Praperlakuan Fisik Dan Biologi Terhadap Biomassa Eceng Gondok Untuk Produksi Enzim Selulase Oleh Aspergillus Niger Dan Trichoderma Reesei

(1)

BIOMASSA ECENG GONDOK UNTUK PRODUKSI ENZIM

SELULASE OLEH ASPERGILLUS NIGER DAN TRICHODERMA

REESEI

TESIS

Oleh

FENI AMRIANI

117022003/TK

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PRAPERLAKUAN FISIK DAN BIOLOGI TERHADAP

BIOMASSA ECENG GONDOK UNTUK PRODUKSI ENZIM

SELULASE OLEH ASPERGILLUS NIGER DAN TRICHODERMA

REESEI

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik

Pada Program Studi Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

FENI AMRIANI

117022003/TK

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

ABSTRAK

Eceng gondok yang tumbuh dengan cepat menyebabkan eutrofikasi badan air sehingga menghabiskan nutrisi dan oksigen dalam air. Namun, eceng gondok yang merupakan biomassa lignoselulosa berpotensi digunakan untuk produksi enzim selulase oleh beberapa jenis mikroba seperti Aspergillus niger dan Trichoderma reesei. Praperlakuan dilakukan untuk mendegradasi lignin dan meningkatkan aksesibilitas mikroba terhadap selulosa sebelum eceng gondok digunakan sebagai substrat. Pada penelitian ini, praperlakuan fisik dilakukandengan pengurangan ukuran biomassa dan praperlakuan biologi dengan menggunakan jamur pelapuk putih dengan variasi variable waktu fermentasi 3, 5, 7, 8 dan 9 hari, moisture content 65%, 70%, 75%, 80%, dan 85%, dan penggunaan mikroba mono dan mix kultur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eceng gondok mengandung selulosa 27,78%, hemiselulosa 37,50% dan lignin 5,99%, namun setelah dilakukan praperlakuan fisik dan biologi, lignin terdegradasi menjadi 4,63% dan 2,90% untuk masing-masing praperlakuan. Kondisi terbaik fermentasi untuk produksi enzim selulase pada sampel eceng gondok dengan praperlakuan fisik diperoleh pada hari ke-7, moisture content 75%, dan penggunaan mono kultur mikroba Aspergillus niger dengan aktivitas enzim selulase 0,207 IU/ml. Pada sampel eceng gondok dengan praperlakuan biologi kondisi terbaik fermentasi diperoleh pada hari ke-7, moisture content 80%, dan penggunaan mono kultur mikroba Aspergillus niger dengan aktivitas enzim selulase 0,107 IU/ml.

Kata kunci : Aspergillus niger, Eceng Gondok, Enzim Selulase, Praperlakuan, Selulosa, Trichoderma reesei.


(5)

The Overgrowth of water hyacinth leads to eutrophication of water bodies as it exhausts nutrient and oxygen contents in water. However, it can be potentially used as lignocellulose biomass for cellulase production by several types of microbes such as Aspergillus niger and Trichoderma reesei. Physical pretreatment is conducted by size reduction of biomass and biological pretreatment by relying white rot fungus in which used to degrade lignin and improve accessibility of microbes to the cellulose, using variance of variable fermentation time 3, 5, 7, 8 and 9 days; substrate moisture content 65%, 70%, 75%, 80%, and 85%, and the use of microbes in mono and mix cultures respectively. The result showed that water hyacinth contains cellulose 27.78%, hemicellulose 37.50% and lignin 5.99%. Physical and biological pretreatment to biomass showed lignin degradation to 4.63% and 2.90% respectively. The best conditions for cellulase production on water hyacinth biomass with physical pretreatment were at 7th day incubation period, 75% of moisture content by mono culture Aspergillus niger with cellulase activity 0.207 IU/ ml, and the best conditions for water hyacinth biomass with biological pretreatment were at 7th day incubation period, 80% of moisture content by mono culture Aspergillus niger with cellulase activity 0.107 IU/ml.

Keywords : Aspergillus niger, Cellulase, Cellulose, Pretreatment, Trichoderma reesei, Water Hyacinth.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kepada Allah SWT atas segala karunia dan ridho-Nya, sehingga tesis dengan judul “Praperlakuan Fisik dan Biologi Terhadap Biomassa Eceng Gondok Untuk Produksi Enzim Selulase Oleh Aspergillus niger dan Trichoderma reesei” ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun setelah melalui penelitian dan konsultasi untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Teknik (M. T) di Program Magister Teknik Kimia dengan sumber dana berasal dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Jakarta.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :

1. Ibu Dr. Fatimah, M. T dan Ibu Dr. Iriany, M. Si atas bimbingan, arahan, dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi Dosen pembimbing penelitian dan perkuliahan.

2. Bapak Dr. Taslim, M. Si dan Bapak Dr. Irvan, M. Eng yang telah memberikan masukan dan saran pada saat seminar proposal dan seminar hasil tesis.

3. Ketua Program Studi Magister Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara, Dr. Taslim, M. Si.

4. Sekretaris Program Studi Magister Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Rosdanelly, M. Sc.


(7)

bantuannya dalam penelitian dan penyusunan laporan tesis ini.

6. Ayahanda Alm. Ir. Amrul Ambia dan Ibunda Yeni Afriyani, serta adik-adik Vidi, Vici, dan Devin yang telah menginspirasi dan segala dukungan dan doanya. Suami tercinta dr. Rizky Julana dan anak-anak tercinta Harits, Sarah, Hammam, dan Shafiyyah inspirasi dan semangat terbesar dan ucapan terima kasih atas segala dukungan, kesabaran, dan doanya selama ini.

7. Rekan-rekan S-2 Teknik Kimia angkatan 2011 dan 2012. Semoga semua bisa cepat selesai , dan

8. Semua civitas dan staf administrasi Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu pengembangan lebih lanjut agar benar-benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang .

Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang ramah lingkungan.

Medan, November 2013

Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1984, dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Alm. Ir. Amrul Ambia dan Yeni Afriyani. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN Pacet II Cipanas, Jawa Barat lulus tahun 1995, selanjutnya di SLTP Mardi Yuana Santo Yusuf Sindang Laya, Jawa Barat lulus tahun 1998. Tahun 2001 penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMU N 1 Cianjur.

Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan lulus pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2011 penulis mengambil program Magister Teknik Kimia di Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(9)

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... iv

Riwayat Hidup ... vi

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

1.5 Lingkup Penelitian ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1 Karakteristik dan Pola Pertumbuhan Eceng Gondok ... 15

2.2 Pengendalian dan Pemanfaatan Eceng Gondok ... 18

2.3 Eceng Gondok dalam Produksi Enzim ... 22

2.4 Selulase ... 24


(10)

Halaman

2.5.1 Substrat, Mikroorganisme, dan Praperlakuan ... 27

2.5.2 Fermentasi ... 35

2.6 Produksi Enzim Selulase dengan Substrat Eceng Gondok dan Perkembangannya ... 42

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 45

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

3.2 Alat dan Bahan ... 45

3.3 Rancangan Percobaan ... 46

3.4 Prosedur Percobaan ... 46

3.4.1 Pembenihan Mikroba ... 46

3.4.2 Praperlakuan Eceng Gondok ... 47

3.4.3 Penyiapan Inokulum Cair ... 50

3.4.4 Produksi Enzim Selulase ... 50

3.4.5 Pengambilan Enzim ... 51

3. 5 Analisa Hasil Penelitian ... 52

3.5.1 Analisa Kadar Lignin dan Selulosa ... 52

3.5.2 Uji Aktivitas Enzim ... 53

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

4.1 Persiapan Bahan Sampel Biomassa Eceng Gondok dan Mikroba ... 56

4.1.1 Bahan Sampel Biomassa Eceng Gondok ... 56


(11)

4.2 Produksi Enzim Selulase ... 59

4.3 Pengambilan Enzim dan Pengujian Aktivitas Enzim ... 60

4.4 Hasil Praperlakuan Fisik dan Biologi ... 61

4.4.1 Hubungannya dengan Degradasi Lignin ... 62

4.4.2 Hubungannya dengan Produksi Enzim Selulase ... 65

4.5 Pengaruh Variasi Kultur Mikroba terhadap Aktivitas Enzim Selulase ... 67

4.6 Pengaruh Variasi Moisture Content terhadap Aktivitas Enzim Selulase .... 70

4.7 Pengaruh Variasi Waktu Fermentasi (Incubation Period) terhadap Aktivitas Enzim Selulase ... 71

4.8 Respon Maksimum Aktivitas Enzim Selulase ... 73

4.9 Ringkasan Produksi Enzim Selulase dengan Metode Praperlakuan Fisik dan Biologi ... 75

V. PENUTUP ... 76

5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN ... L-1 – L-13


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1.1 Perkembangan Produksi Selulase dari Bahan Lignoselulosa/

Selulosa ... 4

2.1 Kandungan Lignin, Selulosa, danHemiselulosaEcengGondok ... 17

2.2 Metode Pengendalian dan Kekurangannya ... 20

2.3 Mikroorganisme Penghasil Selulase ... 29

2.4 Teknologi Praperlakuan, Deskripsi, Kekurangan, dan Kelebihan ... 34

2.5 Komposisi Medium Mandel Weber ... 42

2.6 Penelitian Mengenai Produksi Enzim Selulase Dengan Substrat Eceng Gondok ... 44

4.1 Kadar Lignin-Selulosa Biomassa Eceng Gondok ... 62

4.2 Enzim dan Reaksinya yang Terlibat di Dalam Degradasi Lignin ... 64


(13)

Nomor Judul Halaman

2.1 Tanaman Eceng Gondok ... 16

2.2 Skema Utilisasi Eceng Gondok ... 22

2.3 Mekanisme Hidrolisis Selulosa ... 25

2.4 Aspergillus Niger ... 31

2.5 Trichoderma Reesei ... 32

2.6 Skema Tujuan Pretreatment pada Biomassa Lignoselulosa ... 33

3.1 Skema Praperlakuan Fisik ... 48

3.2 Skema Praperlakuan Biologi ... 49

3.3 Diagram Alir Produksi Enzim Selulase ... 55

4.1 Eceng Gondok ... 56

4.2 Sampel Kering Eceng Gondok Hasil Praperlakuan Fisik ... 57

4.3 Pertumbuhan Jamur Pelapuk Putih ... 58

4.4 Aspergillus Niger, Trichoderma Reesei, dan Ganoderma. B ... 58

4.5 Kurva Standar Glukosa ... 61

4.6 Pengaruh Variasi Kultur Mikroba terhadap Aktivitas Enzim Selulase Padat = 7 Hari dan Moisture Content 70% ... 68

4.7 Pengaruh Variasi Moisture Content terhadap Aktivitas Enzim Selulase Pada t = 7 Hari dan Mikroba Aspergillus Niger ... 70


(14)

Nomor Judul Halaman 4.8 Pengaruh Variasi Waktu Fermentasi terhadap Aktivitas Enzim

Selulase dari Crude Enzim dengan Fermentasi Sampel Moisture

Content 75% untuk Sampel Fisik dan 80% untuk Sampel Biologi. ... 72 4.9 Respon Maksimum Aktivitas Enzim Selulase ... 74


(15)

1.1 Latar Belakang

Eceng gondok (Eichhornia Crassipes) merupakan gulma air yang telah banyak dikenal orang. Penyebarannya yang sangat cepat membuat eceng gondok menjadi sebuah masalah baru perairan yang dapat mengganggu ekosistem. Hal ini disebabkan eutrofikasi yang terjadi di badan air. Eutrofikasi merupakan peristiwa meningkatnya bahan organik dan nutrien (terutama unsur nitrogen dan fosfor) yang terakumulasi di badan air. Peningkatan bahan organik dan nutrien ini berasal dari limbah domestik, limbah pertanian, dan lain-lain (Merina dkk, 2011).

