3. Stigmanisasi Etnisitas dan Pelapisan Sosial Tradisional

Buton, pelapisan sosial tradisional sebagai faktor “kerentanan” terbangunnya solidaritas etnik. 93 Pengalaman Aktor: Subyektivikasi Pembentuk Identitas Etnik Berbeda dengan sebelumnya, pembentukan identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal dari opus operatum tercermin melalui dimensi pengalaman aktor ketika memaknai realitas yang dialaminya. Dalam hal ini, aktor mengkonstruksi realitas atau kenyataan yang ada disebabkan pengalaman atas disposisi-disposisi yang dialaminya akibat dari persinggungan pribadi aktor dengan realitas tersebut. Realitas yang dialami aktor tersebut berupa: pembatasan peran terdominasinya etnik minoritas, reproduksi kultur kekuasaan etnik, segregasi mata pencaharian dan marginalisasi ekonomi peneliti istilahkan dengan “pengorganisasian ekonomi identitas”, stigmanisasi kelompok etnik yang kemudian berimbas pada posisi aktor, dan lain sebagainya. Atas realitas di atas, ilustrasi menarik ditunjukkan informan RHM lihat Boks 4.1 yang mengalami tekanan dan ancaman sebagai bentuk pengalaman atas marginalisasi dan pembatasan peran bagi mereka dari kelompok etnik minoritas 93 Menurut catatan Couvreur 2001:35-39 bahwa pelapisan sosial tradisional golongan masyarakat etnik Muna, terdiri atas: 1 golongan tertinggi, terbagi menjadi dua, pertama, kaomu, yaitu golongan tertinggi pertama di Muna. Mereka yang disebut kaomu adalah keturunan mantan Sugi; dan kedua, walaka, yaitu golongan tertinggi kedua di Muna. Mereka walaka adalah keturunan bhonto balano yang pertama, La Marati. Kedua golongan tertinggi ini berhak menyandang gelar La Ode; 2 golongan menengah, terbagi menjadi dua, pertama, kaum maradika terdiri dari tiga kelompok, yaitu: a anangkolaki atau fitu bhengkauno maradika tetinggi. Tujuh keturunan Sugi Manuru dari perkawinannya dengan seorang budak perempuan; b maradikano ghoera atau maradikano papara maradika menengah. Keturunan mantan empat kamokula komokula Tangkuno, Barangka, Lindo, dan Wapepi; dan c maradika poinokontu lakonosau maradika terendah. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah keturunan dari keempat lindono Kancitala, Lembo, Kaura dan Ondoke; kedua, golongan wasembali merupakan anak- anak yang berasal dari perkawinan yang dilarang, yaitu perkawinan dimana tingkatan sang isteri lebih tinggi daripada sang suami; dan 3 golongan terendah, para budak,yaitu berasal dari golongan maradika yang dihukum menjadi budak karena berbuat kejahatan atau tidak melunasi hutang-hutangnya. Seperti halnya Muna, Schoorl 2003:78-79 membagi pelapisan tradisional etnik Buton menjadi empat pelapisan sosial, yaitu: 1 lapisan tetinggi, disebut kaomu atau “bangsawan”. Mereka dari lapisan ini merupakan keturunan garis bapak pasangan raja pertama. Raja atau sultan dipilih dari lapisan ini dan diberi gelar La Ode Laki-laki dan Wa Ode perempuan; 2 lapisan kedua, disebut walaka. Mereka yang termasuk lapisan ini adalah keturunan para pendiri Kesultanan Buton dari garis bapak; 3 lapisan ketiga, disebut papara. Mereka yang masuk dalam lapisan ini adalah wargamasyarakat di Kesultanan Wolio yang hidup dalam komunitas desa yang agak bebas kadie; dan 4 lapisan keempat, disebut budak atau batua. Mereka adalah budak belian dan senantiasa bergantung pada pemilik mereka. baik secara kuantitas maupun kualitas di ruang publik. Contoh lainnya ditunjukkan obyektivikasi baik simbol kerajaan tradisional masa lalu dan legenda tokoh “pemersatu” yang dikonstruksi dan diorientasikan oleh aktor untuk merebut kekuasaan simbolis modal simbolik melalui pembentukan sentimen [identitas] etnik yang bertujuan adanya pengakuan sosial atas kekuasaan dan kedudukan etnisitasnya masing-masing. Dalam hal ini, peneliti mengistilahkan dengan sebutan kultur kekuasaan etnik. Gambar 5.8. Beberapa Bentuk Reproduksi Kultur Kekuasaan Etnik di Arena Ekonomi Politik Lokal. Selanjutnya agar upaya-upaya tersebut dapat langgeng, maka reproduksi kultur kekuasan etnik dilakukan melalui serangkaian aktivitas baik yang bersifat formal maupun non-formal dengan melibatkan sentimen kelompok etnik. Seminar dan lokakarya “berbau akademik” merupakan bagian dari aktivitas formal yang dilakukan para simbolis untuk mereproduksi kultur kekuasaan etnik. Tidak itu saja, reproduksi kultur kekuasaan etnik dilakukan oleh setiap kelompok etnik melalui penerbitan buku-buku sejarah kebudayaan dan kekuasaan etnisitasnya. 94 94 Ketika peneliti melakukan pelacakan referensi di Perpustakaan Daerah tentang etnik Sulawesi Tenggara terdapat banyak buku-buku tentang kebudayaan dan kekuasaan etnik di Sulawesi Tenggara yang ditulis oleh “orang dalam” maupun “orang luar”. Beberapa diantaranya: a Sejarah Buton yang Terabaikan Zuhdi 2010; b Mayarakat, Sejarah dan Budaya Buton Schorrl 2003; c Sejarah dan Kebudayaan Muna Couvreur 2001; d Muna dalam Lintasan Sejarah La Oba 2005; e Kebudayaan Tolaki Tarimana, A. 1989; f Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara Rabani 2010; g Haluoleo dalam Berbagai Perspektif Anwar 2004; h Sejarah Sulawesi Tengggara dan 40 Tahun Sulawesi Tenggara Membangun Tamburaka et. al. Demikian halnya dengan kehadiran media cetak turut memberikan andil dalam pembentukan identitas etnik, dimana aktor memanfaatkan media melakukan reproduksi opini dan gagasan tentang eksistensi etnisitasnya. Selain yang telah disebutkan, masih banyak lagi ditemukan aktivitas formal lainya yang dilakukan entitas sosial berbasis etnik di Kendari lihat Gambar 5.8. Atas semua ini, informan peneliti berinisial PNL merespon: “...aktor dari masing-masing etnik disini selalu membuat sejarah menurut versinya masing-masing. Sehingga memberikan fanatisme kelompok etnik yang berlebihan terhadap kebenaran sejarah tersebut. Dampaknya selalu ada saja perbedaan penafsiran tentang sejarah tersebut dan ini bisa berakhir dengan konflik, jika saja sejarah tersebut dibenturkan...Saya pernah menegur salah satu tokoh kampus disini ketika mengartikulasikan sejarah yang menurutku salah tentang Haluoleo atau Lakinaponto, atau Murhum...Sejarah itu berisi toleransi dan biarkan saja masing-masing etnik mengartikukasikan sejarahnya masing-masing dan ini harus diberi penghargaan...” Wawancara tanggal 18112011 Sedangkan aktivitas non-formal, reproduksi kultur kekuasaan etnik dilakukan melalui diskusi-diskusi kecil di warkop, 95 diskusi kelompok mahasiswa berbasis etnik, dan cerita rakyat volkor dari mulut ke mulut. Umumnya, aktivitas non-formal tersebut beraudiens golongan muda yang memiliki “rasa ingin tahu” tentang sejarah asal-usul dan relasi antar etnik di Indonesia. Namun sangat disayangkan, kajian-kajian tersebut dilakukan dengan keterlibatan massa yang minim. Kondisi seperti ini memberikan ruang bagi aktor untuk mengakumulasi berbagai modal dalam arena ekonomi politik lokal. Atas uraian di atas, peneliti memberikan artikulasi bahwa baik aktivitas formal maupun non-formal pada kultur kekuasaan etnik, menempatkan posisi aktor dan massa saling memberikan dukungan satu sama lain. Meski massa 2003; i Naskah Buton, Naskah Dunia: Prosiding Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di Kota Bau-Bau Editor: Darmawan 