RUANG PERTARUNGAN DAN STRATEGI AKTOR

terdominasi oleh politisi dan birokrat. Meski dalam ruang pertarungan ini, berlaku prinsip otonom yang mengutamakan modal simbolik, akan tetapi aktor politisi dan birokrat memiliki sedikit banyak modal ekonomi yang lebih dibandingkan aktor kampus maupun NGOLSM. Dalam posisi seperti ini, maka distingsi identitas etnik memainkan peran penting; dan ketiga, ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik dominasi kuasa ekonomi dengan praktik dominasi kuasa politik. Di ruang ini, terjadi transaksi antar politisi atau birokrat dengan pengusaha. Aktor politik atau birokrat bertindak sebagai produsen yang memiliki prinsip otonom modal simbolik dan modal sosial yang dijadikan sebagai instrumen tools kekuasaan aktor. Disebabkan masing-masing pihak aktor memiliki kepentingan yang sama, maka relasi terbangun cenderung equalsetara. Terbangunnya relasi yang setara tersebut, disebabkan masing-masing aktor memiliki kekuatan modal yang dapat saling dipertukarkan lihat Gambar 7.1. Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi Pada sub bab ini, peneliti akan menguraikan aktor dengan distingsi identitas etnik dan profesi melakukan pertarungan di ruang ini. Di awal sub bab ini, telah dikemukakan bahwa subyek yang bertarung dalam ruang ini adalah aktor kampus, NGOLSM, dan pengusaha. Adapun obyek yang dipertarungkan adalah sumberdaya ekonomi yang terdapat di lokasi studi. Diantara tiga aktor tersebut, aktor pengusaha didominasi Bugis, Buton, dan Cina. Sedangkan aktor kampus dan NGOLSM cenderung merata dan tidak satupun etnik yang mendominasi. Dengan kata lain, semua aktor ini berasal dari basis etnik yang terdapat di lokasi studi. Jika demikian halnya, lalu bagaimana relasi yang terbangun antar aktor yang memiliki distingsi identitas etnik dan latar belakang profesi? Kemudian bagaimana pola pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis yang dilakukan antar aktor yang memiliki perbedaan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka determinasi prinsip heteronom yang berorientasi keuntungan menentukan relasi dan pola pertarungan antar aktor. Disebabkan orientasi ruang pertarungan ini adalah keuntungan, menyebabkan modal ekonomi lebih mendominasi daripada modal simbolis. Oleh karena itu, relasi yang terbangun cenderung bersifat transaksional, dimana aktor kampus dan NGOLSM bertindak “konsumen” dan aktor pengusaha sebagai “produsen”. Adapun distingsi identintas etnik digunakan sebagai instrumen aktor untuk melakukan mobilisasi [identitas] etnik atau menarik dukungan massa berbasis etnisitas. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada masyarakat polietnik majemuk, pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis senantiasa melibatkan mobilisasi etnik massa berbasis etnisitas untuk memperebutkan dan melanggengkan kuasa sumberdaya ekonomi yang ditentukan regulasi pemerintah, seperti: ekonomi perdagangan khususnya properti, berkembang, dan terbelakang. 111 Sedangkan ekonomi perdagangan distributor, eceran, dan produksi jarang ditemukan pertarungan. Dalam konteks studi ini, maka terbentuklah afiliasi pengusaha dengan aktor kampus dan NGOLSM yang masing-masing memiliki kemampuan argumentatif ilmiah dan memobilisasi atau menggerakkan massa berbasis etnisitas untuk mendukung kepentingan pengusaha. Kondisi ini sebagaimana diungkapan informan berinisial SAI dan SLA: “...tidak sedikit orang kampus dan NGOLSM disini bergandengan tangan dengan pengusaha. Ada keuntungan yang diperoleh dari kedua pihak tersebut. Jika orang kampus atau NGOLSM mendapatkan keuntungan uang karena memiliki kemampuan argumentatif ilmiah dan memobilisasi massa berbasis etnisitas, maka pengusaha dengan kekuatan uang yang dimilikinya mendapatkan keuntungan untuk memperluas kekuasaan ekonominya. Meski demikian, aktor-aktor yang pro pengusaha tersebut adalah mereka dengan latar belakang besar di lokal...” ungkap SAI Wawancara tanggal 5012012. “...di kota ini, tanah mahal karena dioreintasikan untuk membangun ruko, perumahan, dan lain-lain. Karena mahalnya, seringkali terjadi konflik tanah dan ini yang ditakutkan pengusaha. Untuk itu, pengusaha selalu mencari pengamanan dari ormas-ormas. Karena ormas disini biasanya didominasi etnik tertentu dan memiliki jaringan dengan mahasiswa untuk dimobilisasi, maka pengusaha seringkali melakukan kerjasama dengan ormas-ormas tersebut. Tujuannya agar pengusaha aman dalam menjalankan kepentingan usahanya...” ungkap SLA Wawancara tanggal 27122011 111 Untuk jelasnya, uraian ini dapat dilihat pada Bab V, hal. 142-146. BOKS 7.1. Kelompok Aktor dalam Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi “Kendari adalah kota ruko”, demikian ungkapan salah satu responden peneliti berinisial LAS. Semenjak peneliti meninggalkan kota ini di medio 90-an, kota ini berubah pesat. Ruko dan hotel mendominasi di tengah dan sudut kota ini. Begitulah kesan yang peneliti tangkap. Tentunya, dibalik semua ini, tidak hadir begitu saja. Selain fenomena pembangunan sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia, di dalamnya syarat dengan aktor-aktor yang berkepentingan untuk meraih keuntungan atas nama pembangunan. Dikarenakan studi ini berkepntingan untuk mengetahui aktor-aktor tersebut, maka peneliti mencoba untuk melakukan wawancara mendalam indepth interview dengan beberapa informan. Salah satunya yang peneliti ambil adalah idnept interview dengan informan berinisial SAI. Peneliti mengajukan pertanyaan sederhana, bagaimana dinamika aktor yang memiliki distingsi identitas etnik khususnya aktor kampus dan NGOLSM merespon pembangunan, khususnya ruko dan hotel yang marak di kota kendari? Atas pertanyaan