Tujuan Perkawinan Itsbat Nikah Dan Kaitannya Dengan Status Anak Yang Lahir Sebelum Perkawinan Disahkan (Studi Pada Pengadilan Agama Klas IA Medan)

37 mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 51 Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 atau UU perkawinan berlaku yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. 52

2. Tujuan Perkawinan

Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam, diantaranya adalah: 53 a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah agar dapat melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat Q.S. an-Nisaa ayat 1. b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup dapat saja ditempuh melalui jalur luar perkawinan, namun dalam mendapatkan ketenangan hidup bersama suami isteri tidak mungkin didapatkan kecuali melalui jalur perkawinan. Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk: 54 a. Menenteramkan jiwa. Bila telah terjadi akad nikah, isteri merasa jiwanya tenteram karena ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah 51 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007, hal. 25 52 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta , 2005, hal. 9. 53 Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 46-47. 54 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal. 13-21. Universitas Sumatera Utara 38 tangga. Suami pun merasa tenteram karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. b. Memenuhi kebutuhan biologis. Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar. c. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk kehidupan keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni satu sama lain keluarga sakinah. Maksud pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga, adapun tujuannya adalah untuk menciptakan keluarga sakinah yang ditandai dengan adanya kebajikan sebagaimana diajarkan dalam Al-Quran Surat an-Nisaa ayat 19, serta diliputi dengan suasana “mawaddah warahmah” yang ditentukan dalam al-Quran Surat ar-Ruum ayat 21. 55 Sedangkan menurut pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 55 Sudarsono, Op.Cit., hal. 9. Universitas Sumatera Utara 39 Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: 1 berlangsung seumur hidup, 2 cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan 3 suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. “Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”. 56 “Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”. 57 Artinya tujuan perkawinan itu adalah: a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna. b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan. c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki suami dengan kaum kerabat perempuan isteri, yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum golongan dengan yang lain. 58 Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa : Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita 56 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 62. 57 Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia . Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama, Jakarta, 2000, hal 14. 58 Sulaiman Rasjid.H. Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004, Universitas Sumatera Utara 40 yang menjadi istrinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam. 59 Jadi, dengan perkataan ikatan lahir batin tersebut dimaksudkan bahwa hubungan suami isteri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami isteri dalam ikatan formal, tetapi juga kedua-duanya harus membina ikatan batin. Tanpa ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas. Jalinan ikatan lahir dan ikatan batin itulah yang menjadi pondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. 60 Rumah tangga yang dibentuk haruslah didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa norma-norma hukum agama harus menjiwai perkawinan dan pembentukan keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu, jelaslah bahwa perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak semata-mata hubungan hukum saja antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspek-aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial, dan adat-istiadat. 61 Agar tujuan tercapai, maka setelah terjadinya perkawinan harus ada keseimbangan kedudukan antara suami isteri. Dengan demikian, segala sesuatu yang terjadi dalam 59 Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 29. 60 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama Kumpulan Tulisan, Ra d ja Grafindo Persada, Jakarta , 2002, h a l. 27. 61 Ibid . Universitas Sumatera Utara 41 keluarga merupakan hasil putusan bersama antara suami isteri berdasarkan hasil perundingan yang didasari oleh sifat musyawarah. 62

B. Pencatatan sebagai Syarat Untuk Melahirkan Akibat Hukum Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat. Tarif pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah. 63 Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian pada perkawinan ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau 62 Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang tentang Perkawinan serta Peraturaan Pelaksanaannya , Tarsito, Bandung , 1992, hal. 16. 63 Lihat Pasal 2 Jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam. Universitas Sumatera Utara 42 karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan, misalnya karena pembatalan perkawinan. Soemiyati mengatakan bahwa : Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak laki-laki dan perempuan yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum- hukumnya. 64 Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi bertentangan dengan kehendak pihak lain, misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita. Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan 64 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 10. Universitas Sumatera Utara 43 dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut diputuskan. Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974. Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spritual. Membentuk keluarga adalah membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah tangga yaitu membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya kerukunan antara suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga mereka mendambakan kehidupan yang kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja, atau dibubarkan menurut pihak-pihak. Universitas Sumatera Utara 44 “Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”. 65 Agar suatu perkawinan menjadi sah, maka Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan di dalam pasal-pasalnya mengenai adanya persyaratan tertentu. Para pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi persyaratan tertentu yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Syarat-syarat perkawinan tersebut dapat dibedakan menjadi syarat materiil dan syarat formil. Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Syarif memberikan pengertian mengenai syarat materiil dan syarat formil sebagai berikut: Syarat materiil adalah syarat mengenai atau berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara pelangsungan perkawinan, baik syarat yang mendahului maupun syarat yang menyertai pelangsungan perkawinan. 66 Syarat materiil dapat dibedakan menjadi syarat materiil umum dan syarat materiil khusus. Syarat materiil umum artinya syarat mengenai diri pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil umum lazim juga disebut dengan syarat materiil absolut pelangsungan perkawinan karena 65 Achmad Samsudin, Op. Cit, hal. 74. 66 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Syarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia , Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 21-22. Universitas Sumatera Utara 45 jika tidak dipenuhinya syarat tersebut menyebabkan calon suami isteri tidak dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil umum bersifat mutlak, artinya harus dipenuhi oleh calon suami isteri untuk dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil khusus suatu perkawinan adalah syarat mengenai diri pribadi seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan dan berlaku untuk perkawinan tertentu. Syarat materiil khusus lazim disebut dengan syarat relatif untuk melangsungkan perkawinan, berupa kewajiban untuk meminta izin kepada orang-orang tertentu dan larangan-larangan untuk melangsungkan perkawinan. 67 Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya. Hilman Hadi Kusuma mengatakan bahwa : Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha 67 Ibid . Universitas Sumatera Utara 46 kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya. 68 Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 tersebut, dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”. Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang- orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut UU No.1 tahun 1974. Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah:

a. Syarat materiil

68 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1992, 26-27. Universitas Sumatera Utara 47 Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan, adapun syarat-syarat Syarat Materil adalah sebagai berikut : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendenganr orang- orang tersebut yang memberikan izin. 6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 69 Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 dua macam, yaitu: 1 Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin serta syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka orang tidak dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil mutlak terdiri dari: a kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain; b persetujuan bebas dari kedua pihak; c setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU; 69 Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Universitas Sumatera Utara 48 d izin dari pihak ketiga; e waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddahnya 90 sembilan puluh hari dan karena kematian 130 seratus tiga puluh hari. 70 2 Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini. Jadi, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak syarat untuk dirinya sendiri tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang yang masih ada hubungan dengan keluarga terlalu dekat. 71 Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8 mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 dua orang yang: a Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas. b Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya. c Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu bapak tiri. d Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi paman susuan. e Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. 72 Sedangkan Pasal 10 UU Perkawinan mengatur mengenai larangan kawin kepada mereka yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 dua kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya mereka tidak dapat kawin 70 Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I Hukum Keluarga. F.H. Universitas 17 Agustus UNTAG. Semarang 1997, hal 28. 71 Ibid . 72 Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Universitas Sumatera Utara 49 lagi untuk yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan secara matang. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

b. Syarat formil

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah : 1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan; 2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing- masing; 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isterisuami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Universitas Sumatera Utara 50 Syarat untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3, 4, 8, dan 10 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu tentang : 73 1 Pemberitahuan Tentang pemberitahuan diatur dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 tahun 1975 mengatur: a Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. b Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. c Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 dua disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. d Pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada pegawai pencatat perkawinan. 2 Pengumuman Setelah semua persyaratan terpenuhi maka pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan pengumuman kantor 73 Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Universitas Sumatera Utara 51 pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975. 3 Pelaksanaan Setelah hari ke-10 sepuluh tidak ada yang mengajukan keberatan atas rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat dilangsungkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai pencatat perkawinan hanya sebagai pengawas saja. 74 Di samping itu, perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya itu Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan. Ahmad Djumairi mengatakan bahwa : Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi Hindu maupun Budha. 75 Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: a Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan 74 Setiyowati Wahyuni, Op.Cit., hal 39. 75 Achmad Djumairi. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang, 1990. hal 24. Universitas Sumatera Utara 52 sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. b Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk melangsungkan perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua. Menurut ketentuan Pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunannya, yang berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap belum dewasa. c Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. d Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali. e Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon mempelai dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat. f Penyimpangan tentang Pasal 7 ayat 1 dapat minta dispensasi kepada Pengadilan. Kemudian di dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan juga dibagi dua macam adalah: 1 syarat materiil dan 2 syarat formal. Universitas Sumatera Utara 53 Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu: a Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi: 1 Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami Pasal 27 KUH Perdata. 2 Persetujuan antara suami-isteri Pasal 28 KUH Perdata. 3 Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur 18 delapan belas tahun dan bagi wanita berumur 15 lima belas tahun Pasal 29 KUH Perdata. 4 Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 tiga ratus hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan Pasal 34 KUH Perdata. 5 Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin Pasal 35 sampai dengan Pasal 49 KUH Perdata. b Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan tersebut ada 2 dua macam, yaitu: Universitas Sumatera Utara 54 1 Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan. 2 Larangan kawin karena zina, 3 Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat 1 satu tahun. Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu: a. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud kawin Pasal 50 sampai Pasal 51 KUH Perdata. Pemberitahuan tentang maksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10 sepuluh hari. b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan. 76 Selain menurut UU Perkawinan dan KUH Perdata, dalam praktek juga dikenal syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam. Syarat sah perkawinanpernikahan harus memenuhi rukun nikah, yaitu: a. Calon suami. b. Calon isteri. c. Wali. d. Dua orang saksi. e. Ijab dan Kabul. 76 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal 63. Universitas Sumatera Utara 55 Syarat calon suami: 1 Harus beragama Islam. 2 Harus laki-laki bukan banci. 3 Harus lelaki yang tertentu. 4 Harus yang boleh kawin dengan isteri itu. 5 Sudah tahu atau pernah melihat kepada calon isteri. 6 Harus suka dan ridla. 7 Harus tidak sedang mengerjakan Haji Umrah. 8 Harus perempuan yang halal dikawini. 9 Dan jika sudah beristeri, belum ada empat orang isteri. Syarat calon isteri: 1 Harus beragama Islam. 2 Harus wanita bukan banci. 3 Harus perempuan yang tertentu. 4 Harus yang boleh dikawin. 5 Harus sudah luar iddah. 6 Harus suka dan ridha. 7 Tidak sedang mengerjakan Haji Umrah. Syarat wali : 1 Laki-laki 2 Baligh 3 Berakal sehat 4 Dapat mendengar dan melihat Universitas Sumatera Utara 56 5 Bebastidak dipaksa 6 Tidak sedang mengerjakan ihram haji 7 Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul. Perkawinan tanpa wali, tidak dapat diawasi oleh Pejabat Pencatat Nikah PPN dan tidak dapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, wali adalah masalah pokok dalam perkawinan. Syarat dua orang saksi: 1 Beragama Islam 2 Berakal sehat 3 Dewasa 4 Laki-laki 5 Merdeka. 6 Bersikap adil 7 Dapat melihat, mendengar, dan berbicara dengan benar 8 Tidak fasiq. Tidak sah saksi fasiq 9 Sentosa pikiran tidak terlalu pemarah. Tidak sah saksi seorang yang besar nafsu ketika marah terhadap orang lain, sehingga melampaui batas kewajaran. Syarat-syarat Ijab Kabul : 1 Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria yang telah baligh secara pribadi 2 Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang 3 Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara 57 4 Hendaklah pengantin lelaki jangan terlalu lama dalam menjawab ucapan wali yang menikahkan pengantin wanita. 5 Hendaklah muafakat pengucapannya wali pada pengantin lelaki. 6 Hendaklah muafakat dalam penyebutan wali pada jumlah maskawin. 7 Hendaklah antara keduanya faham akan bahasa yang diucapkan. 8 Hendaklah ijab dan qabul di dengar dan di pahami oleh kedua orang saksi. 9 Ijab dan kabul tidak boleh bertaklik penggantungan pada sesuatu kejadian. Ijab yaitu ucapan dari wali orang tua atau wakilnya pihak perempuan sebagai penyerahan kepada pihak laki-laki. Sedangkan Kabul yaitu ucapan dari pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan. Upacara Ijab dan Kabul ini, dilakukan dimuka PPN pejabat pencatat nikah yaitu di Masjid, boleh di rumah dengan memanggil PPN harus ada di bawah pengawasan PPN. Berdasarkan uraian di atas, perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara suami istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan tetapi untuk mewujudkan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina rumah tangga yang penuh dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Akibat hukum lain adalah terjaminnya hak- hak dan kewajiban suami istri serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah adanya calon suami, adanya calon isteri, adanya wali, adanya saksi dan ijab kabul. Universitas Sumatera Utara 58 Dalam setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum, antara lain timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan. Dengan demikian, jelaslah bahwa pencatatan perkawinan merupakan pemenuhan syarat formil dalam melangsungkan perkawinan yang dilakukan melalui pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan, Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