2009; j Manusia Bugis Pelras, 2006; dan lain- lain. 95 Sejauh pantauan peneliti, kemunculan warung kopi warkop di Kendari baru lima tahun terakhir. Sebagian besar konsumen warkop adalah mereka dari ragam latar belakang profesi. Sehingga warkop juga berfungsi sebagai social space untuk membicarakan beragam tema, seperti: politik, ekonomi, dan sebagainya. beranggapan bahwa aktor dapat menghantarkan “keberhasilan” merebut dan melanggengkan kultur kekuasaan etnik tersebut. Sebagaimana ungkapan MTH 96 : “...kami tidak banyak mengetahui tentang sejarah etnik kami. Kami percaya dengan tokoh masyarakat atau orang kampus. Karena kami anggap mereka yang lebih mengetahui...” Wawancara tanggal 26122011. Adanya pengakuan dan dukungan massa tersebut, menyebabkan aktor selalu berupaya mempertahankan doxa kultur kekuasaan etnik dan melakukan berbagai orthodoxy agar doxa terus bertahan dan langgeng. Apabila terjadi pengecualian terhadap kultur kekuasaan etnik, maka aktor bersama massa akan melakukan heterdoxy atas segala hal yang terkait dengan tindakan tersebut ilustrasi dapat dilihat pada Boks 5.1. Keterlibatan aktor dalam kultur kekuasaan etnik, mendorong massa memberikan legitimasi posisi aktor dalam bentuk pengakuan dan dukungan terhadap aktor. Hal ini kemudian, membuka peluang bagi aktor untuk mereproduksi modal simbolik dan budaya agar memperoleh modal lainnya, seperti: ekonomi dan sosial. Semua ini berorientasi pada perluasan pengaruh pada pembentukan identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Demikian halnya dengan segregasi mata pencaharian dan marginalisasi ekonomi pengorganisasian ekonomi identitas yang dialami aktor. Begitu nampak ketika anda berkunjung ke kota Kendari, lalu bertanya dengan warga setempat tentang siapa saja yang mendominasi ekonomi di kota tersebut? Maka jawaban spontan warga akan menyebut orang Bugis. Lebih jauh lagi, ketika anda bertanya siapa yang mendominasi pekerjaan jasa asisten rumah tangga pembantu rumah tangga atau buruh pelabuhan maupun pelayan toko-toko retail di Kendari? Maka jawaban spontan yang anda terima adalah orang Muna. Begitupun dengan pertanyaan, siapa yang mendominasi pegawai birokrasi pemerintahan PNS? Jawaban spontan yang anda akan dengar adalah orang Tolaki. Inilah salah satu ciri yang menarik dari masyarakat majemuk polietnik, dimana struktur ekonominya yang “beridentitas”. Sebagaimana diungkapkan salah seorang informan berinisial MTH: 96 MTH adalah responden asal etnik Tolaki dari kalangan massa. Responden ini bermukim di Kecamatan Abeli, salah satu kecamatan di Kendari. “...umumnya orang tolaki, yang ada di kelurahan ini bekerja sebagai PNS. Kira-kira sekitar 75 persen dan selebihnya petani. Sebaliknya orang Muna, sekitar 10 persen PNS dan selebihnya adalah bertani, meramba hutan, buruh pelabuhan, dan bekerja di sektor informal...” Wawancara tanggal 26122011. Tentunya pertanyaan dan jawaban di atas, menjadi doxa yang memperkuat realitas keberadaan ekonomi identitas pada masyarakat majemuk. Hal tersebut mengingatkan peneliti dengan pemikiran Cox yang sangat relevan dikemukakan dalam bab ini uraian ini dapat dilihat pada Bab II hal. 14-16. Cox mengatakan: “...pembagian tenaga kerja dalam sistem ekonomi didasarkan atas perbedaan ras sehingga menciptakan terjadinya racial antagonis ....konflik sosial tidak hanya disebabkan perbedaan distribusi modal, akan tetapi juga disebabkan relasi antar etnik...perlakuan etnik tertentu yang memperoleh posisi privileged dalam struktur dan kultur di masyarakat...” Sanisa 2004. Cox memberikan pemahaman kepada peneliti bahwa struktur ekonomi di Kendari tak dapat dipisahkan dari kesejarahan “masyarakat yang tersegregasi” yang menempatkan identitas etnik sebagai basis pembentuknya. Penelitian yang dilakukan Pusat Studi Otonomi Daerah Universitas Haluoleo Anam, S. et. al. 2011 menyebutkan bahwa terdapat empat sektor ekonomi yang memberikan kontribusi bagi PDRB di kota ini. 97 Selanjutnya, apabila hasil penelitian tersebut, dihubungkan dengan studi yang peneliti lakukan menunjukkan pengorganisasian ekonomi tersegregasi berdasarkan basis etnisitas. Dimana sektor perdagangan eceran dan distributor, hotel, dan properti didominasi orang Bugis, Buton, dan Cina. Berbeda dengan sektor ekonomi produksi dan jasa, yang lebih didominasi 97 Studi ini mengungkapkan bahwa sebagai kota dagang dan ibukota provinsi, struktur ekonomi Kendari terdiri dari empat sektor: 1 sektor prima, yaitu sektor yang memiliki pertumbuhan cepat dan memberikan kontribusi besar bagi daerah. Adapun sektor ini, meliputi: a pedagangan, hotel, dan restoran; b pengakutan dan komunikasi; dan c keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; 2 sektor potensial, yaitu sektor yang memiliki pertumbuhan lambar, tetapi memberikan kontribusi besar bagi daerah. Sektor ini, meliputi: a pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan; dan b jasa-jasa; 3 sektor berkembang, yaitu sektor yang memiliki pertumbuhan cepat, tetapi memberikan konstribusi kecil bagi daerah. Adapun sektor ini, meliputi: a pertambangan dan penggalian; b industri pengolahan; dan c listrik dan air bersih; dan terakhir 4 sektor terbelakang, yaitu sektor yang memiliki pertumbuhan lambat dan memberikan kontribusi yang kecil bagi daerah contoh: konstruksi. Dari keempat sektor tersebut, pada tahun 2010 tercatat sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan share terbesar pada pertumbuhan ekonomi Kendari, yakni 24,53. Kemudian disusul perdagangan, hotel dan restoran sebanyak 19,27, serta pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar 13,90 Anam, Syamsul et. al. 2011:16-20. orang Tolaki dan Muna pertanian, perkebunan, peternakan, dan jasa. Sedangkan dominasi sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor ekonomi “konstruksi” ditentukan berdasarkan basis etnisitas penguasa. Hal ini disebabkan kedua sektor tersebut, memiliki keterkaitan dengan dengan kebijakan investasi dan pengelolaan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah APBD yang memberikan tempat kontrol atas penguasa dan jejaringnya yang sangat dominan. Atas uraian di atas, maka pengorganisasian ekonomi identitas tersebut merupakan wujud dari pengalaman aktor yang menentukan pembentukan identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Berbeda dengan faktor kultur kekuasaan etnik, faktor ini lebih menekankan prinsip hierarki heteronom sehingga aktor BOKS 5.1. Heterodoxy Wacana Tandingan Atas Kata “Bharata” PNL adalah salah satu intelektual kampus asal Muna yang konsen terhadap isu- isu multikulturalisme di Sultra. Sejarah “perkelahian etnik” di Sultra memanggil PNL untuk menekuni bidang cros culture study. Sehubungan dengan hal tersebut, PNL mengatakan bahwa, “ada persoalan sejarah yang ‘belum tuntas’ dan ini harus diluruskan. Seperti halnya kata ‘bharata’ yang ditafsirkan salah, sehingga memicu perkelahian antar etnik”. Menurut PNL, bahwa kesalahan pemahaman kata tersebut harus dibersihkan dan harus disepakati oleh generasi muda Buton dan generasi muda di Muna. Sebab Buton sebenarnya “tidak ada”, Buton itu adalah payung yang pusat pemerintahannya di Wolio. Diakui bahwa adan transefer