tersebut, SAI mengungkapkan bahwa posisi aktor perlu didudukkan terlebih dahulu di dalam dinamika tersebut. Umumnya, aktor kampus dan NGOLSM yang memiliki kapasitas melegitimasi layak atau tidaknya pembangunan ruko, hotel, dan sejenisnya di kota ini. Sedangkan aktor pengusaha merupakan aktor yang berkepentingan dalam pembangunan. “Nah, disinilah aktor-aktor teresebut melakukan transaksi” ungkap SAI. Sebagian besar, mereka yang deal mendukung pengusaha adalah aktor kampus yang lahir dan besar disini dan berafiliasi dengan NGOLSM lokal. Dimana aktor kampus memiliki kapasitas untuk melakukan analisis kelayakan pembangunan dan NGOLSM lokal memiliki basis massa. SAI mengatakan, “...wajarlah, mereka butuh uang dan pengusaha menyediakannya. Terjadilah transaksi seperti halnya hukum pasar”. Tetapi berbeda dengan aktor kampus yang lahir dan besar di luar cenderung berafiliasi dengan LSMNGO yang memiliki jaringan nasional. Selanjutnya menurut SAI, “...mereka memiliki sikap menolak pembangunan ruko, hotel, dan sejenisnya yang tidak sesuai dengan daya dukung ekologi dan lingkungan”. Mobilisasi massa tidak jarang dilakukan untuk mendukung pembangunan ruko, hotel, dan sejenisnya di kota ini. Salah satu contoh mobilisasi tersebut adalah pembangunan pompa bensin dan beberapa ruko yang melanggar jalur hijau. Kata SAI, “aktor kampus yang berafiliasi NGOLSM lokal yang mendukung pengusaha berhadapan dengan aktor kampus yang berafiliasi dengan NGOLSM yang memiliki jaringan nasional”. Tentunya, mobilisasi massa tersebut melibatkan basis massa etnisitas. Umumnuya, “...mobilisasi massa tersebut dilakukan oleh aktor kampus yang berafiliasi dengan NGOLSM lokal..” ungkap SAI. Informasi yang peneliti peroleh dari SAI, seperti halnya informasi yang peneliti peroleh dari SLA sebagai informan peneliti. SLA mengatakan “banyak teman se- profesi dia sebagai konsultan para pengusaha yang membutuhkan jasa untuk melakukan studi-studi Amdal. Biasanya teman-teman dia tersebut, bergabung dengan NGOLSM yang juga digunakan pengusaha untuk mem-back up kepentingan usahanya”. Wawancara tanggal 22122011 dan 512012. Berangkat dari penjelasan di atas, maka terdapat dua kelompok aktor yang bertarung dalam ruang kekuasaan ekonomi simbolis. Adapun kedua kelompok aktor yang dimaksud, pertama, afiliasi golongan aktor kampus yang berasal dari out-actor dengan NGOLSM besar memiliki jaringan nasional; versus kedua, afiliasi golongan aktor kampus yang berasal dari in-actorss dengan NGOLSM lokal yang memiliki jaringan terbatas atau lokal. Tentunya kedua kelompok yang bertarung tersebut memiliki perbedaan habitus ketika memaknai kondisi obyektif identitas etnik di lokasi studi lihat Boks 7.1. Selanjutnya pengkategorian kelompok aktor di atas, memberikan gambaran bahwa in-actorss aktor dalam cenderung berafiliasi dengan NGOLSM lokal yang di dalamnya terdiri dari [individu] aktor dari etnik tertentu. Kemudian melakukan mobilisasi [identitas] etnik mobilisasi massa berbasis etnisitas untuk mendukung kepentingan pengusaha. Sebaliknya, out-actor aktor luar cenderung berafiliasi dengan NGOLSM besar yang di dalamnya terdiri dari berbagai [individu] aktor dengan perbedaan identitas etnik yang melakukan penolakan atas kepentingan pengusaha. Dengan demikian, pola pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis antar aktor terdiri atas: pertama, pertarungan wacana, yaitu pertarungan antar aktor yang mendukung dan menolak kepentingan aktor pengusaha dengan mengusung wacana-wacana tertentu. Mereka yang beroposisi dengan kepentingan aktor pengusaha mengusung wacana kerusakan ekologi dan lingkungan, serta dampaknya terhadap masa depan sosio-ekonomi warga massa di lokasi studi. Sedangkan aktor yang mendukung kepentingan pengusaha, mengusung wacana peningkatan ekonomi warga lokal dan serangkaian argumentatif ilmiah yang menyatakan bahwa aktivitas pengusaha tidak bermasalah dengan persoalan ekologi dan lingkungan; dan kedua, pertarungan terbuka, yaitu pertarungan yang bersifat terbuka antar aktor yang mendukung dan menolak kepentingan pengusaha. Dalam hal ini, aktor yang beroposisi dengan pengusaha melakukan pernyataan terbuka pers confrence penolakan segala hal terkait kepentingan pengusaha melalui media massa. Berbeda dengan aktor yang mendukung pengusaha, cenderung melakukan mobilisasi massa dan terkadang melakukan kekerasan simbolik, seperti intimidasi, tekanan, dan lain-lain lihat Tabel 7.1. Tabel 7.1. Afiliasi Aktor di Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi. Aktor NGOLSM Aktor Kampus Keterangan Out-Actor In-actorss Jaringan nasional • Sebagian besar [individu] aktor besar merupakan lulusan PT luar dan pernah bersentuhan dengan dunia aktivis kampus. • Mengutamakan isu-isu lingkungan yang berlawanan dengan isu pembangunan; • Tidak melakukan mobilisasi [identitas] etnik atau menggerakkan massa berbasis etnik; • Beroposisi terhadap pengusaha. Afiliasi ini tidak didominasi etnik tertentu. Melainkan terdiri dari beragam etnik di Kendari Sultra. Adapun institusi NGOLSM yang termasuk kategori ini, seperti: WALHI, YPSHK, ALPEN, YASCITA, LPPM, SINTESA, dan MEDITRA. Jaringan lokal • Sebagian besar [individu] aktor besar merupakan lulusan PT daerah dan pernah bersentuhan dengan dunia aktivis kampus. • Mengangkat isu-isu ekonomi untuk rakyat; • Melakukan riset sebagai argumentatif ilmiah seperti: amdal untuk mendukung kepentingan pengusaha; • Melakukan mobilisasi dukungan massa berbasis etnik untuk mendukung kepentingan pengusaha. Afiliasi ini didominasi dari etnik tertentu. Biasanya aktor memanfaatkan NGOLSM untuk kepentingan individu aktor dan pengusaha. Adapun institusi NGOLSM lokal, seperti: SWAMI, KONSTRUK. Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Ruang Pertarungan Kekuasaan Politik Seperti halnya ruang pertarungan sebelumnya, pertarungan kekuasaan politik simbolis melibatkan beberapa aktor yang memiliki distingsi identitas etnik dan profesi. Adapun aktor yang dimaksud adalah aktor kampus, NGOLSM, politisi, dan birokrat. Kemudian diantara aktor-aktor tersebut, aktor birokrat cenderung didominasi etnik Tolaki. Sedangkan aktor lainnya aktor kampus, NGOLSM, dan politisi tidak terkesan didominasi oleh etnik tertentu. Di ruang pertarungan tersebut, aktor berkepentingan untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan politiknya. Oleh karena itu, instrumen tools yang mudah digunakan adalah simbol etnisitas, walau terkesan longgar. Dari keempat aktor tersebut, politisibirokrat cenderung memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk menarik aktor kampus dan NGOLSM. Namun diantara aktor tersebut, terdapat share kepentingan diantara mereka. Biasanya share tersebut, berupa akses terhadap proyek-proyek pemerintah penelitian dan pemberdayaan masyarakat yang diberikan aktor politisibirokrat sebagai produsen kepada aktor kampus dan NGOLSM sebagai konsumen. Berbeda dengan pertarungan kekuasaan simbolis yang cenderung berprinsip heteronom dengan kekuatan modal ekonominya, pertarungan kekuasaan politik simbolis lebih menitikberatkan afiliasi berdasarkan kesamaan identitas etnik atau sejarah etnisitas. Artinya politisibirokrat akan berafiliasi dengan aktor kampus atau NGOLSM, apabila memiliki kesamaan etnisitas atau sejarah etnik. 112 Akan tetapi tak dapat dipungkiri bahwa modal ekonomi memainkan pengaruh yang cukup penting dalam ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis ini. Sehingga afiliasi antar aktor tidak ditentukan berdasarkan kesamaan dan sejarah etnisitas. Oleh karena itu, pengaruh modal ekonomi menyebabkan relasi yang terbangun antar aktor bersifat transaksional disebabkan aktor memiliki orientasi kepentingan keuntungan. Disini, politisibirokrat berkepentingan mempertahankan dan memperluas kekuasaan politik simbolis, sedangkan aktor kampus khususnya in-actors dan NGOLSM lokal berkepentingan memperoleh modal ekonomi dan akses terhadap kekuasaan politik lokal. Kondisi tersebut menggambarkan 112 Sejarah etnik yang dimaksud disini adalah pola afiliasi etnik mayoritas yang terdapat di lokasi studi Kendari – Sultra. Adapun kecenderungan pola afliasi etnik tersebut, yakni Muna- Tolaki versus Buton-Bugis. fenomena maraknya aktor kampus atau NGOLSM yang masuk ke dalam praktek politik identitas. Sebagaimana diungkapkan responden peneliti berinisial AIM: “...HDY adalah mantan aktivis kampus dari etnik Muna. Dia sekarang sebagai salah satu anggota KPU Kota Kendari. Dulunya aktivis ini memimpin salah satu LSM yang sering berdemo. Karena dianggap keras, intimidasi sering dia peroleh. Perkenalannya dengan salah satu penguasa di kota ini mengantarkannya masuk sebagai anggota KPU. Beginilah cara aktivis untuk masuk ke dunia politik...” Wawancara tanggal 2122011. Dari penjelasan di atas, maka ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis merupakan pertarungan yang terjadi antara kelompok-kelompok afiliasi. Setidaknya terdapat dua kelompok afiliasi, yaitu: 1 afiliasi politisibirokrat – in- actors – NGOLSM lokal yang memiliki basis etnik sama atau sejarah etnisitas; dan 2 afiliasi out-actor – NGOLSM yang memiliki jaringan nasional dan [individu] aktor yang bergabung tidak didasarkan atas kesamaan etnik. Dari kedua kelompok afiliasi tersebut, maka pertarungan antar aktor di ruang ini dibagi atas: 1 pertarungan aktor dari kelompok afiliasi pertama yang memiliki distingsi identitas etnik; dan 2 pertarungan aktor dari kelompok afiliasi kedua dengan kelompok afiliasi pertama. Umumnya, kelompok afiliasi pertama bertindak sebagai penguasa lokal lihat Tabel 7.2. Penelitian ini menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan politik simbolis antar aktor, senantiasa melibatkan kondisi obyektif distingsi identitas etnik dan juga mobilisasi massa berbasis etnik. Sebagai misal, kelompok afiliasi pertama yang mana aktor politisibirokrat memanfaatkan in-actors untuk melegitimasi kekuasaan politik dan kebijakan yang disusunnya. Sedangkan aktor NGOLSM lokal dimanfaatkan untuk memobilisasi [identitas] etnik massa berbasis etnik untuk mendukung dan melegitimasi kekuasaan aktor, serta mendelegitimasi kekuatan yang berlawanan dengan kekuasaan politisibirokrat. Adapun konsekuensi dukungan tersebut, adalah in-actors atau aktor NGOLSM lokal memperoleh proyek-proyek pemerintah dari pendanaan APBD dan akses terhadap kekuasaan politik lokal. Tabel 7.2. Afiliasi Aktor di Ruang Pertarungan Kekuasaan Politik. Basis Aktor Kampus NGOLSM Out-Actor In-actors Besar Lokal Politisi Birokrat Sebagai bentuk strategi, out-actor berafiliasi dengan aktor politisi dan birokrat berdasarkan basis identitas etniknya. Tetapi tidak jarang aktor kampus ini berafiliasi pula dengan aktor politisi dan birokrat yang berbeda dengan basis identitas etniknya Aktor kampus ini cenderung berafiliasi dengan aktor politisi atau birokrat yang memiliki kesamaan etnik atau sejarah etnik Aktor NGOLSM ini cenderung tidak membangun afiliasi dengan aktor politisi dan birokrat Seperti halnya in-actors, aktor NGOLSM ini berafiliasi dengan politisi atau birokrat yang memiliki kesamaan etnik atau sejarah etnik Relasi yang terbangun cenderung equal disebabkan aktor kampus ini tidak mengharapkan keuntungan ekonomi dibalik relasinya dengan politisi dan birokrat Berbeda dengan out- actor, relasi cenderung menempatkan aktor kampus ini tersubordinasi dari aktor politisi dan birokrat