Pemerintahan Umum 180.676.948.952 PRAKTIK DOMINASI [IDENTITAS] ETNIK DALAM ARENA

terdapat 3 kecamatan yang memiliki jumlah KK miskin terbanyak, yaitu Kendari Barat 13,84 persen, Kendari 13,32 persen, dan Mandonga 13,66 persen. Dua kecamatan yang disebut di awal lebih didominasi etnik Bugis dan Muna, serta kecamatan yang disebut terakhir lebih didominasi etnik Tolaki. Sementara itu, kecamatan yang terkecil angka KK miskinnya adalah Kambu sebanyak 4,62 persen dari total KK miskin. Kecamatan ini adalah kecamatan yang didominasi etnik Bugis yang sebagian besar sebagai pedagang lihat Tabel 6.4. Gambar 6.10. PDRB Kota Kendari, Tahun 2006-2009. Jika uraian sebelumnya menekankan pada pendekatan pengeluaran belanja APBD, kemiskinan, dan lain-lain, maka untuk PDRB menurut pelaku usaha sektoral dapat melihat obyektivisme pelaku usaha dan industri. Berdasarkan DDA Kota Kendari 2011 menunjukkan bahwa dari 9 sektor yang menjadi fokus PDRB, hanya terdapat 3 sektor yang memberikan konstribusi terbesar terhadap PDRB Kota Kendari. Adapun tiga sektor yang dimaksud adalah pengangkutan dan komunikasi; pedagangan, hotel, dan restoran; petanian dalam arti luas; dan perburuhan lihat Gambar 6.10 dan Lampiran 15. Meski ketiga sektor yang telah disebutkan sebelumnya merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kota Kendari, tetapi laju pertambahan ketiga sektor tersebut relatif lambat dalam 3 tahun terakhir, dibandingkan sektor pertambangan dan galian 15,25 persen; industri pengolahan 13,67 persen; dan keuangan, pemesanan, dan jasa perusahaan 13,40 persen. Untuk sektor pertanian, analisis peneliti terhadap data Podes 2011 menyebutkan sedikitnya 5.737 KK tani 8,64 persen dari total KK yang mengusai lahan pertanian seluas 11.999 hektar. Data tersebut juga menyebutkan bahwa terdapat sedikitnya 1.133 KK yang terdapat anggota rumah tangganya bekerja buruh tani. Gambar 6.11. Penghasilan Utama Warga Kendari. Sementara itu, penghasilan utama mayoritas warga yang memiliki angka persentasi tertinggi adalah jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan, yaitu sebanyak 59,05 persen atau 40.191 KK. Kemudian disusul perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi sebagai penghasilan utama warga, yaitu 24,68 persen atau sebanyak 16.795 KK. Adapun pertanian dan sejenisnya menempati urutan ketiga sebagai penghasilan utama warga, yaitu sebanyak 14,39 persen atau 9.797 KK lihat Gambar 6.11. Dominasi [Identitas] Etnik dalam Struktur Ekonomi Kendari Jika sebelumnya telah diuraikan obyektivitas struktur ekonomi di lokasi studi, maka bagian sub bab ini akan menguraikan bekerjanya dominasi etnik dalam struktur ekonomi di Kendari. Untuk itu, uraian tentang posisi aktor berbasis etnik menjadi penting subyektivitas. Disini, alur pikir peneliti akan mengikuti uraian sebelumnya, namun sudah menambahkan posisi aktor berbasis etnik sebagai gambaran dominasi etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Oleh karena itu, tulisan pada bagian ini akan menguraikan: a Dominasi etnik dalam struktur PDRB yang menekankan pada peran pengeluaran APBD. Adapun bagian yang akan diuraikan, antara lain: 1 dominasi etnik dalam pengeluaran belanja APBD mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, pemerintah eksekutif Pemerintahan Kota, dan legislatif DPRD untuk memberikan gambaran relasi posisi aktor dengan alokasi pengeluaran APBD diberbagai tingkatan pemerintahan; dan 2 kemiskinan dalam relasinya dengan pilkada, realisasi pengeluaran APBD, dan aktor berkuasa; dan b Dominasi etnik dalam struktur PDRB menurut lapangan usaha sektoral. Khusus bagian ini, studi ini hanya memfokuskan pada lapangan usaha di sektor pertanian, sehingga bagian yang akan dikemukakan relasi aktor dengan penguasaan lahan, rumah tangga tani, dan buruh tani. Akhirnya dari uraian dan penjelasan nantinya, akan memberikan gambaran ketimpangan pendapatan yang terjadi antar etnik di era desentralisasi sebelum dan sesudah momentum pilkada sebagai “pintu masuk” kebangkitan identitas etnik di lokasi studi. Tentang hal ini, akan dibahas pada sub bab tersendiri. a Posisi Aktor Berbasis Etnik dan Pengeluaran APBD Pasca pilkada pertama di Kendari tahun 2007 yang lalu, posisi pejabat pemerintahan yang menempati pos-pos penting seperti: kepala dinas, kepala badan, dan sejenisnya di SKPD Kota Kendari nampaknya bias etnik. Kondisi ini, membuktikan bahwa desentralisasi memberikan peluang tampilnya aktor berbasis [identitas] etnik di arena ekonomi politik lokal. Studi yang mengambil Kendari sebagai lokasi penelitian ini menunjukkan sebanyak 126 aktor yang memiliki pemerintahan di tingkat kelurahan hingga eksekutif dan legislatif. Dari jumlah tersebut, etnik Tolaki cenderung sebanyak 46,03 persen atau 58 orang, disusul etnik Bugis sebanyak 27,78 persen 35 orang, dan etnik Muna sebanyak 19,84 persen 25 orang. Sementara itu, etnik Buton dan lainnya cenderung terdominasi, yakni masing-masing hanya menempatkan 1 aktor dan 7 aktor lihat Tabel 6.5. Tabel 6.5. Posisi Aktor Berbasis Etnik dalam Kekuasaan Pemerintahan Kota Kendari. Pemerintah Etnik Total Tolaki Muna Bugis Buton Lainnya Lurah 27 18 16 3 64 Camat 5 1 3 1 10 SKPD KadisKapus 12 1 7 2 22 Anggota DPRD 14 5 9 1 1 30 Jumlah 58 25 35 1 7 126 Jumlah 46,03 19,84 27,78 0,79 5,56 100 Sumber: Hasil penelitian lapangan, Tahun 2011-2012. Selanjutnya penelitian ini menunjukkan bahwa posisi aktor berbasis etnik menentukan penguasaan pengeluaran APBD sesuai dengan peruntukkannya masing-masing. Adapun peruntukkan realisasi pengeluaran APBD berdasarkan institusi lembaga pemerintahan, sebagai berikut: 1 dari 27 SKPD yang ada di pemerintahan kota Kendari, hanya 22 SKPD yang berhasil peneliti ketahui background etnik kepala dinas. Dari jumlah SKPD yang diketahui tersebut, alokasi realisasi