International Union for Conservation of Nature(IUCN) telah mengelompokkan eceng gondok sebagai satu dari seratus tanaman yang termasuk spesies invasif (Te’lezz dkk, 2008), bahkan dikenal sebagai tanaman yang penyebarannya berdampak buruk di seluruh dunia. Masalah eceng gondok juga telah menjadi perhatian khusus di Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika Utara (Shanab dkk, 2010).

Pada umumnya, penanganan eceng gondok sebagai gulma air di perairan ini lebih kepada pengendalian secara fisik/konvensional dengan cara dibuang atau dibakar sehingga menimbulkan masalah lingkungan yang baru. Karena hal tersebut, maka studi sekarang ini banyak difokuskan untuk memanfaatkan/utilisasi eceng gondok dengan dasar komponen-komponen yang dimilikinya menjadi produk yang lebih ramah lingkungan dan lebih bermanfaat.


(16)

Salah satu pemanfaatan eceng gondok dengan memperhatikan komponen organiknyayaitu kontribusinya pada produksienzim yang banyak dimanfaatkan pada beberapa industri komersial. Kandungan senyawa karbon didalamnyayaitu bahan lignoselulosa sangat menjanjikan. Ketersediaannya yang melimpah bahkan menjadi ujung tombak dalam menciptakan sebuah proses hidrolisis enzimatis dari biomassa selulosa yang ekonomis (Singh dkk, 2009).

Selulase adalah sebuah enzim yang signifikan penggunaannya pada beberapa industri seperti makanan, tekstil, dan pemrosesan pulp dan kertas (Bhat, 2000). Penggunaan selulase pada penghilangan kontaminan tinta pada pengolahan kertas bekas/deinking (Lee dkk, 2007), produksi asam laktat (Gullon dkk, 2008), hidrolisis selulosa untuk menghasilkan bioethanol (Gray dkk, 2006; Olsson dkk, 1996) dan produk lainnya dari selulase telah banyak dilaporkan. Harga jual enzim selulase yang tinggi (Novozyme, NCBE, UK: £12.00/100 mL pada November, 2012;

baku selulosa murni yang mahal pemurniannya membuat para peneliti mencari sumber karbon dan proses yang lebih efisien, dan ini membawa para peneliti menginvestigasi beberapa tanaman yang dianggap menyediakan sumber karbon untuk produksi selulase. Salah satunya adalah eceng gondok yang selama ini menjadi masalah ekologi (merusak keseimbangan ekosistem dan mengurangi keanekaragaman aquatik), bahkan telah menjadi masalah sosial ekonomi karena mengganggu transportasi perairan.Pemanfaatan eceng gondok yang baik ini akan menjadikan eceng gondok sebagai tanaman yang lebih bernilai.


(17)

meliputi metode praperlakuan bahan lignoselulosa, pemilihan mikroba, serta teknologi fermentasi. Metode praperlakuan pada bahan lignoselulosa dalam memproduksi enzim selulase merupakan salah satu bagian yang mempengaruhi tingginya biaya, hasil, dan kualitas enzim selulase yang dihasilkan. Metode praperlakuan yang sering digunakan baik skala kecil (penelitian) maupun industri dalam mendegradasi lignin dari bahan lignoselulosa ini adalah metode secara kimia dan fisik-kimia, yang tentu saja memerlukan bahan kimia dengan jumlah dan konsentrasi yang tinggi agar lignin yang terdegradasi diharapkan lebih besar sehingga selulosa semakin mudah dihidrolisis oleh mikroba baik untuk pertumbuhannya maupun untuk produksi enzim selulase (Gunam, 1997; Gunam dkk, 2004; Lee dkk, 2009).

Ketersediaan energi berbahan bakar fosil yang semakin menipis keberadaannya membuat penelitian semakin dikembangkan untuk mencari alternatif yang lebih baik atau sebanding nilainya dengan energi yang digunakan saat ini. Sebagai senyawa yang paling melimpah di muka bumi, selulosa dapat menjadi sumber energi yang murah dan terbarukan. Di samping sebagai sumber energi, selulosa dapat juga dimanfaatkan untuk pembuatan sirup glukosa dan protein sel tunggal.

Perkembangan penelitian produksi enzim selulase dengan bahan lignoselulosa/selulosa dapat dilihat dalam Tabel 1.1.


(18)

Praperlakuan yang banyak digunakan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan adalah metode secara kimia dan fisik. Dalam skala besar metode secara kimia dan fisik praktis dan tidak memerlukan waktu yang lama dalam prosesnya hanya praperlakuan tersebut terkendala pada masalah baru seperti limbah kimia yang dihasilkan, dan penggunaan energi yang besar. Oleh karenanya pada penelitian ini praperlakuan secara fisik dan biologi dipilih sebagai metode praperlakuan dalam produksi enzim selulase karena lebih mungkin mengurangi limbah berbahaya dan aman bagi lingkungan.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa praperlakuan memiliki peranan penting dalam membantu proses produksi enzim selulase menggunakan mikroba komersial seperti Aspergillus niger dan Trichoderma reesei, maka perumusan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana pengaruh kedua praperlakuan (fisik dan biologi) dalam mendegradasi lignin sehingga selulosa dapat dihidrolisis mikroba untuk pertumbuhannya maupun produksi enzim selulase.

b. Bagaimana aktivitas enzim selulase yang dihasilkan dengan dilakukannya dua praperlakuan (fisik dan biologi) dan monokultur/mix kultur penggunaan mikroba dalam proses fermentasi.


(19)

Pada penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat:

1. Menganalisis keberhasilan metode praperlakuan fisik dan biologi pada aktivitas mikroba dalam memproduksi enzim selulase.

2. Menentukan kondisi terbaik (kelembaban/moisture content substrat, waktu fermentasi, mono/mix kultur mikroba) terhadap aktivitas mikroba.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai produksi enzim selulase dengan praperlakuan yang lebih murah sehingga dapat dimanfaatkan/diaplikasikan oleh masyarakat yang berada di sekitar pertumbuhan eceng gondok.

1.5 Lingkup Penelitian

Penelitian ini terbatas pada produksi enzim selulase dengan batasan-batasan masalah:

a. Tahap praperlakuan: melakukan dua metode praperlakuan terhadap eceng gondok yaitu secara fisik dengan pengecilan ukuran dan biologi dengan menggunakan jamur pelapuk putih Ganoderma boninense yang berasal dari Laboratorium Mikrobiologi FMIPA Jurusan Biologi Universitas Sumatera Utara.


(20)

1. Mikroba yang digunakan dalam fermentasi untuk produksi enzim selulase adalah Aspergillus niger dan Trichoderma reesei.

2. Variabel bebas yang digunakan antara lain: moisture content (65-85%), waktu fermentasi (3-9 hari), dan pemakaian mono/mix kultur mikroba.

3. Variabel terikat adalah medium pertumbuhan dan komposisi nutrisinya, medium fermentasi (medium Mandel Weber), suhu fermentasi 30oC, dan pH 5 (Oberoi dkk, 2010).

c. Tahap analisis hasil proses: parameter pada penelitian ini adalah kadar lignin, selulosa, dan aktivitas enzim selulase.


(21)

(22)

Tabel 1.1 Perkembangan Produksi Enzim Selulase dari Bahan Lignoselulosa/Selulosa Peneliti/Judul

penelitian

Substrat/media/sumber selulosa

Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil

1. Qin Liu-Hui dkk, 2012 / Evaluation of cellulases produced from four fungi cultured on furfural residues and microcrystalline cellulose (MCC)

2. Quiroz Estela R dkk, 2010 / Evaluation of different

lignocellulosics substrates for the production of cellulases and

Residu furfural dan mikrokristal selulosa

Serbuk kayu oak dan cedar, sekam padi, tunggul jagung, jerami padi dan kulit biji jarak

Fisik : pengeringan dan pengecilan ukuran 40-60 mesh(residu furfural)

Fisik : pengeringan dan pengecilan ukuran maksimum 4 mm dan minimum 0,5 mm.

Trichoderma viridee, T. Koningii, T. Reesi,

Aspergillus Niger

Bjerkandera adusta and Pycnoporus sanguineus

- Produksi selulase pada MCC : pada waktu fermentasi 15 hari, T = 30oC, konsentrasi substrat 20 g/L aktivitas enzim selulase tertinggi ditunjukkan oleh T.Koningii > T. viridee > A. Niger > T. Reesei. Walaupun demikian masing-masing fungi unggul dalam satu atau dua bagian enzim sinergis selulase.

- Produksi selulase pada residu furfural : waktu, suhu dan kinsentrasi yang sama menunjukkan T. viridee > A. Niger > T. Koningii > T. Reesei.

Secara umum, aktivitas enzim selulase diperoleh pada waktu maksimum fermentasi hari ke 10-19.

Fermentasi oleh kedua fungi di-lakukan pada suhu 28oC, selama 6-15 hari.

Aktivitas enzim selulase pada fungi P. Sangineus pada ke enam bahan lignoselulosa menunjukkan : serbuk kayu cedar > serbuk kayu oak >


(23)

penelitian selulosa xylanases by the

basiodiomycete fungi Bjerkandera adusta and Pycnoporus sanguineus

3. Oberoi H.S dkk, 2010/ Production of cellulases through solid state fermentation using kinnow pulp as a major substrate

Kinnow(jeruk) pulp, dan dedak gandum (campuran untuk variasi perlakuan)

Fisik : pengeringan dan pengecilan ukuran menggunakan

cyclotec mill diayak sampai ukuran kurang lebih 0,83 mm.

Trichoderma Reesei

jerami gandum > tunggul jagung > kulit biji jarak > sekam padi

Waktu optimum fermentasi pada hari ke delapan

aktivitas enzim selulase pada fungi B.adusta : serbuk kayu cedar > jerami gandum > sekam padi > serbuk kayu oak > kulit biji jarak > tunggul jagung

Waktu optimim fermentasi pada hari ke enam

Waktu fermentasi 5 hari, pH 6, T = 30oC

-Penelitian ini memvariasikan antara: 1.substrat(kinnow pulp) (K) + penambahan air(W)

2. K + penambahan mandel weber medium (MW)

3. K + penambahan dedak gandum (WB) + W (K:WB = 4:1)

4. K + WB + W (K:WB = 3:2) 5. K + WB + MW (K:WB = 4:1) 6. K + WB + MW (K:WB = 3:2) Dengan waktu optimum hari ke-4, didapat aktivitas enzim selulase : 6 > 4 = 5 > 3 > 2 >1.


(24)

Peneliti/Judul penelitian

Substrat/media/sumber selulosa

Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil

4. De Castro A. M dkk, 2010 / cellulases from Penicillium funiculosum : production, properties, and application to cellulose hydrolysis 5. Feng Yue dkk, 2011 / Enzymatic degradation of steam-pretreated lespedeza stalk by cellulosic substrate induced cellulases

6. Singh Anita dkk, 2009 / Production of cellulases by Aspergillus Heteromorphus Bagas tebu Tangkai bunga Lespedeza Jerami gandum Kimia : - Praperlakuan asam : 3% v/v

H2SO4(aq)

- Praperlakuan basa : 4% w/v

Fisik : steam dengan tekanan 2 MPa selama 4 menit, dihaluskan dengan ayakan 60 mesh

Tidak ada keterangan praperlakuan

Penicillium funiculosum

Trichoderma viridee

Aspergillus Heteromorphus

-Penelitian ini memvariasikan media tanpa praperlakuan, dengan satu praperlakuan (asam/basa), dan dua praperlakuan campuran (asam dan basa).

