PENDAHULUAN Ethnic identity formation in local arena of political economy in the era of decentralization

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Lebih satu dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di negeri ini. 1 Dibalik pencapaian positif yang telah diberikan seperti: kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreativitas pemerintah daerah dalam melakukan tata kelola pemerintahan, akses terhadap sumber-sumber ekonomi, dan lain sebagainya, tidak sedikit desentralisasi memberikan pencapaian negatif, seperti: langgengnya politik uang money politic dalam praktik pemilihan kepala daerah pilkada, tumbuh suburnya praktik shadow state dan rent seeking, “meratanya” praktik KKN korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan kanalisasi politik identitas [etnik]. Tentang pencapaian negatif tersebut, berbagai studi mempertegas bahwa kebijakan disentralisasi dengan pilihan demokrasi liberatif telah menjadi “pintu masuk” kebangkitan politik identitas [etnik] 2 yang menempatkan dominasi etnisitas tertentu terhadap etnisitas lainnya di berbagai arena. Pada penghujung tahun 90-an, pengalaman pahit menimpa negeri ini di arena sosial. Etnik Madura menjadi korban kekerasan komunal dan secara paksa harus meninggalkan Sambas, Kalimantan Barat Klinken 2007:89-91; Maunati 2004. Pada waktu yang bersamaan, etnik BBM Buton, Bugis, Makassar dengan berat hati dan keterpaksaan harus meninggalkan Ambon yang dilanda perang etno-relegius Klinken 2007:147-152. Atas kenyataan ini, Kolopaking 2011 mengingatkan bahwa pengorganisasian yang tidak tepat atas realitas keberadaan sukubangsa yang beragam di era desentralisasi menyebabkan potensi konflik yang akan terjadi di negara ini baik di pedesaan dan perkotaan. 1 Otonomi Daerah ditandai semenjak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 322004. 2 Menurut peneliti bahwa salah satu faktor pendorong bangkitnya politik identitas etnik adalah tekanan rezim Orde Baru yang tidak memberikan “ruang ekspresi” bagi komunitas- komunitas berbasis etnik di arena sosial, politik, dan ekonomi. Begitupun di arena politik, identitas etnik direproduksi sebagai doxa isu “putra daerah” yang kebanyakan dilakukan elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politiknya. Tentang hal ini, Eindhoven 2007:100-104 tegas menyatakan bahwa momentum reformasi telah menghantarkan para elit lokal mengkonsoludasikan kekuatan [identitas] etnik untuk menolak kepala daerah yang berasal dari non- etniknya. Demikian halnya fenomena pembentukan kabupaten baru, dimana para pemimpin elit etnik berupaya memisahkan atau melepaskan diri dari kabupaten induknya dengan alasan distingsi sejarah kebudayaan, agama, dan etnisitas Vel 2007:129-135. Hal yang tak kalah peliknya terjadi di arena ekonomi politik lokal. 3 Studi Tim PEP-LIPI mengindikasikan bahwa ketimpangan pembangunan yang paling berbahaya pasca reformasi, yakni ketimpangan antar kelompok masyarakat dalam provinsi. Studi ini menemukan bahwa fenomena disintegrasi yang merebak lebih berkaitan dengan ketimpangan antar kelompok dalam provinsi, ketimbang ketimpangan yang terjadi antar daerah, antar Jawa dan luar Jawa atau antar provinsi Masyhuri dan Hidayat et. al. 2001:187. Menyikapi hal tersebut, Damanhuri 2009:92-95 mengingatkan bahwa kemunculan kelompok gerakan kedaerahan di era otonomi daerah yang dapat menjadi persoalan serius bagi Indonesia sebagai nation-state akan teratasi apabila ditegakkannya keadilan daerah secara sosial, ekonomi, dan budaya, serta kepastian dan rasa keadilan hukum serta pemerintahan. Atas peringatan Damanhuri tersebut, studi pembentukan formasi identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal merupakan bentuk upaya dari peneliti untuk “memotret” lebih dekat mikro kondisi obyektif [heterogenitas] identitas etnik ketika berlangsungnya kebijakan desentralisasi. Sejauh ini, peneliti menduga secara tematik bahwa kebijakan desentralisasi telah memberikan peluang tampilnya politik identitas etnik yang terus direproduksi