pengeluaran APBD sebesar Rp. 554.665.120.171 97,85 persen; 2 sebanyak Rp. 2.414.338.236 alokasi anggaran realisasi pengeluaran di bawah kekuasaan 10 camat se-Kendari 0,44 persen; dan 3 sebanyak Rp. 9.509.901.361 alokasi realisasi pengeluaran APBD di bawah kekuasaan 64 kelurahan atau sebesar 1,71 persen dari total anggaran realisasi di tiga tingkatan pemerintahan tersebut lihat Tabel 6.6. Tabel 6.6. Alokasi Realisasi Pengeluaran APBD Pemerintahan Kota Kendari Berdasarkan Peruntukkannya, Tahun 2010. Peruntukkan APBD Realisasi Pengeluaran APBD 1. SKPD 542.740.880.574 97,85 2. Kecamatan 2.414.338.236 0,44 3. Kelurahan 9.509.901.361 1,71 Jumlah 554.665.120.171 100 Sumber: Diolah dari laporan pemeriksaan hasil BPK 2011. Peneliti menduga dari sebaran realisasi pengeluaran APBD diberbagai tingkatan pemerintahan menunjukkan dominasi aktor berbasis etnik pada posisi strategis kepala dinas, camat, dan lurah di pemerintahan menentukan besar- kecilnya penguasaan penggunaan APBD tersebut. Sebagaimana ditunjukkan pasangan AS-MP Tolaki-Bugis sebagai kepala daerah Walikota-Wakil Walikota dalam tindakannya menentukan pejabat kepala dinas atau sederajat, camat, dan lurah di tingkat SKPD, kecamatan, dan kelurahan yang bias etnik. Dari sejumlah 22 kepala dinas yang berhasil peneliti telesuri, terdapat 12 kepala dinas atau sederajat berasal dari etnik Tolaki yang menguasai alokasi pengeluaran APBD sebesar Rp. 354.747.039.330 lihat Lampiran 16. Sementara itu, aktor asal etnik Bugis menempati 7 posisi jabatan kepala dinas atau sederajat dan menguasai alokasi pengeluaran APBD sebesar Rp. 137.497.929.680. Adapun aktor Muna, Buton, dan lainnya merupakan aktor yang terdominasi dalam kekuasaan SKPD lihat Gambar 6.12. Demikian halnya di tingkat pemerintahan kecamatan. Sebanyak 5 camat yang berasal dari etnik Tolaki, 3 camat dari etnik Bugis, 1 camat masing-masing dari etnik Muna dan lainnya lihat Lampiran 17. Seperti halnya di tingkat SKPD, semakin mendominasinya camat dari etnik tertentu akan menentukan kuasa atas alokasi realisasi pengeluaran APBD di tingkat kecamatan, dan sebaliknya untuk aktor yang terdominasinya. Pada pemerintahan di tingkat kecamatan, penelitian ini menunjukkan bahwa camat yang berasal dari etnik Tolaki dan Bugis cenderung mendominasi kuasa alokasi pengeluaran APBD, dibandingkan dengan camat yang berasal dari etnik Muna dan lainnya lihat Gambar 6.13. Gambar 6.12. Alokasi Realisasi Pengeluaran APBD Berdasarkan Dominasi Aktor Eksekutif SKPD Berbasis Etnik. Gambar 6.13. Alokasi Realisasi Pengeluaran APBD Berdasarkan Dominasi Aktor Camat Berbasis Etnik. Selanjutnya penelusuran peneliti ke pemerintahan terkecil kelurahan semakin membuktikan kebenaran adanya relasi yang kuat antar dominasi aktor bias etnik dengan kuasa alokasi realisasi pengeluaran APBD. Sebagai perpanjangan tangan dari pemerintahan kota dan merupakan pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat, posisi lurah sangat strategis. Disini, terdapat sebanyak 18 lurah yang berasal dari etnik Muna 28,13 persen dari total kelurahan se-Kendari yang tersebar di 7 kecamatan, yaitu: Poasia, Abeli, Mandonga, Kadia, Kendari, Puwatu, dan Wua-Wua. Ketujuh kecamatan tersebut memiliki kelurahan-kelurahan yang secara etno-demografi didominasi etnik Muna. Dari 18 lurah yang berasal etnik tersebut, kuasa atas alokasi realisasi pengeluaran APBD sebesar Rp. 2.659.505.055. Sementara itu, 16 lurah berasal dari etnik Bugis yang memiliki kuasa alokasi realisasi pengeluaran APBD di tingkat kelurahan sebesar Rp. 2.148.527.702. Seperti halnya dengan pejabat di tingkat kecamatan dan SKPD, etnik Tolaki masih tetap mendominasi posisi lurah, yakni sebanyak 27 lurah yang memiliki kuasa realisasi belanja APBD sebesar Rp. 4.219.773,750 lihat Gambar 6.14 dan Lampiran 18. Gambar 6.14. Alokasi Realisasi Pengeluaran APBD Berdasarkan Dominasi Aktor Lurah Berbasis Etnik. Berangkat dari kenyataan di atas, maka posisi aktor di pemerintahan kelurahan, kecamatan, dan SKPD yang bias etnik begitu berpengaruh terhadap besar-kecilnya alokasi pengeluaran belanja APBD. Jika demikian halnya, maka desentralisasi atau otonomi daerah yang sudah berjalan kurang lebih 1 dekade ternyata belum mampu mendorong pemerataan bagi kelompok-kelompok etnik atas akses terhadap sumberdaya ekonomi yang bersumber dari pembiayaan pemerintah. Malah sebaliknya, desentralisasi melalui pilihan demokrasi liberatif telah membuka sekaligus memberikan ruang mendominasinya kelompok- kelompok etnik mayoritas dan terdominasisnya tersisihkan kelompok-kelompok etnik minoritas. Jika demikian kenyataannya, maka sejauhmana negara merespon realitas ini dan bentuk upaya yang dapat dilakukan agar terciptanya keadilan bagi kelompok-kelompok etnik? b Kemiskinan dan Relasi Aktor Berkuasa Bias Etnik Telah dikemukakan sebelumnya bahwa jumlah KK miskin di lokasi studi mencapai 21.574 KK dari total jumlah KK sebanyak 68.062 KK atau sebanyak 31,69 persen Tim P2KP Kendari 2011. Dari jumlah tersebut, Tolaki merupakan kelompok etnik yang memiliki KK miskin terbanyak, yakni 7.201 KK 33,38 persen dari total KK miskin. Kemudian disusul etnik Bugis sebanyak 5.070 23,50 KK miskin dan etnik lainnya minoritas dan etnik Muna, yakni masing- masing sebanyak 4.452 KK 20,64 persen dan 4.391 20,35 persen. Adapun etnik Buton merupakan kelompok etnik yang memiliki jumlah KK miskin terkecil, yaitu 459 KK lihat Lampiran 18. Selanjutnya jika jumlah KK miskin berdasarkan etnik disesuaikan dengan sebaran lokasi kecamatan, terlihat bahwa semua kelompok etnik mencirikan jumlah KK miskin dan etno-demografi tinggi atau jumlah etno-demografi yang tinggi dan KK miskin rendah. Terkecuali kelompok etnik Buton yang memiliki KK miskin tinggi dan jumlah etno-demografi sedikit. Disebabkan dari empat etnik mayoritas di