-suhu fermentasi optimum pada 37oC, pH 4,82-4,96, waktu inkubasi 7-8 hari yaitu pada media dengan campuran dua praperlakuan.

Penelitian ini membandingkan aktivitas selulase hasil fermentasi antara lespedeza dengan tiga sumber karbohidrat yaitu Filter paper (FP), microcrystalin selulosa(MCC), dan carboxymethyl selulosa.(CMC)

Aktivitas enzim selulase terbaik adalah FP > lespedeza > MCC > CMC pada T = 30oC waktu fermentasi 7 hari.

Penelitian ini memvariasikan pH (3-8), suhu (20 – 45oC) dan waktu fermentasi (0-7 hari).

Kondisi optimum aktivitas enzim selulase adalah pada hari ke-5 fermentasi pada T=30oC dan pH 5.


(25)

penelitian selulosa from wheat straw

under submerged Fermentation 7. Herculano P Nunes dkk, 2011 / cellulase production by Aspergillus Japonicus URM 5620 using waste from castor bean under solid state fermentation 8. Kumar Sanjay dkk, 2011 / Effect of substrate and Fermentations conditions on pectinase and cellulase production by Aspergillus Niger NCIM 548 in Submerged and Solid state

Ampas biji castor (cake)

Dedak gandum,dedak jagung dan kulit jeruk (2:1:2)

Fisik : Pengecilan ukuran antara 3 dan 8 mm

Fisik :pengecilan ukuran dengan pengayakan 40 mesh

Aspergillus Japonicus

Aspergillus Niger

Penelitian ini memvariasikan jumlah substrat (5-10 g), kelembaban (15-35%), pH (4-6), suhu (25-35oC) Kondisi terbaik produksi emzim selulase adalah pada substrat 5 gr, kelembaban 15%, pH 6, dan suhu 25oC.

Kondisi optimum penelitian ini : -SMF : perolehan selulase optimum pada 5-6 hari, pH 4,6 , dan pada konsentrasi sumber karbon 65 g/L -SSF : perolehan selulase optimum pada 6-7 hari, pH 4,5, moisture content 65%.


(26)

Peneliti/Judul penelitian

Substrat/media/sumber selulosa

Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil

fermentation 9. Ilyas Umbrin dkk, 2011 / Solid state

fermentation of Vigna Mungo for cellulase

production by Aspergillus Niger

10. Juhasz T, 2005 / Enzymes for improved hydrolysis of lignocellulosic

Vigna mungo (biji-bijian)/black matpe bean

Solka flok, willow (SPW) ,spruce (SPS), corn stover (SPCS) dengan steam pretreated, dan serat jagung chemical pretreated (CPCF).

Fisik-kimia : pengecilan ukuran Direndam NaOH dan H2SO4

Fisik : untuk SPW, SPS, dan SPCS disteam dengan impregnant SO2 pada substrat pada

temperature dan waktu tertentu utk berbeda substrat Kimia: pada suhu 120oC selama 2 jam

Aspergillus niger

Mixed culture of T.Reesei dan A. Niger

Penelitian ini memvariasikan sumber N, moisture content (60-95%), waktu fermentasi (48-192 jam), suhu (25-45oC), dan konsentrasi alkali pada pretreatment kimia.

Hasil terbaik aktivitas enzim selulase ditunjukkan :

-sumber N : (NH4)2SO4 > urea > NH4NO3 > yeast ekstrak > NH4Cl > (NH4)2PO4 > malt ekstrak > pepton > tripton > NaNO3.

-moisture content 70%

-suhu 30oC, pH 4,5 , dan waktu fermentasi 96 jam / 4 hari.

SPCS adalah sumber karbon terbaik dalam fermentasi selulase, pada T = 30oC dan pH 5 selama 168 jam = 7 hari.


(27)

penelitian selulosa

11. Devi M. Charita dan Kumar M. Sunil, 2012 / Production optimization and partial purification of cellulose by Aspergillus Niger fermented with paper and timber sawmill industrial wastes 12.Pradnya Deshpande dkk, 2012 / Water Hyacinth as Carbon Source for the Production of Cellulase by Trichoderma

Kertas dan limbah industry kayu (serbuk kayu)

Eceng gondok

direndam dalam 2,5% NaOH dan 0,006 larutan H2O2

Fisik : dicuci, kedua substrat masing-masing diblend dengan mixer dan dikeringkan.

Fisik : steam Kimia : direndam dalam NaOH (1-5%), H2PO4

Aspergillus Niger

Trichoderma Reesei

Untuk mendapatkan titik optimum aktivitas enzim selulase penelitian ini memvariasikan suhu (30-50oC), pH (3-8), waktu fermetasi (2-8 hari), dan didapat :

-waktu optimum adalah 7 hari untuk kedua substrat

-pH optimum 4,5 untuk kedua substrat

-suhu optimum 45oC untuk kedua substrat

Penelitian ini memvariasikan pH (4,5–8), konsentrasi NaOH pada praperlakuan (1-5%), suhu fermentasi (25-50oC), konsentrasi substrat (1-8% w/v).

Hasil terbaik dicapai pada praperlakuan substrat dengan 1%


(28)

Peneliti/Judul penelitian

Substrat/media/sumber selulosa

Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil

Reesei

13. Heba I dkk, 2012 /

Purification and characterization of CMCase and Protease by Ulocladium botrytis Preuss ATCC 18042 using Water Hyacinth as a substrate under solid state fermentation

Eceng gondok Tidak ada keterangan praperlakuan

12 strain fungi : Aspergillus candidus, A. flavus A.Niger A. Terreus A. Ustus Fusarium scirbi Penicillium chrysogenum P. citrinum P. claviforme P. velutinum Trichoderma viridee Ulocladium botrytis

NaOH, pH 5 dan diatasnya, temperature inkubasi 30oC, konsentrasi substrat 1% (w/v), dan waktu inokulasi hari ke 7 dan ke 15. Perolehan maksimal aktivitas selulase ±73,3 IU/g selulosa. Aktivitas spesifik enzim 6.25 IU/mg protein. Pada hidrolisis glukosa menggunakan 1,2 IU/g dapat mensakarifikasi 28,7 % dalam 1 jam

Selain memvariasikan fungi, penelitian ini juga memvariasikan sumber nitrogen, pH (3,6-5,2), suhu (20-70oC), konsentrasi substrat (0,4-1,6% w/v)

Hasil terbaik dicapai oleh fungi Ulocladium botrytis, dengan sumber nitrogen dari yeast dan malt extract, pH 5,2, optimum temperatur inkubasi pada 60oC, dan konsentrasi substrat 1,2% w/v. Perolehan aktivitas spesifik enzim selulase 852,11 U/mg


(29)

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik dan Pola Pertumbuhan Eceng Gondok

Eceng gondok di Indonesia pada mulanya diperkenalkan oleh Kebun Raya Bogor pada tahun 1894, yang akhirnya berkembang di sungai Ciliwung sebagai tanaman pengganggu (Brij dan Sarma, 1981). Klasifikasi eceng gondok secara umum adalah (Moenandir, 1990).

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Suku : Pontederiaceae

Marga : Eichornia

Spesies : Eichornia crassipes Solms

Eceng gondok hidup mengapung bebas bila airnya cukup dalam tetapi berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut. Eceng gondok tampak pada Gambar 2.1.


(31)

Gambar 2.1 Tanaman Eceng Gondok

Eceng gondok berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat berlipat ganda dua kali dalam waktu 7 - 10 hari. Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7 m2. Heyne (1987) menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 Ha dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton.

Perkembangbiakannya yang sangat cepat menyebabkan tanaman eceng gondok telah berubah menjadi tanaman gulma di beberapa wilayah perairan di Indonesia. Di kawasan perairan danau, eceng gondok tumbuh pada bibir-bibir pantai sampai sejauh 5 - 20 m. Perkembangbiakan ini juga dipicu oleh peningkatan kesuburan di wilayah perairan danau (eutrofikasi), sebagai akibat dari erosi dan


(32)

sedimentasi lahan, berbagai aktivitas masyarakat (mandi, cuci, kakus/MCK), budaya perikanan (keramba jaring apung), limbah transportasi dan limbah pertanian. Oleh karena itu, eceng gondok sudah menjadi sebuah masalah yang harus dikendalikan perkembangannya.

Analisis fitokimia dari ekstrak metanolik eceng gondok membuktikan bahwa metabolit sekunder sebagian besar menjadi alkaloid, komponen fenol, dan terpenoid (Shanab dkk, 2010). Eceng gondok juga mengandung senyawa flavonoid (luteolin, apigenin, tricin, chrysoeriol, kaempferol, azaeleatin, gossypetin, dan orientin), asam amino (metionin, valine, asam teonin glutamate, tryptofan, tyrosin, leusin, dan lysine), fosfor, protein, komponen organic, dan sianida (Nyananyo dkk, 2007; Chantiratikul dkk, 2009). Tanaman segar mengandung 95,5% kelembaban, 0,04% N, 1,0% abu, 0,06% P2O5, 0,20% K2O, 3,5% bahan organik. Pada basis kelembaban nol, terdapat 75,8% bahan organik, 1,5% N dan 24,2% abu. Abu mengandung 28,7% K2O, 1,8% Na2O, 12,8% CaO, 21,0% Cl, dan 7,0% P2O5. Protein mentah mengandung, per 100 g, 0,72 g metionin, 4,72 g fenilalanin, 4,32 g treonin, 5,34 g lisin, 4,32 g isoleusin, 0,27 g valin, dan 7,2 g leusin (Matai dan Bagchi, 1980 dalam Jafari 2010). Kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa dari berbagai sumber ditunjukkan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kandungan Lignin, Selulosa dan Hemiselulosa Eceng Gondok (Dry Base) Komponen (%Berat) Gunnarson dan Peterson (2007) Sornvoraweat dan Kongkiattikajorn (2010)

Ahn dkk (2012)

Lignin Selulosa Hemiselulosa

7 – 26,36 17,8 – 31 22 – 43,4

4,37 ± 0,027 19,02 ± 0,017 32,69 ± 0,024

34,19 17,66 34,19


(33)

Pola pertumbuhan yang cepat, sehingga keberadaannya melimpah dan kandungan yang dimilikinya, membuat eceng gondok memiliki potensi yang layak dikembangkan agar bernilai ekonomis, bernilai jual tinggi dan menjadikan eceng gondok sebagai tanaman esensi yang patut diperhitungkan keberadaannya, bukan hanya tanaman hama atau gulma semata.

2.2 Pengendalian dan Pemanfaatan Eceng Gondok

Keberadaannya yang melimpah ruah dan pengaruhnya yang berdampak pada keberlangsungan ekosistem air, membuat eceng gondok dianggap sebagai tanaman invasif dan menjadi perhatian para pemerhati lingkungan diseluruh dunia. Eceng gondok bahkan termasuk dalam daftar karantina karena keberadaannya yang kurang diinginkan (Patel, 2012).

