Strategi Kuantitas Mendominasi FORMASI IDENTITAS ETNIK DALAM ARENA
pemilu kepala daerah terjadi pada tahun 2010 ICG 2010:25-27.
122
Terkait dengan kondisi obyektif identitas etnik dan pilkada, LSI menyebutkan bahwa latar
belakang etnis kandidat sedikit banyak mempengaruhi pilihan pemilih. Ini terutama terjadi di wilayah-wilayah yang mempunyai perimbangan etnis— ada
dua atau lebih suku dominan di wilayah tersebut LSI 2008:19-22. Persoalan semakin pelik, ketika fenomena shadow state yang hampir ditemukan di seluruh
wilayah Indonesia Hidayat et. al. 2006. Mencermati rangkaian persoalan di atas, bukanlah hal yang mudah untuk
menyatukan kehendak sosial 761 etnik di Indonesia. Kesalahan pendekatan memperlakukan heterogenitas pada masyarakat Indonesia mengakibatkan
kegagalan transformasi yang diharapkan di era desentralisasi, sebagaimana ilustrasi yang telah disinggung sebelumnya. Berbeda dengan penelitian
sebelumnya, studi ini menemukan bahwa desentralisasi yang tidak diikuti dengan pembacaan yang teliti dan cermat, serta pendekatan yang sesuai konteks
kemajemukan akan menyebabkan terjadinya kegagalan transformasi yang diharapkan dari desentralisasi otonomi daerah. Adapun kegagalan transformasi
yang dimaksud adalah golongan muda yang terbelah dan mandulnya reproduksi kepemimpinan nasional.
Golongan Muda yang Terbelah dan Masa Depan Pedesaan
Salah satu temuan monumental dari studi ini adalah pola formasi dominasi dalam arena ekonomi politik lokal. Formasi ini mengisyaratkan adanya
reproduksi distingsi identitas etnik yang dilakukan aktor untuk mempertahankan kekuasaan politiknya dengan strategi melakukan reproduksi dan investasi
simbolik.
123
Mereka aktor yang sebagian besar melakukan strategi tersebut,
9,8 persen di Maluku Utara. Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur masing-masing mencatat 4,1 persen. Sisanya, 17,1 persen, tersebar di provinsi-provinsi lainnya.
122
ICG mengambil sumber-sumber dari kasus-kasus kekerasan dari berbagai laporan media terutama koran-koran setempat dan daftar kejadian pemilu kada di dalam tahun 2010 yang dimiliki
Bawaslu. Sampai dengan 25 November 2010, ada 215 pemilu kada dari 244 yang terjadwal yang telah memiliki hasil tetap.
123
Strategi reproduksi simbolik adalah proses pemeliharaan atau pelestarian symbolic power berisi sejarah pertentangan antar etnik yang dimiliki oleh masing-masing entitas etnik dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan strategi investasi simbolik adalah tindakan aktor untuk melestarikan modal simbolik yang dimilikinya. Adapun tujuan strategi ini agar aktor
mendapatkan pengakuan terhadap posisinya dan pengesahan dalam kehidupan sosialnya.
adalah aktor dalam in-actors dengan latar belakang beragam, seperti: akademisi, NGOLSM lokal, dan politisibirokrat.
Peneliti menemukan bahwa reproduksi simbolik dilakukan in-actors melalui praktik kekuasaan simbolis. Serangkaian aktivitas baik yang bersifat
formal maupun non-formal
124
dilakukan in-actors untuk memelihara atau melestarikan symbolic power dari satu generasi ke generasi lainnya. Bahkan di
perguruan tinggi, sebagian besar in-actors tersebut melakukan reproduksi simbolik dengan pola senior-yunior patron-klien bias etnik.
125
Dalam hal ini, senior bertindak sebagai patron yang menanggung kebutuhan hidup atau
“memelihara” klien yunior selama berada di kampus atau ketika klien belum memiliki penghasilan tetap. Disinilah strategi reproduksi simbolik terjadi dan
sekaligus strategi senior aktor melakukan investasi simbolik. Ibarat “sekali mendayung dua tiga pulau terlampau”, aktor semakin mempertegas legitimasinya
melalui strategi tersebut. Selanjutnya relasi patron-klien tersebut, bermanfaat ketika terjadinya
suksesi kepemimpinan, seperti pemilihan rektordekan, pilkada, dan lain sebagainya.