aktor atau elit lokal, sehingga mengakibatkan terjadinya oportunity loss. Oportunity loss dimaksudkan sebagai dampak dari tindakan aktor atau elit yang secara sadar dikonstruksi untuk 3 Disini, arena ekonomi politik lokal yang dimaksud adalah kondisi obyektif dimana terjadinya pertarungan antar aktor sebagai bentuk tindakan memperebutkan dan mengakumlasi sumber-sumber ekonomi melalui kekuasaan yang dimilikinya atau sebaliknya di tingkat lokal. membuka kesempatan mendominasinya etnik tertentu dan sebaliknya, terdominasinya etnik lain. Jika dugaan di atas benar adanya, maka ramalan Furnivall tiga abad yang lalu merupakan persoalan sekaligus ancaman serius bagi Indonesia sebagai nation-state. 4 Walaupun funding futher negara ini melalui pembukaan Undang- Undang Dasar UUD 1945 telah menegaskan pembentukan Negara Indonesia bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Rupanya kemajemukan baca: pluralisme sebagai kondisi obyektif yang harus diperlakukan sama adalah keniscayaan yang membutuhkan waktu dan pendekatan yang tepat. Berangkat dari konteks tersebut, peneliti menganggap bahwa kondisi obyektif kemajemukan lihat Gambar 1.1 5 di Indonesia dengan ragam persoalan yang menghimpitnya, seyogyanya diperlakukan dengan suatu pendekatan yang mampu menemukenali akar persoalan yang ada, sekaligus cara memperlakukan kondisi obyektif tersebut dalam arena ekonomi politik. Perihal yang terakhir, sejauh penelusuran referensi yang dilakukan menunjukkan bahwa studi ekonomi politik di Indonesia masih menempatkan teori ekonomi politik neo-klasik sebagai pendekatan yang mendominasi. 6 Sebagai misal, teori rent-seeking society model yang dikenal dengan pendekatan society centred approach dan teori power seeking politicians, rent-seeking bureaucrats, dan predatory state yang dikenal dengan pendekatan state centred approach. 4 Furnivall adalah seorang pengamat ekonomi neo-klasik yang cermat. Penelitian- penelitiannya mengenai ekonomi Burma dan Indonesia sampai sekarang termasuk yang terbaik yang pernah ditulis di masa akhir penjajahan Hefner 2011. Dalam bukunya yang berjudul “Ekonomi Majemuk”, Furnivall mengemukakan bahwa bahwa “...nasionalisme akan berakhir dengan mempertentangkan satu komunitas etnis melawan komunitas etnis lainnya, dan demikian semakin memperparah, bukannya meredakan, keterpecah-belahan masyarakat. Kecuali suatu formula bagi federasi pluralis bisa diciptakan, pluralis Asia Tenggara rupanya ditakdirkan akan menghadapi “anarki” yang mengerikan...” Furnivall 2009: 488-489. 5 Data Potensi Desa 2011 menginformasikan bahwa jumlah etnik di Indonesia sebanyak 761 etnik. Dari tiga puluh tiga provinsi di Indonesia, Kalimantan Barat merupakan provinsi yang memiliki sebaran etnik terbanyak, yakni 176 etnik dan disusul Provinsi Papua dengan sebaran etnik sebanyak 136 etnik. 6 Sejauh ini, pendekatan penelitian ekonomi politik lokal di Indonesia menggunakan Society Centred Approaches selanjutnya disingkat SCA dan State Centered Approaches selanjutnya disingkat StCA. Baik SCA maupun StCA menempatkan aktor sebagai individu rasional yang segala hal terkait dengan tindakannya senantiasa berorientasi ekonomi keuntungan ketika memainkan perannya di arena ekonomi politik lokal Grindle 1989. Kedua pendekatan tersebut seolah-olah menafikkan bahwa tindakan aktor tidak selamanya mencerminkan tindakan individu yang berorientasi ekonomi keuntungan, melainkan dipengaruhi struktur yang membentuknya habitus yang senantiasa embedded dalam hidup aktor. Kedua pendekatan ekonomi politik di atas, lebih menitikberatkan pada individu sebagai makhluk rasional yang ketika bertindak cenderung memiliki motif ekonomi keuntungan. Sehingga relasi antar individu dengan individu lainnya termasuk dengan pemerintah senantiasa dimaknai sebagai tindakan individu yang memiliki interes untuk mengakumulasi kesejahteraan Mansyuri dan Hidayat 2001:30-35. Namun realitas tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Tampilnya fenomena politik identitas etnis di era desentralisasi