C. Kaitan Perkawinan dan Itsbat Nikah

Selain dari berbagai pengertian dan pengaturan perkawinan sebagaimana diraikan pada bagian sebelumnya di atas, dalam bahasa Indonesia, seperti dapat dibaca dalam beberapa kamus di antaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan : 1 Perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri; nikah 2 sudah beristri atau berbini Universitas Sumatera Utara 59 3 Dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh. 77 Dalam literatur fiqh berbahasa Arab perkawinan atau pernikahan disebut dengan dua kata yaitu “ nikah” dan “zawaj”. “Nikah” berarti bergabung, hubungan kelamin dan juga berarti akad. 78 Berdasarkan definisi Perkawinan yang termuat dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana diuraikan di atas ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan : Pertama Digunakannya kata “Seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara barat. Kedua, Digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”. Ketiga, Dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawanan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil. Keempat, Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. 79 77 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Islam, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 41. 78 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media Jakarta, hal 35-36. 79 Ibid ., hal. 40. Universitas Sumatera Utara 60 Selain definisi yang dikemukakan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam KHI di Indonesia memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti definisi UU tersebut namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan bahwa “Perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah, Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah Pasal 2. 80 Ungkapan: akad yang sangat kuat mitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam KHI yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Sedangkan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UU. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. Di samping perkawinan itu merupakan suatu perbuatan ibadah dan perempuan yang dijadikan isteri tersebut merupakan amanah Allah yang harus dijaga dan diperlakukan dengan baik. Dan ia diambil melalui prosesi keagamaan dalam akad nikah. Hal ini sejalan dengan hadis 80 Ibid . Universitas Sumatera Utara 61 Nabi yang berasal dari Ibnu Abbas yang artinya : “Sesungguhnya kamu mengambilnya sebagai amanah dari Allah dan kamu menggaulinya dengan kalimat dan cara-cara yang ditetapkan Allah”. Pengertian sederhana tentang kawin juga dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kawin diartikan dengan 1 menikah 2 cak bersetubuh 3 berkelamin untuk hewan. Kawin acak, keadaan yang memungkinkan terjadinya perkawinan antara jantan dan betina dewasa secara acak. 81 Muhammad Amin Summa yang mengutip Kamus Bahasa Indonesia mengatakan bahwa perkawinan adalah : 1 pernikahan : hal urusan dan sebagainya kawin; 2 pertemuan hewan jantan dan hewan betina secara seksual. Dengan kata lain kawin diartikan dengan menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh. 82 Dalam bahasa Melayu terutama di Malaysia dan Brunei Darussalam, digunakan istilah kahwin. Kahwin ialah “Perikatan yang sah antara lelaki dengan perempuan menjadi suami istri, nikah”. Berkahwin maksudnya sudah mempunyai istri suami. 83 81 WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal. 243. 82 Muhammad Amin Summa, Op.Cit., hal. 42. 83 Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1998, hal 558. Universitas Sumatera Utara 62 Muhammad Amin Summa dalam mempersoalkan definisi nikah beliau mengemukakan bahwa : Sebagian ulama Hanafiah, “nikah adalah akad yang memberikan faedah mengakibatkan kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar sengaja bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah “sebuah ungkapan sebutan atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan seksual semata-mata”. Oleh mazhab Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan redaksi lafal nikah atau tazwij; atau turunan makna dari keduanya”. Sedangkan ulama Hanafiah mendefinisikan nikah dengan “akad yang dilakukan dengan menggunakan kata nikah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan bersenang-senang”. 84 Masih dalam kaitan dengan definisi perkawinan pernikahan dapat juga dilihat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang dirumuskan sebelumnya. Jika rumusan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan di atas dicermati dengan seksama, terdapat garis perbedaan yang cukup signifikan meskipun tidak bersifat konfrontatif. Perbedaan-perbedaan yang dimaksudkan ialah : Pertama, dalam rumusan undang-undang, tercermin keharusan ada ijab-kabul ‘aqdun-nikah pada sebuah perkawinan seperti tersurat 84 Muhammad Amin Summa, Op.Cit., hal. 42. Universitas Sumatera Utara 63 dalam anak kalimat: “Ikatan lahir batin”. Sedangkan KHI meskipun di dalamnya disebutkan kata “akad yang sangat kuat”, lebih mengisyaratkan pada terjemahan kata-kata mitsaqan ghalizhan yang terdapat sesudahnya yang tidak menggambarkan pengertian pernikahan, akan tetapi lebih menunjukkan kepada sebutan atau julukan lain dari sebutan akad nikah. Kedua, kata-kata: “antara seorang pria dengan seorang wanita”, menafikan kemungkinan ada perkawinan antara sesama pria gay atau antara sesama wanita lesbian di negara hukum Indonesia, seperti yang terjadi di beberapa negara lain beberapa tahun terakhir ini. Di antaranya ialah negara-negara Belanda, Belgia, dan sebagian negara bagian Canada. Sedangkan KHI sama sekali tidak menyebutkan dua pihak yang berakad ini sungguhpun dapat diyakini bahwa KHI sangat mendukung peniadaan kemungkinan menikah antara sesama jenis yang dilarang oleh Undang-undang Perkawinan. Ketiga, Undang-undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan yakni “membentuk keluarga rumah-tangga bahagia dan kekal”, sementara KHI yang memuat tujuan perkawinan secara tersendiri dalam Pasal 3 lebih menginformasikan nilai-nilai ritual dari perkawinan seperti terdapat dalam kalimat: “Untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Padahal, rata-rata kitab hadis hukum dan fiqih memasukkan bahasan munakahat perkawinan dalam kitab bab muamalah tidak dalam kitab bab ibadah. Ini menunjukkan bahwa aspek muamalah dalam perkawinan jauh lebih menonjol daripada aspek ibadah sungguhpun di dalamnya memang terkandung pula nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam perkawinan”. 85 Di antara unsur hakiki bagi sebuah perkawinan adalah kerelaan dua pihak mempelai pria dan wanita yang hendak melangsungkan akad nikah, dan persesuaian kesepakatan antara keduanya dalam melakukan tali ikatan perkawinan itu. Mengingat kerelaan dan persesuaian kesepakatan tergolong ke dalam hal-hal yang bersifat kejiwaan, yang tidak bisa diekpresikan begitu 85 Ibid ., hal. 46-47. Universitas Sumatera Utara 64 saja tanpa menyatakannya dalam bentuk ucapan isyarat, maka mau tidak mau perasaan rela dan kesesuaian antara calon suami dengan calon istri itu harus dituangkan dalam bentuk ucapan ikrar oleh kedua belah pihak. Ikrar yang dinyatakan pihak pertama lazim disebut dengan ijab, sedangkan ikrar yang disampaikan pihak kedua, dinamakan kabul. Selanjutnya terhadap pelaksanaan pernikahan tersebut dilakukan pencatatan, yang diselenggarakan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan kedua mempelai menanda tangani akta nikah dan salinannya yang telah dipersiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan ketentuan mengenai pencatatan perkawinan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa “Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi”. Penandatanganan akta perkawinan dan pencatatan ini dituangkan dalam sebuah Akta Nikah. Akta Nikah inilah yang selanjutnya menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang Universitas Sumatera Utara 65 telah dibacanya, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Jadi apabila tidak dilakukannya penandatanganan akta perkawinan dan pencatatan secara resmi pelaksanaan perkawinan menurut ketentuan Undang- undang Perkawinan di Indonesia adalah belum sah karena belum memenuhi ketentuan syarat formil. Dengan tidak sahnya perkawinan tentunya menjadi hambatan bagi para pihak apabila suami melanggar ketentuan taklik talak, maka pihak istri yang dirugikan tidak dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Selain itu, Akta Nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, Pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar dikeluarkannya akta nikah atau yang dalam masyarakat dikenal dengan buku nikah. Di dalam akta perkawinan memuat antara lain nama, tanggal dan tempat lahir, agamakepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman uami istri; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu bila telah pernah kawin. Selain itu, juga memuat nama, Universitas Sumatera Utara 66 agamakepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua mereka serta berbagai data kelengkapan lainnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa Akta Nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam KHI membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah penetapan nikah kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Pengertian “itsbat nikah” menurut Zainuddin Ali adalah “penetapan nikah”. Di dalam ketentuan perundang-undangan tentang itsbat nikah tidak terdapat pengertian dengan jelas karena tidak disebutkan pengertiannya. Namun pengertiannya dapat ditelaah dari ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam tentang Pencatatan Perkawinan, yang menjelaskan bahwa : 1 Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. 2 Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. 3 Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974; Universitas Sumatera Utara 67 e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974. 86 Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa itsbat nikah adalah pengajuan pengesahan nikah yang dilakukan tidak melalui Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian, pengertian yang dikemukakan di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan KHI tersebut dapat diartikan bahwa itsbat nikah adalah suatu permohonan yang diajukan untuk penetapan nikah yang tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