126
Disini, aktor menggunakan relasi tersebut untuk kepentingan kekuasaannya. Tentang hal ini, responden berinisial PNL mengungkapkan:
“...sejarah pertentangan etnik selalu direproduksi elit, termasuk aktor- aktor di kampus melakukan hal ini. Parahnya ini diturunkan kepada
orang yang ‘berkulit dua’. Maksudnya orang tersebut punya modal kalo jalan sendiri dan menghadapi yang lain...Pola senior-yunior ini
dianggap ampuh kalo ingin berkuasa di kampus maupun daerah...” Wawancara tanggal 18112011.
124
Aktivitas formal dalam bentuk seminar, lokakarya, dan penerbitan buku-buku sejarah kebudayaan dan kekuasaan etnisitasnya. Sedangkan aktivitas non-formal dilakukan melalui
diskusi-diskusi kecil, diskusi mahasiswa, dan volkor.
125
Umumnya senior adalah dosen staf pengajar di perguruan tinggi tersebut. Adapun yunior adalah mahasiswa yang menempuh pendidikan atau mereka yang sudah lulus dari kuliah
dan belum memiliki pekerjaan yang tetap.
126
Relasi patron-klien ini sekaligus menjawab mengapa doxa kekuasaan kampus selalu dilekatkan dengan basis etnik. Sebagai misal, di Unhalu universitas negeri yang terkenal di daerah
ini yang terdiri dari 12 fakultas selalu diidentikan dengan dominasi kekuasaan oleh etnik tertentu. Fakultas Hukum didominasi etnik Tolaki; FMIPA didominasi etnik Bugis, Muna, dan Tolaki;
FKIP didominasi etnik Muna; Fakultas Ekonomi didominasi etnik Bugis; Fakultas Pertanian didominasi etnik Buton; Fakultas Peternakan didominasi etnik Buton; Fakultas Perikanan
didominasi etnik Muna, Buton, dan Bugis; Fakultas Tekhnik dan FISIPOL didominasi etnik Tolaki; Fakultas Kedokteran didominasi etnik Bugis, Fakultas Pascasarjana didominasi etnik
Muna; dan FKM didominasi etnik Tolaki.
Pola yang mirip berlaku untuk aktor NGOLSM lokal yang umumnya dari golongan muda. Sebagian besar aktor ini adalah jebolan perguruan tinggi daerah
yang mendirikan LSM lokal untuk dua kepentingan. Disatu sisi, aktor berkepentingan menjadikan lembaga tersebut sebagai media reproduksi simbolik
sekaligus membangun investasi simbolik dengan baik;
127
dan disisi lain, berkepentingan sebagai “perpanjangan tangan” aktor politisibirokrat di lapangan
dan memperoleh keuntungan ekonomi dibalik relasi ini. Dalam perjalanannya, kemudian LSM-LSM lokal tersebut semakin menunjukkan dukungannya terhadap
aktor politisibirokrat tertentu, yang begitu nampak ketika terjadinya suksesi kepemimpinan daerah. Sebagaimana diungkapkan informan berinisial SLA:
“...saya tidak perlu mengungkapkan LSM-LSM lokal mana saja yang begitu nampak mendukung kandidat dari basis etnik tertentu saat
pilkada. Selain dapat dibaca dari konteks kedekatan simbolik, juga dapa dibaca dari kepentingan ekonomi dari para aktivis LSM-LSM
tersebut...” Wawancara tanggal 5012012.
Meski pola formasi dominasi begitu kuat berlangsung di lokasi studi, bukan berarti tidak terdapat satu pun aktor yang melakukan heterodoxy tandingan atas
realitas tersebut. Studi ini menemukan bahwa terdapat pola formasi terdominasi yang kebanyakan dilakukan mereka yang terkategiri out-actors. Kebanyakan dari
aktor tersebut, saat ini berprofesi sebagai dosen dan aktivis NGOLSM yang memiliki jaringan luas. Dengan kekuatan modal budaya dan sosial yang mereka
aktor miliki, para aktor menerapkan strategi penyusupan simbolik, reproduksi wacana, aliansi strategis, dan edukatif.
Kuatnya pengaruh struktur kelompok etnik ketika membangun afiliasi, menyebabkan para aktor melakukan penyusupan untuk mendekonstruksi tindakan
aktor lainnya in-actors yang sarat dengan kepentingan kekuasaan politik. Ketika berhasil melakukan penyusupan, aktor mereproduksi wacana yang lepas
dari distingsi identitas etnik, seperti: ketimpangan pembangunan, ketidakadilan gender, diskriminatif antar lapisan atau kelompok etnik, dan lain sebagainya.