melalui pilihan sistem demokrasi liberal menunjukkan bahwa tindakan aktor atau individu tidak sepenuhnya berorientasi ekonomi keuntungan, sehingga relasi yang terbangun lebih bersifat ekonomis. Juga aktor atau individu bukanlah “makhluk bebas” yang tidak dipengaruhi lepas dari struktur yang membentuknya. Melainkan tindakan aktor atau individu senantiasa embedded dengan struktur obyektifnya identitas etnik sebagai sesuatu yang ada dan nyata Pamuji et. al. 2008; LSI 2008; Sakai 2002. Dengan kata lain, setiap tindakan aktor senantiasa dipengaruhi pengalaman maupun struktur yang membentuk aktor atau dikenal dengan istilah habitus. Dengan demikian, diperlukan pendekatan baru yang mampu menganalisa arena ekonomi politik lokal dengan mempertimbangkan bahwa aktor atau elit lokal dalam bertindak, tidak selamanya dideterminasi orientasi ekonomi saja. Melainkan aktor juga dipengaruhi struktur yang selama ini membentuknya. Disinilah pentingnya perspektif agen-struktur untuk menganalisa tindakan aktor di arena ekonomi politik lokal yang tidak hanya bermotif tindakan ekonomi, akan tetapi juga bermotif [identitas] etnik yang membentuknya. Kemudian dari analisis [pendekatan] tersebut, diharapkan mampu memberikan gambaran berlangsungnya formasi identitas etnik sebagai bentuk pergulatan politik identitas etnik. Hal tersebut disadari karena formasi identitas etnik terkait dengan kekuatan [identitas] etnik, relasi antar etnik, dan startegi aktor untuk merebut dan mempertahankan legitimasinya di arena ekonomi politik lokal. Gambar 1.1. Peta Sebaran Etnik di Indonesia Sumber: Diolah dari Data Podes 2011. Perumusan Masalah Agar amanat pembukaan UUD 1945 untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” diberbagai arena kehidupan dapat diwujudkan, maka dibutuhkan pemahaman utuh tentang kondisi obyektif dan subyektif struktur masyarakat majemuk 7 di Indonesia. Pemahaman tentang hal tersebut, sejauh ini peneliti sadari belum sepenuhnya inklud dalam analisis- analisis ekonomi politik lokal sehingga fenomena “kebangkitan” politik identitas etnik di era desentralisasi belum terbingkai dengan baik. Atas dasar tersebut, maka peneliti terdorong mengajukan pertanyaan penelitian tentang bagaimana memperlakukan fenomena politik identitas etnik di era disentralisasi? Adapun pertanyaan ini lebih diorientasikan untuk mengenali dan memahami dampak dari politik identitas dan bentuk-bentuk formasi identitas etnik di arena ekonomi politik lokal yang berlangsung di lokasi studi. Namun sebelum mengenali dan memahami dampak politik identitas etnik dan formasi identitas etnik yang dimaksud, maka penting mengetahui terlebih dahulu bagaimana pembentukan identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal di lokasi studi? Kemudian, siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana aktor memobilisasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal? Setidaknya, kedua pertanyaan tersebut ditujukan memahami struktur obyektif kondisi kelompok etnik dan kedudukannya dan subyektif aktor yang terjadi dalam arena ekonomi politik lokal di lokasi studi. Setelah memahami dua pertanyaan sebelumnya, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana praktik dominasi etnik dalam arena ekonomi politik lokal dan dampak yang dihadirkan sebagai bentuk artikulasi dari kekuatan [identitas] etnik dan relasi [antar] etnik yang terbangun di lokasi studi? Pertanyaan ini diharapkan dapat mengenali praktik-praktik dominasi aktor berbasis etnik dalam arena ekonomi politik lokal di lokasi studi. Namun demikian, penting terlebih dahulu 7 Istilah masyarakat majemuk, peneliti ambil dari ungkapan Furnivall 2009. Masyarakat majemuk menurut Furnivall adalah suatu masyarakat yang terdiri dari satu atau lebih golongan atau tata sosial yang hidup berdampingan, tapi tanpa berbaur, dalam satu unit politik. Furnivall mengatakan bahwa Indonesia adalah satu dari sekian negara tropis yang mempunyai tipe ekstrim masyarakat majemuk. Negara lainnya yang berciri masyarakat majemuk, seperti