10
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para praktisi dan masyarakat, khususnya kepada pasangan kawin yang belum memiliki akta nikah, agar
lebih mengetahui tentang pentingnya akta nikah baik dalam hubungan perkawinan maupun untuk melakukan perceraian dan prosedur pengajuan itsbat nikah pada
Pengadilan Agama.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara USU Medan, dan sejauh yang
diketahui, penelitian tentang “ITSBAT NIKAH DAN KAITANNYA DENGAN STATUS ANAK YANG LAHIR SEBELUMNYA Studi Pada Pengadilan Agama
Klas IA Medan”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya,
karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena aktivitas
penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.
11
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
11
Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan variabel dalam
bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir Frame of
thingking dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam
bidang tersebut“.
12
Sedangkan Kerangka Teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau empiris yaitu kerangka teoritis yang didasarkan pada kerangka acuan hukum, kalau tidak ada
acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan bagi Ilmu Hukum.
13
Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial.
14
Oleh karena itu, hukum tidak bersifat statis melainkan hukum bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan Masyarakat. Namun demikian perkembangan masyarakat
tersebut perlu diatur dengan suatu ketentuan hukum guna terciptanya suatu kepastian hukum yang dapat melindungi hak dan kewajiban subjek hukumnya.
Oleh karena itu dalam penelitian ini kerangka teori yang dijadikan pisau analisisnya adalah dengan aliran hukum positif yang analitis atau teori hukum positif
dari Jhon Austin yang mengatakan bahwa : Hukum itu sebagai a command of the lawgiver perintah dari pembentuk
undang-undang atau penguasa, yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap
sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup closed logical
12
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal. 12.
13
Ibid , hal 127
14
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hal 99.
Universitas Sumatera Utara
12
system . Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak
didasarkan pada penilaian baik-buruk.
15
Menurut Jhon Austin sebagimana dikutip Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, apa yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah,
sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsur- unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law, tetapi hanyalah merupakan
positive morality . Unsur perintah ini berarti bahwa pertama satu pihak menghendaki
agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga perintah
itu adalah pembedaan kewajiaban terhadap yang diperintah, keempat, hal ketiga hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.
16
Hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab
manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum. Anak dilahirkan karena adanya
perkawinan orang tuanya. Jadi kerangka teori yang dijadikan sebagai fisio analisis dalam penelitian ini
adalah kerangka menurut Mazhab Positivisme pendapat John Austin yaitu adanya
15
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55.
16
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
13
pengaruh timbal balik nyata antara hukum dengan masyarakat berupa teori yang mengacu pada peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan kebiasaan
dalam masyarakat dan mengamati bagaimana pengaruh peraturan perundang- undangan terhadap masyarakat.
Dengan demikian kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum
perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian
ini.
17
Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di dalam masyarakat adat, perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang merubah status laki-laki menjadi suami dan dari seorang perempuan menjadi isteri.
Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan ikatan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan.
Disamping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki
17
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung 1994, hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
14
hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, atau merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kerabat.
18
Perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUH Perdata adalah pertalian yang sah antara seorang pria dan wanita untuk waktu yang lama atau
suatu hubungan hukum anatara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.
Suatu perkawinan dapat dilaksanakan jika memenuhi beberapa persyaratan yang berupa syarat material dan formal. Syarat materilsubyektif, yaitu syarat-syarat
yang melekat pada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974, terdiri dari :
1. Harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Harus mendapat ijin orang tua, apabila calon pengantin belum berumur 21
tahun. 3. Harus sudah mencapai umur 19 sembilanbelas tahun bagi pria dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 enambelas tahun. 4. Tidak ada larangan perkawinan.
5. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang agamanya mengijinkan untuk berpoligami.
6. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang hendak dikawini.
7. Harus telah lewat waktu tunggumasa iddah bagi janda.
19
Syarat-syarat formalobyektif adalah syarat tentang tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang. Tata cara
18
Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 187.
19
Pasal 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
15
melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Perkawinan dilakukan setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak
wanita untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian keinginan tersebut didaftarkan dan diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan jika tidak ada keberatan dari
pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 sebagai berikut : 1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
2. Tata cara perkawinan
dilakukan menurut
hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. 3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pengawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
20
Apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal
yang diperlukannya. Hal ini merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu :
1. Setiap orang
yang akan
melangsungkan perkawinan
diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan.