Pertumbuhannya yang sangat cepat dan penyebaran sporadik telah mengakibatkan kerusakan secara ekologi dan ekonomi badan air dan wetlands yang produktif. Eceng gondok sudah menjadi sebaran yang mendunia karena keberadaannya di beberapa Negara antara lain:

1. Beberapa Negara bagian Afrika: sebaran eceng gondok telah menghampar hampir menutupi perairan sungai, maupun danau, seperti danau Victoria di Afrika (Kateregga dkk, 2007), daerah sekitar Winam Gulf dimana dalam jurnalnya, Opande dkk (2004) menyatakan bahwa kehidupan masyarakatnya bergantung pada perairannya.


(34)

2. Spanyol dan Portugal: sungai induk Guadiana di Spanyol baru-baru ini juga dipenuhi oleh sebaran eceng gondok (Della Greca dkk, 2009).

3. Bangladesh: pengawasan keberadaan sebaran Eceng gondok yang mulai meluas di hutan bakau Sundarbans (Biswas dkk, 2007).

4. India: pendangkalan berat di wetland taman nasional Kaziranga akibat invasi Eceng gondok, Deepor beel (danau yang terbentuk dari sungai Brahmaputra) terancam karena sebaran Eceng gondok.

5. Meksiko: lebih dari 40.000 Ha terdiri dari waduk, danau, kanal, dan saluran air tertutupi oleh Eceng gondok (Jime’nez dan Balandra, 2007). 6. Cina: Eceng gondok sebagai masalah lingkungan yang sangat serius (Chu

dkk, 2006).

7. Amerika: Eceng gondok juga menyebabkan dampak ekologis yang sangat parah seperti di delta sungai Sacramento-San Joaquin di California (Khanna dkk, 2011).

8. Indonesia: Eceng gondok telah tampak mengambang sejak 1990 di daerah parapat, dan sekarang telah hampir menutupi sebagian besar perairan Danau Toba Moedjojo dkk, 2006). Waduk Cirata dan Kali banjir Kanal Timur juga tidak luput dari blooming tanaman gulma ini.

Masalah global yang ditimbulkan akibat pertumbuhan pesat eceng gondok terutama di perairan tanah air, bukan hanya menjadi masalah ekologi semata bahkan telah menjadi ancaman bagi keseimbangan ekosistem. Berbagai upaya telah


(35)

Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Metode Pengendalian dan Kekurangannya Metode

pengendalian

Langkah-langkah pengendalian Kekurangan a. Fisik

b. Kimia

c. Biologi

- Drainase perairan daerah setempat

- Secara manual mencabut atau menarik

- Secara massal

menggunakan jaring, dan lain sebagainya .

Penggunaan herbisida kimia yaitu asam 2,4-diklorofenoksi, garam dipotassium endothall, dan garam dimethylalkylamine endothall.

Biokontrol oleh :

-Serangga seperti kumbang Neochetina sp yang telah diuji coba pada danau Viktoria di Afrika (Williams dkk, 2007), -Wereng Megamelus

scutellaris dari ordo

Hemiptera (Sosa dkk, 2007), -Jamur cercospora piaropi

- Metode ini dianggap tidak cukup walaupun telah dilengkapi dengan mesin-mesin yang dirancang

untuk memotong, menghancurkan, sampai pada transportasi yang diperlukan untuk peng-hapusan tanaman ini.

- Penggunaan mesin seperti pemanen gulma, alat penghancur dan lainnya me-merlukan biaya yang sangat mahal karena pemeliharaan,

- Masalah pembuangan

limbah (Malik, 2007)

Telah terbukti efektif, hanya pada penggunaan jangka panjang dapat menurunkan kualitas air serta berisiko tinggi terhadap habitat alami perairan (Malik, 2007)

Hanya memberikan sedikit hasil, tidak maksimal.


(36)

Metode pengendalian

Langkah-langkah pengendalian Kekurangan tharp menghasilkan fitotoksin

yang dapat menurunkan populasi eceng gondok (Tessman dkk, 2008), -Ekstrak tumbuh-tumbuhan

allelopati.

Ketiga metode penanggulangan tersebut sangat membutuhkan biaya yang tinggi dan tidak memberikan timbal balik secara ekonomis. Oleh karena itu, para peneliti terdorong untuk mengembangkan potensi eceng gondok yang banyak ini menjadi sesuatu/utilisasi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatan Eceng gondok antara lain:

1. Kerajinan tangan dan seni.

2. Adsorben untuk logam berat, dan digunakan pada pengolahan air limbah baik domestik (Alade dan Ojoawo, 2009), maupun limbah industri (Jafari, 2010).

3. Sumber energi bio-listrik (Mohan dkk, 2011).

4. Sebagai bahan kimia berguna bagi industri (Girisuta dkk, 2008). 5. Produksi anti oksidan (Chantiratikul dkk, 2009).

6. Pakan ternak (Aboud dkk, 2005).

7. Pupuk (Chukwuka dan Omotayo, 2008).

8. Produk enzim seperti selulase, protease (Heba dkk, 2012).

9. Sumber bahan baku karbon untuk produk renewable energi, seperti produksi bio-etanol (takagi dkk, 2012) dan bio-gas (Malik, 2007).


(37)

Secara skematis oleh Patel (2012) pemanfaatan Eceng gondok ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Skema Utilisasi Eceng Gondok

2.3 Eceng Gondok dalam Produksi Enzim

Enzim digunakan dalam sebagian besar sektor industri, terutama industri makanan. Selain itu, enzim juga digunakan dalam industri deterjen, farmasi, pulp and paper, pakan ternak, tekstil dan laundry (Bhat, 2000). Lebih dari 2000 enzim telah diisolasi, tetapi hanya 14 enzim yang diproduksi secara komersial. Kebanyakan dari

Electricity generation

Embedded fuel cell

Irrigation Clean water

Sewage Purification

Metal recovery

Heavy metal accumulation

E. Crassipes Biomass

Sun drying or fermentation

Ruminant, poultry, or fish feed Biofertilizer soil augmentation Decomposition or vermicomposting

Cellulose hydrolisis Pretreatment

Biohydrogen Biomethane Biogas

Microbial fermentation

Bioethanol Microbial fermentation Acid hydrolisate


(38)

enzim ini adalah hidrolase, misalnya amilase, protease, pektinase, dan selulase. Enzim penting lainnya adalah glukosa isomerase dan glukosa oksidase. Alasan digunakannya enzim dalam industri adalah karena enzim mempunyai beberapa kelebihan antara lain:

a. Kemampuan katalitik yang tinggi, mencapai 109-1012 kali laju reaksi non-aktivitas enzim.

b. Spesifikasi substrat yang tinggi.

c. Reaksi dapat dilakukan pada kondisi yang lunak, yaitu pada tekanan dan temperatur rendah (Bhat, 2000).

Enzim yang dihasilkan dari komponen organik juga menjanjikan sebagai sebuah peluang untuk menciptakan sumber energi baru, semisal komponen selulosa yang dimanfaatkan sebagai bahan dalam membuat etanol sebagai sumber energi. Sumber energi dari bahan baku yang terbarukan menjadi salah satu fokus utama penelitian sejak beberapa dekade yang lalu. Ketersediaan energi berbahan bakar fosil yang semakin menipis keberadaannya membuat penelitian semakin dikembangkan untuk mencari alternatif yang lebih baik atau sebanding nilainya dengan energi yang digunakan saat ini. Sebagai senyawa yang paling melimpah di muka bumi, selulosa dapat menjadi sumber energi yang murah dan terbarukan. Di samping sebagai sumber energi, selulosa dapat juga dimanfaatkan untuk pembuatan sirup glukosa dan protein sel tunggal.


(39)

energi. Tetapi, untuk dapat dimanfaatkan selulosa membutuhkan proses hidrolisis dan penggunaan enzim selulase menjadi pilihan utama. Peran enzim selulase dalam industri yang berhubungan dengan selulosa tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, produksi enzim selulase perlu dikembangkan untuk menjawab tantangan pemanfaatan bahan selulosa dalam industri bioproses.

2.4 Selulase

Selulase merupakan kumpulan dari beberapa enzim yang bekerja secara bersama/sinergis untuk hidrolisis selulosa. Mikroorganisme tertentu menghasilkan partikel yang dinamakan selulosom. Partikel inilah yang akan terdisintegrasi menjadi enzim yang secara sinergis mendegradasi selulosa (Belitz dkk, 2008). Sedikitnya ada tiga tipe enzim yang terlibat dalam degradasi atau hidrolisis selulosa, yaitu:

1. Endo-1,4-β-D-glucanase (endoselulase, carboxymethylcellulase atau CMCase), yang mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi.

2. Exo-1,4-β-D-glucanase (cellobiohydrolase), yang mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa.

3. β–glucosidase (cellobiase), yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Belitz dkk, 2008).


(40)

Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase dapat dilihat dalam Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Mekanisme Hidrolisis Selulosa (Ghori, 2001)

Pada awalnya selulase diteliti untuk keperluan biokonversi biomassa yang membuka peluang untuk aplikasi beberapa industri. Beberapa jenis industri yang memanfaatkan enzim selulase diantaranya industri tekstil, makanan, deterjen, dan kertas. Tetapi kemudian seiring menipisnya cadangan bahan bakar fosil mendorong pemanfaatan enzim selulase untuk biokonversi bahan lignoselulosa menjadi sumber


(41)

2.5 Teknologi Produksi Enzim Selulase

Dalam memproduksi enzim dibutuhkan teknologi, karena pada umumnya enzim dihasilkan dari hewan, tumbuhan dan sel mikroba. Dahulu hewan dan tumbuhan merupakan sumber enzim tradisional, namun dengan berkembangnya ilmu bioteknologi, masa depan terletak pada sistem mikrobial. Sebagian besar sumber enzim termasuk enzim selulase dalam skala industri adalah mikroorganisme. Beberapa alasan digunakan mikroba adalah:

1. Sistem produksi mikrobial mudah dikendalikan.

2. Level/tingkat enzim, sehingga produktivitas enzim dapat dimanipulasi secara

lingkungan dan genetika.

3. Pemilihan metode untuk sistem mikrobial yang cukup sederhana.

Kebanyakan enzim mikroba yang digunakan secara komersial adalah ekstraseluler, dimana enzim diproduksi dalam sel kemudian dikeluarkan atau berdifusi keluar sehingga memungkinkan untuk di-recovery. Seleksi organisme adalah kunci dalam pengembangan proses sistem mikrobial. Berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih mikroorganisme:

a. Sumber organisme stabil.

b. Mudah tumbuh dan berkembang sehingga biaya produksi rendah. c. Produktivitas enzim tinggi.


(42)

Dari semua hal tersebut, yang paling penting adalah stabilitas strain dan produktivitas enzim yang tinggi (Heba dkk, 2012).

Penggunaan komponen organik sebagai sumber utama enzim juga tidak lepas dari perhatian. Pada produksi enzim selulase berbahan dasar selulosa, mikroba memerlukan selulosa dan nutrien lainnya dalam prosesnya. Proses produksi enzim selulase ini terangkai sebuah teknologi dari awal hingga akhir produksi.

2.5.1 Substrat, Mikroorganisme dan Praperlakuan

Pada produksi enzim selulase pemilihan bahan baku seperti substrat, mikroorganisme penghasil enzim sellulase dan metode praperlakuan pada prosesnya sangat mempengaruhi kualitas maupun kuantitas enzim selulase yang dihasilkan. Berikut ini adalah uraian tentang bahan baku dan metode praperlakuan:

a. Substrat

Industri fermentasi merupakan industri yang terus mengalami kemajuan dalam inovasi teknologi produksinya. Salah satunya adalah pada pemilihan substrat untuk fermentasi. Pada industri enzim, pemilihan substrat sangat kritis untuk bisa menghasilkan produk enzim dengan harga yang kompetitif tetapi dapat menekan biaya produksi.