pemahaman yang salah dari generasi elit terdahulu ke generasi selanjutnya. Disitulah sumber konflik yang membuat kecenderungan sejarah akan berpisah antara Muna dan Buton, antara Muna dan Wolio, antara Kaledupa dan Wolio, antara Kulisusu dan Wolio, dan antara Tiworo dan Wolio. Pemahaman orang Muna, Kaledupa, Kulisusu, dan Tiworo bahwa kata “bharata” itu artinya pemanfaatan atau penggunaan. Bukan sebagaimana yang informasi yang diberikan elit khususnya elit Wolio yang mengartikan “bharata” itu taklukan dan jajahan. Inilah yang membuat wilayah-wilayah tersebut berpisah. Selanjutnya, PNL mengatakan bahwa sebelum terbentuk empar bharata, yaitu: Tiworo, Kulisusu, Muna, dan Kaledupa, Wolio adalah sebuah kerajaan tersendiri dan menjadi rebutan dua kerajaan yang sangat kuat waktu itu, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Ternate. Untuk mengantisipasi serangan dari dua kerajaan tersebut, maka lahirlah empat kekuatan. Bharata Kaledupa untuk menahan laju serangan tentara Ternate. Bharata Kulisusu untuk menahan kekuatan dari Tobeo dengan bajak lautnya. Bharata Tiworo dan Muna untuk menahan serangan dari armada Gowa yang cukup besar. Jadi sejarah kekuasaan etnik disini belum tuntas dan tidak dipahami hari ini oleh generasi muda. Bahkan bukan lagi tidak tuntas, tapi di-pleset-kan. Inlah yang membuat pemicu pekelahian antar etnik Wawancara tanggal 18112011. memiliki orientasi untuk mengakumulasi modal ekonomi. Oleh karenanya, terdapat dua doxa atas aktor dalam pembentukan identitas etnik, sebagai berikut: 1 Aktor asal etnik Bugis, Buton, dan Cina adalah aktor yang mendominasi ekonomi perdagangan dan memiliki kemampuan mengakumulasi seluruh atau beberapa jenis ekonomi di sektor ini; dan 2 Aktor asal etnik Muna dan Tolaki adalah aktor yang hanya menempati ekonomi produksi dan jasa, serta memiliki kemampuan mengakumulasi salah satu jenis ekonomi di sektor ini. Berangkat dari doxa atas aktor di atas, lalu bagaimana pengalaman aktor atas keberadaan sektor ekonomi pertambangan dan kontraktor di lokasi studi? Pertanyaan ini diajukan karena posisi aktor belum teridentifikasi ke dalam dua sektor ekonomi sebelumnya. Selanjutnya praktik ini khususnya sektor ekonomi berkembang dan terbelakang memiliki kaitan dengan praktik politik identitas yang tercermin melalui politik lokal, seperti pilkada. Sebagai konsekuensi pilkada yang bersifat liberatif, maka modal ekonomi memainkan peran penting dalam praktik ini. Adapun peran modal yang dimaksud adalah “menarik” dukungan aktor dan massa yang heterogen majemuk berbasis etnisitas. Sehingga satu- satunya cara mengakumulasi modal ekonomi adalah berupaya mendominasi praktik pengorganisasian ekonomi identitas khususnya jenis ekonomi pertambangan, penggalian dan kontraktor. Cara tersebut bisa diperoleh, apabila aktor berhasil merebut kekuasaan politik lokal. Dibalik kekuasaan ini, maka aktor akan sepenuhnya mengatur kebijakan investasi pertambangan dan penggalian, serta mengontrol pengelolaan APBD. Konteks ini tergambar melalui pengakuan informan berinisial AGS dan ZNL: “...pilwali membutuhkan dana yang besar. Pintu partai saja minimal 1,5 milyar, belum lagi operasioanl tim dan hari pencoblosan. Dana sangat besar dibutuhkan, kira-kira bisa mencapai 3-5 milyar...Untuk itulah, kemenangan pak wali Asrun saat pilwali pertama yang digelar di Kendari berkat dukungan dana yang besar dari pengusaha lokal keturunan Cina...Tidak tanggung, dukungan dana dari pengusaha tersebut dalam jumlah milyaran rupiah saat hari pencoblosan. Dana tersebut bukan hibah, tapi pinjaman. Bahkan ada kontrak hitam di atas putih...Adapun pengembalian dana pinjaman tersebut dilakukan melalui proyek-proyek kontraktor atau pembangunan infrastruktur daerah...” ungkap AGS Wawancara tanggal 28122011. “...jangan heran kalo Sulawesi Tenggara dideklarasikan sebagai provinsi tambang. Itu sudah didesain penguasa provinsi...Ini salah satu cara penguasa mengembalikan pinjaman dana pilkada dan mengumpulkan pundi-pundi untuk agenda politik, termasuk suksesi periode berikutnya. Setiap perusahaan yang masuk harus menyetor 300 juta jika ingin memperoleh izin tambang. Belum lagi upeti per bulan yang disetor pengusaha ke penguasa sebesar 200 sd 300 juta. Semua ini dibayar cash, tidak melalui bank...” ungkap ZNL Wawancara tanggal 28122011. Uraian dan pernyataan informan di atas, semakin memperjelas berlakunya “hukum pasar” dalam praktik pengorganisasian ekonomi identitas. Terjadinya transaksi antar produsen aktor politik dan konsumen pengusaha, jika masing- masing pihak memiliki kepentingan yang dapat dipertukarkan. Dalam hal ini, aktor politik yang bertindak sebagai produsen membutuhkan modal ekonomi untuk kepentingan mempertahankan atau memperluas kekuasaan pengaruh politiknya. Sedangkan aktor ekonomi pengusaha bertindak sebagai konsumen yang berkepentingan untuk mengamankan asset ekonomi dan memperbesar kekuasaan ekonomi yang dimilikinya. Dengan demikian, transaksi akan semakin besar, apabila praktik politik identitas memberikan peluang terjadinya transaksi antar aktor politik dengan aktor ekonomi pengusaha. Praktik politik identitas etnik merupakan praktik yang terjadi di arena ekonomi politik lokal yang mengedepankan distingsi etnisitas, dimana aktor tidak dapat melepaskan atau menghindar dari tekanan struktur di atasnya, tetapi mampu mengkonstruksi kondisi yang ada sesuai dengan konteks kepentingan aktor. Dengan demikian, berbeda dengan dua praktik sebelumnya, praktik politik identitas etnik merupakan praktik yang cenderung ambivalen. Dikatakan ambivalen karena aktor berusaha mengambil keuntungan dari prinsip hierarki otonom disatu sisi, dan heteronom pada sisi yang lain. Pada prinsip hierarki otonom, aktor mengambil keuntungan dari basis identitas etniknya. Polemik sejarah etnik yang tak kunjung selesai, kedudukan kelompok etnik, kuantitas etnik, dan lain sebagainya di Kendari maupun Sultra merupakan keuntungan bagi aktor untuk mereproduksi dukungan massa berbasis etnik. Pada kondisi dan situasi seperti ini, aktor mengutamakan prinsip otonom dan memposisikan dirinya sebagai “pahlawan” yang memperjuangkan eksistensi entitas sosialnya. Adapun tindakan aktor tersebut bertujuan agar modal simbolik yang diperjuangkannya berdampak terhadap dukungan massa kepadanya, sehingga kekuasaan politik dengan mudah diperoleh. Meski demikian, aktor sadar bahwa prinsip hierarki otonom tidak cukup sebagai tools untuk merebut, mempertahankan, dan memperluas posisinya di arena politik. Sehingga prinsip hierarki heteronom yang berorientasi pada modal ekonomi memberikan kontribusi penting dalam praktik ini. Untuk itu, modal ekonomi yang dimiliki aktor lebih diorientasikan “memelihara” dukungan massa yang berasal dari basis kelompok etniknya, bahkan melintasi etnik lainnya. Sehingga kesan yang nampak, bahwa modal simbolik tidak memiliki arti apa-apa, apabila tidak didukung dengan modal ekonomi. Inilah “semboyan” para aktor politik di Kendari, “uang dan komunitas adalah pilar memenangkan arena politik lokal”. Konteks ini sebagaimana diungkapkan responden berinisial AMN: “...komunitas etnik penting untuk seorang kandidat kepala daerah. Tapi tidak cukup