Aktor berharap dengan melakukan reproduksi wacana tersebut melalui afiliasi bias etnis, akan membuka kesadaran memperlakukan perbedaan identitas etnik
127
Ini dapat dilihat dari mereka yang bergabung dalam LSM yang sebagian besar memiliki etnisitas yang sama dengan aktor LSM tersebut.
sebagaimana kondisi obyektif di lokasi studi. Meski belum teroganisir dengan baik, out-actors juga melakukan hal yang sama kepada mereka yang belum
“divirusi” wacana pertentangan simbol-simbol etnisitas. Hal ini sebagaimana dikemukakan informan peneliti berinisial SLA dan SAI:
“...di kampus, saya dan teman-teman berusaha membangun wacana lain kepada mahasiswa yang belum divirusi tentang sesuatu yang berbau
etnis. Saya katakan kepada mereka bahwa banyak teman dari lintas etnik membuat hidup kita menjadi mudah...” ungkap SLA Wawancara
tanggal 5012012.
“...kelompok aktor yang tidak sesuai dengan sesuatu yang benuansa etnik sebenarnya sudah banyak disini. Kebanyakan aktor ini berasal
dari alumni luar bukan Unhalu. Tetapi memang belum terorganisir dengan baik dan masih minoritas dibadingkan kelompok aktor yang
senantiasa menjadikan identitas sebagai instrumen kekuasaan...” ungkap SAI Wawancara tanggal 5012012.
Tidak itu saja, aktor ini juga membangun aliansi strategis yang bersifat emosional dan terbatas diantara mereka. Umumnya, basis aliansi tersebut diikat
oleh kesamaan basis organisasi ketika mahasiswa dan alumni perguruan tinggi tertentu, seperti: basis organisasi Himpunan Mahasiswa Islam HMI dan alumni
Universitas Hasanuddin UNHAS. Melalui aliansi ini, mereka melakukan strategi edukatif, yaitu usaha untuk menghasilkan pelaku-pelaku sosial baru yang bisa
dengan cakap mewarisi modal yang dimiliki aktor tersebut. Apa yang hendak peneliti katakan dari uraian di atas, bahwa posisi in-actors
dan out-actors merupakan bentuk artikulasi dari golongan muda yang terbelah divided youth groups. Disatu sisi, terdapat sekelompok golongan muda yang
mewarisi distingsi identitas etnik untuk dijadikan sebagai instrumen kekuasaan; dan pada sisi lain, terdapat sekolompok golongan muda yang berusaha keluar dari
kondisi obyektif dengan melakukan serangkaian gerakan pembaharuan melalui strategi reproduksi wacana dan edukatif. Berangkat dari dua sisi golongan muda
tersebut, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dampak yang dihadirkan dari relasi fenomena divided youth groups dengan masa depan pedesaan?
Menjawab pertanyaan di atas, maka posisi aktor yang mendominasi sangat menentukan. Bilamana posisi aktor yang mendominasi adalah in-actors,
dipastikan masa depan pedesaan akan dimanfaatkan aktor sebagai basis untuk melakukan mobilisasi [identitas] etnik. Bentuk-bentuk mobilisasi dapat dilakukan
melalui penentuan program-program pembangunan yang bias etnik tertentu. Disini, etnik mayoritas akan memperoleh kekuasaan yang lebih atas program-
program pembangunan, sedangkan etnik minoritas dalam desa akan tersisihkan dan memiliki peluang yang kecil untuk mengakses program-program
pembangunan. Jika demikian halnya, maka kesenjangan antar etnisitas adalah keniscayaan yang tak dapat dihindari. Sebaliknya, bilamana out-actors
mendominasi, maka distingsi identitas etnik akan dapat diminimalisasi, sehingga kedudukan etnisitas yang mayor maupun minor akan memiliki posisi yang sama.
Dalam hal ini, isu-isu yang dikembangkankan aktor bukan seputar distingsi identitas etnik, melainkan seputar diskriminasi program, ketidakadilan,
ketimpangan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, fenomena tersebut menunjukkan bahwa desentralisasi
telah menciptakan satu bentuk kegagalan transformasi yang diharapkan dari bangsa ini. Antisipasi yang tidak cerdas terhadap kondisi obyektif distingsi
identitas etnik pada masyarakat majemuk menyebabkan terbentuknya divided youth groups. Divided youth groups berakar dari perbedaan mengartikulasikan
kondisi obyektif perbedaan identitas etnik, dimana realitas etnisitas senantiasa dipandang sebagai sejarah penaklukan etnik yang satu dengan etnik lainnya
sehingga kata-kata “menang-kalah”, “dominasi-terdominasi”, dan lain sebagainya senantiasa direproduksi dalam bentuk pertentangan simbolik. Sebaliknya,
heterogenitas atau kemajemukan tidak dipandang sebagai sesuatu yang dapat disatukan sebagai modal sosial untuk membangun bangsa yang majemuk ini.