Pada produksi enzim selulase digunakan substrat sumber karbon selulosa yang dihidrolisis oleh mikroorganisme. Pemilihan substrat sumber karbon selulosa didasarkan atas keberadaan sumber karbon tersebut yang melimpah/banyak dijumpai


(43)

memiliki kandungan lignoselulosa patut diperhitungkan.

Biomassa eceng gondok tersusun dari lignoselulosa. Lignoselulosa sebagai penyusun dinding sel tanaman eceng gondok terdiri dari polimer selulosa dan hemiselulosa yang dilindungi oleh lignin. Lignoselulosa memiliki bagian kristalin dan amorf. Struktur kristalin lignoselulosa adalah selulosa yang tersusun dari rantai glukosa yang saling terikat dengan ikatan 1-4 β glikosida dan adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan, sehingga strukturnya menjadi kokoh. Struktur amorf lignoselulosa adalah hemiselulosa yang tersusun dari glukosa, manosa, galaktosa, xylosa, arabinosa, sejumlah kecil ramnosa dan asam galaktonik. Struktur amorf ini tidak sekuat struktur kristalin sehingga lebih mudah diuraikan melalui proses pretreatment.

b. Mikroorganisme

Mikroorganisme penghasil selulase umumnya merupakan pengurai karbohidrat dan tidak dapat memanfaatkan protein atau lipid sebagai sumber energi. Mikroba penghasil selulase terutama bakteri Cellulomonas dan Cytophaga serta kebanyakan fungi dapat mengutilisasi berbagai jenis karbohidrat lainnya selain selulosa, sedangkan spesies mikroba selulolitik anaerobik terbatas pada selulosa dan/atau produk hidrolisisnya. Contoh-contoh utama mikroorganisme penghasil selulase dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tidak semua mikroorganisme yang dapat mengutilisasi selulosa sebagai sumber energi menghasilkan kompleks enzim selulase yang lengkap. Hanya beberapa


(44)

strain yang dapat menghasilkan kompleks enzim selulase yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu endo-β-glukanase, ekso-β-glukanase, dan β-glukosidase. Mikroba yang digunakan secara komersial untuk produksi enzim selulase umumnya terbatas pada T. reesei, H. insolens, A. niger, Thermomonospora fusca, dan Bacillus sp. (Sukumaran dkk, 2005).

Tabel 2.3 Mikroorganisme Penghasil Selulase (Sukumaran dkk, 2005)

Kelompok Mikroorganisme

Genus Spesies

Fungi Aspergillus A. niger

A. nidulans

Fusarium F. solani

F. oxysporum Humicola H. insolens

H. grisea Melanocarpus M. albomyces Penicillium P. bracillianum

P. occitanis P. decumbans Trichoderma T. reesei

T. longibrachiatum T. harzianum Bacteria Acidothermus A. cellulolycitus

Bacillus Bacillus sp Bacillus subtilis Clostridium C.acetobutylicum

C.thermocellum Pseudomonas P. cellulose Rhodotermas R. Marinus Actinomycetes Cellulomonas C.fimi

C.bioazotea C.uda

Streptomyces S.drozdowiczii S.sp

S.lividans Thermomonospora T.fusca


(45)

penyebab dari macam-macam fotogenosa. Aspergillus niger termasuk ke dalam kelas Ascomycetes. Di dalam industri Aspergillus niger banyak dipakai dalam proses produksi asam sitrat, sedangkan di dalam laboratorium spesies ini digunakan untuk mempelajari tentang metabolisme pada jamur dan kegiatan enzimatis. Pada penelitian ini digunakan Aspergillus niger karena spesies ini termasuk fungi berfilamen penghasil selulase dan crude enzyme secara komersial serta penanganannya mudah dan murah. Fungi-fungi tersebut sangat efisien dalam memproduksi selulase. Karakteristik umum dari Aspergillus niger antara lain:

a. Warna konidia hitam kelam atau hitam kecoklatan dan berbentuk bulat. b. Termofilik, tidak terganggu pertumbuhannya karena adanya peningkatan

suhu.

c. Dapat hidup dalam kelembaban nisbi 80 % (Ilyas umbrin dkk, 2011). d. Dapat menguraikan benzoat dengan hidroksilasi menggunakan enzim

benzoat-4 hidroksilase menjadi 4-hidroksibenzoat.

e. Memiliki enzim 4-hidroksibenzoat hidroksilase yang dapat menghidrolisa 4-hidroksibenzoat menjadi 3,4-dihidroksi benzoat.

f. Menghasilkan lebih banyak enzim endoglukanase dan β-glukosidase dan sedikit enzim eksoglukanase (Hui-Qin Liu dkk, 2012).

g. Pertumbuhannya dihambat oleh Natrium & Formalin.

h. Dapat merusak bahan pangan yang dikeringkan atau bahan makanan yang memiliki kadar garam tinggi.


(46)

i. Dapat mengakumulasi asam sitrat. Aspergillus niger tampak pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Aspergillus niger

Genus Trichoderma mencakup kelompok ascomycetes yang digunakan secara luas dalam industri karena kemampuannya menghasilkan enzim hidrolase ekstraselular untuk degradasi lignoselulosa dalam jumlah besar (Miettinen, 2004). Karakteristik umum Trichoderma reesei (Gambar 2.5) adalah:

a. Dikenal juga sebagai Hypocrea jecorina merupakan fungi mesofilik. b. Kemampuan tinggi menghasilkan enzim selulase secara efisien. Selulase

yang dihasilkan juga resisten terhadap inhibitor kimia dan stabil di dalam reaktor tangki berpengaduk pada pH 4,8, 50oC selama 48 jam atau lebih. c. Lebih banyak menghasilkan enzim eksoglukanase dan endoglukanase,

sedikit menghasilkan enzim β-glukosidase (Hui-Qin Liu dkk, 2012).

d. Strain industrial dari Trichoderma reesei mampu mencapai produksi protein ekstraselular hingga 100 g/L (Xiong, 2004).


(47)

karena tidak bersifat patogen dan tidak menghasilkan mycotoksin atau antibiotik dalam kondisi produksi enzim.

f. Tidak dapat menghidrolisis lignin.

g. Terinhibisi oleh produk (glukosa) dan pelarut organic seperti etanol, butanol, dan aseton.

h. Inaktivasi pada temperature diatas 50oC (Ryu dkk, 1980).

Gambar 2.5 Trichoderma reesei (sumber:

c. Praperlakuan

Teknologi pretreatment/praperlakuan yang dilakukan pada dasarnya adalah untuk mengubah atau memindahkan komposisi dan struktur yang menghalangi proses hidrolisis yang bertujuan untuk meningkatkan laju aktivitas enzimatis dan hasil fermentasi yang menghasilkan glukosa dari selulosa atau hemiselulosa (Mosier dkk, 2005).


(48)

Praperlakuan biasanya dibutuhkan untuk membantu hidrolisis enzimatis dan biasanya dilakukan pada substrat berbahan lignoselulosa. Lignin yang melindungi selulosa sekaligus sebuah penghalang bagi mikroorganisme untuk memproduksi enzim khususnya selulase sehingga praperlakuan perlu dilakukan. Praperlakuan yang dilakukan memberikan beberapa dampak dan persentase keberhasilan yang relatif. Pada dasarnya, pada produksi enzim selulase yang menginduksi produksi adalah selulosa, dan substrat lignoselulosa yang tidak hanya terdiri dari selulosa saja, tetapi juga terdapat komponen lain membuat perolehan enzim selulase rendah dibandingkan dengan substrat selulosa murni. Ketika perolehan selulosa murni ini menjadi kendala akibat faktor biaya, dan sebagainya, membuat para peneliti terus mencari cara sebagai langkah untuk meningkatkan efektifitas produksi enzim dari substrat lignoselulosa seperti teknologi praperlakuan yang diuji coba skala laboratorium sebelum dapat digunakan dalam skala industri. Mekanisme praperlakuan ditunjukkan dalam Gambar 2.6.


(49)

2005)

Pra perlakuan dapat disebut efektif bila memenuhi beberapa kriteria seperti: 1. Keefektifan dalam memecah ukuran biomassa partikel.

2. Tetap menjaga keutuhan komponen tanpa terkonversi dalam bentuk lain. 3. Tidak memberikan batas degradasi yang dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme.

4. Dapat meminimalkan energi dan biaya (National Resort Council, 1999).

Teknologi praperlakuan dikategorikan dalam praperlakuan fisik dan kimia, bahkan beberapa metode menggabungkan kedua efek tersebut (McMilan, 1994; Hsu, 1996). Untuk mengklasifikasikan, uap dan air yang digunakan pada praperlakuan dikecualikan dari praperlakuan secara kimia karena bukan merupakan bahan kimia


(50)

yang ditambahkan pada biomassa. Ringkasan teknologi praperlakuan ditunjukkan dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Teknologi Praperlakuan, Deskripsi, Kekurangan dan Kelebihan Teknologi

praperlakuan

Deskripsi Kekurangan / kelebihan a. Fisik

b. Kimia

c. Biologi

- Kominusi (pengurangan ukuran partikel dari biomassa secara mekanik). Kominusi kering, basah, dan getaran bola penggilingan (Millet dkk, 1979 ; Rivers, dan Emert, 1987; Sidiras dan Koukios, 1989), dan kompresi penggilingan (Tassinari dkk, 1980)

- Steam explosion - Hidrotermolisis..

- Menggunakan asam atau basa seperti H2SO4 dan NaOH. (Ladisch dkk, 1978; Hamilton dkk, 1984).

- Menggunakan peroksida, ozon, organosolv (menggunakan asam lewis, FeCl3, Al2SO4 dalam cairan alcohol), gliserol, dioksan, fenol, atau etilen glikol (Wood dan Saddler, 1988).

- Menggunakan pelarut berbahan amoniak (NH3 dan hidrazin), pelarut aprotik (DMSO), logam kompleks (Feri sodium tartarate).

- Menggunakan mikroorganisme seperti white root fungi (jamur pelapuk putih) (Blanchette, 1984), semisal elfvingia applanata (Ganoderma applanatum), P. chrysosporium (Boominathan and Reddy. 1992)

- Tidak banyak

mendegradasi lignin. - Efektif, mudah, dan

murah.

- Dapat mengurangi kristalinitas selulosa - Melepas lignin dari

selulosa dan melarutkan hemiselulosa. - teknologi ini

memang efektif, akan tetapi memerlukan biaya tinggi (Mosier dkk, 2005).

Pretreatment secara biologis sangat

memberikan keuntungan yang banyak, karena efisiensi biaya dan energi serta aman terhadap lingkungan.