itu saja pak. Uang sangat penting saat pilkada. Kita perlu pelihara basis komunitas etnik. Perlu dibelikan beras per bulan dan memberikan uang saat H-1 pencoblosan. Besarnya pemberian uang tidak boleh kurang dari rival kita pak. Jika rival kita memberikan Rp. 100.000, maka kita di atasnya Rp. 200.000...Ini yang kemarin kita lakukan di Kabupaten Konawe Utara. Jadi komunitas etnik penting, tapi uang juga penting pak. Dua-duanyalah...” Wawancara tanggal 1122011. Kemudian dalam realitasnya, praktik politik identitas etnik tergambar dari pesta demokrasi di tingkat lokal, yakni pilkada. Adapun gambaran yang dapat diberikan dari pilkada, sebagai berikut: pertama, adanya realitas sentimen emosional etnik antara aktor dengan massa; kedua, terjadinya mobilisasi suara kandidat berdasarkan basis identitas etnik; dan ketiga, hadirnya gejala “segmentasi pasar politik” yang dilakukan aktor. Kontribusi Etnisitas dalam Struktur Pembentuk Identitas Berangkat dari uraian di atas, menjadi penting mengungkapkan temuan penelitian ini tentang pembentukan identitas etnik yang berbeda dengan pembentukan identitas versi Tod 2005. Jika Tod menyajikan pembentukan identitas yang terkesan linear, yakni berangkat dari habitus individu lalu terbangun kekhasan identitas individu sehingga membentuk kategori kolektif dan terbentuknya identitas kolektif, maka berbeda dengan temuan peneliti. Penelitian ini menunjukkan bahwa pembentukan identitas baik bersifat individu maupun kolektif, berada pada ruang yang peneliti sebut struktur pembentukan identitas etnik. Gambar 5.9. Struktur Pembentukan Identitas Etnik dalam Arena Ekonomi Politik Lokal. Selanjutnya struktur pembentukan identitas etnik tersebut, menekankan bahwa identitas etnik yang terbentuk baik ditingkatan aktor maupun kelompok etnik merupakan habitus individu maupun kelompok etnik yang berada pada garis kontinum obyektivikasi dan subyektivikasi aktor yang saling berinteraksi mengalami pertemuan, dimana “politik ingatan” dan kepentingan ekonomi memiliki pengaruh yang penting lihat Gambar 5.9. Pada garis kontinum obyektivikasi, kelompok etnik memainkan peran membangun “politik ingatan” KEL. ETNIK AKTOR KEL. ETNIK AKTOR S e jar ah P e n gal aman Kedudukan Kelompok- kelompok Etnik: •   Symbolic power; •  Legenda “Tokoh; Pemersatu”; •  Pelapisan Sosial; •  Stigmanisasi etnisitas. Kondisi Kelompok- kelompok Etnik: •  Sebaran kelompok etnik; • Etnik mayoritas; •  Kuantitas kelompok etnik. Reproduksi kultur kekuasaan etnik Segregasi Mata pencaharian bias etnik Marginalisasi atas penguasaan sumber ekonomi Posisi aktor dan pembatasan peran aktor Obyektivikasi Subyektivikasi Pembentukan Identitas Etnik Habitus Aktor dalam Arena Ekpol Mitologi Tomanurung Mitologi La Ndoke- doke Te Manu Mitologi Bharata dan Haluoleo atas masa lalu dan “nasib” masa depan aktor berdasarkan basis etnisitasnya. Dengan kata lain, konteks ini ingin memberikan gambaran tentang posisi aktor dan kelompok etniknya. Agar posisi ini dapat bertahan, maka kelompok etnik bersama aktor berupaya melanggengkan doxa dan melakukan orthodoxy yang dimilikinya. Atau melakukan heterdoxy atas doxa yang bersifat negatif bagi etnisitasnya. Studi ini menunjukkan bawah salah satu doxa yang dipertahankan adalah kekuasaan kerajaan tradisional masa lalu symbolic power dan kedudukan kelompok etnik di Kendari maupun Sulawesi Tenggara. Selanjutnya doxa, orthodoxy, dan heterodoxy tersebut direproduksi dari satu generasi ke generasi lainnya. Dengan demikian, dimensi sejarah memberikan BOKS 5.2. “Sejarah yang Terkalahkan”: Upaya Melakukan Heterodoxy SAI adalah satu dari sedikit dosen di Unhalu yang berasal dari etnik Buton dan memiliki konsen terhadap dinamika ekonomi politik lokal di Sulawesi Tenggara. Sebagai seorang mantan aktivis kampus sewaktu mahasiswa, SAI memiliki jaringan yang cukup luas baik di dalam maupun di luar Sulawesi Tenggara. Dengan umurnya yang relatif muda, ia merasa perlu memahami lebih dalam tentang geo-politik Sulawesi Tenggara dan posisi entitas sosial di Sulawesi Tenggara. Untuk itulah, ketertarikannya terhadap kajian sosial tidak kalah menariknya dengan ilmu ekonomi pembangunan yang ditekuninya sebagai dosen saat ini. Dengan kapasitasnya sebagai intelektual muda Sulawesi Tenggara, memudahkan ia untuk memahami dengan cepat bagaimana peta ekonomi politik lokal di Sulawesi Tenggara, khususnya Kendari. Selanjutnya, ketika peneliti berkali-kali diskusi dengannya untuk memper-oleh informasi terkait tema studi peneliti, SAI seringkali mengungkapkan bahwa, “nuansa etnisitas di Kendari dan Sulawesi Tenggara begitu kental, bahkan kampus ikut di dalamnya”. Tetapi hal yang tak kalah menariknya adalah pembicaraan tentang posisi etnik SAI di tengah-tengah kontestasi kelompok-kelompok etnik mayoritas. Menjawab hal di atas, SAI maengatakan bahwa “sejarah Buton adalah sejarah yang terkalahkan. Meski harus jujur diakui bahwa peradaban Buton lebih maju dibandingkan yang lainnya”. Pernyataan SAI didasari atas catatan sejarah: 1 pemin- dahan Ibukota provinsi dari Buton ke Kendari; 2 stigmanisasi PKI; 3 lengsernya putra terbaik Buton dalam arena politik lokal, seperti: La Ode Hadi dan Moh. Kasim; dan 4 kekalahan putra terbaik Buton dalam momentum pilgub. Atas empat poin di atas, SAI mengatakan, “ada upaya yang disengaja untuk menaklukkan orang Buton dan kami sadari hal tersebut”. Padahal, lanjut SAI, “semua itu tidak benar. Ada kesan sejarah diputarbalikkan”. Respon yang disampaikan SAI tersebut merupakan heterodoxy untuk melawan doxa yang tidak sesuai dengan kenyataan orang Buton Wawancara 23112011. ruang bagi kelompok etnik dan aktor untuk mempertahankan posisi melalui pelestarian modal simbolik dan modal budaya lihat Boks 5.2. Kemudian pada garis kontinum subyektivikasi, aktor memainkan peran atas dasar kepentingan ekonomi dengan melakukan disposisi. Adapun bentuk disposisi yang dimaksud, antara lain: kondisi marginalisasi, segregasi matapencaharian, pembatasan peran, dan penguasaan sumber ekonomi yang dialami dan dirasakan aktor. Dalam kondisi seperti ini, aktor berupaya mereproduksi sentimen kelompok etnik untuk keluar dari kondisi posisi sebelumnya. Aktor yang terdominasi dalam ekonomi, akan berupaya sekeras mungkin memperoleh modal ekonomi dengan mereproduksi modal sosial jaringan aktor dan modal simbolik yang dimilikinya, sehingga mampu mengakses sumber ekonomi. Ketika sumber ekonomi tersebut berhasil diakses, maka aktor berharap memperoleh posisi strategis dan tidak terdominasi lagi. Sebaliknya, bagi aktor yang mendominasi akan terus berupaya melanggengkan posisinya dengan mengakumulasi modal ekonomi, memperluas modal sosial, dan menjaga modal simbolik yang dimilikinya lihat Boks 5.3. Gambar 5.10. Afiliasi Kelompok Etnik pada Praktik Politik Lokal. Atas uraian di atas, maka peneliti beranggapan tindakan aktor senantiasa menyertakan basis etnisitas yang berorientasi pada kepentingan ekonomi dan politik. Untuk itu, struktur pembentukan identitas etnik di arena ekonomi politik Kepulauan Muna- Tolaki Buton- Bugis Daratan lokal merupakan relasi dialektikal antara aktor dengan kelompok etnik yang membentuk identitas bersama dan melekat dalam