Fenomena seperti ini akan terus berlanjut dan terwarisi, apabila tidak adanya upaya untuk meletakkannya dengan baik, sehingga identitas etnik yang
terus direproduksi mengakibatkan mandulnya reprodudksi kepemimpinan nasional. Padahal kenyataannya, heterogenitas etnisitas sangat memungkinkan
melahirkan kepemimpinan nasional yang berasal dari daerah.
Mandulnya Reproduksi Kepemimpinan Nasional
Tulisan ini sengaja peneliti tampilkan sebagai refleksi atas pertanyaan kritis dari salah seorang peserta seminar hasil penelitian ini, yaitu bagaimana temuan
peneliti dapat digunakan untuk menganalisis reproduksi kepemimpinan nasional
pada masyarakat majemuk? Pertanyaan ini dapat lagi dikembangkan, seperti: mengapa kepemimpinan nasional selalu didominasi dari etnik Jawa?
128
apakah mungkin kepemimpinan nasional dapat lahir dari etnik non-Jawa? dan mampukah
desentralisasi atau otonomi daerah memberikan jawaban atas pertanyaan pertama? Berbekal dari studi empirik ini, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
dapat diberikan dengan landasan argumentatif ilmiah yang jelas. Setidaknya, studi ini menunjukkan bahwa fenomena kebangkitan identitas etnik politik identitas
yang mulai nampak di medio dan akhir 90-an, merupakan dampak dari keberhasilan rezim Orde Baru mengontrol kekuatan [identitas] etnik yang
embedded di dalam sistem sosio-kultur masyarakat kita. Tentang hal ini, faktor terpenting untuk dicatat adalah tekanan rezim yang begitu kuat melalui kebijakan
modernisasi awal tahun 70-an dan pendekatan yang menitikberatkan pada homogenisasi-heterogenitas masyarakat.
129
Akibatnya, ruang ekspresi kelompok- kelompok etnik di Indonesia mengalami “mati-suri”.
Kekosongan diskursus identitas etnik ketika kelompok-kelompok etnik “mati-suri” di bawah tekanan rezim Orde Baru,
130
menyebabkan minimnya referensi tentang memperlakukan kondisi distingsi identitas etnik dalam kerangka
etno-nasionalisme di tengah-tengah arus globalisasi. Alhasil, tumbangnya rezim Orde Baru yang disertai dengan kejadian-kejadian konflik yang bernuansa etnik
tidak dapat direspon cepat dan diselesaikan dengan baik. Terlebih pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan pilkada langsung, rupanya tidak mempertimbangkan
secara matang formasi memperlakukan distingsi identitas etnik yang sangat
128
Tentang pertanyaan ini, sebenarnya sudah banyak pendapat yang mengemukakan. Meski belum memberikan argumentatif yang memuaskan kepada peneliti. Hasil penelusuran
peneliti tentang hal ini, terdapat tiga pendapat mayoritas: 1 etnik Jawa merupakan etnik yang memiliki perdaban lebih maju dibandingkan dengan yang lainnya; 2 etnik Jawa merupakan etnik
yang memiliki jumlah penduduk mayoritas dan tersebar di seluruh Indonesia; dan 3 etnik Jawa merupakan etnik yang secara struktural memperoleh perhatian pembangunan yang dominan dari
penguasa, sehingga memiliki sumberdaya manusia yang mumpuni.
129
Disini perlu dicatat bahwa kebijakan modernisasi tidak hanya melakukan homogenisasi cara produksi dalam sistem pertanian dan sejenisnya. Akan tetapi, juga berupaya untuk
menghomogenkan sistem nilai yang ada dan tumbuh di masyarakat. Muara dari semua ini adalah agar demokrasi ala barat dapat diterapkan di negara-negara timur yang notabenenya berbeda
drastis dengan sosio-kultur masyarakat Indonesia.
130
Hal ini dapat dimaklumi karena gaya otoritarian kepemimpinan Orde Baru dapat membungkam seluruh komponen bangsa saat itu, termasuk para ilmuwan. Sehingga berdampak
terhadap “matinya” gagasan-gagasan kreatif dari para ilmuwan di negeri ini.
beragam di negeri ini. Akibatnya, identitas etnik dijadikan sebagai instrumen tools aktor elit untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya.
