Tabel 4.7. Pencirian Realitas “Bayang-bayang” Identitas Etnik Berdasarkan Periodesasi Waktu Peristiwa dan Fokus Pengamatan.
Peristiwa Pra Kolonial
Kolonial Kemerdekaan
Orde Baru Pasca Orde
BaruDesentralisasi
Kerajaan-Kerajaan Tradisional
Segregasi Masy. Berdasarkan Etnisitas
Pembentukan Daerah Administratif Yang Sarat
[Identitas] Etnik Kontrol Atas Kekuatan
[Identitas] Etnik Kebangkitan
[Identitas] Etnik
Kekuasaan
3 kerajaan tradisional di daratan Sultra – 2 kerajaan
tradisional di kepulauan Sultra
Pembagian pemukiman masy., sistem pelapisan
sosial, dominasi etnik tertentu dalam ekonomi
politik lokal Penentuan ibu kota kab.
Sultra dan provinsi Sultra yang bias etnik,
pembentukan daerah administrasi bias etnik
Memposisikan militer dalam kekuasaan
pemerintahan; stigmanisasi PKI pada etnik tertentu
Sistem demokrasi liberatif membuka
peluang aktor yang bertarung di arena
pilkada bias etnik
Ekonomi
Ekonomi di bawah kendali kerajaan-kerajaan tradisional
Polarisasi ekonomi
etnik Bugis dan Buton: ekonomi perdagangan;
etnik Muna dan Tolaki: penyedia bahan baku
Tidak banyak berubah dengan persitiwa
sebelumnya Doxa penguasaan ekonomi
perdagangan oleh etnik Bugis dan Buton, jasa dan
tenaga kerja untuk etnik Muna dan Tolaki
Selain sektor ekonomi perdagangan dan jasa,
sektor ekonomi pertambangan dan
kontraktor ditentukan basis etnik penguasa
Politik
Kedaulatan eksistensi politik berdasarkan kerjaan-
kerajaan tradisional
Keterlibatan etnik Bugis lebih banyak di dalam
pemerintahan kolonial, dibandingkan etnik
lainnya
Aktor bugis dan buton mendominasi
pembentukan kab. Sultra dan Prov. Sultra
Kuatnya determinasi militer dan Golkar sebagai
parpol pemerintah
“Saatnya orang lokal berkuasa” merupakan
bentuk dominasi etnisitas yang tercermin
melalui struktur politik
Ekonomi Politik
Relasi antar kerajaan tradisional lebih bernuansa
relasi kekuasaan politik dan penaklukan kerajaan tertentu
atas kerajaan lainnya Dominasi ekonomi
perdagangan oleh etnik Bugis diperhadapkan
dengan etnik Cina oleh Belanda di lokasi studi
Persaingan antar etnik untuk menentukan daerah
ibukota kabupatenprovinsi terkiat sebagai cermin
kekuatan ekpol lokal
Penaklukan semangat etnisitas yang dianggap
berbahaya bagi kestabilan politik
Dominasi etnisitas atas struktur ekonomi
Sumber: Data hasil penelitian 2012.
BAB V PEMBENTUKAN IDENTITAS ETNIK DAN AKTOR YANG
TERLIBAT DALAM ARENA EKONOMI POLITIK LOKAL
Pengalaman berkesan peneliti rasakan ketika studi di Kendari. Bukan karena peneliti lahir dan besar di kota ini, tetapi fenomena setiap teneliti yang selalu
mengajukan pertanyaan kepada peneliti, “anda dari etnik mana?” sebelum wawancara akan dimulai. Awalnya, peneliti menganggap fenomena seperti ini
biasa saja. Namun seiring berjalannya studi ini, peneliti menyadari bahwa pertanyaan asal-usul peneliti tersebut merupakan artikulasi dari sikap kehati-
hatian dan mawas diri para teneliti terhadap tema penelitian yang sensitif ini. Hal ini terungkap dari salah satu informan berinisial KHL sebagai tokoh Organisasi
Masyarakat Ormas Islam terkemuka di Sulawesi Tenggara: “...mohon perbincangan kita jangan direkam dan diekspos ke publik.
Ini pembicaraan sensitif dan bisa memicu konflik antar etnik di tingkat elit. Apalagi Kendari dan Sulawesi Tenggara dalam waktu yang tidak
lama akan menggelar pilwali dan pilgub...” ungkap KHL Wawancara tanggal 9122011.
Sikap kehati-hatian dan mawas diri informan tersebut, dapat dimaklumi karena struktur masyarakat Kendari dibangun dari berbagai kelompok-kelompok
etnik majemuk yang memiliki polemik kesejarahan. Sehingga menjadi wajar, jika distingsi pembeda identitas etnik selalu direlasikan dengan praktik yang
mencerminkan “pelabelan” kelompok etnik tertentu. Sebagai misal, praktik kekerasan fisik yang tidak jarang terjadi di Kampus Universitas Haluoleo
Unhalu selalu dilabelkan pada kelompok etnik Muna. Demikian halnya, praktik dominasi politik dan birokrasi Pegawai Negeri SipilPNS yang dilabelkan pada
kelompok etnik Tolaki, dan praktik penguasaan ekonomi yang dilabelkan pada kelompok etnik Bugis.