D. Tata Cara Pengajuan Itsbat Nikah yang Dilakukan pada Pengadilan Agama Klas IA Medan

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya akta nikah menjadi merupakan bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Mahkamah Syar’iyah. Akta Nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan 86 Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam tentang Pencatatan Perkawinan Universitas Sumatera Utara 68 tidak dapat dilakukan, karena perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini dibenarkan oleh Ismarnis, bahwa untuk dapat melakukan suatu gugatan atas sengketa dalam perkawinan bukti nikah yang diakui oleh Pengadilan Agama adalah Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah PPN seperti yang ditentukan oleh ketentuan yang berlaku. 87 Namun demikian hal ini tidak menutup kemungkinan para pihak untuk memperoleh pengesahan nikah walaupun tidak memiliki akta nikah yang diakibatkan oleh tidak dilakukannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah atau perkawinan dilakukan di bawah tangan menurut hukum Islam. Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa Akta Nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam KHI membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah penetapan nikah kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. 88 Hal ini juga dibenarkan oleh Ismarnis bahwa aturan pengesahan nikahitsbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang. Aturan pengesahan nikah tercantum dalam Pasal 2 ayat 5 87 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan 88 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 69 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jis. Pasal 49 angka 22 penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 7 ayat 2, 3 dan 4 Kompilasi Hukum Islam. 89 Keterangan di atas menjelaskan bahwa para pihak untuk memperoleh pengesahan nikah walaupun tidak memiliki akta nikah yang akibat tidak melakukan perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah apabila suatu keadaan menghendaki dapat mengajukan itsbat nikah. Hasil penelitian pada Pengadilan Agaman Medan juga ditemukan adanya pengajuan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama Medan dalam periode Januari - Desember 2009 terdapat 36 permohonan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut : 89 Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 70 TABEL 1 JUMLAH PERMOHONAN YANG MASUK PADA KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA KLAS IA MEDAN TAHUN 2009 No Jenis Perkara Sisa Perkara Tahun Lalu Jumlah Perkara Masuk Jumlah Perkara Diputus 1. Izin Poligami - 1 1 2. Pembatalan Perkawinan 2 9 9 3. Kelalaian Kewajiban Suami Isteri - 2 1 4. Cerai Gugat 67 408 375 5. Cerai Talak 128 938 893 6. Harta Bersama 2 10 9 7. Penguasaan Anak 1 5 2 8. Perwalian 2 15 17 9. Asal Usul Anak Pengangkatan Anak 1 4 5 10. Itsbat Nikah - 36 36 11. Dispensasi Nikah - 3 12. Kewarisan 18 108 101 13. Hibah 2 2 14. Wakaf 2 3 3 JUMLAH 225 1.547 1.460 Sumber : Hasil Penelitian pada P.A. Klas IA Medan, Nopember 2010 Tabel di atas menunjukkan bahwa pada Pengadilan Agama Klas IA Medan pada periode tahun 2009 terdapat jumlah perkara yang masuk 1.547 perkara dan sisa perkara tahun 2008 sebanyak 225 perkara. Sedangkan perkara yang berhasil diputuskan adalah 1.460 perkara. Kondisi ini menunjukkan tingginya perkara yang Universitas Sumatera Utara 71 harus diselesaikan oleh Pengadilan Agama Klas IA Medan. Jumlah perkara tersenut juga dapat dibagi menjadi perkara gugatan dan perkara permohonan yang jumlahnya dapat dirinci masing-masing: 90 1. Perkara Gugatan : 1.419 Perkara 2. Perkara Permohonan : 128 Perkara Total : 1.547 Perkara 3. Perkara yang diputus : 1.460 Perka Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari keseluruhan perkara yang ada di Pengadilan Agama Klas IA Medan tersebut juga terdapat 36 perkara yang merupakan permohonan penetapan nikah atau dikenal dengan permohonan Itsbat Nikah. 91 Selanjutnya dapat pula dijelaskan bahwa yang menjadi alas an pengajuan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Klas IA Medan antara lain sebagai dapat dilihat pada tabel berikut : TABEL 2 ALASAN PENGAJUAN ITSBAT NIKAH PADA PENGADILAN AGAMA KLAS IA KOTA MEDAN TAHUN 2009 No. Alasan Pengajuan Itsbat Nikah Jumlah 1 Kehilangan akta nikah 9 2 Pengurusan perceraian 14 3 Mengesahkan status anak untuk memperoleh warisan 7 4 Alasan lainnya 6 Jumlah 36 Sumber : Hasil Penelitian pada P.A. Klas IA Medan, Nopember 2010 90 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan 91 Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 72 Berdasarkan tabel di atas jelaslah bahwa itsbat nikah diajukan dengan berbagai macam alasan diantaranya 1 kehilangan akta nikah, 2 pengurusan perceraian dan 3 guna mengesahkan status anak untuk memperoleh warisan dan beberapa alasan lainnya. 92 Sebagai contoh mengenai Permohonan Itsbat Nikah ini dapat dilihat pada uraian permohonan yang diajukan berikut. Medan, ………………2009 Kepada Yth. Ketua Pengadilan Agama Medan Medan Assalamualaikum wr. wb. Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Hj. Hmd Nst Binti AH Nst, umur 75, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, warganegara Indonesia, tempat kediaman di Jalan Pembangunan No. 69 Kelurahan Helvetia Timur Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan selanjutnya disebut sebagai Pemohon Dengan ini Pemohon mengajukan permohonan pengesahan nikah Pemohon dengan suami Pemohon yang bernama : Nama Amr Hsn Lbs bin MS Lbs, yang telah meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 27 Nopember 1990, karena sakit. Adapun dalilalasan Pemohon mengajukan permohonan Pengesahan Nikah adalah sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon telah menikah secara sah dengan Amr Hsn Lbs bin MS Lbs, secara syariat Islam di Dolok Sinembah Kabupaten Simalungun pada tahun 1955 dengan berwalikan ayah abang kandung Pemohon karena orang tua Pemohon sudah meninggal dunia dengan dihadiri oleh 2 orang saksi yang bernama Abdul Jalil dan yang seorang lagi Pemohon lupa namanya dan mahar berupa seperangkatan alat sholat tunai. 2. Bahwa pada saat pemikahan tersebut Pemohon berstatus gadis dan Amr Hsn Lbs bin MS Lbs berstatus lajang dan tidak ada sesuatu hal yang dapat menghalangi terjadinya pemikahan tersebut berdasarkan hukum Syara atau pun peraturan hukum yang beriaku. 92 Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 73 3. Bahwa Pemikahan Pemohon dengan Amr Hsn Lbs bin MS Lbs, belum pernah didaftarkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku seperti sekarang ini. 4. Bahwa selama pemikahan Pemohon dan Amir Husin Lubis bin Musa Lubis, telah dikaruniai 11 sebelas orang anak masing-masing bernama : a. Rln Lbs, perempuan, umur 54 tahun. b. Rsl Lbs, laki-laki umur 52 tahun c. Nr Hs Lbs, laki-laki, umur 50 tahun. d. Nrls Lbs, laki-laki, umur 48 tahun. e. RsnnLbs, perempuan, umur 46 tahun f. Msdr Lbs, laki-laki umur 44 tahun. g. Ahm Nj, laki-laki sudah meninggal dunia. h. Rnn, perempuan umur 40 tahun. l. Sbrd, laki-laki umur 38 tahun. j. Nrwn, perermpuan umur 36 tahun. k. St Kdj, perempuan umur 31 tahun. 5. Bahwa selama masa pemikahan Pemohon dan Amir Husin Lubis bin Musa Lubis, tidak pernah bercerai dan masyarakat tidak ada yang keberatan dengan pemikahan Pemohon dengan Amir Husin Lubis bin Musa Lubis. 6. Bahwa surat pengesahan nikah ini Pemohon gunakan untuk menyatakan bahwa Pemohon adalah isteri sah dari Amr Hsn Lbs bin MS Lbs dan dapat dijadikan alat bukti bagi Pemohon tentang pemikahan Pemohon dengan Amr Hsn Lbs bin MS Lbs. 7. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas Pemohon mohon kapada bapak Ketua Pengadilan Agama Medan Cq. Majelis Hakim kiranya berkenan untuk menetapkan suatu hari persidangan dengan memanggil Pemohon dan para saksi yang dibutuhkan dan seterusnya menjatuhkan penetapan yang amamya berbunyi sebagai berikut: a. Mengabulkan permohonan Pemohon; b. Menetapkan sah pemikahan Pemohon Hj. Hmd Nst Binti AH Nst dengan suami Pemohon bemama Amr Hsn Lbs bin MS Lbs, yang dilaksanakan pada tahun 1955 di Dolok Sinembah Kabupaten Simalungun. c. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sesuai peraturan yang beriaku. Atau menjatuhkan penetapan lain yang seadil-adilnya; Demikian atas terkabulnya permohonan ini, Pemohon menyampaikan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. Pemohon, Hj. Hmd Nst Binti AH Nst. 93 93 Sumber data : Hasil Penelitian pada P.A. Klas IA Medan, Nopember 2010 Universitas Sumatera Utara 74 Berdasarkan contoh pengajuan itsbath nikah di atas, jelaslah bahwa pengajuan permohonan penetapan nikah tersebut dimaksudkan untuk mengesahkan perkawinan yang telah dilakukan pemohon, dimana pada saat dilakukannya perkawinan tersebut belum ada ketentuan yang berlaku secara khusus tentang perkawinan. 94 Dengan kata lain, perkawinan yang dilakukan pemohon dilakukan sebelum berlakunya ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Namun alas an pengajuan itsbat nikah tersebut dapat juga dilakukan karena kehilangan akta nikah, pengurusan perceraian dan guna mengesahkan status anak untuk memperoleh warisan dan beberapa alasan lainnya. Dalam Pasal 49 angka 22 penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 7 ayat 3 huruf d Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi Pasal 7 ayat 3 huruf a Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang untuk pengesahan perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah PPN yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-Undang Nornor 1 Tahun 1974 untuk kepentingan perceraian. Pasal 7 ayat 3 huruf a Kompilasi 94 Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 75 Hukum Islam ini banyak dipraktekkan di Pengadilan Agama Klas IA Medan. Berdasarkan uraian tersebut menurut penulis bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah banyak berindikasi penyelundupan hukum untuk mempermudah poligami tanpa prosedur hukum, dan memperoleh hak waris atau hak-hak lain atas kebendaan. Oleh karena itu, Pengadilan Agama harus berhati-hati dalam memeriksa dan memutus permohonan pengesahan nikahitsbat nikah, agar proses pengesahan nikahitsbat nikah tidak dijadikan alat untuk melegalkan perbuatan penyelundupan hukum. Jadi dengan demikian, tujuan diberikannya kesempatan untuk mengajukan itsbat nikah ini adalah melindungi hak-hak para pihak yang terkait dalam perkawinan tersebut secara hukum. Pihak Pengadilan Agama sendiri dalam memberikan penetapan juga harus melalui pertimbangan yang didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan keterangan saksi yang membenarkan telah dilakukannya perkawinan yang diajukan penetapannya kepada Pengadilan Agama. Dalam hal pengajuan Itsbat Nikah putusan hakim adalah bersifat putusan voluntair yang berarti berupa penetapan pengadilan terhadap permohonan pengesahan yang diajukan oleh para pihak. Penetapan itsbat nikah merupakan suatu upaya yang diberikan kepada mereka yang melakukan Universitas Sumatera Utara 76 pernikahan tetapi tidak tercatat dengan sendirinya tidak dapat menuntut hak- haknya atas nafkah atau warisan jika suaminya meninggal. Pernikahan mereka meskipun secara agama sah, tetap tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga anak-anak yang dilahirkannya hanya mempunyai hubungan perdatanasab dengan ibunya atau keluarga ibunya. Universitas Sumatera Utara 77