(51)

praperlakuan

- Mendegradasi lignin dengan menggunakan enzim yang disebut enzim lignilase yang merupakan sinergis dari lignin peroxidase (LiP), manganese peroxidase (MnP), and laccase (Ohkuma M dkk, 2001 : Lee dkk. 1999 : Rivela dkk, 2000)

2.5.2 Fermentasi

Fermentasi berasal dari kata latin “fervere” yang berarti mendidih. Seiring perkembangan teknologi, definisi fermentasi meluas, menjadi semua proses yang melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan suatu produk yang disebut metabolit primer dan sekunder dalam suatu lingkungan yang dikendalikan. Pada mulanya istilah fermentasi digunakan untuk menunjukkan proses pengubahan glukosa menjadi alkohol yang berlangsung secara anaerob. Namun, kemudian istilah fermentasi berkembang lagi menjadi seluruh perombakan senyawa organik yang dilakukan mikroorganisme yang melibatkan enzim yang dihasilkannya. Dengan kata lain, fermentasi adalah perubahan struktur kimia dari bahan-bahan organik dengan memanfaatkan agen biologis terutama enzim sebagai biokatalis. Produk fermentasi dapat digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu:

1. Produk biomassa. 2. Produk enzim. 3. Produk metabolit.


(52)

4. Produk transformasi.

Pada penelitian ini produk fermentasi yang dihasilkan adalah enzim dengan memanfaatkan Aspergillus niger dan Trichoderma reesei yang dapat menghasilkan enzim selulase ketika terinduksi oleh selulosa.

Fermentasi dibagi menjadi 3, yakni: 1. Fermentasi permukaan. 2. Sistem fermentasi cair. 3. Sistem fermentasi padat.

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode sistem fermentasi padat. Sistem fermentasi padat pada umumnya diidentikkan dengan pertumbuhan mikroorganisme dalam partikel pada substrat dalam berbagai variasi kadar air. Substrat padat bertindak sebagai sumber karbon, nitrogen, mineral, dan faktor-faktor penunjang pertumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk menyerap air, dan untuk pertumbuhan mikroba (Tanyildizi dkk, 2007).

Mikroorganisme yang tumbuh melalui sistem fermentasi padat berada pada kondisi pertumbuhan di bawah habitat alaminya, mikroorganisme tersebut dapat menghasilkan enzim dan metabolisme yang lebih efisien dibandingkan dengan sistem fermentasi cair. Sistem fermentasi padat memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan dengan sistem fermentasi cair, diantaranya tingkat produktivitasnya tinggi, tekniknya sederhana, biaya investasi rendah, kebutuhan energi rendah, jumlah air yang dibuang sedikit, recovery produknya lebih baik, dan busa yang terbentuk sedikit. Sistem fermentasi padat ini dilaporkan lebih cocok digunakan di


(53)

negara-substratnya mudah didapat, seperti produk pertanian dan industri makanan (Tanyildizi dkk, 2007).

Enzim yang dihasilkan melalui proses sistem fermentasi padat baik yang belum dimurnikan atau yang dimurnikan secara parsial dapat diaplikasikan di industri (seperti pektinase digunakan untuk klarifikasi jus buah, alpha amilase untuk sakarifikasi pati). Murahnya harga residu pertanian dan agro-industri merupakan salah satu sumber yang kaya akan energi yang dapat digunakan sebagai substrat dalam sistem fermentasi padat. Fakta menunjukkan bahwa residu ini merupakan salah satu reservoir campuran karbon terbaik yang ada di alam. Dalam sistem fermentasi padat, substrat padat tidak hanya menyediakan nutrien bagi kultur tetapi juga sebagai tempat penyimpanan air untuk sel mikroba (Tanyildizi dkk, 2007).

Komposisi dan konsentrasi dari media dan kondisi fermentasi sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi enzim ekstraseluler dari mikroorganisme. Biaya dan ketersediaan substrat merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan, dan karena itulah pemilihan substrat padat memegang peranan penting dalam menentukan efisiensi sistem fermentasi padat. Untuk biaya analisa awal, kira-kira 50 - 60% untuk biaya medium fermentasi dan pengaturan proses down-stream. Sehingga dapat diketahui bahwa sistem fermentasi padat cocok untuk pengembangan fungi dan tidak cocok untuk proses kultur bakteri karena membutuhkan air yang lebih banyak (Tanyildizi dkk, 2007).


(54)

a. Konsentrasi substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Fungi dekomposer seperti Trichoderma reesei dan Aspergillus niger memiliki kebutuhan nutrien Karbon dalam jumlah tertentu. Nutrien-nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengeksresi enzim-enzim ekstraselular yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Gandjar, 2006).

b. Sumber nitrogen

Bahan yang banyak sebagai sumber nitrogen adalah ammonium nitrat, ammonium sulfat, dan urea. Nitrogen diperlukan dalam proses fermentasi karena dapat mempengaruhi aktivitas dari fungi dalam sintesis protein, dan diperlukan dalam pembentukan protein sel utama. Pada proses fermentasi untuk menghasilkan enzim selulase ada beberapa sumber nitrogen yang dapat digunakan dengan urutan (NH4)2SO4 > urea > NH4NO3 > ekstrak ragi > NH4Cl > (NH4)2PO4 > ekstrak malt > pepton > tripton > NaNO3 (Ilyas dkk, 2011).

c. Phospat

Kebutuhan phospat dalam proses pertumbuhan fungi tidak banyak dijelaskan tetapi keseimbangan antara mangan, seng, dan phospat merupakan salah satu faktor penentu dalam beberapa kasus dimana terjadi kontaminasi ion logam tertentu maka adanya phospat dapat memberikan keuntungan (Gandjar, 2006).


(55)

terlibat dalam reaksi. Dalam sel konsentrasi optimal dari penambahan magnesium adalah 0,002 - 0,0025% (Gandjar, 2006). Magnesium juga berperan dalam stabilisasi ribosom, membran dan dindng sel.

e. Aerasi

Dalam media fermentasi padat, aerasi diatur dengan cara memperhatikan pori-pori bahan yang difermentasikan (Gandjar, 2006). Mikroba yang digunakan tidak memiliki klorofil sehingga oksigen dan karbondioksida sangat diperlukan sebagai senyawa pada pertumbuhannya. Lingkungan yang kurang unsur O2 akan mengakibatkan pertumbuhan buah kecil, abnormal dan mudah layu yang akhirnya menimbulkan kematian (Djarijah, 2001).

Pertumbuhan miselium membutuhkan kandungan karbondioksida tinggi sekitar 15 - 20% dari volume udara. Jika kandungan tersebut terlalu tinggi akan terjadi gangguan pertumbuhan sehingga bentuk tudung jamur akan lebih kecil dari tangkainya (Adiyuwono, 2001).

f. pH

pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi menyenangi pH di bawah 7. Jenis-jenis khamir tertentu seperti selolutik fungal bahkan tumbuh pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4,5 - 5,5. Pengaturan pH sangat penting dalam industri agar fungi yang ditumbuhkan menghasilkan produk yang optimal, misalnya pada produksi asam sitrat, produksi


(56)

enzim, produksi antibiotik, dan juga untuk mencegah pembusukan bahan pangan (Gandjar, 2006).

g. Temperatur inkubasi

Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan, fungi dapat dikelompokkan sebagai fungi psikrofil, mesofil, dan termofil. Pengetahuan tentang kisaran temperatur pertumbuhan suatu fungi sangat penting, terutama bila isolat-isolat tertentu akan digunakan di industri. Misalnya, fungi yang termofil atau termotoleran (Candida tropicalis, Paecilomyces variotii, dan Mucor miehei), dapat memberikan produk yang optimal meskipun terjadi peningkatan temperatur, karena metabolisme funginya, sehingga industri tidak memerlukan penambahan alat pendingin (Gandjar, 2006).

h. Waktu fermentasi

Pada awal fermentasi aktivitas enzim masih sangat rendah. Aktivitas enzim akan meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan menurun saat memasuki fase pertumbuhan lambat ketika nutrisi sudah mulai terbatas. Hal ini mengikuti pola pertumbuhan mikroorganisme yang mengalami beberapa fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi/lag phase, fase eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase stasioner, dan fase kematian. Organisme pembentuk spora biasanya memproduksi enzim pada fase pasca eksponensial. Jadi dapat diduga bahwa pada saat akttivitas enzim yang dihasilkan tinggi, maka kapang telah berada pada fase tersebut


(57)

selulase terbaik antara hari ke-4 sampai hari ke-8 (Ilyas dkk, 2011; Kumar dkk, 2011). Waktu terbaik aktivitas enzim selulase pada Trichoderma Reesei antara 10 - 19 hari (Qin Liu-Hui dkk, 2012).

i. Moisture Content

Moisture content merupakan faktor penting dalam proses sistem fermentasi padat karena variabel ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme, biosintesis, dan sekresi enzim. Moisture content yang rendah menyebabkan berkurangnya kelarutan nutrien di dalam substrat, derajat pertumbuhan rendah, dan tegangan air tinggi. Sedangkan level moisture content yang lebih tinggi dapat menyebabkan berkurangnya yield enzim yang dihasilkan karena dapat mereduksi porositas (jarak interpartikel) pada matriks padatan, sehingga menghalangi transfer oksigen (Alam dkk, 2005). Moisture content yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus niger adalah 70% (Ilyas dkk, 2011; Kumar dkk, 2011).

Beberapa medium dengan komposisi nutrisi bervariasi telah banyak diuji coba pada penelitian-penelitian sebelumnya dan berhasil dengan baik memberikan nutrisi bagi pertumbuhan mikroba dengan banyaknya jumlah spora mikroba yang terbentuk. Pada penelitian ini direncanakan menggunakan komposisi medium Mandel Weber (Oberoi dkk, 2010) untuk medium fermentasi sebagai kebutuhan tambahan nutrisi bagi mikroba yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Aspergillus niger dan Trichoderma reesei. Komposisi medium Mandel Weber ditunjukkkan dalam Tabel 2.5.


(58)

Tabel 2.5 Komposisi Medium Mandel Weber

Komponen Kuantitas (g)

(NH4)2SO4 KH2PO4 CaCl2. 2H2O MgSO4.7H2O FeSO4.7H2O MnSO4. H2O ZnSO4. 7H2O CoCl2. 6H2O Peptone Tween 80 Air suling

1,4 2 0,3 0,3 0,005 0,0016 0,0014 0,002 0,1 0,1 1 L Sumber : Oberoi dkk (2010).

2.6 Produksi Enzim Selulase dengan Substrat Eceng Gondok dan Perkembangannya

Penelitian mengenai pembuatan enzim selulase dari eceng gondok masih sangat sedikit. Produksi enzim selulase umumnya menggunakan substrat bahan lignoselulosa seperti jerami padi, jerami gandum, ampas tebu, limbah kulit jagung, kinnow peel, dan limbah agro industri lainnya. Tidak sedikit juga yang memanfaatkan limbah domestik, industri kertas dan lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Deshpande dkk (2008) menggunakan Eceng gondok sebagai sumber karbon dan Heba dkk (2012) juga menggunakan Eceng gondok sebagai substrat dalam memproduksi enzim selulase. Keduanya menggunakan teknologi fermentasi padat tetapi menggunakan mikroba dan praperlakuan substrat yang berbeda seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.6.


(59)

Tabel 2.6 Penelitian Mengenai Produksi Enzim Selulase dengan Substrat Eceng Gondok

Judul Penelitian Metodologi Hasil

Pradnya Deshpande dkk, 2012 “Water Hyacinth as Carbon Source for the Production of Cellulase by

Trichoderma Reesei”

- Praperlakuan : NaOH, H2PO4, steam treatment - variasi : metode

praperlakuan (NaOH : 1-5% w/v, steam, dan keduanya), pH medium (4,5-8), temperatur inkubasi (25-50oC), konsentrasi substrat (1-8% w/v), waktu inokulasi

Hasil terbaik dicapai pada praperlakuan substrat dengan 1% NaOH, pH 5 dan diatasnya, temperatur inkubasi 30oC,konsentrasi substrat 1% (w/v), dan waktu inokulasi hari ke 7 dan ke 15. Perolehan maksimal aktivitas selulase ±73,3 IU/g selulosa. Aktivitas spesifik enzim 6.25 IU/mg protein. Pada hidrolisis glukosa meng-gunakan 1,2 IU/g dapat


(60)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Operasi Teknik Kimia, Proses Industri KimiaDepartemen Teknik Kimia. Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan, Laboratorium Politeknik Negeri Lhokseumawe, dan Laboratorium Mikrobiologi Arun Hospital, Lhokseumawe. Penelitian dilaksanakan pada bulan April - September 2013.

men-sakarifikasi 28,7 % dalam 1 jam.

