2. Legenda “Tokoh Pemersatu” Buton
Atas pertanyaan pertama, studi ini menunjukkan bahwa setiap kelompok etnik mayoritas di Kendari maupun Sulawesi Tenggara terkecuali etnik Bugis
menganggap penting legenda “tokoh pemersatu” karena berguna sebagai modal simbolik. Modal simbolik tersebut, terwujud dalam bentuk prestise kekuasaan
Haluoleo, Lakilaponto, dan Murhum yang melampaui daratan maupun kepulauan di Sulawesi Tenggara.
90
Dengan demikian, bagi kelompok etnik yang berhasil meraih kepemilikan modal simbolik tersebut, maka akan memiliki legitimasi
kedudukan yang lebih dibandingkan dengan kelompok etnik lainnya. Untuk itulah, mengapa setiap kelompok etnik lokal senantiasa membangun doxa atas
keberadaan “tokoh pemersatu” tersebut. Doxa “tokoh pemersatu” dari kelompok etnik tertentu akan memperoleh
heterodoxy atas kelompok etnik lainnya. Sehingga doxa-heterodoxy tentang keberadaan Haluoleo, Lakilaponto, Murhum berujung pada terjadinya “perang
wacana” antar kelompok etnik. Hal ini nampak dari pernyataan alm Prof. Sirajudin Djarudju seorang dosen Unhalu dari kelompok etnik Buton: “...ada dua
naskah tertulis yang memutarbalikkan sejarah Buton dan Muna..., yaitu Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sulawesi Tenggara Membangun dan Alamanak
Jagad Raya...pernyataan yang dimuat dalam buku Alamanak Jagad tentang Sulawesi Tenggara...pernyataan tersebut sebagai dongeng belaka yang tidak
mengandung kebenaran, perlu dipertanyakan darimana sumber pernyataan diperoleh...” Darmawan 2009:116-120. Pernyataan ini memberikan gambaran
atas pertanyaan kedua, dimana masing-masing kelompok etnik lokal di Kendari maupun Sulawesi Tenggara memiliki konstruksi kondisi subyektif yang berbeda-
beda tentang legenda “tokoh pemersatu” tersebut.
91
90
Jika dibandingkan dengan seluruh raja yang pernah menguasai kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara Tolaki, Muna, dan Buton, maka Haluoleo, Lakilaponto, dan Murhum
merupakan satu-satunya raja yang pernah memiliki kekuasaan di tiga kerajaan tradisional Sulawesi Tenggara.
91
Penelusuran referensi menunjukkan sebanyak tiga kali seminar yang dilaksanakan untuk menjawab siapa dan darimana “Haluoleo, Lakilaponto, Murhum” tersebut? Rupanya dari tiga kali
seminar dilaksanakan tidak ditemukan rumusan satupun tentang “tokoh pemersatu” tersebut.
Tabel 5.8. Konstruksi Etnik Tentang “Tokoh Pemersatu” Menurut Masing-masing Entitas Sosial.
Konstruksi Etnik
Tokoh Pemersatu Haluoleo
Lakilaponto Murhum
Tolaki
• Di daratan Sulawesi Tenggara, tokoh pemersatu ini dikenal dengan nama Haluoleo Halu=8, Oleo=hari.
Haluoleo merupakan anak dari hubungan perkawinan bangsawan raja dari Kerajaan Muna ElulanggaiSugi
Manuru dan Konawe Wealanda;
• Panglima peran Kerajaan Konawe yang memiliki berbagai kelebihan, seperti: diplomasi, keberanian, dan
kemampuan membangunan kerjasama dengan kerajaan lain. Setelah berhasil mendamaikan Konawe dan
Mekongga selama 8 hari, Haluoleo berangkat ke tanah Muna bersama 40 keluarga pengiringnya dan kemudian
diangkat sebagai Raja Muna ke-7 pengganti ayahnya Sugi Manuru. Setelah itu, diangkat sebagai Sultan Buton
ke-1 karena kemampuannya mengalahkan bajak laut La Bolontio dari Tebelo.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber Sirajuddin dalam Darmawan 2009; Tamburaka et. al. 2004; Couvreur 2001 dan hasil penelitian lapangan, 2011-2012.
Lanjutan Tabel 5.8.
Konstruksi Etnik
Tokoh Pemersatu Haluoleo
Lakilaponto Murhum
Muna
• Lakilaponto La Tolalaka adalah putera tertua dari perkawinan Sugi Manuru dengan Wa Tapubala. Dengan demikian, Lakilaponto merupakan putra
mahkota yang secara langsung mewarisi Kerajaan Muna sepeninggal ayahnya Sugi Manuru;
• Lakilaponto adalah Raja Muna ke-7 sepeninggal Sugi Manuru. Ketika menjadi Raja Muna, Kerajaan Buton mengalam ancaman dari pembajak laut
La Bolontio dari Tebelo. Karena Buton tidak dapat menghadapinya, maka dimintalah bantuan dari semua suku disekitarnya untuk menyelamatkan
kerajaan ini. Dijanjikan, apabila ada seseorang yang bisa mengalahkan La Bolontio, maka berhak mendapat gelar Lakina Wolio. Melihat situasi ini,
Lakilaponto berangkat ke Buton dan berhasil mengalahkan dan membunuh La Bolontio. Karena keberhasilannya ini, maka Lakilaponto berhak memperoleh
gelar Lakina Walio dan terpilih sebagai Sultan ke-1 Buton yang bergelar Murhum. Pada masa kesultanan iapun diangkat menjadi Lakina Konawe;
• Pengangkatannya sebagai Lakina Konawe karena kesaktiannya sebagai keturunan Bheteno ne Tombula adalah orang yang mulia yang berhubungan
dengan roh halus. Kemudian Lakilaponto dinikahkan dengan putri Raja Konawe.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber Sirajuddin dalam Darmawan 2009; Tamburaka et. al. 2004; Couvreur 2001 dan hasil penelitian lapangan, 2011-2012.