Kendari, etnik Buton secara kuantitas memiliki jumlah penduduk yang relatif sedikit sedikit dibandingkan dengan tiga kelompok etnik lainnya. Adapun sebaran di tingkat kecamatan dapat dilihat di Kendari dan Kendari Barat. Gambar 6.15. Sebaran KK dan KK Miskin Berdasarkan Etnik Kiri dan Sebaran Etno-Demografi dan KK Miskin Berdasarkan Kecamatan Kanan. Kemudian dibandingkan empat kelompok etnik di Kendari, etnik Bugis merupakan entitas sosial yang terkategori 106 sebagai kelompok etnik dengan sebaran kecamatan terbanyak KK miskin dan jumlah penduduknya berdasarkan etnik etno-demografi. Sedangkan etnik Tolaki merupakan entitas sosial yang terkategori sebagai kelompok etnik dengan sebaran kecamatan terbanyak yang memiliki jumlah penduduk berdasarkan etnik tinggi, tetapi KK miskin yang sedikit. Berbeda dengan etnik Muna, yang hampir menyebar merata disetiap kategori yang ada lihat Gambar 6.15. Terkait dengan topik penelitian ini, menjadi menarik untuk menelusuri relasi antara pilkada dengan kenyataan KK miskin di lokasi penelitian. Studi ini menunjukkan sebanyak 5 kecamatan Kendari Barat, Kendari, Mandonga, Abeli, 106 Kategori yang dimaksud terdiri dari: 1 jumlah KK miskin dan etno-demografi tinggi; 2 jumlah KK miskin sedikit, tetapi etno-demografi tinggi; 3 jumlah KK miskin dan etno- demografi sedikit; dan 4 jumlah KK miskin tinggi, tetapi etno-demografi sedikit. dan Puwatu dan 5 kecamatan sisanya Baruga, Poasia, Kadia, Wua-Wua, dan Kambu memiliki KK miskin sedikit. Kemudian dari 5 kecamatan yang disebutkan diawal, 2 diantaranya Abeli dan Puwatu memiliki KK miskin dan suara pemilih yang tinggi, serta 3 kecamatan sisanya memiliki KK miskin tinggi, tetapi suara pemilih yang relatif sedikit. Sementara itu, dari 5 kecamatan yang disebutkan terakhir , 3 kecamatan memiliki suara pemilih tinggi dan KK miskin sedikit, yaitu Kadia, Kambu, dan Wua-Wua. Adapun dua kecamatan sisanya, Poasia dan Baruga memiliki KK miskin dan suara pemilih yang sedikit. Gambar 6.16. Sebaran KK Miskin dan Suara Pemilih Kiri dan Sebaran KK Miskin dan Suara Pemilih Pilkada Berdasarkan Etnik Kanan. Jika distribusi KK miskin dan suara pemilih di atas, dikaitkan dengan perolehan suara kandidat pilwali tahun 2007 lalu, sangat jelas terlihat bahwa 2 kandidat yang memperoleh suara terbanyak tersebut, yakni AN-MP Tolak-Bugis dan BK-YK Tolaki-Bugis memperoleh kemenangan di 5 kecamatan yang memiliki KK miskin tinggi, yakni Abeli, Puwatu, Kendari Barat, Kendari, dan Mandonga, serta 5 kecamatan lainnya terdistribusi di kandidat-kandidat lainnya lihat Gambar 6.16. Peneliti hendak mengatakan bahwa kantong-kantong kemiskinan dan daerah kecamatan yang didominasi etnik tertentu sangat ampuh sebagai instrumen memenangkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Kedua hal di atas perlu peneliti utarakan dengan alasan bahwa pertarungan aktor dalam arena ekonomi politik lokal tidak dapat dipisahkan dengan kondisi obyektif identitas etnik dan kemiskinan. Identitas etnik komunitas dan uang money adalah “dua sisi koin” yang senantiasa dijadikan sebagai instrumen aktor untuk mempertahankan legitimasi dan kekuasaan yang dimilikinya. Setidaknya studi ini berhasil menunjukkan bahwa pilkada yang merupakan cermin demokrasi liberatif, memberikan kesempatan setiap aktor melakukan “politik identitas dan politik uang” sebagai instrumen penggalangan suara. Gambar 6.17. Sebaran Aktor Elit Pemerintah dalam Kuasa Pengaturan APBD Kendari Berdasarkan Etnik Kiri dan Aktor Elit Pemerintah dalam Pengentasan KK Miskin Berdasarkan Etnik Kanan. Adapun salah satu strategi yang dimaksud adalah “transaksi suara” membeli suara KK miskin di kelurahankecamatan yang memiliki karakteristik KK miskin dan dominasi etnisitas tertentu. Kondisi seperti ini sebagaimana dikatakan informan peneliti berinisial AGS dan DLB: “...etnis tetap dijadikan pertimbangan sebagai basis dalam pemilihan walikota pilwali. Tetapi kalo tidak disiram atau disentuh, 107 maka bisa jadi lari...misalnya pak X. 108 Ia selalu siram wilayah basisnya...Ia selalu datang di basis tersebut untuk menghadiri acara- acara warga, seperti menghadiri acara kedukaan, keagamaan, dan kegiatan kepemudaan...” ungkap AGS Wawancara tanggal 28122011. “...pokoknya politik lokal di daerah model-model transaksinya bertumpu pada dua hal, yaitu uang dan komunitas identitas...jadi seorang walikota begitu naik disatu sisi dia berbicara “perut” dan disisi lain dia berbicara komunitasnya...jadi jangan berharap bisa terjun ke politik kalo tidak punya jaringan seperti itu...saya kira ini gambaran Indonesia...” ungkap DLB Wawancara tanggal 4122011. Pernyataan kedua informan di atas, semakin mempertegas bahwa tidak hanya kepada warga massa, tetapi instrumen “politik identitas dan politik uang” juga digunakan aktor “memilihara” jaringan politik yang dimilikinya agar kekuasaan aktor tetap bertahan atau tidak bergeser. Atas kenyataan tersebut, menjadi pertanyaan substansi adalah apakah aktor berbeda etnisitas ketika berhasil meraih kekuasaan politik sehingga memiliki kuasa atas pengaturan alokasi pengeluaran APBD berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan di lokasi studi? Hasil penelusuran dan analisis yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa banyaknya aktor elit yang berasal dari etnik Tolaki dan Muna tidak memiliki pengaruh untuk menurunkan angka kemiskinan di kelompok etniknya masing-masing. Kondisi ini berbeda dengan aktor elit yang berasal dari etnik Bugis dan Buton dimana banyaknya aktor yang berkuasa memiliki peran menurunkan angka kemiskinan yang dialami oleh kelompok etniknya masing-masing. Gejala ini mengindikasikan bahwa kekuasaan yang diperoleh oleh aktor elit Tolaki dan Muna hanya dimaknai untuk kepentingan para aktor saja. Kondisi ini berbeda dengan aktor Bugis dan Buton, dimana kekuasaan yang diperolehnya dimaknai tidak hanya untuk kepentingan aktor tersebut, tetapi perlu didistribusi sesama kelompok etniknya. Inilah salah satu mengapa dua kelompok etnik ini cenderung memiliki kohesivitas sosial yang erat diantara mereka lihat Gambar 6.17. 