diri aktor berlandaskan kesejarahan kelompok etnik posisi dan pengalaman disposisi dari aktor. Meski demikian, identitas etnik dapat berubah seiring berjalannya waktu, apabila terjadi disposisi-disposisi baru dalam diri aktor. Dalam hal ini, perubahan identitas terjadi apabila ruang kepentingan space of interest aktor semakin kecil untuk memperluas kekuasaannya di arena ekonomi politik. Sehingga aktor akan berupaya mempengaruhi kelompok etnik untuk meredefinisi keidentitasan etniknya agar memenangkan pertarungan dalam arena ekonomi politik. Dengan demikian, struktur pembentukan identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama, pembentukan identitas etnik skala besar, merupakan pembentukan identitas etnik yang mempertemukan sejarah kelompok etnik dengan pengalaman aktor. Struktur pembentukan identitas ini terjadi di inter dan antar kelompok etnik. Pada kondisi internal, aktor bersama kelompok etnik mereproduksi berbagai jenis modal modal sosial, budaya, dan simbolik yang dimiliki. Meski demikian, tidak jarang terjadi pertarungan antar aktor dalam kelompok etnik yang sama di arena politik. Sedangkan antar kelompok etnik yang berbeda, aktor bersama kelompok etniknya masing-masing mereproduksi modal simbolik untuk membangun afiliasi etnik. Hadirnya doxa “daratan-kepulauan” dalam praktik politik lokal di Kendari Sulawesi Tenggara adalah contoh pembentukan identitas ini lihat Gambar 5.10. Ilustrasi konteks doxa tersebut, sebagaimana diungkapkan informan berinisial PNL bahwa “...bicara sejarah masa lalu, Buton itu saudaranya Bugis pak. Muna saudaranya Makassar. Ketika kita bicara tentang politik, ini mohon maaf pak, Buton-Bugis saudaranya Belanda. Sebaliknya Muna-Makassar musuhnya Belanda...” Wawancara tanggal 18112011. Selanjutnya dalam struktur pembentukan identitas ini, aktor bersama kelompok etnik berupaya memenangkan pertarungan di arena politik, lalu masuk ke arena ekonomi. Untuk memenangkan pertarungan yang dimaksud, maka dilakukan berbagai doxa, heterodoxy, dan orthodoxy yang mempertentangkan antar satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Symbolic power dan relasi antar kelompok etnik seringkali digunakan aktor sebagai alasan untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan politik. Situasi dan kondisi seperti ini, dijumpai pada peristiwa atau momentum pemilu, pilgub, dan konflik antar kelompok etnik yang pernah terjadi di Indonesia. Kedua, pembentukan identitas etnik terbatas, merupakan pembentukan identitas etnik berdasarkan pengalaman atau disposisi-disposisi yang terjadi di dalam diri aktor. Sebelum aktor memanfaatkan sentimen emosional massa berbasis etnik dan jejaring yang dimilikinya, aktor terlebih dahulu mengakumulasi modal ekonomi sesuai dengan kepentingannya. Berbeda dengan struktur pembentukan identitas sebelumnya, aktor berupaya memenangkan pertarungan di arena ekonomi terlebih dahulu, kemudian masuk ke arena politik. Situasi dan BOKS 5.3. Kekecewaan Terhadap Aktor dari Etnik yang Sama AMN adalah politisi asal Muna yang memiliki jam terbang cukup tinggi. Pada tahun 2007, ketika Sulawesi Tenggara pertama kali menggelar pemilihan secara langsung gubernur, AMN ikut bergabung dengan Gubernur Sulawesi Tenggara yang menang saat ini, yakni H. Nur Alam, SE. Bergabungnya AMN di tim ini dikarenakan pasangan yang digandeng Nur Alam berasal dari Muna, yakni Saleh Lasata. Boleh dikata, kemenangan Nur Alam di Raha adalah kontribusi dari AMN. Tetapi, pasca terpilih menjadi gubernur, AMN seakan ditinggalkan. AMN mengatakan, “kecewa jelas ada, tapi tidak berlarut-larut”. Harapan AMN tidak banyak terhadap Nur Alam. Setidaknya menurut AMN, “Nur Alam memperhatikan teman-teman yang banyak membantu”. Ketika peneliti bertanya, bentuk perhatian apa yang diharapkan, AMN menjawab, “setidaknya persoalan ekonomi teman-teman selesai”. Statment AMN ini mengingatkan peneliti bahwa “akumlulasi modal ekonomi” adalah salah satu motif keterlibatan seseorang di Tim Sukses Pemenangan Kepala Daerah. Fenomena AMN, peneliti jumpai pula pada responden berinisial ARM yang berasal dari etnik Tolaki dan mengaku kecewa dengan kepemimpinan Gubernur Nur Alam karena telah banyak membantu pada tahun 2007. ARM mengatakan, “jangankan dapat proyek dari gubernur, ditemui saja susahnya bukan main”. Baik AMN maupun ARM, keterlibatan mereka awalnya karena memiliki kesamaan solidaritas dengan kandidat. Jika AMN ada Saleh Lasata yang orang Muna, maka ARM terlibat karena Nur Alam berasal dari etnik Tolaki. Menghadapi pilgub 2012, AMN dan ARM cenderung memilih kandidat dari etnik yang berlainan. Ketika peneliti bertanya, apa alasan mereka melakukan ini, keduanya menjawab senada, “kami melakukan perlawanan Lebih baik kami memilih orang lain yang berlainan etnik, tapi memperhatikan kita daripada memilih sesama etnik tapi cuekknya bukan main”. Saat ini mereka berdua AMN dan ARM, melakukan pengkonsoludasian jaringan yang mereka miliki untuk mengarahkan suara ke pilihan kandidat. Berangkat dari kasuistik AMN dan ARM, menjadi jelas bahwa kedua aktor ini berangkat dari kepentingan ekonomi untuk melakukan pengkonsoludasian entitas sosial mereka masing-masing Wawancara tanggal 1122011. kondisi ini, dijumpai pada fenomena pengorganisasian ekonomi identitas dan tindakan individu aktor dalam politik identitas. Berdasarkan uraian dan penjelasan sebelumnya, maka dipastikan pembentukan identitas etnik sangat menentukan atau berpengaruh terhadap praktik-praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal yang mana di dalamnya terbentuk kekuatan [identitas] etnik dan relasi antar etnik akan dijelaskan pada bab berikutnya. Aktor yang Terlibat Siapakah aktor yang terlibat dan melakukan pertarungan dalam arena ekonomi politik lokal? Lalu bagaimana posisi subyektif aktor dalam arena yang dimaksud tersebut? Kedua pertanyaan tersebut penting untuk diuraikan karena menentukan praktik-praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya peneliti menguraikan proposisi-proposisi aktor yang peneliti bangun dalam kaitannya dengan habitus etnisitas yang dimaksud dalam studi ini. Adapun proposisi-proposisi tersebut, sebagai berikut: 1 Habitus etnisitas yang dimiliki aktor akan selalu mengklasifikasikan arena yang akan dimasuki. Sebaliknya, arena mengkondisikan habitus etnisitas aktor; 2 Habitus etnisitas bagi aktor yang dominan, akan mempertahankan posisinya dengan mengakumulasi berbagai modal. Sehingga aktor senantiasa memanfaatkan modal yang dimilikinya untuk merebut dan mempertahankan posisi; dan 3 Modal memiliki kekuatan untuk menentukan reproduksi dalam arena ekonomi politik lokal. Arena ini, kemudian mensyaratkan kepemilikan modal dari seorang aktor sebagai aturan-aturan yang tersirat di dalamnya. Berangkat dari proposisi di atas, maka praktik aktor dalam arena ekonomi politik lokal disesuaikan berdasarkan distingsi identitas etnik dan latar belakang profesi aktor. Hal tersebut disebabkan setiap arena memiliki aturan-aturan yang harus diikuti aktor. Adanya aturan-aturan tersebut, menyebabkan tidak semua aktor dapat memasuki arena yang ada sehingga aktor cenderung bertindak memilih praktik-praktik yang sesuai dengan