Lanjutan Tabel 5.8.
Konstruksi Etnik
Tokoh Pemersatu Haluoleo
Lakilaponto Murhum
Buton
• Murhum atau Lakilaponto atau Halu Oleo adalah putra Sugi Manuru Raja Muna ke-7 dari perkawinannya dengan Wa Tapubala. Sewaktu muda, Murhum sebagai penerima tamu di
Kerajaan Buton Belobamba. • Saat Buton di datangi La Bolontio asal Tebelo dan menguasai Tobungku yang terletak di Teluk
Kapontori. Mendengar berita ini, Raja Mulae Raja Buton ke-5 segera menyusun laskar dan mengemumunkan bahwa siapa yang bisa mengalahkan La Bolontio, maka akan dinikahkan
dengan anaknya yang bernama Wa TampaidongaBorokomalanga. Mendengar berita ini, Murhum segera mendaftarkan diri dan ditunjuk sebagai komandan laskar. Akhirnya, Murhum
berhasil membunuh La Bolontio dan Kerajaan Buton merasa senang. Pasca keberhasilan Murhum mengalahkan La Bolontio, dia pamit untuk menerima warisan neneknya yang
meninggal dunia Wasitao. Setiba di Konawe, Murhum melihat terjadinya perang saudara antara Konawe dan Mekongga. Saat itu, Murhum mendapat kehormatan untuk memimpin
Laskar Konawe dan dalam waktu 8 hari peperangan selesai dan aman. Oleh karena itu, Murhum diberi gelar Haluoleo. Setelah dari Konawe, Murhum kembali ke Buton dan sebelum
meneruskan perjalanannya ia singgah di Muna. Kedatangannya di Muna karena ayahnya Sugimanuru telah wafat. Karena Murhum adalah anak sulung, maka dialah yang berhak
memimpin Raja Muna ke-7. Tidak berlangsung lama ketika jabatan tersebut diberikan, Murhum pamit ke Buton untuk melangsungkan pernikahannya dengan putri Raja Buton ke-5 dan tidak
lama kemudian Murhum terpilih sebagai Raja Buton ke-6. Karena sudah menjadi Raja Buton, Murhum kemudian balik ke Muna untuk menyerahkan kekuasaan kepada adiknya La Posasu.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber Sirajuddin dalam Darmawan 2009; Tamburaka et. al. 2004; Couvreur 2001 dan hasil penelitian lapangan, 2011-2012.
Uraian di atas, nampaknya semakin mempertegas perbedaan antar kelompok etnik lokal ketika melakukan konstruksi tentang “tokoh pemersatu” Sulawesi
Tenggara lihat Tabel 5.8. Sejarah yang tidak tuntas tentang Haluoleo, Lakilaponto, Murhum seolah-olah terus direproduksi oleh masing-masing
kelompok etnik lokal untuk mempertegas kedudukannya sebagai “pewaris sah” wilayah daratan dan kepulauan Sulawesi Tenggara. Sebagaimana diungkapkan
informan berinisial PNL: “...jadi benar kata Bapak tadi, ada sejarah yang tidak tuntas yang hari ini tidak dipahami generasi muda. Bahkan bukan lagi persoalan
tidak tuntas, tapi di-pleset-kan...Satu sejarah yang tidak tuntas adalah kata Haluoleo, Lakilaponto, dan Murhum. Etnik Tolaki hanya mengakui Haluoleo
sebagai raja Kendari yang terbesar, etnik Muna mengakui raja Lakilaponto yang terbesar, dan etnik Buton mengatakan merekalah peletak dasar pemerintahan
kesultanan dan benama Murhum. Sampai hari ini, semua itu menjadi pertentangan antar generasi. Ketidaktuntasan sejarah membuat semua pada
emosional. Pemunculan tokoh pemersatu seolah-olah menonjol dari etnik tertentu dan ini yang tidak adil...Inilah yang membuat pemicu...” Wawancara tanggal
18112011.
Gambar 5.7. Tugu Persatuan yang Mencerminkan Harapan Bersatunya Etnik Lokal di Sulawesi Tenggara.
Menjadi jelas bahwa legenda “tokoh pemersatu” merupakan satu dari sekian faktor pembentuk identitas etnik yang digunakan aktor sebagai instrumen untuk
memperkuat dan mempertegas kedudukannya di mata masyarakat dalam arena ekonomi politik lokal di Kendari maupun Sulawesi Tenggara. Para aktor
menyadari bahwa tanpa kejelasan kedudukannya di tengah-tengah masyarakat, maka mustahil kekuasaan dalam arena ekonomi politik lokal dapat dimilikinya.
Pembangunan “tugu persatuan” di Kendari oleh Gubernur Sulawesi Tenggara periode Ali Mazi merupakan bukti terdapat serangkaian persoalan kemajemukan
yang belum terselesaikan hingga hari ini.