107 Makna kata disiram atau disentuh dalam kalimat tersebut adalah warga diberikan uang. 108 Pak X adalah inisial yang peneliti gunakan untuk salah seorang kandidat yang bertarung Pilwali pada tahun 2007 lalu. c Pelaku Usaha Berbasis Etnik Apabila dilihat dari komposisi pelaku usaha berdasarkan etnisitas di lokasi studi, maka nampak kelompok-kelompok etnik yang tersebar di Kendari terbagi ke dalam 3 kategori pelaku usaha, yaitu: 1 pelaku usaha di sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan peorangan di dominasi oleh kelompok etnik Tolaki 38,64 persen dari total 40.191 KK pelaku usaha di sektor ini; 2 pelaku usaha di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan perburuhan cenderung merata disetiap basis etnik Muna, Tolaki, Bugis, dan lainnya, tetapi tidak untuk etnik Buton; dan 3 pelaku usaha di sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi di dominasi kelompok etnik Bugis sebanyak 33,65 persen dari total 16.795 KK pelaku usaha di sektor ini lihat Gambar 6.18. Gambar 6.18. Pelaku Usaha Berdasarkan Basis Etnik. Atas gambaran pelaku usaha di atas, maka secara sosiologis dominasi etnik dalam pelaku usaha dapat menjawab mengapa aktor Muna dan Tolaki ketika berkuasa cenderung berorientasi untuk kepentingan pribadi dibandingkan etnik Bugis, dimana ketika berkuasa selain untuk kepentingan pribadi juga didistribusi untuk kepentingan kelompok etniknya. Disini, analisis tentang budaya politik sangat berarti. Jika etnik Bugis diidentikkan dengan mayoritas pedagang, maka sebagai seorang pedagang membutuhkan modal sosial dalam bentuk jaringan sosial yang luas agar barang dagangannya diterima di pasar. Aktor Bugis menganggap bahwa jaringan sangat menentukan pengembangan bisnis atau usaha yang dijalankannya. Oleh karena itu, kekuasaan formal yang diperoleh aktor Bugis merupakan bagian untuk memperluas usaha atau bisnis yang dijalankannya. Itulah mengapa gaya kepemimpinan aktor Bugis cenderung divergen menyebar sebagai bagian untuk memperluas dan mengembangkan usaha atau bisnis yang dijalankkannya. Gambar 6.19. Pelaku Usaha Berdasarkan Etnik Menurut Relasi KK Tani dengan Luas Lahan Kiri dan Relasi KK Tani dengan Buruh Tani Kanan. Konteks di atas berbeda dengan aktor Tolaki dan Muna yang gaya kepemimpinannya cenderung konvergen menyatu. Dominasi pekerjaan pada sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan dan sektor pertanian dalam makna luas oleh masing-masing aktor Tolaki dan Muna tidak menuntut jaringan sosial yang luas, melainkan ketekunan terhadap pekerjaan dan loyalitas kepada pemimpin atau majikan adalah hal utama untuk eksis dalam pekerjaan yang ditekuninya. Semakin tekun dan loyal kepada atasan, maka semakin baik kehidupan mereka. Untuk itulah, konteks kesuksesan bagi mereka diukur dari kekuasaan yang melekat dalam diri aktor symbolic power dan materi yang dipunyai aktor economic power. Berdasarkan uraian di atas, maka tidak heran jika pelaku usaha di sektor pertanian dalam kaitannya antara KK tani dengan luas lahan banyak ditemukan pada kelompok etnik Tolaki dan Muna. Hasil analisis peneliti menunjukkan bahwa etnik Tolaki cenderung mendominasi KK tani dan luas lahan pertanian dibandingkan kelompok-kelompok etnik lainnya. Namun demikian, jumlah buruh tani pada kelompok etnik ini juga banyak ditemukan lihat Gambar 6.19. Artikulasi Dominasi Kekuasaan Ekonomi Uraian di atas, semakin menegaskan bahwa praktik kekuasaan ekonomi menitikberatkan pada prinsip hierarki heteronom yang menempatkan modal ekonomi sebagai penentu pengaruh aktor. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa logika dominasi [identitas] etnik yang dilakukan aktor dalam kekuasaan ekonomi tercermin melalui tindakan pengakumulasian modal ekonomi yang dilakukan aktor untuk memperluas pengaruh aktor. Dengan kata lain, semakin besar modal ekonomi yang dimiliki aktor, maka semakin besar pula pengaruh aktor dalam arena ekonomi politik lokal. Sebaliknya, semakin kecil modal ekonomi yang dimiliki aktor, maka semakin kecil pula pengaruh aktor dalam arena tersebut. Berkebalikan dengan moda praktik simbolis, aktor yang terlibat dalam praktik ini adalah mereka yang disebut sebagai politisi, birokrat, dan pelaku ekonomi pengusaha, serta massa. Untuk itu, kebanyakan aktor yang terlibat dalam praktik ini sebagian besar berasal dari etnik mayoritas di lokasi studi. Selanjutnya, disebabkan praktik ini mencerminkan pertarungan kekuasaan, maka artikulasi praktik kekuasaan ekonomi mencerminkan pertarungan antar aktor yang memiliki distingsi identitas etnik dalam perebutan pengaruh di arena ekonomi politik lokal. Dengan demikian, praktik kekuasaan ekonomi mencerminkan dua sisi kepentingan. Tabel 6.7. Kekuasaan Ekonomi dan Wacana Aktor sebagai Representasi Praktik Dominasi Kekuasaan Ekonomi. Etnik Aktor Kekuasan Ekonomi Wacana Aktor Tolaki Muna Buton Bugis Doxa Heterodoxy Orthodoxy Tolaki • Sebagian besar orang Tolaki dan Muna sebagai pekerja di aktivitas ekonomi milik aktor Bugis, Buton, atau Cina; • Orang Tolaki dan Muna mendominasi sektor ekonomi produksi dan jasa tenaga kerja Orang Tolaki sebagian besar sebagai pekerja di aktivitas ekonomi milik aktor Buton Orang Tolaki sebagian besar sebagai pekerja di aktivitas ekonomi milik aktor Bugis • Mendominasi aktivitas ekonomi produksi dan PNS di Kendari maupun Sultra; • Menguasai proyek- proyek konstruksi yang berasal dari dana APBD Tidak sepenuhnya doxa tersebut benar. Tepatnya apabila masuk dari klan atau kerabat penguasa - Muna