BAB III PROSES PENETAPAN ITSBAT NIKAH PADA PENGADILAN AGAMA

KLAS IA MEDAN DAN KENDALA YANG DIHADAPI

A. Prosedur Pengajuan Itsbat Nikah

Apabila dalam pelaksanaannya dalam praktek terdapat masyarakat atau pasangan suami isteri yang telah kawin tanpa melalui pencatatan pada KUA atau Catatan Sipil juga terbuka kemungkinan untuk melakukan pencatatan agar perkawinan yang telah dilakukannya sah dan diakui oleh negara, yaitu dengan melakukan hal sebagai berikut : 95 1. Mencatatkan Pernikahan melalui Itsbat Nikah Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya pernikahan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah penetapanpengesahan nikah kepada Pengadilan Agama Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 7. Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a dalam rangka penyelesaian perceraian; b hilangnya akta nikah; c adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 11974. Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dapat 95 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan 77 Universitas Sumatera Utara 78 dipergunakan, dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Dalam KHI dijelaskan bahwa untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain bukan dalam rangka perceraian hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang. 96 Setelah memiliki Akte Nikah, harus segera mengurus Akte Kelahiran anak- anak ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 empat belas hari dari yang telah ditentukan, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin. 97 2. Melakukan Pernikahan Ulang Pernikahan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, pernikahan harus disertai dengan pencatatan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan KUA. Pencatatan pernikahan ini penting agar ada kejelasan status pernikahan menjadi legal. Namun status anak-anak yang lahir dalam pernikahan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, 96 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan 97 Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 79 karena pernikahan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum pernikahan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum pernikahan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah pernikahan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam pernikahan. Meski terdapat kemaslahatan dalam perspektif hukum negara, namun status pernikahan ulang ini mengundang kontoversi dikalangan para ulama tentang keabsahan pernikahan pertama, karena dalam konteks ilmu ushul fiqh bahwa dasar sebuah perintah tidak menghendaki pengulangan Al Ashlu fil Amri laa yaqtadhiyat tikraar , dan jika terjadi pengulangan ibadah maka status ibadah pertama dipandang batal menurut fiqh. Oleh karena itu, menurut pandangan fiqh jika terjadi pernikahan ulang maka status pernikahan pertama dipandang batal, dan ini berimplikasi terhadap aktivitas suami isteri menurut pandangan fiqh. 98 Untuk itu, agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam tentang kedudukan pernikahan ulang ini dan status pernikahan pertama, maka kebijakan nikah ulang ini perlu ditinjau kembali dan dicarikan solusi alternatif untuk mendapatkan status legal pernikahan pertama. Selanjutnya dapat pula dijelaskan bahwa itsbat nikah diajukan dengan berbagai macam alasan diantaranya 1 kehilangan akta nikah, 2 pengurusan 98 Subhan Nur, H., Dampak Pernikahan Bawah Tangan Nikah Sirri, Ditjen Bimmas Islam, http:bimasislam.depag.go.id, diakses Januari 2011. Universitas Sumatera Utara 80 perceraian dan 3 guna mengesahkan status anak untuk memperoleh warisan dan beberapa alasan lainnya. Dalam praktek pengajuan itsbat nikah tersebut ada juga yang ditolak oleh Pengadilan Agama apabila tidak memenuhi kriteria atau ditentukan atau persyaratan yang ditentukan Pasal 7 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. Pengesahan nikahitsbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang berwenang. Perkawinan yang tidak dicatatkan oleh PPN banyak berindikasi penyelundupan hukum untuk mempermudah poligami tanpa prosedur hukum, dan memperoleh hak waris atau hak-hak lain atas kebendaan. Oleh karena itu, Pengadilan Agama harus berhati-hati dalam memeriksa dan memutus permohonan pengesahan nikahitsbat nikah, agar proses pengesahan nikahitsbat nikah tidak dijadikan alat untuk melegalkan perbuatan penyelundupan hukum. Untuk kepentingan itu, maka proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan pengesahan nikahitsbat nikah harus mengikuti petunjuk-petunjuk sebagai berikut: 99 a. Permohonan itsbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami istri atau salah satu dari suami istri, anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan. 99 Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 81 b. Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh kedua suami istri bersifat voluntair, dan produknya berupa penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan itsbat nikah tersebut, maka pihak suami dan istri bersama-sama atau suami, istri masing-masing dapat mengupayakan kasasi. c. Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau istri bersifat kontensius dengan mendudukkan istri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. d. Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. e. Permohonan itsbat nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat kontensius, dengan mendudukkan suami dan istri danatau ahli waris lain sebagai termohon. f. Suami, istri yang telah ditinggal mati oleh istri atau suaminya, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah secara kontensius dengan mendudukkan Universitas Sumatera Utara 82 ahli waris lainnya sebagai pihak termohon, dan produknya berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. g. Dalam hal suami atau istri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka permohonan itsbat nikah diajukan secara voluntair , produknya berupa penetapan. Apabila permohonan tersebut ditolak, maka pemohon dapat mengajukan kasasi. h. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam huruf b dan f, dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama yang memutus, setelah mengetahui ada penetapan itsbat nikah. i. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam huruf c, d dan e, dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama yang memeriksa perkara itsbat nikah tersebut selama perkara belum diputus. j. Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam huruf c, d dan sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama, ia dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama tersebut. k. Sebelum perkara permohonan pengesahan nikah disidangkan, Pengadilan Agama wajib mengumumkan permohonan pengesahan nikah yang diajukan kepadanya sebanyak 3 kali dalam jangka waktu 3 bulan pada media massa Universitas Sumatera Utara 83 cetak atau elektronik, dan pemeriksaan dilakukan setelah lewat jangka waktu satu bulan dari tanggal pengumuman terakhir. l. Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan perkawinan tersebut tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 sd Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 sd Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. m. Pengesahan nikah dapat digabungkan dengan gugatan perceraian. Cara penyelesaiannya diputus bersama-sama dalam satu putusan. n. Pengesahan nikah dapat pula digabungkan dengan gugatan warisan. o. Untuk keseragaman amar pengesahan nikah berbunyi sebagai berikut: Menetapkan sahnya perkawinan antara........dengan............ yang dilaksanakan pada tanggal........ di ......... 100 Prosedur sebagaimana yang dikemukakan tersebut di atas, adalah prosedur standar yan harus dilalui oleh para pihak yang mengajukan itsbat nikah, namun demikian tidak semua permohonan yang diajukan akan diterima oleh hakim Pengadilan Agama, karena pengajuan itsbat nikah hanya diperuntukkan atau hanya dapat diajukan terhadap perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, kehilangnya Akta Nikah, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, adanya perkawinan yang 100 Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 84 terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974. Diluar hal tersebut permohonan itsbat nikah akan ditolak. 101 Berdasarkan contoh perkara permohonan itsbat nikah di uraiakan pada bab sebelumnya jelaslah bahwa Pengajuan Itsbat Bikah oleh pasangan suami isteri atau oleh salah satu pihak yang berkepentingan merupakan jalan guna memperoleh pengesahan atau pencatatan dari perkawinan yang dilakukan sebelumnya tanpa melalui Pegawai Pencatat Nikah PPN. Prosedur pengajuan itsbat nikah yang dilakukan pada Pengadilan Agama Klas IA Medan, antara lain meliputi : 1 Proses permohonan, 2 Pengumuman melalui media masa, 3 Pemeriksaan materi permohonan, 4 Proses persidangan dan 5 pemberian putusan yang bersifat voluntair atau berbentuk penetapan Pengadilan Agama Klas IA Medan. Pengesahan nikah dapat digabungkan dengan gugatan perceraian dan cara penyelesaiannya diputus bersama-sama dalam satu putusan, Selain itu, pengesahan nikah dapat pula digabungkan dengan gugatan warisan. Adanya prosedur pengajuan itsbat nikah tersebut di atas juga dibenarkan oleh beberapa pemohon Itsbat Nikah yang berhasil ditemui, yang pada umumnya mengatakan bahwa dalam rangka mengajukan permohonan 101 Hasil Wawancara dengan Panitera Pengganti Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 85 tersebut pihaknya sebelum mengajukan permohonan dengan melengkapi persyaratan yang diperlukan setelah mengetahuinya dari staf kepaniteraan, kemudian setelah permohonan dimasukkan pihaknya menunggu adanya panggilan dari Pengadilan Agama Klas IA Medan setelah berkas permohonan diperiksa dan diumumkan. Setelah adanya panggilan dari dan proses persidangan pada Pengadilan Agama Klas IA Medan barulah mereka memperoleh penetapan pengesahan perkawinan yang diajukan melalui itsbat nikah tersebut. 102 Dengan demikian jelaslah bahwa, pengajuan itsbat nikah merupakan salah satu bentuk penyelesaian perkara pada Pengadilan Agama yang bersifat voluntair , dan produknya berupa penetapan hakim atau penetapan majelis hakim. Dengan demikian, jelaslah bahwa seperti halnya permohonan penyelesaian perkara pada Pengadilan Agama dilakukan dengan didahului oleh adanya permohonan dari para pihak yang berkepentingan, pemeriksaan, pengumuman, proses persidangan dan pemberian keputusan oleh hakim atau majelis hakim Pengadilan Agama. 102 Hasil Wawancara dengan Pemohon dan kuasa pemohon yang mengajuakan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Medan. Universitas Sumatera Utara 86

B. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Itsbat Nikah

Dalam hal pengajuan Itsbat Nikah putusan hakim adalah bersifat putusan voluntair yang berarti berupa penetapan pengadilan terhadap permohonan pengesahan yang diajukan oleh para pihak. Penetapan itsbat nikah merupakan suatu upaya yang diberikan kepada mereka yang melakukan pernikahan tetapi tidak tercatat dengan sendirinya tidak dapat menuntut hak-haknya atas nafkah atau warisan jika suaminya meninggal. Pernikahan mereka meskipun secara agama sah, tetap tidak mempunyai kekuatan hukum. Anak-anak yang dilahirkannya hanya mempunyai hubungan perdatanasab dengan ibunya atau keluarga ibunya. Untuk mengatasi persoalan ini, ketentuan dalam KHI sebenarnya memberikan jalan keluar dengan memberikan hak kepada mereka yang belum mempunyai buku nikah untuk mengajukan permohonan itsbat pengesahan nikah ke Pengadilan Agama. Kondisi ini disebabkan karena dalam ketentuan Pasal 7 KHI diatur bahwa : 1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. 2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan istbat nikahnya ke Pengadilan Agama. 3. Istbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan; a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi Universitas Sumatera Utara 87 sebelum berlakunya UUP; e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974. 4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Kesemua ketentuan tersebut merupakan dasar pertimbangan bagi hakim dalam memberikan putusan atau penetapan terhadap permohonan itsbat nikah. 103 Sebagai contoh mengenai pertimbangan hakm ini dapat dilihat pada salah satu contoh penetapan itsbat nikah dengan No. Perkara : 103Pdt.P2009PN-Mdn dengan Nama pemohon Adwyh binti M. Hsn Lbs, umur 80 tahun, Warga Negara Indonesia, Agama Islam, Pekerjaan ibu rumah tangga, Tempat tinggal Jalan Denai No. 61, Kelurahan Tegalsari I, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, yang selanjutnya disebut Pemohon. Di dalam permohonannya diajukan, Petitum : 1 Mengabulkan permohonan pemohon; 2 Menetapkan sah pemikahan pemohon dengan suami pemohon bernama Alm. Mchd Nst yang dilaksanakan tanggal tahun 1945 diSabadolok; 3 Membebankan biaya perkara sesuai peraturan yang beriaku; 4 Atau menjatuhkan penetapan lain yang seadil-adilnya; 103 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 88 Setelah menjalani prosedur pengumuman dan pemeriksaan berkas perkara terhadap permohonan itsbat nikah yang diajukan pemohon tersebut yang menjadi perimbangan majelis hakim adalah : Pada hari sidang yang telah ditentukan Pemohon I telah hadir menghadap sendiri dipersidangan dan isinya permohonan tetap dipertahankan kebenarannya dengan tujuan memperoleh Akta Nikah dan supaya jelas status anak-anaknya. Surat pengesahan nikah ini pemohon gunakan untuk mengurus pensiunan suami pemohon Aim. Machmud Nasution di PT TASPEN dan uang duka serta pensiunan janda, karena rtu pemohon sangat memerlukan surat pengesahan nikah sebagai bukti pemikahan pemohon dengan suami pemohon yang bemama Alm Mchd Nst; Permohonan permohon tersebut disertai dengan keterangan saksi dan bukti keterangan yang dikeluarkan oleh instansi terkait. Pernikahan yang diajukan pemohon juga dapat dibuktikan dengan adanya wali nikah dan saksi. Selanjutnya majelis hakim mempertimbangkan mengenai hukumnya, yaitu bahwa menurut Hukum Islam orang beragama Islam yang mau menikah harus memenuhi rukun nikah, sebagaimana tercantum pada Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, yaitu 1 adanya calon suami, 2 adanya calon isteri 3 adanya wali nikah, 4 adanya 2 orang saksi dan 5 adanya ijab kabul. Kesemua hal tersebut terpenuhi dan pernikahan adalah sah menurut Hukum Islam. Universitas Sumatera Utara 89 Pernikahan yang dilakukan oleh Pemohon terjadi karena antara keduanya tidak ada halangan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 Pasal 8 jo. Pasal 39 dan 40 Kompilasi Hukum Islam. Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan pemohon dan diperkuat dengan bukti tertulis P1. dan keterangan 2 dua orang saksi tersebut di atas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan pemohon telah terbukti kebenarannya, dimana pemohon telah menikah dengan seorang laki-laki nama Mchd Nstn bin H. Abd Mnn Nst pada tahun 1945 dan pernikahan tersebut telah memenuhi syarat dan rukun nikah secara Agama Islam, oleh karenanya dapat disahkan, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 2 dan 3 huruf d Kompilasi Hukum Islam dan kaidah fikih dalam Kitab Tuhfah Jilid IV halaman 133 yang berbunyi: Artinya: “Diterima pengakuan nikahnya seorang perempuan yang aqil Baligh” 104 Menimbang, bahwa berdasarkan bukti tertulis P2.dan P3., telah terbukti bahwa suami pemohon bernama Machmud Nasution seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil; Atas dasar pertimbangan diatas selanjutnya majelis hakim memutuskan dan memberikan penetapan bahwa : 104 Bagian menimbang, Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 103Pdt.P2009PN.Mdn Universitas Sumatera Utara 90 1 Mengabulkan permohonan pemohon ; 2 Menyatakan sah pemikahan pemohon Hj. Adwyh Lbs binti M. Hsn Lbs dengan suami pemohon Alm Mhmd Nst bin H. ABD Mnn Nst yang dilangsungkan secara Agama Islam pada tahun 1945; 3 Membebankan kepada pemohon untuk membayar semua biaya dalam perkara ini sebesar Rp. 101.000,- seratus satu ribu rupiah; 105 Dasar pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas dilakukan terhadap semua permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh para pemohonan karena pada dasarnya guna memenuhi syarat untuk diterima pemohon harus dapat membuktikan adanya pernikahan tersebut melalui keterangan para saksi-saksi dan juga wali nikah. 106 Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa dasar pertimbangan hakim dalam penetapan permohonan itsbat nikah 1 adanya permohonan yang bertujuan untuk memperoleh aktabuku nikah yang hilang dan supaya jelas status anak-anaknya, 2 Permohonan disertai dengan keterangan saksi dan bukti keterangan yang kuat 3 Pernikahan yang diajukan pemohon juga dapat dibuktikan dengan adanya wali nikah dan saksi, 4 Pernikahan tersebut tidak ada larangan kawin dan 5 Pernikahan memenuhi rukun nikah. Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan diterimanya permohonan itsbat nikah oleh majelis hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan, maka akan membawa akibat hukum terhadap perkawinan yang sebelumnya dilaksanakan tidak di hadapan 105 Sumber Data : Register Perkara No. 103Pdt.P2009PN.Mdn 106 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 91 Pegawai Pencatat Nikah atau tanpa melalui pencatatan menjadi sah dan status anak dalam perkawinan tersebut menjadi jelas. Selanjutnya dengan adanya penetapan dari Pengadilan Agama Klas IA Medan tersebut menjadi dasar bagi pemohonan untuk datang ke KUA Kecamatan setempat untuk minta diterbitkan Akta Nikah dan sekaligus dicatatkan pernikahannya. Dari uraian di atas juga dapat dijelaskan bahwa dengan diterimanya permohonan itsbat nikah, maka akibat hukum yang timbul adalah perkawinan yang diajukan pengesahan tersebut menjadi sah dapat dimintakan pencatatan dan diterbitkannya buku nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan KUA. Demikian pula dengan status anak dalam perkawinan menjadi jelas sebagai anak yang sah. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam hal pengajuan itsbat nikah ini ketentuan yang menjadi dasar pertimbangan hakim untuk memutuskan mengesahkan atau melakukan penetapan sahnya suatu permohonan itsbat nikah adalah ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, disamping juga mendengar para saksi dan bukti yang diajukan serta keyakinan hakim sendiri.