Heba I dkk, 2012 “Purification and characterization of CMCase and pProtease by Ulocladium botrytis Preuss ATCC 18042 using Water Hyacinth as a substrate under solid state

fermentation”

- Eceng gondok segar tanpa praperlakuan

- Teknologi fermentasi padat / solid state fer-mentation

- Variasi: mikroorganisme (12 strain fungi), sumber nutrisi nitrogen, pH (3,6-5,2), temperatur inkubasi (20-70oC), konsentrasi substrat (0,4-1,6% w/v),

Hasil terbaik dicapai oleh fungiUlocladium botrytis, dengan sumber nitrogen dari yeast dan malt extract, pH 5,2. optimum tem-peratur inkubasi pada 60oC, dan konsentrasi substrat 1,2% w/v. Perolehan aktivitas spesifik enzim selulase 852,11 U/mg


(61)

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, inkubator, timbangan, kawat ose, autoclave, dan alat-alat gelas. Peralatan yang digunakan untuk analisa adalah condenser refluks, centrifuge, spektrofotometer visibel.

Bahan-bahan yang digunakan adalah eceng gondok, aquadest, Mandels medium (sukrosa, KH2PO4, dan amonium sulfat), Mandel Weber medium (MgSO4. 7H2O; CaCl2. 2H2O; FeSO4. 7H2O; MnSO4. H2O; ZnSO4. 7H2O; CoCl2. 6H2O; pepton; tween 80; amonium sulfat), reagen DNS (Na-K-Tartrate; fenol; Na2SO4; NaOH; DNS), H2SO4, PDA, glukosa, alkohol 96%, dan larutan buffer sitrat fosfat. Mikroba yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Fungi pengurai lignin (Jamur pelapuk putih).

2. Fungi penghasil selulase (Trichoderma reesei, Aspergillus niger).

3.3 Rancangan Percobaan

Pada penelitian ini digunakan beberapa variabel, di antaranya: a. Moisture content(%) : 65, 70, 75, 80, 85.

b. Waktu fermentasi (hari) : 3, 5, 7, 8, 9.

c. Penggunaan fungi: Trichoderma reesei (T), Aspergillus niger(A), kombinasi kedua fungi (T&A).

Kondisi yang dipertahankan adalah:


(62)

b. Suhufermentasi: ±30°C (Juhasz, 2005; Deshpande dkk, 2012; Ilyas, 2011).

c. pH fermentasi: 5 (Juhasz, 2005).

3.4 Prosedur Percobaan

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan dimulai dari persiapan bahan baku dan mikroba, produksi enzim selulase dengan metode fermentasi padat hingga pengambilan enzim. Berikut ini adalah prosedur sistematis dari pengerjaan masing-masing tahapan.

3.4.1 Pembenihan Mikroba

Prosedur untuk pembenihan mikroba adalah sebagai berikut:

1. Mikroba yang digunakan adalah Aspergillus niger dan Trichoderma reesei. Pembenihan dilakukan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) secara zig-zag dengan menggunakan kawat inokulasi di dalam cawan petri secara aseptik.

2. Mikroba diinkubasi pada suhu ± 30°C selama 72 jam.

3.4.2 Praperlakuan Eceng Gondok

Prosedur praperlakuan eceng gondok adalah sebagai berikut: 1. Praperlakuan fisik

a. Eceng gondok dipotong-potong dengan pisau, dikeringkan dalam oven, lalu dianalisa kadar lignin dan selulosa awal.


(63)

selama 15 menit lalu dikeringkan, lalu dianalisa kadar lignin dan selulosa akhir.

c. Eceng gondok ditambahkan aquadest untuk diatur kelembabannya.

2. Praperlakuan biologi

a. Eceng gondok dipotong-potong dengan pisau, dilumatkan dengan penggerus. Dianalisa kadar lignin dan selulosa awal.

b. Eceng gondok disterilkan dengan autoclave suhu 120oC selama 15 menit, lalu didinginkan.

c. Eceng gondok didegradasi lignin dengan jamur pelapuk putihdengan penambahan nutrisi pada suhu kamar selama 7 hari. Dicuci, dikeringkan, lalu dianalisa kadar lignin dan selulosa akhir.

d. Eceng gondok diatur kelembabannya.

Skema praperlakuan fisik dan biologi ditunjukkan oleh Gambar 3.1 dan 3.2.

   Mulai

Di Cacah


(64)

 

      

   

  Gambar 3.1 Skema PraperlakuanFisik

Apakah Eceng Gondok Sudah Kering

Tidak

Ya

Data Kadar Lignin-Selulosa Sampel Fisik

Di Gerus Dikeringkan pada Suhu

105oC

Dilakukan Analisa Kadar Lignin-Selulosa Sampel Fisik

Mulai

Dilakukan Analisa Kadar Lignin-Selulosa Sampel Awal

Disterilkan Bubuk Eceng Gondok pada T = 121oC selama 15 menit

Di Fermentasi oleh Jamur Pelapuk Putih selama 7 hari


(65)

  

  

 Gambar 3.2 Skema Praperlakuan Biologi

 

3.4.3 Penyiapan Inokulum Cair

Prosedur penyiapan inokulum cair mikroba adalah sebagai berikut:

1. Seratus mililiter media cair (media cair ini terdiri dari sukrosa 22% (w/v), (NH4)2SO4 1% (w/v), KH2PO4 1%(w/v)) (Junior dkk, 2009), api bunsen, dan kawat ose disiapkan.

2. pH media cair diatur dengan HCl hingga pH=3.

Apakah Eceng Gondok Sudah Kering

Tidak

Ya

Dikeringkan pada Suhu 105oC

Data Kadar Lignin-Selulosa Sampel Biologi

Dilakukan Analisa Kadar Lignin-Selulosa Sampel Biologi


(66)

3. Ujung kawat ose dicelupkan ke dalam alkohol 96% lalu dipanaskan pada api bunsen sampai berwarna merah.

4. Biakan Aspergillus nigerdan Trichoderma reeseidari media PDA diambil dengan menggunakan kawat ose lalu dicelupkan beberapa saat pada media cair hingga tampak keruh.

5. Media cair ditutup dengan kapas dan diinkubasi pada suhu ± 30°C selama 48 jam.

6. Pekerjaan ini dilakukan di ruang aseptic (Sa’adah Z dkk, 2010).

3.4.4 Produksi Enzim Selulase

Prosedur sistematis fermentasi untuk produksi enzim selulase adalah sebagai berikut:

1. Eceng gondok dari dua perlakuan berbeda masing-masing diatur kelembabannya.

2. Aquadest ditambahkan dalam eceng gondok hingga didapat moisture content 65%, 70%, 75%, 80%, 85%.

3. Eceng gondok 10 gram dimasukkan ke dalam beaker glass 250 ml sesuai variabel (moisture content/kelembaban yang telah diaturdan waktu fermentasi) ditambah 30 ml komposisi nutriri medium Mandel Weber. 4. pH diatur hingga pH=5 lalu media disterilkan di dalam autoclave pada

suhu 120ºC selama 15 menit.


(67)

2009).

7. Media diinkubasi pada suhu ±30oC dengan waktu fermentasi (hari) 3, 5, 7, 8, 9(Oberoi dkk, 2010).

3.4.5 Pengambilan Enzim

Prosedur pengambilan enzim dari hasil fermentasi adalah sebagai berikut: 1. Hasil fermentasi diekstrak dengan aquadest dengan perbandingan 5 bagian

aquadest per 1 bagian massa.

2. Endapan dan cairan hasil fermentasi dipisahkan dengan menggunakan centrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit.

3. Cairan yang diperoleh kemudian diambil untuk diuji aktivitas enzimnya (Sa’adah Z dkk, 2010).

3.5 Analisis Hasil Penelitian

Keberhasilan suatu penelitian diukur melalui beberapa analisa yang dilakukan terhadap suatu hasil penelitian. Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini untuk mengetahui keberhasilan metode praperlakuan dalam mendegradasi lignin adalah analisa kadar lignin-selulosa, sedangkan untuk mengetahui keberhasilan proses


(68)

fermentasi dalam menghasilkan enzim selulase adalah dengan pengujian aktivitas enzim selulase.

3.5.1 AnalisisKadar Lignin dan Selulosa

Pengujian kadar lignin dan selulosa menggunakan metode Chesson. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah lignin yang terdegradasi serta jumlah selulosa yang dihasilkan baik dari metode praperlakuan yang dilakukan. Tahapan analisa sebagai berikut (Isroi, 2011):

1. Satu gram (a) sampel kering ditambahkan 150 mL H2O. direfluks pada suhu 100oC dengan water bath selama 1 jam. Hasilnya disaring, residu dicuci dengan air panas (300 mL). Residu kemudian dikeringkan dengan oven sampai konstan kemudian ditimbang (b).

2. Residu ditambahkan 150 mL H2SO4 1 N kemudian direfluks dengan water bath selama satu jam suhu 100oC. Hasilnya disaring sampai netral (300 mL) dan dikeringkan (c).

3. Residu kering ditambahkan 10 mL H2SO4 72% dan direndam pada suhu kamar selama 4 jam. Ditambahkan 150 mL H2SO4 1N dan direfluks pada water bath selama satu jam pada pendingin balik. Residu disaring dan dicuci dengan H2O sampai netral (400 mL) kemudian dipanaskan dengan oven dengan suhu 105oC dan hasilnya ditimbang (d).

Perhitungan untuk mencari kadar selulosa adalah: kadar selulosa = �−�


(69)

kadar lignin = �

�x 100% ... (3.2)

3.5.2 Uji Aktivitas Enzim

Untuk mengetahui ada atau tidaknya enzim selulase maka perlu dilakukan uji aktivitas dengan menentukan kadar glukosa sebagai hasil hidrolisa berdasarkan acuan IUPAC (Ghose, 1987) dengan tahapan analisasebagai berikut:

1. Pembuatan kurva standar:

Berikut ini adalah tahapan pembuatan kurva standar:

a. 1 ml aquadest dimasukkan ke dalam tabung reaksi kosong dan 8 tabung reaksi kosong lainnya diisi dengan 1 ml larutan glukosa standart (0,05-0,4 mg/ml).

b. 1 ml reagen DNS (18,2% w/v Na-K-Tartarate, 0,2% w/v fenol, 0,05% w/v Na2SO4, 1% w/v NaOH, dan 1% w/v 3,5 dinitrosalicylic acid/DNS ) ditambahkan pada tiap tabung reaksi menggunakan pipet.

c. Semua tabung reaksi dipanaskan di dalam water bath selama 5 menit agar terjadi reaksi antara glukosa dengan DNS.

d. Absorbansi tiap larutan diukur pada panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer visibel.

e. Konsentrasi glukosa standar ditunjukkan oleh kurva standar. 2. Analisis Glukosa:


(70)

Berikut ini adalah tahapan analisis glukosa sebagai hasil aktivitas enzim selulase:

a. Uji aktivitas enzim selulase menggunakan enzim aktif untuk sampel, enzim inaktif sebagai kontrol dan buffer sitrat fosfat pH 5 sebagai blanko.

b. 0,5 ml sampel, enzim inaktif, dan buffer masing-masing diambil kemudian ditambahkan 1,8 ml substrat ( CMC 1% dalam 1,8 ml larutan buffer). Lalu divorteks.

c. Inkubasi ketiganya selama 30 menit pada suhu 30oC.

d. 1 ml reagen DNS (18,2% w/v Na-K-Tartarate, 0,2% w/v fenol, 0,05% w/v Na2SO4, 1% w/v NaOH, dan 1% w/v 3,5 dinitrosalicylic acid/DNS) ditambahkan pada tiap tabung reaksi menggunakan pipet. e. Tabung reaksi dipanaskan di dalam water bath selama 5 menit agar

terjadi reaksi antara glukosa dengan DNS.

f. Tabung reaksi didinginkan dan ditambah dengan aquadest hingga volumenya menjadi 10 ml kemudian dikocok agar bercampur. g. Absorbansi tiap larutan diukur pada panjang gelombang maksimum

kurva standar.

h. Harga absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standar untuk mengetahui konsentrasi glukosa pada sampel.

i. Harga tiap konsentrasi dikonversi dalam satuan IU/ml. (Ghose, 1987).