Sebagian besar sebagai pekerja di aktivitas ekonomi milik aktor Buton Orang Muna sebagian besar sebagai pekerja di aktivitas ekonomi milik aktor Bugis Mayoritas sebagai pekerja kasar, in- formal, asisten RT, berkebun, dan buruh atau pelayanan toko - Ini adalah realitas bagi kelompok etnik Muna, sehingga para aktornya perlu bekerja keras untuk membongkar doxa tersebut Buton Menguasai ekonomi perdagangan, khususnya perdagangan hasil bumi, distrbutor, properti, hotel, dan lain-lain Peran politik yang minim di Kendari, menyebabkan orang Buton banyak berwiraswata - Dibandingkan dengan kelompok etnik mayoritas di Kendari, Buton merupakan etnik yang minoritas, sehingga lemah dalam hal posisi politik Bugis Menguasai sektor ekonomi perdagangan di Kendari; Tipikal orang Bugis adalah menguasai ekonomi, lalu rebut kekuasaan politik Dalam pertarungan politik lokal di Kendari, aktor Bugis tidak terlalu berambisi karena sudah memiliki kesibukan mengurus usaha ekonominya Sumber: Diolah dari hasil penelitian lapangan 2012. Pada sisi kepentingan kelompok etnik, aktor baik politisi, birokrat, maupun ekonomi merepresentasikan status yang dimiliki kelompok etniknya. Disini, aktor berperan sebagai orang yang memberikan kebanggaan simbolik bagi kelompok etniknya dan mengutamakan rekrutmen tenaga kerja dari kerabat atau massa yang berasal dari satu etnik. Persaingan terjadi ketika para aktor politisi, birokrat, dan ekonomi yang berbeda identitas etnisitasnya memiliki kepentingan yang sama, yakni memperluas dan mengamankan kekuasaan dan asset ekonominya. Dalam kepentingan ini, massa kelompok etnik tidak terlibat karena kepentingan yang paling menonjol adalah kepentingan para aktor politisi, birokrat, dan pengusaha. Kepentingan tersebut semakin nampak, ketika berlangsungnya momentum pilkada. Khusus aktor ekonomi, distingsi identitas etnik aktor tidak pernah bertemu dalam pembiayaan kandidat kepala daerah yang sama. Selanjutnya dari sisi kepentingan ini, aktor berhasil membangun doxa bahwa kelompok etnik Bugis dan Buton merupakan entitas sosial yang menguasai sektor ekonomi perdagangan. Kemudian doxa ini, memperoleh dukungan orthodoxy bahwa kelompok etnik Bugis lebih tertarik mengurusi ekonomi yang diusahakan ketimbang ikut serta dalam pertarungan politik lokal. Meski tak dapat dipungkiri terdapat heterodoxy bahwa kelompok etnik ini cenderung memiliki tipologi “kuasai ekonomi, lalu rebut politik”. Kondisi berbeda bagi kelompok etnik Muna dan Tolaki yang cenderung di- doxa-kan sebagai kelompok etnik yang mendominasi jasa tenaga kerja di sektor produksi dan ekonomi formal maupun non-formal. Dalam posisi seperti ini, kelompok etnik Muna cenderung beranggapan bahwa kondisi tersebut adalah realitas bagi mereka, sehingga diperlukan kerja keras dari para aktornya untuk mengangkat kondisi ekonomi kelompok ini. Namun berbeda dengan kelompok etnik Tolaki, yang beranggapan bahwa doxa dominasi kelompok etnik Tolaki sebagai PNS tidak sepenuhnya benar. Malah, mereka yang masuk sebagai PNS adalah yang memiliki klik atau kerabat dengan penguasa lihat Tabel 6.7. Kemudian pada sisi kepentingan aktor, kekuatan modal ekonomi yang dimiliki aktor diorientasikan pada dua hal, pertama, memperoleh dukungan simbolik dari massa yang memiliki kesamaan maupun perbedaan dengan basis etnik aktor. Pada orientasi ini, aktor sengaja mengkonstruksi relasi patron-klien sebagai bentuk relasi simbolik antar aktor dengan massa. Sebagai patron, aktor memberikan perhatian berupa jaminan hidup dalam bentuk memperkerjakan massa pada usaha ekonomi miliknya dan ikut serta menyelesaikan persoalan ekonomi keluarga yang dihadapi kliennya. Disini, aktor tidak membedakan klien berdasarkan distingsi identitas etniknya. Hal tersebut disebabkan aktor berkepentingan membangun relasi simbolik yang berdampak terhadap dukungan massa kepada aktor. Hasil studi ini menunjukkan bahwa massa dari kelompok etnik Muna cenderung memberikan dukungan kepada aktor dari kelompok etnik Bugis ketika Pilkada ketimbang aktor dari kelompok etnik mereka sendiri. Fenomena ini seperti diungkapkan AMN: “...tidak solidnya suara pemilih orang Muna, bukan karena mereka tidak mau memilih kandidat dari Muna. Tetapi elit atau kandidat dari Muna itu tidak pernah memperhatikan orang Muna sendiri...Kondisi ini terjadi dengan Mahmud Hamundu kandidat Gubernur Sultra yang kalah di Raha dan La Ode Khalifah sebagai kandidat Wakil Walikota yang kalah di Kelurahan Kendari. Kedua daerah itu adalah basisnya orang Muna...” Wawancara 1122011. Selanjutnya orientasi kedua adalah memperluas dan mengamankan asset ekonomi aktor dengan cara membantu pembiayaan pencalonan kandidat kepala daerah. Dalam konteks ini, peneliti mengingat temuan penelitian Hidayat et. al. 2006 bahwa minimnya modal ekonomi yang dimiliki aktor lokal ketika masuk pada pertarungan pilkada maupun pemekaran wilayah baru, mendorong upaya aktor lokal membangun klik dengan para pemilik modal pengusaha untuk memperoleh sponsor. Dengan demikian, orientasi ini memberikan artikulasi bahwa relasi antar aktor pengusaha dan penguasa lebih bersifat transaksional, dimana penguasa membutuhkan modal ekonomi untuk merebut kekuasaan politik lokal dan pengusaha membutuhkan perluasan, serta pengamanan asset ekonomi miliknya. Ketimpangan Etnisitas: Dampak Praktik Dominasi [Identitas] Etnik dalam Arena Ekonomi Politik Lokal Meski penelitian ini lebih memfokuskan pada peristiwa “kebangkitan politik [identitas] etnik” atau periode pasca era Orde Baru, namun uraian sebelumnya menunjukkan dengan jelas adanya dominasi [identitas] etnik yang bekerja dalam struktur politik dan ekonomi lokal. Lalu pertanyaannya, apakah kebangkitan politik [identitas] etnik di era desentralisasi yang ditandai dengan dominasi [identitas] etnik berdampak