C. Kendala dalam Pengajuan Itsbat Nikah pada Pengadilan Negeri IA Medan

Dalam praktik upaya hukum legal remedies yang diberikan oleh Kompilasi Hukum Islam dalam pengajuan itsbat nikah ini tidak semudah yang dibayangkan. Pengadilan Agama mempunyai kebijakan yang berbeda-beda dalam menerapkan pasal ini. Pengadilan Agama Klas IA Medan dapat saja mengabulkan permohonan istbat seorang isteri meski suaminya yang menjadi termohon sudah almarhum, Universitas Sumatera Utara 92 tetapi dapat juga menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena permohonan tersebut tidak disertai permohonan perceraian. 107 Dalam hal ini, sangat diperlukan adanya pemahaman hakim terhadap masalah yang dihadapi guna memberi penetapan yang sesuai. Di mana di satu sisi berkaitan dengan keabsahan perkawinan; otoritas agama atau otoritas pemerintah dalam hal ini pegawai pencatat nikah, bukankah Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa sahnya perkawinan itu jika perkawinan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Perbedaan penafsiran terhadap Pasal 2 UU Perkawinan itu terutama terletak pada apakah kata agamanya dan kepercayaan itu merupakan satu kesatuan sehingga jika seseorang melakukan perkawinannya berdasarkan kepercayaan atau adatnya saja dan tidak berdasar agama yang diakui oleh negara maka perkawinan itu tidak sah sebagaimana dianut oleh Kantor Catatan Sipil selama ini. Dalam penafsiran lainnya adalah bahwa antara agama dan kepercayaan itu adalah entitas yang berbeda dan terpisah sehingga bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut kepercayaannya atau adatnya saja maka tak seharusnya Kantor Catatan Sipil menolak untuk mencatatnya karena memang tidak mempunyai otoritas untuk itu. Penafsiran yang terakhir inilah yang lebih dapat diterima secara hukum. Bukankah Kantor Catatan Sipil hanya berfungsi untuk mencatat terjadinya peristiwa hukum yang menyangkut kelahiran, perkawinan, dan kematian seseorang saja dan 107 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 93 tidak berwenang untuk memberikan otoritas untuk menentukan keabsahan perkawinan kecuali sekadar mencatatnya. Hal sama juga jelas dinyatakan dalam PP Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan yang menyatakan bahwa Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud oleh UU Nomor 23 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan Pencatatan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan tentang pencatatan perkawinan Pasal 2 ayat 1 dan 2. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian pada Pengadilan Negeri Medan juga ditemukan adanya pengajuan itsbat nikah dalam praktek pengajuan itsbat nikah tersebut ada juga yang ditolak walaupun pada data yang diperoleh tidak tercantum adanya penolakan oleh Pengadilan Agama. Hal ini disebabkan pengajuan yang dilakukan apabila ditolah oleh pengadilan tidak dibuku atau tidak masuk dalam register perkara tidak ditangani oleh pihak Pengadilan. 108 Dengan demikian, dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan proses pemeriksaan dan penetapan permohonan itsbat nikah ini juga mendapat kendala dan 108 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 94 hambatan yang sering timbul adalah biasanya para pihak dalam hal ini pemohon atau saksi yang memberikan keterangan tidak hadir dalam memenuhi panggilan. Pihak Pengadilan Agama sering harus berulang kali melakukan panggilan kepada pemohon namun sering tidak mendapat tanggapan. Kondisi ini tentu menyulitkan pihak Pengadilan Agama Klas IA Medan dalam mengadakan proses persidangan dan pemeriksaan berkas permohonan. Demikian pula halnya dalam pembuktian pemohon tidak dapat membuktikan argumen dan tujuan yang dinyatakan dalam permohonan. 109 Hal ini diketahui bahwa dalam praktek penyelesaian perkara permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh pemohon dari 36 permohonan itsbat nikah yang diterima walaupun telah ada penetapan yang dikeluarkan pengadilan namun dalam penyelesaiannya juga menghadpi berbagai kendala sebagaimana dijelaskan di atas. Kendala tersebut karena pihak pemohon tidak hadir ke persidangan tepat waktu walaupun telah dipanggil secara patut sehingga penyelesaian yang seharusnya singkat memerlukan waktu yang lebih lama. Sedangkan apabila dalam permohonan itsbat nikah yang mengajukan tersebut dianggap sebagai permohonan yang ditolak oleh Pengadilan Agama Klas IA Medan, apabila pemohon tidak memenuhi ketentuan dalam pengajuan itsbat nikah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. 110 109 Hasil Wawancara dengan Panitera Pengadilan Agama Klas IA Medan 110 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 95 Selain itu, faktor yang menjadi hambatan dalam perkara pengajuan itsbat nikah adalah pada saat pelaksanaan penetapan oleh para pihak yang berperkara. Sebagaimana yang telah ditentukan undang-undang bahwa setiap penetapan yang telah ditetapkan, maka penetapan tersebut tersebut harus segera dilanjutkan dengan permohonan pendaftaran nikah guna memperoleh akta nikah ke Kantor Urusan Agama Kecamatan guna memperoleh akta nikah. Oleh karena itu, pihak yang mengajukan permohonan harus segera melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal ini dibenarkan oleh salah seorang staf Kantor Urusan Agama Kecamatan bahwa dalam pelaksanaannya setelah penetapan itsbat nikah sangat jarang pemohon langsung mendaftar ke Kantor Urusan Agama Kecamatan. Selanjutnya, juga dapat dijelaskan bahwa dalam pengajuan itsbat nikah ini para pihak seringkali tidak dapat melengkapi persyaratan yang diajukan sehingga hal ini memperlambat proses penyelesaian suatu perkara. Padahal sebelum proses pengajuan pihak kepaniteraan telah menjelaskan kepada pemohon mengenai persyaratan yang harus dipenuhi dalam upaya pengajuan tetapi sering diabaikan. 111 Dalam hal ini Kholil Pulungan menyatakan bahwa memang dalam pelaksanaan penetapan Pengadilan Agama Klas IA Medan ada saja hambatan yang datang dari pihak yang memohon karena tidak langsung melaksanakannya. Pengadilan Agama Klas IA Medan memberi kepercayaan kepada para pihak 111 Hasil Wawancara dengan Panitera Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 96 yang melaksanakan penetapan guna segera mewujudkan tujuan dari permohonan itsbat nikah, namun kadang-kadang pelaksanaannya tidak sebagaimana diharapkan. 112 Oleh karena itu, untuk mengatasi hambatan tersebut maka upaya penyelesaian yang ditempuh adalah terutama harus adanya kesadaran dari masing-masing pihak. Khususnya bagi pihak yang dibebankan kewajiban untuk melaksanakan penetapan dan kepada pihak yang permohonannya diterima dalam suatu perkara permohonan itsbat nikah, agar pelaksanaan kewajiban setelah adanya penetapan itu tidak menimbulkan perselisihan lain yang berkepanjangan di antara para pihak yang bersangkutan. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kendala yang ditemui dalam pengajuan itsbat nikah adalah permohonan yang diajukan biasanya tidak lengkap memenuhi persyaratan yang diharuskan di samping juga pemohon tidak hadir sesuai dengan jadwal pemanggilan sidang. Penyelesaian yang ditempuh mengupayakan adanya kesadaran dari pemohon agar segera melengkapi persyaratan yang diperlukan dan memanggil pemohon untuk hadir tepat pada jadwal yang ditetapkan. 112 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 97

