Sejarah dan Perkembangan Kolintang Peralatan Kolintang

udara, Chordophone sumber bunyi dari dawai atau senar, dan electrophone sumber bunyi dari listrik. Berdasarkan cara memainkannya alat musik terdiri atas: Alat musik pukul idiophone, membranophone, chordophone, dan electrophone, alat musik tiup aerophone, alat musik petik chordophone, dan alat musik gesek chordophone. Berdasarkan sumber bunyinya kolintang termasuk kedalam kelompok idiophone karena sumber bunyi kolintang adalah ruang resonansi yang terdapat di badan kolintang tersebut. Berdasarkan cara memainkannya alat musik ini termasuk golongan alat musik perkusi karena cara memainkannya dipukul. Kolintang adalah alat musik hasil dari kebudayaan Minahasa Sulawesi Utara yang mempunyai bahan dasar yaitu kayu yang dimainkan dengan cara dipukul. Kayu yang digunakan adalah kayu-kayu yang ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis yang sejajar. Dalam kamus musik disebutkan kolintang adalah alat musik keluarga marimbaphone tradisional Sulawesi utara yang telah dimodifikasi dalam berbagai bentuk penampilan dengan melodi kromatik. Berdasarkan fungsinya dalam ansambel, dikenal dengan melodi, cello, banjo, bass, dan sebagainya dinyatakan dalam berbagai ukuran, mirip perangkat musik keroncong.

2.4.1 Sejarah dan Perkembangan Kolintang

Istilah kolintang berasal dari bunyi Tong nada rendah, Ting nada tinggi, Tang nada tengah. Dahulu dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang “ Mari kita ber Tong Ting Tang” dengan ungkapan “Maimo Kumolintang” dan dari kebiasaan itulah muncul nama “Kolintang” untuk alat yang digunakan bermain. Mulanya kolintang hanya terdiri dari bilahan-bilahan kayu yang diletakkan di atas kedua kaki pemainnya dengan posisi duduk dan kakinya lurus kedepan. Seiring dengan berjalannya waktu bilahan-bilahan kayu diletakkan diatas dua batang pisang. Penggunaan peti resonator dimulai pada tahun 1830 saat Pangeran Diponegoro berada di Minahasa, pada saat itu konon katanya peralatan gamelan dan gambang dibawa bersama rombongannya. Pemakaian kolintang di Minahasa sangat erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional masyarakat minahasa, seperti upacara-upacara ritual pemujaan arwah para leluhur setempat. Hal ini juga yang menjadi pemicu hampir menghilangnya eksistensi kolintang selama kurang lebih seratus tahun saat agama Kristen mulai masuk ke daerah Minahasa. Kolintang muncul kembali setelah perang dunia ke-2 lewat seorang tokoh yang bernama Nelwan Katuuk seseoarang yang menyusun nada kolintang menurut nada musik universal. Mulanya hanya terdiri dari satu melodi dengan susunan nada diatonic dengan jarak nada 2 oktaf, dan sebagai pengiring digunakan alat-alat seperti gitar, ukulele, dan string bass.

2.4.2 Peralatan Kolintang

Setiap alat dalam kolintang memiliki nama yang lazim dikenal, akan tetapi peralatan tersebut juga mempunyai nama yang berasal dari bahasa minahasa. Untuk disebut lengkap dalam permainan kolintang terdapat 9 alat. Alat-alat tersebut adalah bass loway, cello cella, tenor 1 karua, tenor 2 karua rua, alto 1 uner, alto 2 uner rua, ukulele alto 3 katelu, melodi 1 ina esa, melodi 2 ina rua, melodi 3, ina taweng. Susunan alat lengkap dalam permainan kolintang pada umumnya adalah melodi diletakkan di depan tengah, bass di belakang kanan, cello dibelakang kiri, serta alat yang lain bisa menyesuaikan lebar panggung 2 atau 3 baris dengan memperhatikan fungsi alat tenor atau alto.

2.4.3 Sistem Nada pada Alat Musik Kolintang