Relasi cenderung equalsetara karena aktor dari NGOLSM ini tidak memiliki kepentingan simbolik maupun ekonomi dengan aktor politisi maupun birokrat Aktor ini cenderung tersubordinasi terhadap politisibirokrat Tidak terjadi share apapun antar aktor Terjadi share ekonomi antar aktor kampus ini dengan politisi dan birokrat. Selalu melakukan koreksikritis atas kebijakan yang tidak bersesuaian dengan pandangan mereka Senantiasa mendukung kebijakan dari politisibirokrat Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Fenomena di atas berbeda dengan aktor yang tidak berafiliasi dengan politisibirokrat manapun. Kelompok afiliasi ini senantiasa melakukan penolakan oposisi atas segala hal yang terkait dengan kekuasaan dan kebijakan dari para politisibirokrat. Walau demikian, pertarungan yang dilakukan tersebut tidak lain bertujuan memperkuat pengaruh kekuasaan aktor di tengah-tengah masyarakat ilustrasi ini dapat dilihap pada Boks 7.2. Berangkat dari penjelasan di atas, maka pola pertarungan kekuasaan politik simbolis cenderung berupa pertarungan kekuasaan simbolik, yaitu pertarungan yang terjadi antar aktor yang mendukung dan menolak kekuasaan politisibirokrat lokal. Aktor yang mendukung merupakan kelompok afiliasi yang memiliki kesamaan etnik atau warisan sejarah etnisitas. Berbeda dengan sebelumnya, aktor yang beroposisi adalah aktor yang berbeda identitas etnik dengan kelompok afiliasi sebelumnya. Juga mereka yang beroposisi adalah aktor kampus khususnya out-actor dan NGOLSM besar karena tidak bersesuaian dengan kebijakan penguasa aktor politisibirokrat. Baik aktor yang mendukung maupun BOKS 7.2. Dari Aktivis LSM Lokal Menjadi Anggota KPU HDY adalah aktor NGOLSM Lokal yang dikenal progresif di medio tahun 2000-an. Sikapnya yang kritis terhadap penguasa saat itu terutama Gubernur Ali Mazi, tidak jarang segala bentuk intimidasi dipeolehnya. Inilah yang sempat menjadi fokus riset yang dilakukan ilmuan LIPI Tirtosudarmo, et. al. 2006. Meski demikian, dibalik sikap kritisnya tersebut, HDY mencerminkan sikap kelompok afiliasinya terhadap penguasa saat itu. “HDY bersama LSM-nya mencerminkan kelompok afiliasi yang dibangun bersama aktor politik saat itu yang sekarang menjadi Gubernur Sultra” ungkap SAI. Menurut SAI, saat itu terjadi pertarungan kekuasaan simbolik antar Muna-Tolaki versus Buton-Bugis. Adapun afiliasi Muna-Tolaki, terdiri dari: aktor politiknya adalah gubernur sekarang Tolaki, aktor LSM-nya adalah HDY Muna, dan beberapa aktor kampus dari dua etnik tersebut. Demikian halnya dengan afiliasi Buton-Bugis. Untuk itu, “jika HDY saat ini menjadi salah satu anggota KPU tidak lepas dari dukungan kelompok afiliasinya” ungkap AIM. Selain itu, HDY juga dekat dengan mantan Walikota Kendari dari etnik Tolaki. Khususnya Kendari dan umumnya Sultra, pola-pola seperti yang dilakukan HDY adalah hal yang sudah biasa. “Jangan heran, sebentar lagi setelah di KPU, HDY akan masuk parpol. Begitulan reproduksi aktor-aktor LSM-lokal disini” ungkap SAI Wawancara tanggal 22122011 dan 212012. beroposisi memiliki tujuan merebut pengaruh massa dan meraik kekuasaan politik lokal lihat Tabel 7.1. Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi-Politik Berbeda dengan dua ruang pertarungan sebelumnya, pertarungan kekuasaan ekonomi-politik menempatkan posisi yang equal antar aktor. Hal ini disebabkan masing-masing aktor memiliki kekuatan modal yang dapat saling dipertukarkan. Dimana pengusaha memiliki kekuatan modal ekonomi dan politisibirokrat memiliki kekuatan modal simbolik, serta modal sosial. Namun demikian, orientasi kedua aktor tersebut tetap sama, yaitu memperoleh keuntungan dalam konteks yang berbeda. Aktor politisi atau birokrat berkepentingan mempertahankan dan memperluas kekuasaan miliknya, sedangkan aktor pengusaha berkepentingan untuk mengamankan dan mengakumulasi kekuasaan ekonomi. Dengan demikian, relasi kedua aktor tersebut lebih bersifat transaksional yang menyebabkan ruang pertarungan ini mensubordinasi prinsip otonom yang dimiliki politisi maupun birokrat. Dengan kata lain, prinsip heteronom lebih mendominasi ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik. Selanjutnya dalam ruang pertarungan ini, mereka yang terlibat adalah pengusaha dan politisi maupun birokrat. Lebih khusus, pengusaha yang terlibat adalah mereka yang usaha ekonominya bersentuhan dengan regulasi pemerintah seperti: properti, pertambangan, dan kontraktor. Untuk itu, sebagian besar mereka adalah pengusaha dari etnik Cina ketimbang empat etnik mayoritas. Meski ditemukan beberapa dalam jumlah kecil pengusaha dari etnik Bugis dan Buton terlibat dalam ruang pertarungan ini. Sebagian besar mereka yang terlibat adalah pengusaha yang mencoba masuk di ekonomi berkembang pertambangan dan terbelakang kontraktor. Berbeda dengan di atas, aktor politisi maupun birokrat berasal dari empat etnik mayoritas di Kendari maupun Sultra. Kemudian untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, aktor politisibirokrat membangun afiliasi dengan pengusaha agar memperoleh “bantuan” modal ekonomi dalam bentuk uang. Fenomena ini begitu nampak ketika berlangsungnya pilkada, dimana aktor politisi membutuhkan sejumlah uang untuk memenangkan pertarungan politik lokal. Disebabkan warisan sejarah etnik dan kepentingan yang sama antar pengusaha, maka afiliasi cenderung terpola berdasarkan doxa pertentangan antar etnik. Kondisi ini sebagaiamana diungkapkan responden berinisial ZNL: “...meski pengusaha Cina masuk ke seluruh kandidat kepala daerah, akan tetapi dia punya prioritas. Prioritas pengusaha Cina ditentukan siapa pengusaha yang merapat pada kandidat. Jika yang merapat adalah rivalnya, maka umumnya pengusaha