Demikianlah yang ditunjukkan dari studi ini. Pembentukan identitas etnik skala besar dan terbatas mensaratkan setiap aktor memperlakukan distingsi
identitas etnik sebagai insturmen untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Doxa geo-politik daratan versus kepulauan terus direproduksi aktor untuk
membangun afiliasi etnik agar memenangkan pilkada, antara lain: Muna-Tolaki versus Buton-Bugis. Tidak itu saja, doxa sejarah pertentangan antar etnik terus
direproduksi aktor melalui praktik kultur kekuasaan etnik. Bahkan aktor mewariskan doxa-doxa tersebut kepada golongan muda melalui strategi
reproduksi dan investasi simbolik sebagai upaya memperkuat legitimasi aktor. Fenomena tersebut merupakan gambaran singkat temuan penelitian bahwa
formasi identitas etnik dalam arena eknomi politik lokal merupakan formasi kekuasaan politik identitas. Disini, distingsi identitas etnik dijadikan sebagai
instrumen aktor untuk memenangkan pertarungan formasi dominasi. Meski demikian, terdapat beberapa aktor yang tidak menempatkan distingsi identitas
etnik sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan politik, melainkan cenderung mereproduksi wacana lain, selain etnisitas formasi terdominasi.
Gambar 8.2. Bentuk Reproduksi Simbolik yang Menonjolkan Distingsi Identitas Etnik.
Ilustrasi di atas, sedikit banyak mengantarkan peneliti untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan sebelumnya. Atas pertanyaan pertama,
peneliti berpendapat bahwa daerah dengan struktur masyarakat majemuknya
“seimbang” terdiri dari beberapa kelompok etnik mayoritas dan masing-masing kelompok etnik tersebut memiliki sejarah kerajaan tradisional symbolic power,
tidak akan mampu mereproduksi kepemimpinan nasional, apabila: 1 tidak adanya upaya “mendamaikan sejarah” antar etnik; dan 2 tidak adanya upaya
mengkonstruksi nilai-nilai bersama common value yang dibangun dari basis nilai etnik masing-masing communal value. Inilah yang peneliti sebut sebagai
“kemandulan reproduksi kepemimpinan nasional” yang senantiasa mengalami pertarungan antar aktor berbasis etnisitas dan saling meniadakan satu sama lain.
Atas pertanyaan kedua dan ketiga, peneliti berpendapat bahwa suatu daerah baik di tingkat porvinsi maupun kabupatenkota yang heterogen dan memiliki
sejarah etnik masing-masing symbolic power cenderung menghadapi persoalan yang kompleks, jika dibandingkan dengan daerah yang homogen secara etnik.
Dengan demikian, kehendak sosial akan lebih mudah dimobilisasi pada daerah yang homogen, dibandingkan dengan daerah yang heterogen.
Studi ini menunjukkan bahwa jumlah etnik di tiga provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur lebih kecil dibandingkan dengan provinsi
Sultra.
131
Atas dasar tersebut, aktor Jawa akan lebih mudah memobilisasi kehendak sosial kelompok massa etniknya, dibandingkan dengan aktor yang
berasal dari Sultra. Jika fenomena tersebut ditarik dalam konteks kepemimpinan nasional, maka aktor Jawa akan lebih mudah tampil dalam kepemimpinan
nasional karena dukungan yang massif dari kelompok massa etniknya. Kondisi di atas bertolak belakang dengan aktor asal Sultra yang senantiasa
diperhadapkan konflik antar aktor yang berbeda etnik. Kemudian merembes kepada dukungan kelompok massa etnik yang hanya diberikan kepada aktor dari
basis etniknya masing-masing. Sebagaimana diungkapkan responden berinisial UDN bahwa “...terlalu jauh kalo kita berbicara mengenai kepemimpinan nasional
yang lahir dari sini. Yang ada malah antar aktor saling ‘berperang’ dan ini diikuti kelompok etniknya masing-masing...” Wawancara tanggal 12122011.