(71)

Gambar 3.3 Diagram Alir Produksi Enzim Selulase

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Persiapan Bahan Sampel Biomasa Eceng Gondok dan Mikroba

Persiapan bahan baku

Penyiapan inokulum cair

Penyiapan inokulum cair

Pembibitan mikroba Pembibitan mikroba

Praperlakuan fisik

Praperlakuan biomassa

Analisa aktivitas enzim Fermentasi

Pengambilan enzim Pengambilan enzim

Analisa aktivitas enzim

Fermentasi Praperlakuan biologi

Inokulasi Inokulasi


(72)

Beberapa bahan penelitian yang digunakan seperti biomassa eceng gondok dan mikroba yang digunakan dalam penelitian ini memerlukan persiapan sebelum digunakan dalam proses produksi enzim selulase. Berikut ini adalah uraian hasil penelitian dari tahapan persiapan bahan baku utama yaitu biomassa eceng gondok dan mikroba-mikroba yang digunakan dalam penelitian.

4.1.1 Bahan Sampel Biomassa Eceng Gondok

Pada penelitian ini digunakan dua metode praperlakuan yang dilakukan pada sampel biomassa eceng gondok. Eceng gondok diambil dari perairan sekitar kampus Universitas Sumatera Utara dan sekitar pemukiman penduduk. Pertumbuhan eceng gondok yang liar dan menutupi salah satu perairan lingkungan kampus ditunjukkan oleh Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Eceng Gondok

Massa eceng gondok basah rata-rata yang dibutuhkan untuk membuat 100 gram sampel biomassa kering eceng gondok adalah ±1 kg. massa kering sampel


(73)

jam.

Sampel kering biomassa kemudian dihaluskan dengan crusher hingga menjadi bubuk eceng gondok seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 4.2. Dalam tulisannya, Deshpande (2009) menjelaskan bahwa bentuk bubuk atau tidak dengan ukuran tertentu (sembarang ukuran) dari biomassa tidak mempengaruhi produksi enzim selulase oleh Trichoderma reesei. Oleh karena itu dalam penelitian ini biomassa eceng gondok yang dibubukkan tidak ditentukan ukurannya. Metode pengecilan ukuran ini merupakan metode praperlakuan biomassa secara fisika.

Gambar 4.2 Sampel Kering Eceng Gondok Hasil Praperlakuan Fisik

Jamur pelapuk putih yang digunakan dalam metode praperlakuan diisolasi dari tanaman kelapa sawit yang telah tumbang. Jamur pelapuk putih diisolasi dalam media PDA selama tiga hari. Metode praperlakuan biologi dilakukan dengan menambahkan medium Mandel Weber dan penambahan air sebagai pengatur


(74)

kelembaban sampel lalu difermentasi selama tujuh hari. Gambar 4.3 menunjukkan pertumbuhan jamur pelapuk putih pada biomassa eceng gondok.

(a) (b) (c)

Gambar 4.3 Pertumbuhan Jamur Pelapuk Putih

(a) Eceng Gondok dengan Praperlakuan Biologi yang Telah Difermentasi 2 Hari. (b) Eceng Gondok dengan Praperlakuan Biologi yang Telah Difermentasi 7 Hari. (c) Eceng Gondok Hasil Praperlakuan Biologi (Sampel Biologi).

4.1.2 Pertumbuhan Mikroba

Mikroba yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aspergillus niger dan Trichoderma reesei sebagai mikroba penghasil enzim selulase dan Ganoderma boninense sebagai jamur pelapuk putih untuk mendelignifikasi biomassa eceng gondok. Pembibitan ketiga mikro organisme dilakukan dalam media PDA yang telah disterilkan dalam auto clave. Pertumbuhan berlangsung tanpa kendala untuk ketiganya. Gambar 4.4 menunjukkan pertumbuhan mikroba yang digunakan dalam penelitian ini.


(75)

Gambar 4.4 (a) Aspergillus niger dan Trichoderma reesei; (b) Ganoderma boninense

Kultur dalam media PDA berlangsung selama 3 hari (72 jam) pada temperatur 30oC (Kumar dkk, 2011). Dalam waktu tersebut spora tumbuh hingga memenuhi cawan (ukuran diameter 9 cm). Pertumbuhan Aspergillus niger dan Trichoderma reesei tidak sama dengan pertumbuhan Ganoderma boninense, karena kedua mikroba tersebut merupakan mikroba dengan kelas berbeda. Ganoderma boninense berasal dari kelas basidiomycetes yang memiliki badan buah dan tumbuh lebih teratur mulai dari tengah cawan hingga tumbuh seperti terpola mengelilingi spora utama yang berada di tengah. Aspergillus niger dan Trichoderma reesei yang berasal dari kelas ascomycetes tumbuh menyebar, tidak beraturan dan tidak terpola seperti pertumbuhan jamur pelapuk putih.

4.2 Produksi Enzim Selulase

Teknologi fermentasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah teknologi fermentasi padat / solid state fermentation (SSF). Teknologi ini adalah teknologi yang umum digunakan dalam memproduksi enzim selulase karena tidak memerlukan investasi tinggi dan rendahnya biaya produksi (Cen dan Xia 1999), selain itu teknologi ini mampu mengurangi represi katabolit pada beberapa jenis enzim (Aguilar dan Huitron, 1986; Archana dan Satayanaryana, 1997; Siquiera dkk, 1997; Solis-Pereyra, 1996). Pada prosesnya, sampel biomassa baik fisik maupun biologi


(76)

diatur kelembaban, penggunaan mikroba, waktu fermentasi, pH media dan temperatur fermentasi.

Mikroba dalam media PDA diambil dan dibuat sebagai inokulum cair dengan menggunakan kawat ose yang diperkirakan mengandung 104 - 106 spora yang diinokulasikan dalam 100 ml medium Mandel’s (Deshpande, 2009). Suspensi spora ditambahkan dengan konsentrasi 15% (w/w) ke dalam media fermentasi yang juga telah ditambahkan nutrisi dalam komposisi medium Mandel Weber (Oberoi dkk, 2010). Pertumbuhan mikroba setiap harinya diawasi untuk mencegah kontaminasi media.

4.3 Pengambilan Enzim dan Pengujian Aktivitas Enzim

Pengambilan enzim dilakukan dengan sentrifugasi 1500 rpm selama 15 menit, lalu filtrat diambil sebagai supernatan yang diperkirakan berisi enzim selulase untuk kemudian dilakukan pengujian dengan metode DNS. Rata-rata supernatan yang diperoleh ±30 ml untuk semua run dalam penelitian ini.

Pengujian aktivitas enzim dilakukan dengan metode DNS (dinitro salicyl acid). Nilai konsentrasi glukosa hasil aktivitas sampel enzim dihitung dari persamaan kurva standar glukosa. Sebelum itu penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan untuk melihat titik spektrum sampel agar absorbansi maksimal. Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan terhadap larutan glukosa, untuk kemudian dideviasikan hingga menjadi kurva standar glukosa. Panjang gelombang maksimum ini juga digunakan dalam pengukuran konsentrasi glukosa tiap sampel enzim.


(77)

4.5 menunjukkan kurva standar glukosa dengan memvariasikan larutan glukosa dengan beberapa nilai konsentrasi.

Persamaan kurva standar dengan r2 = 0,9239 pada panjang gelombang 503,3 adalah:

y = 1,44027 x – 0,07445

Keterangan: y = nilai absorbansi; x = konsentrasi glukosa (mg/ml)

Konsentrasi glukosa kemudian dikonversi dalam satuan IU/ml (Ghose, 1987): 1 IU = 1 µmol/menit glukosa yang dihasilkan

= 0,18 mg/menit glukosa Sehingga,

Konsentrasi glukosa = massa glukosa

0,18 x 0,5 x 30 µmol/menit ml (IU/ml).

y = 1.458x - 0.087 R² = 0.923

-0.20 -0.10 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60

A

bs

or

ba

ns

i

konsentrasi (mg/ml)


(1)

Contoh : pada massa 2,5 gram aktivitas enzim yang dihasilkan adalah 0, 207 IU/ml dengan volume enzim yang dihasilkan 30 ml, maka :

Respon maksimum =

0,207IU

mlx 30ml

2,5 gram = 2, 484 IU/gram.

C. 4 Perhitungan Persentasi degradasi lignin oleh Kedua Metode

Praperlakuan

Persentasi degradasi lignin dihitung dengan membandingkan kadar lignin pada biomassa eceng gondok hasil praperlakuan fisik/biologi dengan kadar lignin biomassa eceng gondok sebelum dilakukannya praperlakuan.

Persentasi Degradasi Lignin =

1

A1

A

x 100%

Keterangan: A1 = kadar lignin biomassa eceng gondok hasil praperlakuan fisik A2 = kadar lignin biomassa eceng gondok hasil praperlakuan biologi Contoh perhitungan : Persentasi degradasi lignin biomassa eceng gondok hasil praperlakuan fisik adalah :

A1 = 4, 63 % ; A = 5, 99%, maka : Persentasi Degradasi Lignin =

1

A1


(2)

LAMPIRAN 4

DOKUMENTASI PENELITIAN

D.1 Dokumentasi Pengadaan Bahan Baku (Eceng Gondok)

Gambar D. 1 Eceng Gondok Hasil Praperlakuan Fisik


(3)

D. 2 Dokumentasi Saat Proses Fermentasi

Gambar D. 3 Awal Proses Fermentasi


(4)

Gambar D. 5 Setelah Proses Fermentasi 7 hari Moisture Content 75% D. 3 Dokumentasi Enzim Hasil Fermentasi

Berikut ini adalah dokumentasi crude enzim hasil sentrifugasi pada 2500 rpm selama 15 menit.


(5)

D. 4 Dokumentasi saat Analisa Hasil Penelitian

Berikut ini adalah dokumentasi saat biomassa eceng gondok dianalisa kadar lignin-selulosa.

Gambar D. 7 Rangkaian Refluks Kondenser Analisa kadar Lignin-Selulosa Berikut ini adalah dokumentasi pembuatan kurva standar dan analisa aktivitas enzim dengan metode DNS


(6)