Cina akan menarik diri. Atau paling tidak memberikan bantuan ala kadarnya kepada kandidat. Polarisasi etnik disini memberikan keuntungan bagi pengusaha Cina...” Wawancara tanggal 28122011. Merujuk penjelasan di atas, maka afliasi dalam ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu: 1 kelompok afiliasi pengusaha Cina dengan aktor politisibirokrat asal etnik Muna dan Tolaki Cina-Muna-Tolaki; dan 2 kelompok afiliasi pengusaha Bugis dan Buton dengan aktor politisi atau birokrat dari etnik yang sama lihat Tabel 7.3. Terpolarisasinya kelompok afiliasi tersebut, kemudian membentuk pola pertarungan antar aktor dalam bentuk pertarungan modal ekonomi, dimana aktor baik pengusaha maupun politisi atau birokrat mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya. Pertarungan tersebut, disatu sisi memberikan keuntungan bagi aktor pengusaha baik Cina, Buton, dan Bugis karena dapat mengakumulasi modal ekonomi tanpa adanya rivalisasi dengan etnik lainnya, disisi lain, aktor politik atau birokrat mampu menjaga eksistensinya di tengah-tengah massa masyarakat karena memiliki modal yang dapat digunakan untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan politiknya. Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan ekonomi-politik antar aktor senantiasa terkait dengan sejarah etnisitas dan rivalitas ekonomi. Dalam sejarah ini, aktor yang terdominasi akan berusaha melakukan “perlawanan” agar dapat mendominasi kekuasaan ekonomi-politik. Tabel 7.3. Afiliasi Aktor di Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi-Politik. Aktor Politik Aktor Pengusaha Bugis Buton Cina Politisi Birokrat Bugis Pengusaha Bugis lebih merasa nyaman ketika memberikan bantuan pinjaman kepada aktor politisibirokrat dari etnik yang sama; Demikian sebaliknya, politisibirokrasi Bugis merasa mudah memperoleh bantuan dan mengembalikan nantinya. Dibandingkan dengan dua etnik lainnya, pengusaha Buton lebih merasa tenang ketika bantuan pinjaman diberikan kepada aktor politisibirokrat dari etnik Bugis. Hal ini disebabkan kebanyakan dari mereka adalah pengusaha sebelum memasuki arena politik. Buton Seperti halnya pengusaha Buton. Pengusaha Bugis lebih merasa tenang memberikan dukungan pendanaan kepada aktor politisi asal Buton. Sebaliknya, aktor politisi Buton merasa yakin memperoleh dukungan dalam rivalisasi politik lokal. Ikatan emosional sesama etnik merupakan pondasi trust, sehingga bantuan pinjaman yang diberikan akan dengan mudah dikembalikan Muna Dukungan pengusaha Cina kepada politisibirokrat asal etnik Muna sebagai strategi untuk mengakumulasi modal ekonomi. Sebaliknya, aktor politisi Muna bahwa afiliasi dengan Cina bisa memperoleh keuntungan modal sosial maupun ekonomi. Tolaki Seperti halnya dengan etnik Muna, dukungan pengusaha Cina kepada politisibirokrat asal etnik Tolaki sebagai strategi untuk mengakumulasi modal ekonomi. Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Strategi-strategi Aktor Pada sub bab sebelumnya, peneliti telah menunjukkan bahwasanya ruang pertarungan aktor didominasi prinsip hierarki heteronom yang mengutamakan kekuatan modal dan berorientasi pada keuntungan yang diperoleh aktor. Artinya, prinsip hierarki otonom yang mengutamakan kekuatan modal simbolis tersisihkan dan hanya ditempatkan sebagai instrumen untuk mewujudkan kepentingan aktor. Jika demikian halnya, maka pertarungan-pertarungan tersebut hanyalah sebentuk permainan aktor yang digunakannya untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya dalam arena ekonomi politik lokal. Tentang hal tersebut, Bourdieu menyatakan “...strategi adalah produk dari rasa praktis seperti halnya rasa permainan buat suatu permainan yang partikular dan historis –rasa yang diperoleh semasa kanan-kanak, dengan cara berpartisipasi dalam aktivitas sosial...” Bourdieu 2011:82 Mencermati pendapat Bourdieu di atas, maka strategi aktor dapat dilacak dari modus ruang pertarungan aktor yang berlangsung dalam arena ekonomi politik lokal. Dalam konteks studi ini, mereka yang bertarung adalah aktor kampus akademisi, politisi dan birokrat, NGOLSM, dan pengusaha yang masing-masing memiliki habitus dan kekuatan modal berbeda-beda. Namun, hampir semua aktor terkecuali out-actor dan NGOLSM besar senantiasa menempatkan distingsi identitas etnik sebagai instrumen untuk memenangkan pertarungan. Untuk itu, penempatan strategi akan tidak dibedakan berdasarkan basis etnisitas aktor. Melainkan mengidentifikasi strategi-startegi yang dimainkan aktor dengan terlebih dahulu memetakan strategi yang diproduksi dari relasi antar aktor. Dengan demikian, terdapat empat strategi yang diproduksi dari relasi antar aktor, yaitu: 1 strategi yang diproduksi dari relasi aktor kampus akademisi– NGOLSM; 2 strategi yang diproduksi dari relasi aktor kampus akademisi– politisibirokrat–pengusaha; 3 strategi yang diproduksi dari relasi aktor NGOLSM–pengusaha–politisibirokrat; dan 4 strategi yang diproduksi dari relasi aktor politisibirokrat–pengusaha. Adapun uraian keempat hal tersebut, sebagaimana dijelaskan pada bagian berikut tulisan ini lihat Gambar 7.2. Gambar 7.2. Strategi Aktor In-Actors dan Out-Actors Berdasarkan Modus Pertarungan Aktor. Aktor Akademisi–NGOLSM Relasi antar aktor akademisi dengan NGOLSM cenderung terpolarisasi menjadi dua bagian, yaitu pertama, relasi antar aktor NGOLSM lokal dengan aktor kampus yang terkategori in-actors; dan kedua, relasi antar aktor NGOLSM besar memiliki jaringan nasional dengan aktor kampus yang terkategori out- actors. Polarisasi tersebut disebabkan perbedaan habitus dan pemaknaan aktor atas distingsi identitas etnik yang begitu kental di lokasi studi. Akibat dari polarisasi tersebut, menyebabkan