habitusnya. Selanjutnya, apabila aktor merasa memiliki kuasa yang cukup atas praktik yang dijalankannya, maka aktor dapat “menjajah” ke praktik lainnya. Oleh karena itu, aktor sebagaimana temuan dari penelitian ini, umumnya aktor dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: 1 Aktor dalam in-actors, yaitu aktor yang lahir dan besar di Kendari Sulawesi Tenggara, serta mengalami berbagai peristiwa pergesekan bahkan benturan antar etnik yang terjadi dalam arena ekonomi politik lokal. Pergesekan dan benturan tersebut, kemudian membentuk persepsi aktor tentang etnisitas yang tidak jarang mempengaruhi aktor memisahkan diri dengan praktik-praktik dominasi dan terdominasi yang terjadi antar etnik. Kemudian ketika aktor memiliki kepentingan dalam arena ekonomi politik lokal, maka aktor dominan mereproduksi identitas etnik sebagai instrumen tools mewujudkan kepentingan yang diinginkan. Mereka yang disebut aktor dalam kategori ini, sebagian besar menempuh pendidikan di universitas daerah dan menjadi aktivis di kampus tersebut; dan 2 Aktor luar out-actors. Berbeda dengan aktor sebelumnya, aktor ini lahir di Kendari Sulawesi Tenggara, tetapi besar di luar daerah ini. Hasil interaksinya dengan pengalaman di luar Kendari Sulawesi Tenggara menyebabkan aktor memiliki persepsi sendiri tentang distingsi identitas etnik dan memperlakukannya. Untuk itu, ketika aktor memiliki kepentingan dalam arena ekonomi politik lokal, maka aktor tidak dominan menggunakan identitas etnik sebagai instrumen tools. Namun aktor mencari instrumen yang tepat untuk mewujudkan kepentingan yang diinginkan. Kalaupun distingsi identitas etnik digunakan aktor sebagai instrumen, maka sifatnya hanyalah taktis dan sementara saja. Adapun aktor yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dulunya pernah mengenyam pendidikan tinggi di luar Sulawesi Tenggara dan menjadi aktivis di kampus-kampus tersebut. Berangkat dari dua kategori umum tersebut, aktor secara spesifik dibedakan berdasarkan basis profesinya, seperti: aktor politisi, birokrat, kampus, pengusaha, dan NGOLSM. Meski demikian, pembedaan berdasarkan basis profesi aktor bukan berarti membatasi wilayah atau cakupan tindakan aktor. Melainkan, disini aktor lebih memahami bahwa posisi subyektif aktor dan prinsip-prinsip pembentukan identitas etnik yang tak dapat dipisahkan dikotomis antar aktor dengan massa. Tidak itu saja, setiap aktor yang terlibat memiliki kekuatan yang berbeda-beda dalam mengakumulasi modal sebagai syarat untuk “bertarung” di arena ekonomi politik lokal. Posisi Subyektif Aktor dan Mobilisasi [Identitas] Etnik Meski massa cenderung mengutamakan dan mempertahankan modal simbolis sebagaimana penjelasan pada prinsip-prinsip pembentukan identitas etnik, namun kondisi ekonomi massa yang tidak layak bisa memberikan peluang bagi aktor untuk melakukan mobilisasi [identitas] etnik dengan kekuatan modal ekonomi yang dimilikinya. Akan tetapi mobilisasi [identitas] etnik hanya dapat dilakukan dalam bentuk dukungan politik dari massa. Sebagaimana diungkapkan informan peneliti berinisial AMN 98 : “...tanpa uang dukungan kerabat sesama etnik tidak akan mungkin diperoleh. Ibaratnya, kalo saja kita satu etnik dimana saya dari golongan miskin. Mana mungkin saya ke Mandonga bertemu Bapak, jika saja Bapak tidak memberi saya uang pete-pete. Walau niat saya ke Bapak, tapi kalo Bapak tidak perhatikan nasib saya bagaimana pak...Situasi ini terjadi dengan salah kandidat gubernur tahun 2007 dari etnik Muna berinisial MHD...” ungkap AMN Wawancara tanggal 1122011. Dengan demikian, menurut peneliti bahwa posisi subyektif aktor di arena ekonomi politik lokal mampu mendorong terwujudnya mobilisasi [identitas] etnik yang bersifat negatif maupun positif. Mobilisasi [identitas] etnik bersifat negatif, terjadi apabila aktor dengan modal ekonomi yang dimiliknya melakukan upaya mobilisasi [identitas] etnik. Adapun mobilisasi yang dilakukan aktor bertujuan 98 AMN adalah responden penelitian ini yang dapat digolongkan sebagai elit politik dari etnik Muna. Sejauh ini, AMN memiliki pengalaman sebagai master campaign kandidat bupati dan gubernur di Sulawesi Tenggara. agar memperoleh dukungan simbolik dari basis etnisitasnya untuk meraih kekuasaan politik sebagaimana yang diharapkan. Situasi dan kondisi ini terjadi, apabila massa yang tersegregasi dalam kondisi miskin. Oleh karena itu, pilkada dengan mudah membuka ruang mobilisasi [identitas] etnik. Jika situasi dan kondisi ini terus “dipelihara” dan berlanjut, maka akan memberikan dampak bagi suramnya masa depan Kendari, Sulawesi Tenggara maupun Indonesia. Gambar 5.11. Prinsip Hierakhi dan Mobilisasi [Identitas] Etnik di Lokasi Studi. Sementara itu mobilisasi [identitas] etnik bersifat positif, terjadi apabila aktor mendukung menjaga sepenuhnya modal simbolik yang telah melekat dalam diri massa. Atau terjadi apabila massa yang memiliki modal simbolik dengan kesadaran penuh melakukan tindakan penolakan atas segala cara yang dilakukan aktor atau pelaku lainnya untuk membenturkan antar massa kelompok- kelompok etnik demi kepentingan kekuasaan aktor. Perihal yang terakhir, terjadi apabila kondisi massa sudah tidak lagi dalam keadaan miskin dan adanya kemauan kolektif dari seluruh pihak untuk mengawal agenda multikulturalisme. Sehubungan dengan hal di atas, Gambar 5.11 mengingatkan hasil penelitian yang mengatakan bahwa trend kemajuan ekonomi di beberapa negara Asia Aktor memperoleh dukungan massa Praktik Pilkada yang sarat dengan money politic Mobilisasi [Identitas] Etnik HETERENOM OTONOM AKTOR Massa Dukungan Aktor dari Massa yang memperjuangkan eksistensi identita [etnik] Modal Ekonomi Eksisitensi identitas etnik di berbagai arena Modal Simbolik Keterangan: Mobilisasi + Mobilisasi - Tenggara Indonesia, Singapura, dan Malaysia memiliki hubungan linear dengan tumbuhnya organisasi-organisasi kemasyarakat baru. Meski demikian, gejala ini menurut pandangan antropolog Robert W. Hefner 2011:77-79: “...karena berasal-usul dari masyarakat-masyarakat yang beraneka ragam, asosiasi-asosiasi civic itu kadang-kadang bisa digunakan untuk mempromosikan kepentingan-kepentingan salah satu kelompok sosial yang berseberangan dengan kelompok lain, bukannya demi tujuan- tujuan demokratis” Senada dengan Hefner, studi ini menggarisbawahi bahwa modal simbolik yang dimiliki masyarakat majemuk ternyata tidak cukup sebagai faktor utama mewujudkan agenda multikulturalisme di arena ekonomi politik. Tetapi perlu diikuti dengan penyelesaian problem kemiskinan dan membangun kesadaran kolektif berbagai pihak untuk bersama-sama mengawal agenda multikulturalisme. Dengan demikian, posisi subyek aktor di arena ekonomi politik lokal memberikan gambaran awal bahwa aktor memiliki peran dalam pembentukan identitas etnik dan moda praktik yang berlangsung dalam arena ekonomi politik lokal. Peta Kekuatan Aktor dalam Arena Ekonomi Politik Lokal Untuk memetakan kekuatan aktor dalam arena ekonomi politik lokal, maka penting memahami “bermainnya” modal dalam praktik ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik arena ekonomi politik lokal lebih menitikberatkan modal simbolik dan modal ekonomi yang miliki aktor sebagai kekuatannya. Sementara itu, relasi antar aktor bias etnik lebih bersifat transaksional yang memberikan keuntungan bagi aktor dengan pihak yang diajak melakukan transaksi. Oleh karena itu, aktor yang memasuki praktik ini memiliki kemampuan “memainkan” peran yang telah ditentukan prinsip heteronom maupun otonom. Selanjutnya di arena ekonomi politik lokal tersebut, aktor memiliki kecenderungan atau orientasi untuk merebut kekuasaan politik. Kemudian agar orientasi tersebut tercapai, aktor menggunakan sepenuhnya modal simbolik dan ekonomi yang dimilikinya untuk menarik dukungan massa saat berlangsungnya momentum politik seperti: pilkada, suksesi parpol, suksesi ormas, suksesi kampus, dan lain sebagainya. 