terhadap pemerataan pendapatan kelompok etnik atau sebaliknya semakin mempertajam perbedaan pendapatan pada masyarakat majemuk polietnik? Berbekal pengetahuan tentang pendekatan Indeks Gini IG dan data Survei Ekonomi Sosial Nasional SUSENAS tahun 2005 sebelum pilkada pertama dan tahun 2010 sesudah pilkada, 109 studi ini menunjukkan secara keseluruhan tanpa perbedaan etnik IG Kendari mengalami kenaikan dari 0,405 menjadi 0,418 atau naik pada level yang masih sama, yakni agak timpang lihat Tabel 6.8 dan Gambar 6.20, Lampiran 19, dan Lampiran 20. Artinya, kebijakan desentralisasi kekuasaan yang diharapkan sebagai pendekatan pencapaian pemerataan kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan. Tabel 6.8. Perbandingan Indeks Gini Kota Kendari Tahun 2005 dan 2010. Etnik Indeks Gini IG Keterangan Tahun 2005 Sebelum Pilkada Tahun 2010 Sesudah Pilkada Tolaki 0,407 0,417 Naik pada level agak timpang Muna 0,328 0,346 Naik pada level merata Bugis 0,393 0,388 Turun meski masih pada level agak timpang Buton 0,485 0,343 Turun dari agak timpang menjadi merata Lainnya 0,315 0,444 Naik dari merata menjadi agak timpang Kendari 0,405 0,418 Naik pada level agak timpang Sumber: Diolah dari data Susenas, Tahun 2005 dan 2010. 109 Pengambilan dua tahun yang berbeda, sengaja peneliti lakukan untuk menunjukkan apakah momentum pilkada sebagai wujud desentralisasi kekuasaan otonomi daerah memberikan perbaikan terhadap pemerataan pendapatan bagi kelompok-kelompok etnik di daerah. Atau sebaliknya, malah menciptakan ketimpangan etnisitas. Gambar 6.20. Indeks Gini Kelompok Etnik di Kendari Sepanjang 5 Tahun Terakhir Meningkatnya angka IG sepanjang 5 tahun terakhir tersebut, sangat beralasan karena konteks studi ini menunjukkan kebangkitan [identitas] etnik telah menciptakan praktik-praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal yang dimotori aktor elit lokal. Akibatnya, kesejahteraan dinikmati oleh aktor saja dan tidak menetes ke massa rakyat. Kondisi ini sebagaimana ditunjukkan Kurva Lorenz, dimana pada tahun 2010 terdapat 40 persen populasi penduduk terendah kuintil 1 dan 2 hanya menerima 15 persen dari pendapatan total. Sedangkan 20 persen populasi teratas kuintil 5 menerima 51 persen dari pendapatan total lihat Gambar 6.21. Selanjutnya jika dilakukan penelusuran lebih jauh terkait kontribusi pendapatan berdasarkan kelompok etnik, maka tergambar dengan jelas bahwa 40 persen populasi terendah yang memperoleh 15 persen dari pendapatan total adalah mereka yang berasal dari kelompok etnik Muna dan Tolaki, masing-masing sebesar 5,3 persen dan 4,2 persen dari 15 persen pendapatan total tersebut. Sedangkan 20 persen populasi teratas yang memperoleh 51 persen dari total pendapatan diberikan oleh etnik Bugis dan Tolaki, masing-masing sebesar 15,28 persen dan 17,43 persen. Fenomena ini merupakan hal yang wajar, karena kedua kelompok etnik tersebut masing-masing mendominasi pelaku usaha perdagangan, 0,407 0,328 0,393 0,485 0,315 0,405 0,417 0,346 0,388 0,343 0,444 0,418 0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600 Tolaki Muna Bugis Buton Lainnya Kendari Nilai IG Etn ik Indeks Gini Tahun 2010 Sesudah Pilkada Indeks Gini Tahun 2005 Sebelum Pilkada rumah makan, dan jasa akomodasi khusus kelompok etnik Bugis dan jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan untuk kelompok etnik Tolaki. Gambar 6.21. Kurva Distribusi Pendapatan Kurva Lorenz Kota Kendari, Tahun 2005 dan 2010. Namun bagaimana dengan kondisi disparitas pendapatan dari dua kelompok etnik tersebut yang memberikan kontribusi tertinggi terhadap 20 persen populasi teratas yang memperoleh 51 persen dari pendapatan total di Kendari? Hasil analisis peneliti menunjukkan bahwa untuk kelompok etnik Bugis mengalami perbaikan disparitas pendapatan sebagaimana ditunjukkan dari angka penurunan IG dari 0,393 menjadi 0,388. Meski masih tergolong agak timpang, akan tetapi penurunan angka IG ini menunjukkan bahwa kelompok etnik Bugis menuju ke arah membaik terkait pemerataan pendapatan lihat Gambar 6.22. Gambar 6.23 di atas menunjukkan bahwa sepanjang 5 tahun terakhir terjadi perbaikan disparitas pendapatan menuju ke arah perbaikan kelompok etnik ini, dimana 80 persen populasi kelompok etnik Bugis menerima 53 persen dari pendapatan total kelompok etnik ini. Walau demikian, 40 persen populasi 20 40 60 80 100 20 40 60 80 100 P e r se n tas e K u mu lati f P e n d ap atan F c Persentase Kumulatif Penduduk Fp Tahun 2005 Tahun 2010 kelompok etnik Bugis terendah masih menerima 15 persen dari pendapatan total dari kelompok etnik ini. Dengan kata lain, disparitas pendapatan terjadi pada populasi 20 persen teratas saja dan tidak berubah untuk 40 persen populasi terendah. Fenomena ini kembali menunjukkan bahwa aktor asal Bugis dapat memberikan kontribusi bagi pemerataan pendapatan untuk kelompok etniknya, meski terkesan lambat. Fenomena yang ditunjukkan oleh kelompok etnik Bugis agak berbeda dengan kelompok etnik Tolaki, dimana IG kelompok etnik ini mengalami kenaikan sepanjang 5 tahun terakhir, yakni dari 0,407 menjadi 0,417 pada level agak timpang kurang merata. Gambar 6.22. Kurva Distribusi Pendapatan Kurva Lorenz Kelompok Etnik Bugis, Tahun 2005 dan 2010. Namun hal yang menarik dari kelompok etnik Tolaki, adalah adanya perbaikan pemerataan pendapatan pada 20 persen populasi terendah sepanjang 5 tahun terakhir disatu sisi, akan tetapi pada sisi yang lain semakin tajamnya ketimpangan distribusi pendapatan pada 60 persen dan 80 persen dari populasi kelompok etnik tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa massa rakyat dari 20 40 60 80 100 20 40 60 80 100 P e r se n tas e K u mu lati f P e n d ap atan F p Persentase Kumulatif Penduduk Fp Tahun 2005 Tahun 2010 kelompok etnik Tolaki cenderung memiliki inisiasi