Kanada, Perancis, Amerika Serika, dan Afrika Selatan. Perihal masyarakat majemuk dan sistem ekonomi majemuk akan diuraikan pada sub bab lainnya. mengetahui siapa dan darimana [identitas] etnik aktor? dan bagaimana kondisi struktur ekonomi dalam relasinya dengan aktor berkuasa, serta bagaimana ketimpangan distribusi pendapatan pada kelompok etnik sebagai dampak dari obyektivisme dominasi etnik di arena ekonomi politik lokal? Keseluruhan pertanyaan di atas, merupakan kunci untuk mengenali formasi identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Namun demikian, pemahaman akan formasi identitas etnik tidak akan utuh dipahami manakala tidak mengenali bentuk pertarungan dan strategi yang dilakukan aktor dalam arena ekonomi politik lokal. Dengan demikian, pertanyaannya adalah apa saja bentuk pertarungan dan strategi yang dilakukan aktor untuk merebut atau melanggengkan kekuasaannya dalam arena ekonomi politik lokal? Disini, doxa wacana dominan, orthodoxy wacana yang mendukung doxa, dan heterodoxy wacana yang menolak doxa memainkan peran yang sangat penting. Sehingga apa saja bentuk-bentuk doxa, orthodoxy, dan heterodoxy yang direproduksi aktor? Lalu, apa saja tindakan aktor untuk mempertahankan doxa, memperkuat orthodoxy, dan melakukan heterodoxy sebagai upaya mengukuhkan legitimasi aktor dalam arena ekonomi politik lokal? Pertanyaan-pertanyaan ini lebih diorientasikan untuk memahami tindakan aktor mempertahankan kekuasaannya dalam arena ekonomi politik lokal. Akhirnya, bagaimana formasi identitas etnik di arena ekonomi politik lokal? dan bagaimana dampak dari formasi identitas etnik di arena ekonomi politik lokal terhadap masyarakat di pedesaan kita? Dengan demikian, jawaban-jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan akan memudahkan peneliti memberikan kontribusi memperlakukan politik identitas etnik seabagai sebuah keniscayaan di di era desentralisasi. Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah di atas, maka penelitian tentang pembentukan formasi identitas etnik di arena ekonomi politik lokal ini bertujuan untuk: pertama, menganalisis pembentukan identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal, meliputi: struktur obyektif meliputi: kondisi dan kedudukan kelompok etnik dan struktur subyektif meliputi: aktor yang terlibat dan mobilisasi [identitas] etnik; kedua, menganalisis praktik dominasi etnik terkait dengan dominasi struktur ekonomi dan relasinya dengan aktor yang berkuasa, serta ketimpangan distribusi pendapatan antar etnik; ketiga, menganalisis bentuk pertarungan dan strategi aktor di arena ekonomi politik lokal; keempat, mengidentifikasi pembentukan formasi identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal; dan kelima, merekomendasikan perlakuan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan atas politik identitas etnik melalui pemahaman tentang formasi identitas etnik yang terjadi dalam arena ekonomi politik lokal. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini disesuaikan dengan kepentingan aktor yang mempunyai minat terhadap politik identitas etnik khususnya, dan agenda multikulturalisme pada umumnya. Pertama, bagi aktor yang berkepentingan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan peneliti maupun akademisi, studi ini memberikan kontribusi terhadap konsepsi teoritik politik identitas etnik dalam kaitannya dengan ekonomi politik; kedua, bagi aktor yang berkepentingan mewujudkan agenda civil society berbasis masyarakat majemuk aktivis LSMNGO dan politisi, penelitian ini memberikan kontribusi tentang batasan memperlakukan identitas etnik di arena ekonomi politik lokal. Tidak itu saja, penelitian ini berguna untuk menyusun agenda-agenda multikulturalisme yang praksis diberbagai arena; dan ketiga, bagi aktor yang berkepentingan “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia” pemerintah pusat dan pemerintah daerah, studi ini berguna sebagai basis penyusunan kebijakan memperlakukan masyarakat majemuk polietnik di Indonesia.

BAB II PENDEKATAN TEORITIS