Namun demikian, bukan berarti kepemimpinan nasional dari etnik non-Jawa tidak memungkinkan. Tampilnya Jusuf Kalla adalah fenomena menarik yang
131
Di tiga provinsi tersebut terdapat 22 etnik dan etnik Jawa tampil sebagai satu-satunya etnik mayoritas. Sedangkan di provinsi Sultra terdapat 28 etnik dan 4 etnik mayoritas, yaitu
Tolaki, Muna, Buton, dan Bugis.
dapat dilihat dari perspektif formasi kekuasaan politik identitas. Keberhasilan Jusuf Kalla dan aktor-aktor lainnya “mendamaikan sejarah” dua kekuatan
[identitas] etnik Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan merupakan salah satu upaya yang dikonstruksi aktor untuk mereproduksi kepemimpinan nasional dari
daerah ini. Oleh karena itu, atas pertanyaan keempat, peneliti berpendapat bahwa desentralisasi atau otonomi daerah akan berhasil mereproduksi kepemimpinan
nasional dari berbagai daerah, apabila negara state mampu memfasilitasi terbukanya ruang ekspresi bagi kelompok-kelompok etnik di daerah untuk
mengkonstruksi nilai-nilai bersama common value yang dibangun dari basis nilai etnik masing-masing communal value.
Kembali ke Demokrasi Pancasila
Uraian sebelumnya mengingatkan kepada kita bahwa pilihan demokrasi liberal pengarusutamaan individu dan homo economicus telah membangkitkan
emosional etnisitas yang memberikan ancaman bagi keterbelahan generasi muda, masa depan pedesaan, dan kemandulan reproduksi kepemimpinan nasional.
Tidak itu saja, pilihan tersebut telah memberikan keuntungan kepada elit lokal untuk mengkapitalisasi identitas etnik agar memperoleh keuntungan sebesar
mungkin dibalik proses demokrasi yang berjalan. Bahkan distingsi etnisitas sengaja direproduksi elit bias etnik guna langgengnya kuasa simbolis, ekonomi,
maupun politik. Hasil studi ini membuktikan bahwa praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal melalui sistem demokrasi liberatif perlu
disikapi sedini mungkin agar tidak menjadi bumerang bagi masa depan NKRI. Gejala ketimpangan etnisitas, praktik dominasi bias etnik kekuasaan simbolik,
ekonomi, dan politik, dan lain sebagainya merupakan ancaman sekaligus tantangan bersama bagi kita untuk memperlakukan politik identitas dalam arena
ekonomi politik lokal yang dibingkai dengan semangat NKRI. Mitologi tomanurung kelompok etnik Bugis yang dijadikan sebagai
common value nilai-nilai bersama bagi kelompok-kelompok etnik di lokasi studi harus dimaknai sebagai tindakan yang berhasil dilakukan secara sadar untuk
mencari kesamaan dibalik perbedaan antar kelompok-kelompok etnik yang ada. Tentunya, diterimanya mitologi tersebut tidak sekita melainkan melalui proses
dialog kesejarahan yang panjang dari para pendahulu yang kemudian reproduksi dalam bentuk pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks
ini, maka sesungguhnya ke-Bhineka Tunggal Ika-an yang dimiliki bangsa ini berpotensi direkonstruksi melalui nilai-nilai bersama common value yang
disepakati dan kemudian dapat dipraktikkan diberbagai arena kehidupan. Tentang hal ini, Swasono 2012:1 menyatakan bahwa ke-Bhineka Tunggal Ika-an terkait
dengan doktrin kebangsaan, dengan pluralisme dan multikulturalisme yang disatukan oleh “rasa bersama” dalam idiom nation-state berikut semangat
nasionalisme yang menyertainya. Nasionalisme menegaskan bahwa kepentingan nasional harus diutamakan, tanpa mengabaikan tanggungjawab glonal. Inilah
makna dari demokrasi pancasila yang memberikan ruang bagi seluruh etnisitas untuk berkreasi bagi kepentingan nasionalisme. Sehingga Swasono 2012:1
menegaskan bahwa beraneka itu adalah satu, tidak ada kewajiban yang mendua hanya demi bangsa dan negara yang satu sebagaimana meminjam tua agungnya
Mpu Tantular “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa”. Namun demikian, meletakkan nilai-nilai demokrasi liberal yang terkesan
individualistik menanggalkan rasa kebersamaan dan memposisikan manusia sebagai homo economicus memberikan dampak terhadap munculnya ego-etnisitas
aktor kelompok yang bias etnik. Studi ini berhasil menunjukkan bahwa ego- etnisitas dalam arena ekonomi politik lokal terartikulasi melalui sejarah
pertentangan etnik clash history of ethnic dalam bentuk mitologi pertentangan antar kelompok etnik mayoritas Tolaki, Muna, dan Buton di lokasi studi.