tersendiri untuk melakukan perbaikan pemerataan pendapatan dibandingkan dengan aktor elit yang nampak saling berebut pengaruh agar mampu mengakses dan mengakumulasi sumber- sumber ekonomi lihat Gambar 6.23. Gambar 6.23. Kurva Distribusi Pendapatan Kurva Lorenz Kelompok Etnik Tolaki, Tahun 2005 dan 2010. Jika kedua kelompok etnik di atas, masing-masing memberikan fenomena yang berbeda, lalu bagaimana dengan kelompok etnik Muna dan Buton yang masing-masing memberikan kontribusi persentase tertinggi dan terendah terhadap 20 persen populasi terendah kuintil 1? Untuk kelompok etnik Muna yang memberikan kontribusi tertinggi 2,37 persen dari total pendapatan mengalami kenaikan IG sepanjang 5 tahun terakhir, yakni dari 0,328 menjadi 0,346 atau naik pada level merata. Seperti halnya kelompok etnik Tolaki, perubahan peningkatan terjadi pada 20 persen populasi teratas kuintil 4 dan 20 persen populasi yang memiliki pendapatan menengah kunitil 3. Atau dengan kata lain, angka ini menunjukkan bahwa desentralisasi telah memberikan “kesempatan” kepada aktor elit lokal untuk “memperbesar” pendapatan yang dimilikinya. 20 40 60 80 100 20 40 60 80 100 P er se n tas e K u mu lati f P en d ap atan F c Persentase Kumulatif Penduduk Fp Tahun 2005 Tahun 2010 Gambar 6.24. Kurva Distribusi Pendapatan Kurva Lorenz Kelompok Etnik Muna, Tahun 2005 dan 2010. Gambar 6.25. Kurva Distribusi Pendapatan Kurva Lorenz Kelompok Etnik Buton, Tahun 2005 dan 2010. 20 40 60 80 100 20 40 60 80 100 P er se n tas e K u mu lati f P en d ap atan F c Persentase Kumulatif Penduduk Fp Tahun 2005 Tahun 2010 20 40 60 80 100 20 40 60 80 100 P e r se n tas e K u mu lati f P e md ap atan F c Persentase Kumulatif Penduduk Fp Tahun 2005 Tahun 2010 Oleh karena itu, sajian Kurva Lorenz semakin mempertegas temuan penelitian ini bahwa banyaknya aktor yang berkuasa dari kelompok etnik Muna dan Tolaki tidak memiliki pengaruh terhadap penurunan kemiskinan yang dialami kelompok etniknya lihat Gambar 6.24. Berbeda dengan sebelumnya, kelompok etnik Buton menunjukkan kecenderungannya yang sama dengan kelompok etnik Bugis. Penurunan IG sepanjang 5 tahun terakhir dari 0,485 timpang menjadi 0,343 merata mempertegas bahwa praktik-praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal oleh kelompok etnik Buton diorganisir dengan baik untuk memperbaiki ketimpangan distirbusi pendapatan. Atas uraian dan penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa desentralisasi sebagai “pintu masuk” kebangkitan [identitas] etnik melalui pilihan demokrasi liberatif telah memberikan dampak terhadap dominasinya [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Dominasi aktor bias etnik tersebut terjadi dalam struktur politik maupun ekonomi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Kondisi ini, kemudian berimplikasi terhadap distribusi pendapatan yang agak timpang yang terjadi pada kelompok-kelompok etnik. Kenyataan ini memberikan artikulasi disatu sisi, bahwa desentralisasi mengakibatkan semakin menguatnya elitisme aktor lokal berbasis etnik sebagaimana ditunjukkan aktor lokal asal etnik Tolaki dan Muna sehingga berimplikasi terhadap ketimpangan disitribusi pendapatan di kelompok etnik Tolaki dan Muna itu sendiri; dan pada sisi lain, dominasi [identitas] etnik semakin memperkuat kohesivitas antar aktor dan massa yang kemudian berimplikasi terhadap distribusi pendapatan yang menuju baik merata sebagaimana yang ditunjukkan kelompok etnik Bugis dan Buton. Namun demikian, hal terakhir akan berakibat terhadap melemahnya relasi antar etnik kemajemukan atau heterogenitas etnik yang kemudian bisa menyebabkan terjadinya konflik dan pertikaian etnik yang berkepanjangan.

BAB VII RUANG PERTARUNGAN DAN STRATEGI AKTOR

DALAM ARENA EKONOMI POLITIK LOKAL Studi ini mengungkapkan bahwa kebangkitan [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal, tidak dapat dipisahkan dengan trilogi kekuasaan kekuasaan simbolis, kekuasaan ekonomi, dan kekuasaan politik yang terus diperebutkan aktor. Dengan demikian, disatu sisi studi ini memperkuat temuan Pusat Arkeologi Universitas Amsterdam tentang konstruksi identitas etnik sering berhubungan dengan pertanyaan kekuasaan, agama, hukum, dan gender. Tetapi disisi lain berbeda dengan temuan yang menyatakan konstruksi identitas etnik selalu dibangun dalam hubungannya dengan sistem politik, dimana politik yang mendefinisikan etnis, bukan sebaliknya. Hasil studi ini menunjukkan bahwa distingsi identitas etnik dan kepentingan aktor, sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya pertarungan untuk memperebutkan sekaligus mengakumulasi trilogi kekuasaan tersebut. Kemudian agar aktor yang bertarung memenangkan pertarungan dan berhasil mengakumulasi kekuasaan tersebut, maka aktor menyusun berbagai strategi di arena ekonomi politik lokal. Untuk itu, bab ini memfokuskan pada dua pokok bahasan, pertama, ruang pertarungan aktor the space of actor clash dalam arena ekonomi politik lokal. Pokok bahasan ini dimaksudkan untuk memahami pola pertarungan yang terjadi antar aktor, sehingga peneliti memiliki bekal pemahaman untuk mengeksplorasi berbagai alternatif solusi yang dapat digunakan untuk memperlakukan keberadaan identitas etnik pada masyarakat majemuk. Selain itu, dengan mengetahui pola pertarungan yang terjadi, maka peneliti dapat memberikan rekomendasi agenda- agenda praksis yang dapat dijalankan secara kolektif sesuai dengan konteks sejarah dan struktur masyarakat polietnik di lokasi studi khususnya dan Indonesia umumnya. Kedua, strategi aktor dalam arena ekonomi politik. Pembahasan strategi yang dilakukan aktor dimaksudkan untuk mempelajari bentuk-bentuk strategi aktor yang menyebabkan aktor berhasil atau gagal merebut, mempertahankan, dan melanggengkan trilogi kekuasaan aktor dalam