99 Apabila aktor berhasil memposisikan diri dalam arena politik, maka aktor dengan perlahan-lahan akan “menjajah” atau memperluas praktiknya di arena ekonomi sesuai dengan kekuasaan politik yang dimilikinya. Adapun orientasisnya adalah mengakumulasi modal ekonomi agar pengaruh aktor semakin luas dan dapat “memilihara” dukungan massa selama kekuasaan politik masih melekat di dalam dirinya. Ibarat “sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui”, praktik aktor dalam arena ekonomi politik lokal memiliki daya tarik tersendiri sehingga banyak aktor memasuki praktik ini. Mereka yang dimaksud adalah aktor politik, birokrat, pengusaha, dan NGOLSM. Serta ditemukan satu-dua aktor kampus yang ikut terlibat dalam praktik ini. Inilah salah satu alasan mengapa praktik ekonomi politik lokal cenderung lebih kompleks. Namun demikian, kekompleksitasan tersebut dapat diuraikan dengan terlebih dahulu memetakan modal simbolik dan ekonomi kekuatan praktik dari masing-masing aktor lihat Tabel 5.9. Studi ini menunjukkan bahwa aktor politik dan birokrasi cenderung memiliki kekuatan praktik yang lebih besar dibandingkan aktor lainnya. Kemudian disusul aktor pengusaha karena memiliki modal simbolik di bawah dua aktor sebelumnya. Fenomena inilah yang kemudian menyebabkan mengapa kandidat kepala daerah senantiasa berasal dari tiga profesi ini. Aktor kampus dan NGOLSM merupakan aktor dengan posisi “kuda hitam” yang sewaktu-waktu tampil sebagai rival aktor politik, birokrasi, dan pengusaha di arena politik lokal. Kurangnya dukungan modal ekonomi dari kedua aktor ini menyebabkan posisi aktor ini cenderung tidak kuat lemah dalam proses rivalisasi antar aktor di arena politik yang bersifat massal. Hal ini disebabkan otonomi daerah atau demokrasi lokal yang bersifat liberatif cenderung menggiring massa untuk menempatkan modal ekonomi uang secara lebih masif. 99 Biasanya aktor yang berhasil memenangkan pertarungan dengan dukungan massa adalah aktor yang mampu mereproduksi symbolic power, stigmanisasi etnik, kekuatan etnik, dan kekuasaan kerajaaan tradisional masa lalu. Meski tak dapat disangkal, bahwa keberhasilan aktor sangat ditentukan dengan kekuatan modal ekonomi yang dimilikinya. Tabel 5.9. Peta Kekuatan Aktor dalam Arena Ekonomi Politik Lokal. Aktor Kekuatan Praktik Aktor Orientasi Praktik Modal Simbolik Modal Ekonomi 1. Politik Memiliki pengaruh di masy. karena keturunan bangsawan, ketua ormas, dan pengurus parpol Memiliki kekayaan materiil yang mumpuni Merebut dan mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi 2. Pengusaha Ekonomi Ketua ormas dan memiliki pekerja dari lintas etnik Memiliki kekayaan materiil yang mumpuni Memperluas dan mengamankan asset ekonomi dan memiliki orientasi memasuki praktik politik 3. Birokrasi Memiliki pengaruh di masy. karena keturunan bangsawan dan ketua ormas Memiliki kekayaan materiil yang mumpuni Memiliki orientasi untuk memasuki praktik politik 4. NGOLSM Memiliki pengaruh di masy. karena memiliki program pendampingan di masyarakat dan memiliki kapasitas pengetahuan yang mumpuni terkait dinamika sejarah dan kebudayaan etnisitasnya Memiliki kekayaan materiil yang terbatas, tidak seperti tiga aktor sebelumnya. Memiliki orientasi untuk memasuki praktik politik 5. Kampus Memiliki pengaruh di masy. karena keturunan bangsawan, ketua paguyuban kelompok etnik, ketua ormas, dosen, dan memiliki kapasitas pengetahuan yang mumpuni terkait dinamika sejarah dan kebudayaan etnisitasnya Dibandingkan aktor NGOLSM, aktor kampus memiliki kekayaan materiil yang lebih baik, tetapi tidak sebaik aktor politik, ekonomi, dan birokrasi Memiliki orientasi untuk memasuki praktik politik dan ekonomi Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Dalam kondisi seperti di atas, maka terjadi transaksi atar aktor agar orientasi praktik yang diharapkan dapat tercapai. Pertanyaannya adalah siapakah aktor yang melakukan transaksi tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penting memahami praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Pemahaman akan hal tersebut, akan sedikit banyak memberikan gambaran kepada kita tentang pola relasi antar aktor yang melakukan transaksi. Selanjutnya aktor dari latar belakang yang beragam memiliki perbedaan kekuatan modal sosial dan ekonomi yang berbeda-beda. Setidaknya perbedaan tersebut, dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: 1 aktor kampus dan NGOLSM, merupakan aktor yang memiliki modal simbolik lebih baik dibandingkan aktor lainnya dan mendominasi praktik kekuasaan simbolis; 2 aktor politik dan birokrasi, merupakan aktor yang memiliki modal simbolik dan ekonomi lebih baik dibandingkan dengan aktor lainnya dan mendominasi praktik kekuasaan politik; dan 3 aktor pengusaha, merupakan aktor yang memiliki modal ekonomi lebih baik dibandingkan aktor lainnya. Tabel 5.10. Relasi Profesi-Etnisitas Aktor dalam Arena Ekonomi Politik Lokal. Profesi Aktor Kelompok Etnik Praktik Tolaki Muna Buton Bugis Politik x x x x Praktik kekuasaan politik Ekonomi x x Praktik kekuasaan ekonomi Birokrasi x x Praktik kekuassan politik Kampus x x x x Praktik kekuasaan kekuasaan simbolis NGOLSM x x x x Praktik kekuasaan simbolis dan praktik kekuasaan politik Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Merujuk tiga kategori tersebut, maka setiap aktor pada praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal tidak dapat dipisahkan dari basis kelompok etnisitasnya. Keterlekatan [identitas] etnisitas dalam praktik aktor disebabkan pembentukan identitas aktor tak dapat dipisahkan dengan struktur pembentukan identitas yang memposisikan obyektivikasi dan subyektivikasi yang dialami aktor. Dengan demikian, jika ketiga kategori di atas dihubungkan dengan basis etnisitas, maka aktor pengusaha lebih didominasi aktor asal Bugis dan Buton yang beroperasi pada praktik kekuasaan ekonomi. Selanjutnya, aktor birokrasi lebih didominasi etnik Tolaki yang beroperasi pada praktik kekuasaan politik. Meski tak dapat dipungkiri, aktor asal Bugis sudah terlihat merambah praktik kekuasaan politik. Sedangkan aktor politik, NGOLSM, dan akademisi kampus hampir ditemukan disetiap kelompok etnik. Meski demikian, aktor politik cenderung berorientasi kekuasaan politik, aktor NGOLSM lebih berorientasi praktik kekuasaan simbolis dan kekuasaan politik, dan aktor akademisi atau kampus lebih berorientasi kekuasaan simbolik lihat Tabel 5.10. Terpetakannya relasi profesi-etnisitas aktor menunjukan bahwa pola relasi transaksi antar aktor terjadi, apabila aktor merasa memiliki kuasa atas praktik yang dilakukannya sehingga diperlukan strategi untuk mempertahankan dan melanggengkan kuasa praktik-praktik di arena ekonomi politik lokal. Tidak itu saja, apabila aktor memiliki keinginan untuk “menjajah” praktik lainnya, maka aktor akan melakukan transaksi agar memiliki kuasa atas praktik tersebut. Disebabkan pola ini dilakukan setiap aktor yang memiliki distingsi etnisitas dan memiliki kepentingan yang sama, menyebabkan terjadinya pertarungan antar aktor untuk memperebutkan kuasa pada arena ekonomi politik lokal. Tentang pertarungan dan strategi aktor di arena ekonomi politik lokal akan di bahas pada bab selanjutnya. BAB VI PRAKTIK DOMINASI [IDENTITAS] ETNIK DALAM ARENA EKONOMI POLITIK LOKAL Secara sederhana, dominasi didefinisikan sebagai penguasaan oleh pihak tertentu yang lebih kuat terhadap pihak lainnya yang lebih lemah. 