masing-masing kelompok relasi menciptakan dan memainkan strategi berdasarkan kekuatan modal yang dimilikinya. Setidaknya terdapat dua bentuk strategi yang diproduksi dari relasi aktor NGOLSM lokal–in-actors, yaitu: 1 strategi reproduksi simbolik, merupakan proses pemeliharaan atau pelestarian symbolic power berisi sejarah pertentangan antar etnik yang dimiliki masing-masing entitas etnik dari satu generasi ke generasi berikutnya. MODUS PERTARUNGAN AKTOR Praktik Kuasa Simbolis, Ekonomi, dan Politik In-actors Out-actors STRATEGI AKTOR Akademisi, Politisi, Birokrat, NGOLSM, dan Pengusaha NGO-Akademisi PolitisiBirokrat-Akademisi- Pengusaha NGO-PolitisiBirokrat- Pengusaha PolitisiBirokrat-Pengusaha NGO-Akademisi PolitisiBirokrat- Akademisi-Pengusaha NGO-PolitisiBirokrat- Pengusaha PolitisiBirokrat-Pengusaha Strategi reproduksi simbolik; investasi simbolik; invasi kekuasaan; invasi ekonomi; dukungan simbolik Strategi reproduksi wacana; membangun aliansi; edukatif; penyusupan simbolik; perlawanan Tabel 7.4. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor Akademisi–NGOLSM. Aktor NGOLSM Akademisi In-Actors Out-Actors Lokal • Strategi reproduksi simbolik; dan • Strategi investasi simbolik. Besar Jaringan Nasional • Strategi reproduksi wacana; • Strategi membangun aliansi; dan • Strategi edukatif. Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Disebabkan sebagian besar aktor atau aktivis NGOLSM lokal merupakan lulusan kampus negeri maupun swasta daerah, maka in-actors aktor yang lahir dan besar di daerah melakukan “kadernisasi” dengan media kampus sekolah sebagai instrumen; dan 2 strategi investasi simbolik, merupakan tindakan aktor untuk melestarikan modal simbolik 113 yang dimilikinya. Strategi ini bertujuan agar aktor mendapatkan pengakuan terhadap posisinya dan pengesahan dalam kehidupan sosialnya. Berbeda dengan di atas, relasi aktor NGOLSM besar memiliki jaringan nasional–out-actors memproduksi tiga strategi, yaitu: 1 strategi reproduksi wacana, merupakan heterodoxy yang mempertentangkan realitas simbolik yang kaku dengan wacana-wacana multikukturalisme dan kondisi aktual sebagai dampak dari relasi-relasi yang dibangun atas dasar etnisitas. Strategi ini bertujuan agar setiap orang berhak memperoleh akses yang sama terhadap kekuasaan politik maupun ekonomi; 2 strategi membangun aliansi, adalah strategi yang dilakukan aktor untuk membangun agenda kolektif yang lebih bersifat praksis dengan menitikberatkan pembauran aktor dari beragam latar belakang etnisitas. Adapun strategi ini bertujuan menciptakan kesadaran bersama akan bahaya kolektivitas etnik yang masif; dan 3 strategi edukatif, adalah usaha yang dilakukan aktor untuk menghasilkan pelaku-pelaku sosial baru yang bisa dengan cakap mewarisi modal yang dimiliki aktor tersebut lihat Tabel 7.4. 113 Sekedar mengingatkan bahwa modal simbolik yang dimiliki aktor, antara lain: keturunan bangsawan golongan atas dari pelapisan sosial tradisional, ketua paguyuban kelompok etnik, ketua organisasi masyarakat, dan dosenguru. Aktor Akademisi–PolitisiBirokrat–Pengusaha Dibandingkan dengan sebelumnya, relasi antar aktor yang memproduksi strategi ini cukup variatif. Meski demikian, terdapat beberapa kesamaan strategi yang diproduksi dari relasi antar aktor. Sebagai misal relasi politisibirokrat–in- actors memiliki bentuk strategi yang sama dengan relasi aktor NGOLSM lokal– in-actors. Hal menarik dari temuan penelitian ini adalah adanya bentuk strategi baru yang dilakukan aktor untuk melepaskan diri dari tekanan struktur obyektif di lokasi studi. Adapun strategi yang dimaksud adalah strategi penyusupan simbolik yang terbentuk dari relasi akademisi kategori out-actors–aktor politisibirokrat. Strategi ini bertujuan melakukan penyusupan dengan menggunakan instrumen kesamaan identitas etnik dengan politisibirokrat. Bilamana penyusupan dianggap berhasil, maka out-actors melakukan reproduksi wacana dan edukatif di institusi-institusi politik maupun birokrat yang sarat dengan distingsi identitas etnik. Kondisi ini sebagaimana diungkapkan informan berinisial SAI, “tidak ada cara lain agar wacana multikulturalisme dapat diterima disini, selain menyusup. Dengan menyusup, maka kita dapat mendekonstruksi wacana yang ada dengan wacana yang baru, lalu melakukan edukasi-edukasi” Wawancara tanggal 22122011. Tabel 7.5. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor Akademisi– PolitisiBirokrat–Pengusaha. Aktor Akademisi In-Actors Out-Actors PolitisiBirokrat • Strategi reproduksi simbolik; • Strategi investasi simbolik. • Strategi penyusupan simbolik. Pengusaha • Strategi invasi ekonomi; dan • Strategi dukungan wacana. • Strategi perlawanan. Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Selanjutnya bentuk strategi yang diproduksi dari relasi in-actors–pengusaha adalah strategi invasi ekonomi dan dukungan wacana. Strategi invasi ekonomi bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya. Bagi in-actors, relasi yang dijalin dengan pengusaha berdampak terhadap peningkatan modal ekonomi yang dimilikinya. Sebaliknya, bagi pengusaha bahwa dukungan wacana yang positif argumentasi-argumentasi ilmiah dari in-actors tentang usaha yang dibangunnya, memiliki dampak terjadinya peningkatan modal ekonomi atau setidaknya bertahan seperti yang sudah dimiliki sebelumnya. Kondisi tersebut berbeda ketika relasi yang terbangun antar pengusaha–out-actor, strategi yang diproduksi adalah strategi perlawanan, dimana setiap usaha ekonomi yang dilakukan pengusaha akan mendapatkan perlawanan dari out-actor. Biasanya, out-actor melakukan perlawanan dalam bentuk gugatan atas kerusakan lingkungan dan sosio-ekonomi warga yang ditimbulkan dari pembangunan yang diiniasi oleh pengusaha lihat Tabel 7.5. Aktor NGOLSM–PolitisiBirokrat–Pengusaha Seperti uraian dan penjelasan sebelumnya, relasi yang dibangun dari aktor- aktor ini membentuk enam strategi berdasarkan konteks masing-masing relasinya. Relasi NGOLSM lokal–politisibirokrat memproduksi dua strategi, yaitu strategi reproduksi simbolik dan strategi invasi kekuasaan. Dari dua strategi tersebut, hal yang berbeda dengan sebelumnya adalah strategi invasi kekuasaan. Strategi ini bertujuan mempertahankan dan memperluas kekuasaan aktor dari kekuasaan yang dimiliki sebelumnya. Tabel 7.6. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor NGOLSM– PolitisiBirokrat–Pengusaha. Aktor NGOLSM Lokal Besar Jar. Luas PolitisiBirokrat • Strategi reproduksi simbolik; dan • Strategi invasi kekuasaan. • Strategi reproduksi wacana • Strategi perlawanan Pengusaha • Strategi invasi ekonomi; dan • Strategi dukungan simbolik. Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Dalam konteks studi ini, maka aktor politisi atau birokrat berkepentingan mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Bagi aktor politisi maupun birokrat, membangun relasi dengan NGOLSM lokal, akan memperoleh keuntungan ganda, yaitu: 1 kekuasaan aktor akan bertahan karena memperoleh dukungan NGOLSM lokal; dan 2 kemungkinan kekuasaan aktor akan bertambah luas disebabkan politisi maupun birokrat memiliki kemampuan mengakumulasi modal sosial yang dimiliki NGOLSM lokal tersebut. Selanjutnya relasi antar pengusaha–NGOLSM lokal memproduksi dua bentuk strategi, yaitu strategi invasi ekonomi dan strategi dukungan simbolik. Khusus strategi yang terakhir, merupakan tindakan pendukungan aktor terhadap aktor lainnya disebabkan adanya share yang diperoleh dari relasi antar aktor. Dalam hal ini, pengusaha akan merasa tenang dan dapat memperluas kekuasaan ekonominya disebabkan LSM lokal yang memiliki kemampuan memobilisasi [identitas] etnik massa berbasis etnik mendukung aktivitas ekonomi yang dijalankan aktor tersebut. Kemudian relasi NGOLSM besar–politisibirokrat– pengusaha memproduksi dua bentuk strategi, yaitu strategi reproduksi wacana dan strategi perlawanan lihat Tabel 7.6. Aktor PolitisiBirokrat–Pengusaha Meski relasi antar aktor ini tidak sekompleks dengan sebelumnya, namun dari relasi yang cenderung equal ini membentuk tiga strategi, yaitu strategi invasi kekuasaan, strategi invasi ekonomi, dan strategi dukungan modal. Strategi invasi kekuasaan bertujuan mempertahankan dan memperluas kekuasaan aktor dari kekuasaan yang dimiliki sebelumnya. Meski strategi ini menguntungkan aktor politisi atau birokrat, tetapi pengusaha menganggap bahwa dengan membantu mempertahankan atau memperluas kekuasaan politisibirokrasi, maka akan berdampak terhadap keamanan dan perluasan kekuasaan ekonomi yang akan dilakukan aktor ini. Tabel 7.7. Strategi yang Diproduksi dari Relasi PolitisiBirokrat–Pengusaha. Aktor PolitisiBirokrat Pengusaha • Strategi invasi kekuasaan; • Strategi invasi ekonomi; dan • Strategi dukungan simbolik Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Selanjutnya telah disebutkan bahwa invasi ekonomi atau dapat juga disebut strategi kapital ekonomi Rusdiarti 2004:57-60 bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki aktor. Sifat ekspansif yang embedded dalam diri pengusaha dan keingan politisibirokrat untuk menambah modal ekonomi yang dimiliki sebelumnya menempatkan strategi ini memainkan peran yang cukup penting. Sebagaimana ditunjukkan dalam pesta demokrasi lokal, yakni pilkada. Kemudian strategi yang terakhir adalah dukungan simbolik. Kekuasaan yang dimiliki aktor politisi dan birokrat untuk memobilisasi massa berbasis etnik memberikan keuntungan tersendiri bagi pengusaha untuk mengamankan asset dan memperluas usaha yang dimilikinya.

BAB VIII FORMASI IDENTITAS ETNIK DALAM ARENA

EKONOMI POLITIK LOKAL Suatu yang ahistoris, ketika kita menafikkan keberadaan dan eksistensi identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Disebabkan identitas etnik melekat dalam kuasa simbolis, ekonomi, dan politik sebagaimana ditunjukkan dari hasil penelitian ini. Distingsi identitas etnik sebagai kondisi obyektif dijadikan instrumen oleh aktor mengakibatkan massa terseretnya ke dalam basis etnisitasnya masing-masing. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa demokrasi ekonomi maupun politik, mustahil tercapai apabila “variabel” identitas etnik [sengaja] ditiadakan sebagai realitas yang hidup di tengah-tengah masyarakat kita. Menelusuri bekerjanya identitas etnik sebagai instrumen dalam arena ekonomi politik lokal, dapat dimulai dari melihat posisi subyektif aktor ketika memainkan peran yang menentukan tersebut. Disebabkan arena ekonomi politik lokal merupakan arena kekuasaan yang didalamnya terdapat pertarungan-pertarungan, maka aktor mereproduksi distingsi identitas etnik untuk memenangkan sejumlah pertarungan, seperti: pertarungan kekuasaan simbolis, kekuasaan politik, dan ekonomi. Meski awalnya terdapat aktor dan massa yang berorientasi prinsip otonom mengutamakan modal simbolik, namun seiring dengan perjalanan waktu dan pengalaman yang dialami aktor menyebabkan terjadinya disposisi orientasi aktor ke prinsip heteronom. Akibatnya, aktor lebih berorientasi keuntungan dan menempatkan modal simbolik sebagai instrumen aktor yang bekepentingan mengakumulasi kekuasaan melalui mobilisasi identitas etnik bersifat negatif. Walau demikian, masih ditemukan beberapa aktor yang mengambil posisi berbeda, yakni kategori out-actors. Selanjutnya jika formasi identitas etnik didefinisikan tampilnya beberapa praktik secara bersamaan, 114 dimana salah satu praktik mendominasi