arena ekonomi politik lokal. Dengan adanya pemahaman terhadap strategi aktor yang didasari atas distingsi identitas etnik dan kepentingan tersebut, maka peneliti akan mudah memberikan gambaran tentang bentuk aktivitas yang dapat dilakukan agar trilogi kekuasaan dapat diorientasikan untuk kepentingan “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”. Ruang Pertarungan Aktor Ruang pertarungan aktor the space of actor clash merupakan tempat bertemunya aktor untuk memperebutkan dan melanggengkan kuasa simbolis, ekonomi, dan politik dalam arena ekonomi politik lokal. Untuk mengidentifikasi ruang pertarungan aktor dan aktor yang melakukan pertarungan tersebut, maka penting memahami keberadaan aktor yang memiliki distingsi baik identitas etnik, profesi, maupun kepentingan. Pemahaman ini penting disebabkan setiap aktor yang memiliki perbedaan, akan memiliki orientasi yang berbeda ketika menggunakan kuasa yang dimilikinya. Untuk menggambarkan lebih lanjut tentang hal di atas, telah diuraikan sebelumnya bahwa terdapat tiga praktik aktor dalam arena ekonomi politik lokal sebagai refleksi dari tindakan-tindakan aktor. 110 Kemudian dari ketiga tempat praktik aktor tersebut, memiliki irisan satu dengan lainnya sehingga membentuk kategori ruang pertarungan antar aktor dalam arena ekonomi politik lokal. Adapun kategori ruang pertarungan tersebut, didasarkan pada prinsip hierarki, kekuatan modal yang dimiliki, relasi, dan habitus aktor. Oleh karena itu, kategori ruang pertarungan aktor dalam arena ekonomi politik lokal dibedakan menjadi tiga bagian, pertama, ruang pertarungan kekuasaan ekonomi yang melibatkan simbolis, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik dominasi kekuasaan simbolis dengan praktik kekuasaan ekonomi. Di ruang ini, aktor yang terlibat adalah aktor akademisi kampus, 110 Adapun tempat praktik aktor di arena ekonomi politik lokal adalah praktik dominasi kekuasaan simbolis, praktik dominasi kekuasaan ekonomi, dan praktik dominasi kekuasaan politik. NGOLSM, dan pengusaha yang memiliki distingsi identitas etnik. Sebelum terbentuknya ruang pertarungan ini, aktor kampus dan NGOLSM dengan prinsip hierarki otonomnya mendominasi modal simbolik dan modal budaya. Sebaliknya aktor pengusaha dengan prinsip hierarki heteronomnya mendominasi modal ekonomi. Namun demikian, ketika dua kelompok aktor yang memiliki prinsip hierarki yang berbeda dan bertemu dalam ruang pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis, maka terjadi subordinasi prinsip otonom modal simbolik dan budaya dan mendominasinya prinsip heteronom modal ekonomi. Gambar 7.1. Ruang Pertarungan Aktor di Arena Ekonomi Politik Lokal. Kedua, ruang pertarungan kekuasaan politik, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik dominasi kekuasaan simbolis dengan praktik dominasi kuasa politik. Di ruang pertarungan ini, aktor yang terlibat adalah mereka yang memiliki latar belakang intelektual kampus, NGOLSM, politisi, dan birokrat. Seperti ruang pertarungan sebelumnya, aktor kampus dan NGOLSM Praktik Dominasi Kuasa Simbolis Praktik Dominasi Kuasa Ekonomi Praktik Dominasi Kuasa Politik Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi Simbolis Ruang Pertarungan Kekuasaan Politik Simbolis Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi-Politik Modal Simbolik Modal Budaya Modal Ekonomi Modal Simbolik, Ekonomi Modal Sosial MASSA 1 2 3 Prinsip Hierarki Otonom Aktor intelektual NGO LSM Prinsip Hierarki Heteronom Aktor Pengusaha Prinsip Hierarki Otonom Aktor Politisi dan Birokrasi terdominasi oleh politisi dan birokrat. Meski dalam ruang pertarungan ini, berlaku prinsip otonom yang mengutamakan modal simbolik, akan tetapi aktor politisi dan birokrat memiliki sedikit banyak modal ekonomi yang lebih dibandingkan aktor kampus maupun NGOLSM. Dalam posisi seperti ini, maka distingsi identitas etnik memainkan peran penting; dan ketiga, ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik dominasi kuasa ekonomi dengan praktik dominasi kuasa politik. Di ruang ini, terjadi transaksi antar politisi atau birokrat dengan pengusaha. Aktor politik atau birokrat bertindak sebagai produsen yang memiliki prinsip otonom modal simbolik dan modal sosial yang dijadikan sebagai instrumen tools kekuasaan aktor. Disebabkan masing-masing pihak aktor memiliki kepentingan yang sama, maka relasi terbangun cenderung equalsetara. Terbangunnya relasi yang setara tersebut, disebabkan masing-masing aktor memiliki kekuatan modal yang dapat saling dipertukarkan lihat Gambar 7.1. Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi Pada sub bab ini, peneliti akan menguraikan aktor dengan distingsi identitas etnik dan profesi melakukan pertarungan di ruang ini. Di awal sub bab ini, telah dikemukakan bahwa subyek yang bertarung dalam ruang ini adalah aktor kampus, NGOLSM, dan pengusaha. Adapun obyek yang dipertarungkan adalah sumberdaya ekonomi yang terdapat di lokasi studi. Diantara tiga aktor tersebut, aktor pengusaha didominasi Bugis, Buton, dan Cina. Sedangkan aktor kampus dan NGOLSM cenderung merata dan tidak satupun etnik yang mendominasi. Dengan kata lain, semua aktor ini berasal dari basis etnik yang terdapat di lokasi studi. Jika demikian halnya, lalu bagaimana relasi yang terbangun antar aktor yang memiliki distingsi identitas etnik dan latar belakang profesi? Kemudian bagaimana pola pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis yang dilakukan antar aktor yang memiliki perbedaan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka determinasi prinsip heteronom yang berorientasi keuntungan menentukan relasi dan pola pertarungan antar aktor. Disebabkan orientasi ruang pertarungan ini adalah keuntungan, menyebabkan modal ekonomi lebih mendominasi daripada modal simbolis. Oleh karena itu,