100 Dengan demikian, praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik dapat didefinisikan sebagai bentuk pertarungan yang terjadi antar aktor dari basis etnisitas berbeda untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi politik, dimana dari hasil pertarungan tersebut akan tampil aktor kelompok etnik tertentu sebagai pemenang yang lebih kuat dan memiliki penguasaan atas sumber-sumber ekonomi politik terhadap aktor kelompok etnik lainnya yang kalah dan berada pada posisi yang lebih lemah. Berangkat dari defenisi tersebut dan kepentingan analisis pada bab ini, maka pertanyaannya adalah apakah praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal terjadi di lokasi studi? Jika terjadi, lalu bagaimana bekerjanya dominasi [identitas] etnik dalam arena tersebut? Menjawab pertanyaan tersebut, maka penting memahami sebab-sebab yang mempengaruhi terjadinya dominasi. Studi ini menunjukkan bahwa terdapat tiga sebab yang mempengaruhi terjadinya dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik, yaitu kondisi dan kedudukan kelompok etnik, posisi pelaku atau aktor politik berbasis etnik, dan struktur ekonomi dan relasinya dengan aktor yang berkuasa. Masing-masing penyebab tersebut, kemudian terartikulasi ke dalam tiga praktik dominasi aktor bias [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Ketiga praktik yang dimaksud adalah praktik dominasi kekuasaan simbolis, praktik dominasi kekuasaan politik, dan praktik dominasi kekuasaan ekonomi. Selanjutnya ketiga praktik tersebut akan diuraikan pada berikut tulisan ini. 100 Istilah dirujuk dari kamus besar Bahasa Indonesia http:www.kamusbesar.com9351. Praktik Dominasi Kekuasaan Simbolis Praktik ini merupakan artikulasi dari kekuatan [identitas] etnik dan relasi antar etnik yang dilakukan aktor ketika memahami obyektivikasi etnisitas melalui yang tercermin dari kondisi dan kedudukan kelompok [identitas] etnik. Oleh karena itu, umumnya aktor yang terlibat adalah mereka yang memahami dinamika sejarah dan kebudayaan etnisitasnya, seperti tokoh kelompok etnik dan kampus. Atau dengan kata lain, praktik ini menekankan bahwa setiap aktor harus memahami dinamika sejarah dan kebudayaan etnisitasnya sebelum memasuki praktik ini. Untuk itulah, mengapa aktor politik, pengusaha, dan massa tidak banyak terlibat dalam praktik ini. Pengakuan keotoritasan aktor tersebut disebabkan aktor memiliki modal simbolik dan budaya yang tidak diragukan lagi. Adapun modal simbolik yang dimiliki aktor, seperti: keturunan bangsawan golongan atas dari pelapisan sosial tradisional, ketua paguyuban kelompok etnik, ketua organisasi masyarakat, dan dosenguru. Sementara itu, modal budaya yang dimiliki aktor, seperti: gelar pendidikan tinggi, memiliki komitmen terhadap pendidikan, dan pengetahuan yang luas terhadap sejarah dan kebudayaan etniknya. Berangkat dari kedua modal tersebut, maka aktor seolah-seolah memiliki otoritas dan berorientasi menegakkan prinsip hierarki otonom, yaitu menjaga eksistensi etnisitasnya di arena ekonomi politik lokal. Kemudian perbedaan basis identitas aktor ketika mendefinisikan eksistensi etnisitas tersebut, menyebabkan terbangunnya relasi antar aktor juga disebut relasi antar etnik dalam bentuk penyatuan afiliasi dan pemisahan deafiliasi yang tidak jarang melibatkan massa berbasis etnisitas ke dalam praktik ini. Disinilah nampak bagaimana aktor mereproduksi identitas etnik untuk kepentingan massa kolektif disatu sisi dan kepentingan diri aktor pada sisi yang lain. Dari sisi kepentingan massa kolektif, aktor mencerminkan representasi kelompok kolektif yang bertujuan untuk memperlihatkan dan memberi bentuk pada realitas penyatuan afiliasi dan pemisahan deafiliasi antar etnik mayoritas di lokasi studi. Umumnya, wacana yang merupakan refleksi dari kekuatan [identitas] etnik ditekankan pada kedudukan kelompok etnik, meliputi: sejarah etnik, symbolic power, dan legenda “tokoh pemersatu”. Disini, aktor menjadikan kedudukan kelompok etnik sebagai “amunisi” untuk membangun doxa, heterodoxy, dan orthodoxy di arena ekonomi politik lokal lihat Tabel 6.1. Tabel 6.1 memberikan pemahaman kepada kita bahwa artikulasi kedudukan kelompok etnik menyebabkan terjadinya penyangkalan antar kelompok etnik dalam arena ekonomi politik lokal di Kendari. Hal ini, tercermin melalui mitologi bharata Muna-Buton, legenda tokoh pemersatu Muna-Buton-Tolaki, dan La ndoke-doke te manu Buton yang berisi cerita kontradiksi antar kelompok etnik lokal dan kemudian dijadikan doxa oleh aktor dari masing-masing kelompok etnik tersebut. Meski demikian, kelompok etnik Bugis berhasil keluar dari kontradiksi- kontradiksi yang terjadi antar kelompok etnik, sehingga memiliki kemampuan untuk berafiliasi dengan ketiga kelompok etnik lainnya. Semua ini disebabkan keberhasilan kelompok etnik Bugis meng-orthodoxy-kan doxa falsafah to manurung kepada ketiga kelompok etnik lainnya Tolaki, Muna, dan Buton. Inilah faktor penting bagi aktor asal Bugis bisa berafiliasi dengan aktor asal kelompok etnik lainnya. Meski demikian, tak dapat ditafikkan masih ditemukan adanya heterodoxy atas doxa kecenderungan afiliasi kelompok etnik Bugis lebih kepada kelompok etnik Buton. Beberapa informan peneliti mengungkapkan bahwa kemampuan aktor asal Bugis membangun afiliasi dengan kelompok etnik manapun disebabkan etnik Bugis memiliki daya adaptasi yang tinggi dan memiliki prinsip tiga ujung, yaitu ujung lidah, ujung kemaluan, dan ujung badik. 101 Ketiga prinsip ini dapat disebut sebagai nilia-nilai universal yang dimiliki aktor asal Bugis ketika berinteraksi dengan masyarakat multikultur. Namun kondisi berbeda dengan tiga kelompok etnik lainnya, dimana tidak tuntasnya sejarah lokal legenda “tokoh pemersatu” menyebabkan terjadinya deafiliasi antar kelompok etnik Buton dengan Tolaki. Demikian halnya dengan makna kata bharata yang berbeda antara kelompok etnik Muna dengan Buton menyebabkan terjadinya deafiliasi antar kelompok etnik Muna dengan Buton. Konteks inilah yang terefleksikan dalam politik identitas di Kendari maupun Sulawesi Tenggara lihat Boks 6.1. 101 Uraian lebih jelas tentang prinsip nilai tiga ujung orang Bugis dapat membaca buku karya Christian Pelras yang berjudul “Manusia Bugis”.