BAB IV STATUS ANAK YANG LAHIR SEBELUM DILAKUKANNYA

ITSBAT NIKAH

A. Pengertian Anak

Sudarsono, mengemukakan bahwa yang dikatakan anak adalah apabila telah mencapai usia 7 tujuh tahun sampai 17 tujuh belas tahun. 113 Anak menurut Hassan adalah muda-mudiremaja yang masih dianggap anak-anak, yang masih memerlukan bimbingan dari orang tuakeluarga serta masih harus belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua maupun menimba pengalaman-pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat. 114 Pengertian anak-anakremaja berdasarkan pendapat masyarakat secara umum adalah mereka yang masih berusia antara 13 tiga belas sampai dengan 15 lima belas tahun dan belum kawin, umumnya masih tinggal bersama orang tua. 115 Ada berbagai cara pandang dalam menyikapi dan memperlakukan anak yang terus mengalami perkembangan seiring dengan semakin dihargainya hak-hak anak, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa PBB. 113 Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal 13. 114 Hassan, Kumpulan Soal Tanya Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Diponegoro, Bandung, 1983, hal 518. 115 Ruslan,. Warta Perundang-Undangan No. 2333. Jakarta. Kamis 19 Februari 2004, hal 23-54. 97 Universitas Sumatera Utara 98 Menurut ajaran Islam, anak adalah amanah Allah dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tua. Sebagai amanah anak harus dijaga sebaik mungkin oleh yang memegangnya, yaitu orang tua. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun. Adanya tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhan anak, menunjukkan bahwa anak sebagai sosok manusia dengan kelengkapan-kelengkapan dasar dalam dirinya baru mulai mencapai kematangan hidup melalui beberapa proses seiring dengan pertambahan usianya. Oleh karena itu, anak memerlukan bantuan, bimbingan dan pengarahan dari orang tua. Dengan demikian, jelas bahwa anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Menurut Fitria A. yang mengutip pendapat John Locke “anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan”. 116 Sedangkan Sumadi Suryabrata mengutip pendapat Augustinus yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa “Anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan 116 Fitria A. Pengertian Anak Tinjauan secara Kronologis dan Psikologis , http:duniapsikologi.dagdigdug.com, Desember 2010 Universitas Sumatera Utara 99 pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa. 117 Fitria A yang mengutip pendapat Sobur mengartikan “anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan”. 118 Sedangkan Sumadi Suryabrata yang mengutip Haditono, berpendapat bahwa “Anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. 119 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam, atau sebagai akibat dari, perkawinan yang sah atau hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut, sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak dengan li’an sumpah bahwa isterinya telah berzina 117 Sumadi Suryabrata, Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Andi, Yogyakarta, 2000. hal 3. 118 Fitria A. Op.Cit., , http:duniapsikologi.dagdigdug.com, Desember 2010 119 Sumadi Suryabrata, Op.Cit, hal 3. Universitas Sumatera Utara 100 dan anak itu akibat dari perzinaannya dan pengadilan atas permintaan pihak berkepentingan memutuskan tentang sahtidaknya anak. 120 Asal-usul seorang anak hanya bisa dibuktikan dengan Akta kelahiran autentik oleh pejabat yang berwenang, jika akta autentik tidak ada maka asal-usul anak ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan pembuktian yang memenuhi syarat untuk kemudian dibuatkan akte kelahiran pada instansi pencatat kelahiran. 121 Terhadap anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan, kewarganegaraannya akan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum publik mau pun perdata. 122 Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri dewasa adalah 21 tahun, sepanjang ia tidak cacat fisik atau pun mental atau belum kawin. Orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Apabila kedua orang tua anak tidak mampu, Pengadilan dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban orang tuanya. 123 Dalam sebuah keluarga ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. 120 Pasal 42 ayat 3 dan 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 99, 100, dan 101 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 121 Pasal 55 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam. 122 Pasal 62 dan 59 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 123 Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam. Universitas Sumatera Utara 101 Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang membutuhkan pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak yang bertanggungjawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling dekat dengan anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya. Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, ia tidak wajib menafkahi anaknya yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri. Seorang ayah yang mampu akan tetapi tidak memberi nafkah kepada anaknya padahal anaknya sedang membutuhkan, dapat dipaksa oleh hakim atau dipenjarakan sampai ia bersedia menunaikan kewajibannya. Seorang ayah yang menunggak nafkah anaknya tetapi ternyata anaknya tidak sedang membutuhkan nafkah dari ayahnya maka hak nafkahnya gugur, karena si anak dalam memenuhi kebutuhan selama ayahnya menunggak tidak sampai berhutang karena ia mampu membiayai diri sendiri, akan tetapi jika anak tidak mempunyai dana sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhannya ia harus berhutang maka si ayah dianggap berhutang nafkah yang belum dibayarkan kepada anaknya. 124 Di sisi lain, si anak wajib menghormati orang tuanya dan wajib mentaati kehendak dan keinginan yang baik orang tuanya, dan jika anak sudah dewasa ia 124 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 157-163 Universitas Sumatera Utara 102 mengemban kewajiban memelihara orang tua serta karib kerabatnya yang memerlukan bantuan sesuai kemampuannya. 125 Menurut Wahbah al-Zuhaili, ada lima macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu: hak nasab keturunan, hak radla’ menyusui, hak hadlanah pemeliharaan, hak walâyah wali, dan hak nafkah alimentasi. Dengan terpenuhinya lima kebutuhan ini, orang tua akan mampu mengantarkan anaknya dalam kondisi yang siap untuk mandiri. 126 Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum, 127 dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis nasab, ia berhak mendapatkan berbagai macam hak dan mewarisi ayah dan ibunya. Dengan hubungan nasab ada sederetan hak-hak anak yang harus ditunaikan orang tuanya dan dengan nasab pula dijamin hak orang tua terhadap anaknya. Hak Radla’ adalah hak anak menyusui, ibu bertanggung jawab di hadapan Allah menyusui anaknya ketika masih bayi hingga umur dua tahun, 128 baik masih dalam tali perkawinan dengan ayah si bayi atau pun sudah bercerai. Hadlanah adalah tugas menjaga, mengasuh dan mendidik bayianak yang masih kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur diri sendiri. Walâyah disamping bermakna hak perwalian dalam pernikahan juga berarti pemeliharaan diri 125 Pasal 46 Undang-undang No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan 126 Satria Effendi, Op.Cit., hal. 163 127 Deasy Caroline Moch. Dja’is, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak diPengadilan Agama, Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999, hal. 39. 128 Al Qur’an Q.S. Al-Baqarah 2: 233. Universitas Sumatera Utara 103 anak setelah berakhir periode hadlanah sampai ia dewasa dan berakal, atau sampai menikah dan perwalian terhadap harta anak. Hak nafkah merupakan pembiayaan dari semua kebutuhan di atas yang didasarkan pada hubungan nasab. 129 Hak dan tanggung jawab adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, anak memiliki hak dari orang tuanya dan orang tua dibebani tanggung jawab terhadap anaknya. Jika digolongankan hak anak dapat diketagorikan dalam empat kelompok besar, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendapat perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. 130 Sebaliknya anak keturunan sudah semestinya berbuat baik dan berkhidmat kepada orang tuanya secara tulus, orang tualah yang menjadi sebab terlahirnya ia ke dunia. Al-Qur’an memerintahkan supaya anak memperlakukan orang tua dengan sebaik-baiknya, 131 ibu yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah serta menyapihnya menyusui selama dua tahun sehingga sepatutnya anak bersyukur kepada Allah swt. dan kepada kedua ibu bapaknya, 132 ibu mengandung dengan susah payah melahirkan dengan susah payah yang semuanya itu berlangsung berturut-turut selama tiga puluh bulan, sehingga ketika anak sudah dewasa dan mencapai umur empat puluh tahun memohonlah dia kepada Allah 129 Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam , Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999, hal. 7-19. 130 Saifullah, Problematika Anak dan Solusinya Pendekatan Sadduzzara’i, Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999, hal. 48. 131 Al Qur’an Q.S. Al-An’am 6: 151 132 Al Qur’an Q.S. Luqman 31: 14 Universitas Sumatera Utara 104 supaya menunjukinya untuk mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya selama ini dan untuk bersyukur berterima kasih kepada kedua orang tuanya seraya memohon kebaikan untuknya dan untuk anak cucunya di kemudian hari. 133 Allah SWT mengharuskan manusia berbuat kebaikan dan mentaati kedua orang tua, hanya terkecuali jika keduanya memaksa menyekutukan Allah, 134 jika salah seorang atau keduanya berusia lanjut dalam pemeliharaan anak jangan sekali- kali mengatakan “ah” atau membentak, ucapkan pada mereka perkataan yang mulia, 135 . Orang tua memiliki hak atas anak, ketika mereka sudah tua dan lemah berhak mendapatkan jaminan nafkah dari anaknya yang sudah mampu mencari nafkah sendiri, mereka berhak menerima warisan jika anaknya meninggal terlebih dahulu. 136 Suatu akad nikah merupakan lambang kerelaan dan kesiapan suami isteri memikul segala konsekwensi yang diakibatkan oleh akad nikah, manakala suatu sebab sudah dilakukan pelakunya harus memikul musabbab akibat, akan timbul hak dan kewajiban antara suami isteri baik materil maupun non materil. Menurut ajaran Islam, Tujuan utama dari perkawinan adalah melestarikan keturunan, oleh karenanya anak menjadi bagian yang sentral dalam keluarga, anak adalah amanah Allah yang senantiasa wajib dipelihara, diberi bekal hidup dan 133 Al Qur’an Q.S.Aal-Ahqaf 46: 15 134 Al Qur’an Q.S. al-Ankabut 29: 8 135 Al Qur’an Q.S. al-Israa’ 17: 23 136 Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha fi al-Bait wa al- Madrasah wa al-Mujtama’ , cet-2, Beirut, Dar al-Fikr, 1983. hal. 73-4. Universitas Sumatera Utara 105 dididik. Begitu keluarga dikaruniai keturunan timbul berbagai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi suami isteri demi kemaslahatan anak, kelangsungan hidup anak baik jasmani maupun rohani sangat ditentukan oleh dapat tidaknya anak meraih haknya secara baik. Lahirnya anak di satu sisi merupakan nikmat karunia Allah, di sisi lain adalah amanah yang jika orang tua berhasil menjaga dan menjalankannya justru nikmat bertambah dengan anak yang saleh dan berbakti serta mendoakan orang tuanya, jika orang tua gagal berarti ia telah mengkhianati amanah sehingga ia dinilai tidak bertanggung jawab. 137 Dengan demikian, dalam sebuah keluarga yang dibentuk oleh suatu hubungan perkawinan orang tua bertanggung jawab memenuhi kebutuhan anak, pencerdasan kognitif intelectual intelligence, emosi emotional intelligence, dan spiritual spiritual intelligence. Orang tua harus menjadi teladan yang baik, satu kata dan perbuatan, adil dan tidak membeda-bedakan anak baik dari segi usia, jenis kelamin, kelebihan maupun kekurangannya serta menghargai potensi anak dengan sikap kasih dan sayang. 138