praktik lainnya, maka pertanyaannya manakah diantara ketiga praktik yang lebih 114 Dari praktik-praktik aktor yang dianalisis dalam penelitian ini, teridentifikasi tiga moda praktik, yaitu moda praktik kekuasaan simbolis, moda praktik kekuasaan ekonomi, dan moda praktik kekuasaan politik lihat Bab VI, hal. 154-167. mendominasi? Menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan pengidentifikasian setiap praktik yang terjadi dalam arena ekonomi politik lokal. Penelitian ini menunjukkan dari ketiga artikulasi praktik dalam arena ekonomi politik lokal yang menjadi fokus studi ini, praktik kekuasaan politik memiliki kecenderungan mendominasi dibandingkan dua praktik lainnya. Hal ini dapat dilihat dari prinsip hierarki, mobilisasi [identitas] etnik, dan struktur pembentukan identitas etniknya. Dengan kata lain, penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa di dalam praktik kekuasaan politik terdapat modal ekonomi dan simbolik yang merupakan modal utama bagi aktor untuk meraih kekuasaan. Kedua modal inilah yang kemudian digunakan aktor untuk mengakumulasi modal lainnya, seperti modal budaya dan sosial sebagai upaya aktor untuk memperluas pengaruhnya lihat Tabel 8.1. Dengan demikian, hasil penelitian ini mengukuhkan kebenaran pendapat Bourdieu yang mengatakan bahwa keberadaan modal ekonomi dapat dipertukarkan dengan modal lainnya, sedangkan modal simbolik memungkinkan agen memperkuat kedudukannya di mata masyarakat Bourdieu 1955:166. Tidak itu saja, penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena pertarungan aktor dalam arena ekonomi politik lokal tidak dapat dipisahkan dengan perebutan kekuasaan politik. Sehingga strategi-strategi yang digunakan aktor dalam arena ekonomi politik lokal bertujuan merebut kekuasaan politik dalam rangka mengokohkan legitimasi yang dimilikinya. Berangkat dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa formasi identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal adalah formasi kekuasaan the formation of power yang sarat dengan identitas etnik. Adapun formasi tersebut didasarkan pada relasi transaksional antar aktor dengan massa. Kondisi obyektif identitas etnik yang melekat dalam diri aktor dan kelompok etnik direproduksi sebagai modal simbolik yang memberikan keuntungan aktor yang bertarung dalam arena tesebut. Tabel 8.1. Identifikasi Praktik dalam Arena Ekonomi Politik Lokal. Praktik Prinsip Hierarki Mobilisasi [Identitas] Etnik Struktur Pembentukan Identitas Etnik Otonom Heteronom Positif Negatif Skala Besar Terbatas 1. Kekuasaan Simbolis Aktor memiliki modal simbolik dan budaya. Afiliasi dan deafiliasi antar etnik • Aktor melakukan orthodoxi afiliasi etnik melalui sejarah etnisitas; • Aktor mempertemukan sejarah etnik dan pengalaman aktor. 2. Kekuasaan Ekonomi Aktor memiliki kekuatan modal ekonomi dan berorientasi keuntungan. • Membangun doxa “Bugis-Buton” sebagai penguasa ekonomi perdagangan, sebagai kebanggaan simbolik massa; • Doxa bagi etnik Muna dan Tolaki sebagai buruh dan pekerja. • Menarik dukungan simbolik melalui relasi patron- klien; • Relasi transaksional antar pengusaha dengan politisi. Aktor dengan modal ekonomi yang dimilikinya memperkerjakan massa baik yang memiliki basis etnik sama maupun tidak untuk memperoleh dukungan simbolik. 3. Kekuasaan Politik Modal simbolik dan ekonomi digunakan aktor untuk melakukan relasi trasaksional dengan massa. Aktor menggunakan modal simbolik dan ekonomi untuk menarik dukungan massa. Aktor melakukan pembentukan etnik skala besar dan terbatas untuk memenangkan pertarungan kekuasaan politik. Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Itulah, mengapa sebagian besar informan peneliti mengatakan “kekuasaan politik dapat diraih aktor apabila memiliki dukungan komunitas etnik dan memiliki modal ekonomi uang. Bagi aktor, uang penting untuk ‘memilihara’ basis komunitas agar senantiasa memberikan dukungannya”. Disini, aktor bertindak sebagai produsen yang mereproduksi modal simbolik dan ekonomi dan massa bertindak konsumen yang menerima tawaran produsen dengan memberikan dukungan kepada tindakan aktor. Tampilnya formasi di atas, semakin mempertegas bahwa muara dari pertarungan antar aktor dalam arena ekonomi politik lokal adalah untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politik. Tidak itu saja, fenomena tersebut sekaligus memberikan jawaban bahwa banyaknya aktor yang tertarik masuk ke dalam kekuasaan politik disebabkan kekuasaan ini merupakan bentuk legitimasi aktor yang tertinggi dibandingkan dengan kekuasaan ekonomi maupun simbolis. Menyimak penjelasan sebelumnya, pertanyaannya adalah bagaimana relevansi formasi yang terbentuk terhadap masa depan desentralisasi dan demokrasi ekonomi maupun politik di lokasi studi khususnya dan Indonesia umumnya? Atas pertanyaan ini, peneliti terlebih dahulu akan menguraikan pola formasi kekuasaan sebagai pijakan menjawab pertanyaan tersebut. Pola Formasi Kekuasan pada Masyarakat Majemuk Pola formasi kekuasaan pada masyarakat majemuk terkait dengan struktur, tatanan, dan aturan aktor ketika merespon kondisi obyektif-subyektif yang terjadi dalam arena ekonomi politik lokal. Hasil penelitian ini menunjukkan struktur pembentukan identitas etnik terdiri dari dua, yaitu struktur pembentukan identitas etnik skala besar dan struktur pembentukan identitas etnik terbatas. 115 Kedua struktur tersebut, memiliki perbedaan tatanan yang dibangun. Jika struktur pembentukan identitas etnik skala besar merupakan kohesi modal simbolik yang dibangun aktor dengan massa kelompok etnik di inter dan antar kelompok 115 Uraian definisi struktur pembentukan identitas dijelaskan pada Bab IV, hal. 128-136.