Sebaimana ditunjukkan dalam artikulasi makna kata “bharata” dan legenda tokoh pemersatu Sulawesi Tenggara yang direproduksi oleh in-actors untuk
membentuk afiliasi atau deafiliasi antar etnik dalam momentum-momentum strategis, seperti: pemilihan kepala daerah, rektor atau dekan, organisasi politik
maupun kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Kurangnya penyadaran tentang agenda multikulturalisme kepada massa dan dominannya aktor dalam arena
ekonomi politik lokal berdampak terhadap tersubordinasinya massa dalam
kekuasaan aktor. Jika ini terus berlanjut, maka akan berbahaya bagi agenda multikulturalisme dan masa depan ke-Bhineka Tunggal Ika-an.
Oleh karenanya, obyektivikasi kemajemukan etnisitas merupakan keniscayaan yang dapat ditafikkan dalam diskursus politik identitas dan ekonomi
politik lokal. Sejauh ini, sebagian besar ilmuwan sosial yang konsen dengan tematik politik identitas menggunakan perspektif struktrulis atau konstruktivis
132
yang sesungguhnya menurut hemat penulis, masih memiliki banyak kelemahan untuk menjelaskan fenomena politik identitas yang begitu kompleks dalam
konteks Indonesia. Agar peneliti tidak terjebak pada ruang yang sama, maka peneliti hendak keluar dari mainstream tersebut dan menggunakan perspektif
yang peneliti sebut aktor-struktur. Perspektif yang merupakan sintesis peneliti dari penelusuran berbagai referensi ini menemukan bahwa asumsi tindakan aktor
dalam arena ekonomi politik tidak sepenuhnya berorientasi pada akumulasi ekonomi saja, melainkan dalam konteks polietnik multikulturalisme aktor selalu
bertindak mencerminkan background identitas [etnik]-nya. Selanjutnya dari temuan tersebut, peneliti menemukan bahwa desentralisasi
dengan demokrasi liberal sebagai pilihan telah menjadi pintu masuk “kebangkitan [identitas] etnik” yang tidak terkelola dengan baik. Hal ini sebagaimana implikasi
yang diberikan, yakni semakin jauhnya pencapaian kesejahteraan rakyat massa sebagaimana cita-cita dan impian dari desentralisasi itu sendiri. Bukti Indeks Gini
Kendari sebelum dan sesudah pilkada sebagai “momentum” desentralisasi melalui pilihan demokrasi liberal malah tidak membaik, sebaliknya mengalami kenaikan
menuju kondisi yang buruk. Selanjutnya jika dilihat berdasarkan basis kelompok etniknya, Tolaki kelompok etnik yang berkuasa dan Muna mengalami
perubahan dari baik ke buruk distribusi pendapatannya. Disini, faktor konvergensi aktor memiliki pengaruh penting, yakni semakin menguatnya sikap elitisme aktor
dari kelompok etnis tersebut. Berbeda dengan kelompok etnik Bugis dan Buton, mengalami perubahan distribusi pendapatan ke arah semakin membaik karena
132
Perperspektif strukturasi menitikberatkan pada peran struktur dalam menentukan tindakan aktor dan sebaliknya. Berbeda dengan sebelumnya, perspektfi konstruktivis
menitikberatkan bahwa tindakan aktor yang tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh struktur yang ada, melainkan aktor adalah individu atau makhluk yang bebas.
faktor divergensi aktor yang tercermin melalui sikap “merakyatnya” aktor dari kelompok etnis tersebut.
Tidak hanya itu saja, persoalan distingsi etnisitas yang belum tuntas dan pilihan demokrasi liberal di era desentralisasi telah mendorong pembentukan
identitas etnik habitus
133
dalam arena ekonomi politik lokal yang terartikulasi melalui praktik-praktik aktor. Dari tiga praktik aktor kekuasaan simbolis,
kekuasaan ekonomi, dan kekuasaan politik tersebut. Pada praktik kekuasaan simbolis, menciptakan relasi afiliasi dan deafiliasi antar etnik, dimana doxa yang
berkembang kelompok etnik disatukan dan dipertentangkan, seperti: Muna-Tolaki versus Buton-Bugis. Demikian halnya dengan praktik kekuasaan ekonomi dan
politik, telah menciptkan relasi yang bersifat transaksional antar aktor dan massa yang seolah-olah melegalkan dominasi aktor elit yang memiliki kekuatan modal
simbolik dan ekonomi. Relasi yang bersifat transaksional tersebut, kemudian membentuk pola
formasi yang terdiri dari: formasi dominasi domination formation dan formasi terdominasi dominated formation. Hadirnya dua pola formasi tersebut,
berdampak terhadap prilaku dualisme aktor dalam mereproduksi identitas etnik. Pada formasi dominasi, in-actors mereproduksi distingsi identitas etnik dengan
kekuatan modal simbolik dan ekonomi yang dimilikinya dan menggunakan strategi reproduksi simbolik, investasi simbolik, invasi ekonomi, dukungan
wacana, invasi kekuasaan, dan dukungan simbolik untuk memerpertahankan dan memperluas kekuasaannya formasi dominasi. Sebaliknya, pada formasi
terdominasi, out-actors tidak menempatkan distingsi identitas etnik sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan politik. Melainkan out-actors menggunakan
strategi penyusupan simbolik, perlawanan, reproduksi wacana, aliansi strategis, dan edukatif.