B. Hubungan Itsbat Nikah dengan Status anak dalam Perkawinan

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perkawinan atau pernikahan merupakan akad yang sangat kuat atau misaqan ghalizan untuk mentaati perintah 137 Satria Effendi, Makna…Op. Cit.,. hal. 5 138 Suryadi, Anak dalam Perspektif Hadis, Artikel Jurnal Musawa, vol.4, No.2, Juli 2006, hal 179. Universitas Sumatera Utara 106 Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah. Perkawinan adalah jalan yang dipilih Allah untuk melestarikan keturunan. Dikeluarkannya Adam dan Hawa dari Surga untuk kemudian ditempatkan di bumi dapat dikatakan sebagai cikal bakal penciptaan manusia oleh Allah SWT. Manusia menurut ajaran agama Islam adalah sebagai pemimpin atau wakil Tuhan di muka bumi. Dalam istilah agama fungsi manusia yang demikian disebut “Khalifah”. Misi manusia sebagai khalifah pada pokoknya adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dalam hubungannya dengan alam semesta. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surat Al Isra ayat 70 yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. Sayyid Sabiq menulis dalam bukunya Fikih Sunnah : “Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan”. 139 139 Mohammad Thalib. Trans Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Bandung : PT. Alma’arif, 1980, Jilid 6, Cet 15, hal. 7. Universitas Sumatera Utara 107 Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah membuat hukum sesuai dengan martabatnya. 140 Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab dan qabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Perkawinan menurut syari’at Islam setidak-tidaknya akan : 1 Membuat hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi terhormat dan saling meridhai 2 Memberikan jalan yang paling sentosa pada sex sebagai naluri manusia, memelihara keturunan dengan baik dan menghindarkan kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki 3 Membuat pergaulan suami-isteri berada dalam naungan naluri keibuan dan kebapakan, sehingga akan melahirkan anak keturunan yang baik sebagai generasi penerus misi kekhalifahan 4 Menimbulkan suasana yang tertib dan aman dalam kehidupan sosial. 141 140 Ibid., hal. 8. 141 H. M. Zuffran Sabrie, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah. Departemen Agama RI, Jakarta, 1998, hal. 7-8. Universitas Sumatera Utara 108 Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum Islam. Sebagai amanah Allah, maka orang tuanya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi keperluannya sampai dewasa. Namun demikian, sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini yaitu mengenai pengajuan itsbat nikah dan kaitannya dengan status anak yang lahir sebelumnya dapat dijelaskan bahwa sebagaimana diketahui bahwa tujuan tujuan diberikannya kesempatan untuk mengajukan itsbat nikah ini adalah melindungi hak- hak para pihak yang terkait dalam perkawinan tersebut secara hukum. Pihak Pengadilan Agama sendiri dalam memberikan penetapan juga harus melalui pertimbangan yang didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan keterangan saksi yang membenarkan telah dilakukannya perkawinan yang diajukan penetapannya kepada Pengadilan Agama. Penetapan nikah dimaksud tentu dengan sendirnya akan berdampak pada anak yang lahir dalam perkawinan yang disahkan tersebut. Dalam hal ini anak yang lahir dalam perkawinan tersebut selanjutnya dapat disebut sebagai anak yang sah secara hukum menurut Undang-undang Perkawinan dan terhadapnya apabila belum memiliki akta kelahiran dapat dilanjutnya dengan membuat akta kelahiran setelah Universitas Sumatera Utara 109 perkawinan yang disahkan tersebut didaftarkan ke Kantor Urusan Agama Kecamatan. 142 Namun hal ini tidak berlaku bagi anak yang lahir di luar perkawinan atau dengan kata lain anak yang lahir sebelum perkawinan yang belum disahkan tersebut. Hal ini disebabkan karena tidak semua anak lahir dari perkawinan yang sah, bahkan ada kelompok anak yang lahir sebagai akibat dari perbuatan zina. Anak-anak yang tidak beruntung ini oleh hukum dikenal dengan sebutan anak luar nikah. Dengan sendirinya, apabila anak tersebut memang anak luar nikah tentunya tidak tercakup dalam ketentuan anak yang termasuk dalam perkawinan yang dimohonkan penetapannya melalui itsbat nikah. Hal ini disebabkan dalam pengajuan itsbat nikah ini yang dimohonkan adalah penetapan nikah yang dilakukan sedangkan mengenai status anak tersebut apakah termasuk anak sah yang lahir dalam perkawinan atakah anak luar nikah merupakan persoalan lain yang harus diselesaikan oleh kedua orang tuanya. 143 Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa melalui pengajuan itsbat nikah atau penetapan nikah inibukanlah untuk menetapkan status anak sah atau tidak tetapi untuk menetapkan bahwa perkawinan suami isteri yang dilangsungkan sebelumnya adalah sah. Kemudian apabila anak yang lahir selama dalam perkawinan tersebut dengan sendirinya menjadi anak yang sah dengan syarat lahirnya anak tersebut 142 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan 143 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan Universitas Sumatera Utara 110 “Dalam Hukum Islam anak yang sah dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan 177 hari semenjak pernikahan orang tuanya, tidak perduli apakah orang itu lahir sewaktu orang tuanya masih terikat dalam perkawinan ataukah sudah berpisah karena wafatnya si suami, atau karena perceraian di masa hidupnya. Dan jika anak itu lahir sebelum genap jangka waktu 177 hari itu maka anak itu hanya sah bagi ibunya”. Berdasarkan pendapat di atas, anak yang dilahirkan pada waktu kurang dari enam bulan setelah akad nikah atau kurang dari enam bulan semenjak waktunya kemungkinan senggama seperti pendapat mayoritas ulama, adalah tidak dapat dinisbahkan kepada laki-laki atau suami wanita yang melahirkannya. Hal itu menunjukkan bahwa kehamilan itu bukan dari suaminya.

C. Status Anak yang Lahir Sebelum dilakukan Itsbat Nikah

Anak merupakan anugerah terindah yang tidak tergantikan dalam sebuah keluarga. Setiap orang yang berumah tangga sangat menginginkan akan hadirnya seorang anak. Anak dapat memberikan hiburan tersendiri kepada orang tua di kala mereka penat dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu, anak juga merupakan penerus keturunan dalam keluarga. Dalam hal status anak ini, di Indonesia dapat dilihat dari pandangan hukum Islam dan juga menurut ketentuan hukum positif yang berlaku. Dalam Islam anak adalah anak yang dilahirkan. Anak tercipta melalui ciptaan Allah dengan perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan Universitas Sumatera Utara 111 kelahirannya. Seorang anak yang sah ialah anak yang lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak di dalam Islam adalah menentukan apakah ada atau tidak hubungan kebapakan nasab dengan seorang laki-laki. Dalam hal hubungan nasab dengan bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan oleh perkawinan yang dengan nama Allah disucikan. Dalam hukum Islam ada ketentuan batasan kelahirannya, yaitu batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya adalah 6 enam bulan. Berdasarkan bunyi dalam Al-Qur’an Surah Al-Ahqaaf ayat 15 yang artinya : “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandung dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...”. Surah Luqman ayat 14 yang artinya : “Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya : ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah dan menyapihnya dalam dua tahun...”. 144 Ayat pertama tersebut menjelaskan masa kehamilan dan masa menyusui digabungkan menjadi 30 tiga puluh bulan. Tidak dirinci dalam ayat ini, beberapa bulan masa hamil dan berapa bulan masa menyusui. Dan Ayat kedua tersebut menjelaskan masa menyusu selama 2 tahun 24 bulan. Ayat ini dianggap sebagai penjelasan dari masa menyusui yang disebut secara global dalam ayat disebut pertama di atas. 144 Al Qur’an Q.S. Al-Ahqaaf ayat 15 dan Q.S. Luqman ayat 14. Universitas Sumatera Utara 112 Sehingga dapat disimpulkan bahwa 30 bulan setelah dikurangi 24 bulan masa menyusu, sisanya tinggal enam bulan sebagai masa minimal kehamilan. Menurut Soedaryo Soimin ; “Dalam Hukum Islam anak yang sah dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan 177 hari semenjak pernikahan orang tuanya, tidak perduli apakah orang itu lahir sewaktu orang tuanya masih terikat dalam perkawinan ataukah sudah berpisah karena wafatnya si suami, atau karena perceraian di masa hidupnya. Dan jika anak itu lahir sebelum genap jangka waktu 177 hari itu maka anak itu hanya sah bagi ibunya”. 145 Sedangkan menurut Aswadi Syukur dalam bukunya “ Intisari Hukum Perkawinan dan Kekeluargaan dalam Fikih Islam” menyebutkan bahwa para fuqaha menetapkan suatu tenggang kandungan yang terpendek adalah 180 hari. 146 Seluruh mazhab fikih, baik mazhab Sunni maupun Syi’ah sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan. Sedangkan dalam hal penghitungan antara jarak kelahiran dengan masa kehamilan terdapat perbedaan. Menurut kalangan Mazhab Hanafiah dihitung dari waktu akad nikah. Dan menurut mayoritas Ulama dihitung dari masa adanya kemungkinan mereka bersenggama. 147 Maka berdasarkan pendapat di atas, anak yang dilahirkan pada waktu kurang dari enam bulan setelah akad nikah seperti dalam aliran mazhab Abu Hanifah, atau kurang dari enam bulan semenjak waktunya kemungkinan senggama seperti pendapat mayoritas ulama, adalah tidak dapat dinisbahkan kepada 145 Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata BaratBW, Hukum Islam dan Hukum Adat. Sinar Grafika, Jakarta 1992, hal. 46. 146 Asywadie Syukur, Intisari Hukum Perkawinan dan Kekeluargaan dalam Fikih Islam, Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hal. 32. 147 H. M. Zuffran Sabrie, Op.cit.,hal. 65. Universitas Sumatera Utara 113 laki-laki atau suami wanita yang melahirkannya. Hal itu menunjukkan bahwa kehamilan itu bukan dari suaminya. Dalam hal ini Wahbah az-Zuhulaili yang dikutip Zuffran Sabrie berpendapat, anak tersebut tidak bisa dinisbahkan kepada suami perempuan itu. 148 Tidak sahnya seorang anak untuk dinisbahkan kepada suami ibunya, mengandung pengertian bahwa anak itu dianggap sebagai anak yang tidak legal, tidak mempunyai nasab, sehingga tidak mempunyai hak sebagaimana layaknya seorang anak terhadap orang tuanya. Untuk memastikan bahwa anak apakah sungguh-sungguh anak ayahnya dapat dinisbahkan kepada suami ibunya yang sah, para fukaha menetapkan ada tiga dasar yang dapat dipergunakan untuk menentukan apakah anak yang sah atau tidak :

1. Tempat Tidur yang Sah Al-Firasyus Shahih

Dokumen yang terkait

Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

6 125 217

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Dan Kaitannya dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)

2 35 156

Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Dan Anak (Studi Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/Pa.Js)

1 9 98

Respon Masyarakat Tenjolaya Bogor Terhadap Pelayanan Itsbat Nikah Terpadu Pengadilan Agama Cibinong

2 24 88

Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Dan Anak (Studi Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/Pa.Js)

1 4 98

Itsbat nikah akibat pernikahan di bawah tangan bagi pasangan menikah di bawah umur (studi analisis penetapan pengadilan agama Cibinong Nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn)

4 22 105

Akibat Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan Identitas dan Kaitannya Dengan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Pada Pengadilan Agama Medan Kelas-IA)

3 26 124

TINJAUAN YURIDIS TENTANG ITSBAT NIKAH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta) Tinjauan Yuridis Tentang Itsbat Nikah (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta).

0 1 16

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA E. Pengertian Perkawinan - Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

0 0 49

Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

0 0 11