak dilakukan pengujian total gula dan gula pereduksi.
Perlakuan pendahuluan pemanasan terjadi gelatinisasi menandakan rusaknya struktur pati dan larutnya pati pada air sehingga memudahkan enzim
masuk dan menghidrolisis. Masih adanya air pada slurry setelah pemanasan juga terkait dengan memudahkan kinerja enzim. Ketersediaan air pada campuran yang
telah tergelatinisasi menunjukkan pemanasan berlangsung di bawah suhu 110 °C. Di atas suhu tersebut, pasta mengalami kehilangan air hingga terjadi pemekatan
Safitri et al. 2009. Waktu pemanasan yang terlalu singkat juga menyebabkan kurangnya absorbsi air sehingga proses gelatinisasi berlangsung tidak sempurna.
Proses pencoklatan atau browning terjadi saat likuifikasi akibat suhu optimum enzim α-amilase yang tinggi 95 °C. Hal ini juga menghambat kinerja enzim
dalam menghidrolisis substrat. Setelah dilakukan pemanasan 30 menit, dilakukan proses sakarifikasi
dimulai dengan penambahan enzim amiloglukosidase AMG 30 U dengan menurunkan suhu 60
o
C dan pH diatur 4,5. Uji aktivitas enzim AMG digunakan baik pada sakarifikasi 145 UmL Derosya 2010 pada suhu optimum 60
o
C dan pH optimum 4,5 Akyuni, 2004. Pada proses sakarifikasi hidrolisat dimasukkan
ke dalam waterbath shaker selama 48 jam dengan suhu 60
o
C pada 120 rpm. Enzim AMG mengkonversi komponen maltosa menjadi glukosa dan memutus
ikatan α-1,6 pada dekstrin. Volume filtrat dari proses hidrolisis rata-rata berkurang 25 dan mempunyai
pH 7 - 8, hal ini menunjukkan jumlah total padatan gula terlarut dalam filtrat semakin meningkat. Enzim yang bekerja pada proses tersebut menaikkan angka
pH. Efektivitas kerja konsorsium enzim dalam menghidrolisis substrat dapat dilihat pada total gula yang dihasilkan semakin naik setelah sakarifikasi Tabel
14
Confidential
67
Tabel 14. Hasil Proses Hidrolisis
Sampel pH
Bobot residu Kering g
Gula total sebelum proses
hidrolisis wv Gula total
setelah proses hidrolisis wv
9111 8
4,0721 3,69
4,80 9112
7 3,7689
4,47 6,26
9114 8
4,2595 4,07
5.29 PLB 6354
8 3,6679
4,53 5,89
4.7 Proses Fermentas
i Pembuatan etanol pada umumnya dilakukan melalui proses fermentasi.
Fermentasi merupakan proses untuk mengkonversi glukosa menjadi etanol dan CO
2
yang bersifat anaerob. Pada proses fermentasi menggunakan yeast Saccharomyces cerevisiae sebanyak 10 fraksi volume substrat yang dihasilkan
dari proses hidrolisis. Proses fermentasi berlangsung pada suhu 30
o
C selama 40 jam dan 160 rpm. S. cerevisiae yang digunakan pada proses fermentasi untuk
ganggang mikro mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada substrat dan mudah beradaptasi dengan lingkungannnya serta berfungsi sebagai pemecah sukrosa
menjadi monosakarida glukosa dan fruktosa, selanjutnya mengubah glukosa menjadi etanol.. Pada akhir fermentasi sampel Crucigenia quadrata ICBB 9111
masih ada sisa gula, hal ini menandakan fermentasi belum berlangsung optimal. Glukosa yang tersisa terdeteksi dengan HPLC pada sampel Crucigenia quadrata
ICBB 9111 sebesar 0,03 Lampiran 17. Total asam dihitung pada akhir proses fermentasi untuk mengetahui kadar
asam yang terbentuk. Komponen asam organik merupakan hasil sampang dari proses fermentasi, pada penelitian ini yang diuji asam organik hanya Crucigenia
quadrata ICBB 9111 dan Scenedesmus bijuga ICBB 9112. Alasan pengujian tersebut karena Crucigenia quadrata ICBB 9111 masa kultivasi dikolam kanal
sangat cepat 28 hari dengan produksi biomassa kering 80,3947 g dan Scenedesmus bijuga ICBB 9112 masa kultivasi panjang 45 hari dengan produksi
biomassa paling tinggi diantara empat strain sebesar 158,7069 g. Hasil pengujian asam organik yang terdeteksi pada strain Crucigenia quadrata ICBB 9111 hanya
Confidential
68
asam butirat sebesar 13,44 . sedangkan untuk strain Scenedesmus bijuga ICBB 9112 tidak terdeteksi. Hal ini menunjukkan tidak ada penumpukkan asam berarti
S. cerevisiae mampu untuk mengubah asam piruvat menjadi etanol. Hasil Uji etanol tersaji pada Tabel 15.
Kandungan karbohidrat tinggi berdasrkan analisa proksimat pada sampel Crucigenia quadrata ICBB 9111 sebesar 42,27 ww ternyata pada hasil
fermentasi tidak menghasilkan kadar etanol tinggi. Pada sampel Scenedesmus bijuga ICBB 9112 yang mempunyai kandungan karbohidrat 21,30 ww setelah
proses fermentasi mempunyai kadar etanol tertinggi sebesar 105,86ppm. Sampel Chlorella vulgaris ICBB 9114 yang mempunyai kandungan karbohidrat sebesar
16,66 ww lebih rendah dibanding kandungan karbohidrat Chlorella vulgaris PLB 6354 sebesar 17,22 ww ternyata memiliki kadar etanol lebih tinggi.
Diduga terdapat udara pada proses fermentasi maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit karena terjadi respirasi yang mengakibatkan terjadinya konversi gula
menjadi sel, karbondioksida, dan air Barnett et al. 1999 Tabel 15. Hasil Uji Etanol
Sampel Satuan
Hasil Metode UJI
9111 ppm
50,47 GC
9112 ppm
105,86 GC
9114 ppm
53,38 GC
PLB 6354 ppm
41,17 GC
Waktu kultivasi di kolam kanal dan hasil biomassa sangat berpengaruh pada hasil fermentasi. Kandungan karbohidrat dari biomassa yang dihasilkan tidak
mempengaruhi hasil fermentasi. Semakit cepat waktu kultivasi di kolam kanal tidak mudah memecah karbohidrat untuk menjadi gula sederhana. Hal ini terlihat
pada Tabel 12,13 dan 15. Strain Crucigenia quadrata ICBB 9111 kandungan karbohirat paling tinggi 42,27 diantara empat strain pada penelitian ini, waktu
kultivasi 28 hari pada kolam kanal paling cepat dan kadar etanol 50,47ppm dibandingkan dengan Strain Scenedesmus bijuga ICBB 9112 kandungan
karbohirat 21,30, waktu kultivasi 45 hari pada kolam kanal dan kadar etanol
Confidential