Berdasarkan uraian dan gambaran di atas, maka peneliti menggarisbawahi
bahwa demokrasi liberal bukanlah langkah yang tepat dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural dan multikulturalisme. Sehingga
demokrasi liberal harus ditinggalkan dan kembali ke demokrasi pancasila.
133
Konsep struktur pembentukan identitas etnik tersebut dapat disejajarkan dengan konsepsi habitus Bourdieu. Dimana aktor merefleksikan segalan tindakannya dipengaruhi oleh
struktur identitas etniknya dan pengalaman pribadi aktor.
Demokrasi pancasila merupakan cara berdemokrasi yang memberikan ruang kepada seluruh komponen anak bangsa yang memiliki ragam perbedaan latar
belakang etnik, agama, dan ras untuk berkontribusi bagi perbaikan dan kemajuan bangsa dan negeri ini. Untuk itu, demokrasi pancasila lebih
menempatkan paham “rasa kebersamaan” ketimbang “rasa individual”, “keterwakilan kelompok sosial” ketimbang “keterwakilan individu”, “daulat
rakyatku” ketimbang “daulat tuanku”, dan “persatuan” ketimbang “persatean”. Sebagaimana ditegaskan Swasono 2012:1-4 bahwa pancasila dibutuhkan untuk
menolak neoliberalisme yang mengedepankan nilai-nilai keserakahan manusia homo economicus. Pancasila sebagai common platform yang menekankan pada
doktrin kebangsaan, doktirin keberagaman, doktrin kerakyatan, dan doktrin persatuan.
Gambar 8.3. Bangunan Teori Formasi Identitas Etnik.
Level Infrastruktur
Pembentukan Identitas Etnik Skala BesarTerbatas
Sejarah Kelompok Etnik
Pengalaman Aktor
Habitus Mobilisasi [Identitas] Etnik
Ruang Tarung
Strategi
Praktik Aktor
Level Suprastruktur Kekuasaan Simbolis, Ekonomi, Politik
Level Praktik
Prinsip Otonom Prinsip
Heteronom
Jika demikian halnya, pertanyaannya adalah bagaimana mengembalikan demokrasi pancasila sebagai sejatinya demokrasi di Indonesia yang plural dan
multikulturalisme? Menjawab pertanyaan tersebut, maka peneliti memberikan sumbangan teori formasi identitas etnik. Sumbangan ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi untuk mengembalikan demokrasi pancasila sebagai pilihan berdemokrasi di Indonesia. Adapun kontribusi yang dimaksud beranjak
dari bangunan teori formasi identitas etnik yang terdiri dari tiga level: pertama, pada level infrastruktur, konsep yang perlu ditekankan adalah pembentukan
identitas etnik. Disini, aktor harus memahami bahwa perbedaan latar belakang sosial adalah keniscayaan sebagai kekuatan yang menyatukan. Oleh karena itu,
negara pemerintah diwajibkan mengambil peran untuk “mendamaikan” pertentangan sejarah kelompok etnik di Indonedia.
Kedua, pada level praktik, konsep yang perlu ditekankan adalah mobilisasi [identitas] etnik, praktik pertarungan, dan strategi. Disini, aktor dari latar
belakang etnisitas dihimbaua dan diwajibkan tidak melakukan tindakan-tindakan mobilisasi etnisitas, praktik pertarungan, dan strategi yang dapat menyulut
pertikaian antar etnisitas; dan ketiga, pada level suprastruktur yang meletakkan konsep kekuasaan simbolis, politik, dan ekonomi. Disini, negara pemerintah
seyogyanya memberlakukan kebijakan afirmatif terhadap “variabel” etnisitas dalam praktik-praktik kekuasaan. Agar kekuasaan simbolis, politik, dan ekonomi
tidak memberikan ruang bagi dominasi [identitas] etnik tertentu, maka “rasa kebersamaan” dan “daulat rakyatku” harus tercermin dalam praktik kekuasaan,
dimana setiap kelompok-kelompok etnisitas baik mayoritas maupun minoritas memperoleh akses yang sama.