Tentunya pelabelan pada praktik-praktik di atas, memberikan kesan bahwa identitas etnik –sesuatu yang tidak hanya ditentukan individu saja—selalu
dijadikan sebagai distingsi antar satu aktor kelompk etnik dengan aktor
kelompok etnik lainnya. Tujuannya adalah membangun doxa untuk memperkuat
legitimasi dan kekuasaan aktor dalam arena ekonomi politik lokal. Oleh karena itu, tulisan pada bab ini akan menjelaskan tiga hal yang peneliti anggap penting
sebagaimana judul yang diberikan pada topik bab ini. Adapun perihal yang dianggap penting tersebut, yaitu 1 prinsip-prinsip pembentukan identitas etnik;
2 pembentukan identitas etnik; dan 3 aktor yang terlibat dalam arena ekonomi politik lokal.
Terkait dengan prinsip-prinsip pembentukan identitas etnik, peneliti akan menguraikan posisi aktor sebagai subyek yang menentukan peran penting dalam
pembentukan identitas etnik obyek. Tanpa aktor, etnisitas hanyalah “benda mati” yang tidak memiliki makna apapun. Meski demikian, konstruksi etnisitas
oleh aktor tidak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan yang “hidup” di lokasi studi. Selanjutnya, untuk penjelasan pembentukan identitas etnik, peneliti
melakukan eksplorasi obyektivikasi yang tak dapat ditafikkan bagi kelompok- kelompok etnik yang ada di lokasi studi. Adapun obyektivikasi yang dimaksud
adalah kondisi kelompok etnik dan kedudukannya yang terus direproduksi aktor sebagai bentuk kekuatan [identitas] etnik. Dengan kata lain, obyektivikasi
menitikberatkan pada sebaran kuantitas kelompok etnik yang “seimbang” dan kepemilikan atas modal simbolik, serta modal budaya dari kelompok-kelompok
etnik. Selanjutnya, penjelasan beberapa hal di atas merupakan wujud internalisasi
eksternalitas atas kondisi yang turut mempengaruhi pembentukan identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal di lokasi studi. Meski demikian, subyektivikasi
eksternalisasi internalitas aktor atas pengalaman sebagai bentuk kenyataan atau realitas yang dihadapi aktor, ikut mempengaruhi mempengaruhi pembentukan
identitas etnik. Untuk itu, setiap aktor yang terlibat akan memiliki pemaknaan yang berbeda-beda ketika menjadikan [identitas] etnik sebagai instrumen tools
melakukan pertarungan dalam arena ekonomi politik lokal.
Prinsip-prinsip Pembentukan Identitas Etnik
Prinsip-prinsip pembentukan identitas etnik adalah pondasi yang digunakan aktor untuk mereproduksi identitas etnik sebagai upaya yang dilakukan aktor
untuk merebut dan memenangkan kekuasaan dalam arena ekonomi politik lokal. Oleh karena itu, praktik-praktik dominasi [identitas] etnik yang akan dijelaskan
pada bab berikut, mempertegas bahwa pelaku yang terlibat dalam arena ekonomi politik lokal senantiasa bertarung memperebutkan sumber-sumber ekonomi
dengan menggunakan kekuasaan politik atau sebaliknya. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik senantiasa melekat di dalam praktik
dominasi [identitas] etnik yang dilakukan aktor. Beranjak dari hal tersebut, maka peneliti merasa perlu menjelaskan posisi
subyektif aktor dan prinsip-prinsip yang menjadi pondasi dalam pembentukan identitas etnik. Selanjutnya untuk memahami posisi subyektif aktor, dapat melalui
pemahaman terhadap struktur masyarakat di lokasi penelitian, yaitu Kendari. Sebagai lokasi yang tergolong urban, penggolongan struktur masyarakat di
Kendari dibagi menjadi dua, yaitu 1 golongan massa masyarakat termasuk di dalamnya kelompok-kelompok etnik; dan 2 golongan elit politisi, birokrat,
akademisi, ekonom, dan lain sebagainya yang selanjutnya disebut aktor. Selanjutnya, apabila penggolongan masyarakat diposisikan dalam
obyektivitas masyarakat majemuk dan struktur ekonomi politik lokal di Kendari lihat Gambar 5.1, maka terdapat beberapa artikulasi: pertama, arena ekonomi
politik merupakan arena kekuasaan no. 2 yang mana aktor memanfaatkan distingsi pembeda identitas etnik pada masyarakat majemuk sebagai kekuatan
untuk memperoleh legitimasi dan kekuasaan ekonomi politik lokal; kedua, identitas etnik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari arena ekonomi politik
lokal no. 3, sehingga memunculkan kepentingan yang berbeda antara aktor dengan massa ketika mereproduksi identitas etnik.