20
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Ketentuan Pelaksanaan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
16
2. Perkawinan dilangsungkan sepuluh hari sejak pengumuman kehendak perkawinan tersebut.
3. Tata cara
perkawinan dilakukan
menurut hukum
agama atau
kepercayaannya. 4. Perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi. 5. Sesaat
setelah perkawinan
dilangsungkan kedua
mempelai menandatangani
akta perkawinan.
Akta perkawinan
yang telah
ditandatangani oleh kedua mempelai kemudian ditandatangani oleh dua orang saksi dan pegawai pencatat.
21
Lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta nikah atau akta perkawinan memuat hal-hal sebagai berikut :
1 Nama, tanggal, tempat lahir, agamakepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan juga nama istri atau suami tedahulu. 2 Nama, agamakepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka.
3 Izin kawin. 4 Dispensasi.
5 Izin Pengadilan. 6 Persetujuan
7 Izin pejabat yang ditunjuk oleh MenhankamPangab bagi angkatan
bersenjata. 8 Perjanjian perkawinan apabila ada
9 Nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
10 Nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
22
Dengan demikian, Akta Nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang
suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu
21
Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
22
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Ketentuan Pelaksanaan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
17
atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibaca dan disetujuinya pada saat melangsukan pernikahan, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan
mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Selanjutnya dapat pula dijelaskan bahwa Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seseorang untuk
berpoligami. Perkawinan seseorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu yang diputuskan pengadilan. Prinsip yang dianut adalah bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan para pihak harus masak jiwa dan
raganya dan adanya itikad baik, agar tujuan perkawinan dapat tercapai dan mendapatkan keturunan yang baik.
Perkawinan bukan hanya masalah antara seorang pria dan seorang wanita yang akan melaksanakan perkawinan melainkan juga menimbulkan akibat hukum,
baik terhadap suami isteri, harta kekayaan, maupun hubungan antara pasangan tersebut dengan anak yang lahir dari perkawinan.
Anak yang lahir dari suatu perkawinan mempunyai hak dan kewajiban. Masalah hak dan kedudukan anak benar-benar dilindungi oleh Negara. Pengertian
anak berdasarkan Undang-undang No.23 Tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Di
dalam suatu perkawinan yang sah sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan menganut prinsip bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
Universitas Sumatera Utara
18
adalah anak kandung yang sah yang diakui oleh Negara dan terdaftar sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang sah dengan bukti akta kelahiran yang dikeluarkan
oleh lembaga catatan sipil.
23
Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya adalah anak kandung. Apabila perkawinan ayah dan ibunya sah, maka anaknya adalah anak
kandung yang sah. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Dilihat dari segi perlindungan hukum anak, maka hal ini
sangat merugikan anak yang lahir di luar perkawinan, karena ia tidak berhak dibiayai hidup dan pendidikan oleh ayahnya, yang turut menyebabkan ia lahir didunia dan
oleh karena itu seharusnya ikut bertanggung jawab atas kehidupan dan kesejahteraan anak tersebut.
24
Untuk dapat membuktikan asal usul seorang anak dapat dilakukan dengan cara :
25
1. Adanya akte kelahiran 2. Surat keterangan kenal lahir
3. Kesaksian dua orang yang sudah dewasa, dilengkapi dengan surat keterangan dokter, bidan, dukun bayi, dan lain-lainnya.
Menentukan apakah seorang anak lahir sebagai akibat dari suatu perkawinan atau bukan dilihat dari panjang masa kehamilan ibunya, namun Undang-undang
23
J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 5.
24
K. Wantjik Saleh, Op.Cit, hal.44
25
Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan Peraturan Pelaksanaan,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, hlm.43
Universitas Sumatera Utara
19
Perkawinan tidak mengatur mengenai hal ini seperti juga dalam Hukum Adat. Pada asasnya, anak yang dilahirkan lebih dari 179 seratus tujuhpuluh Sembilan hari
sesudah perkawinan, tidak dapat diingkari keabsahannya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 251 Kitab Undang-undang Hukum Pedata.
26
Setiap anak
mempunyai hak
untuk memperoleh
perlindungan khusus,kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara
sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan sesuai dengan martabat kemanusiaan, untuk itu diperlukan Undang-Undang untuk melindungi kepentingan anak. Undang-
undang perlindungan anak yaitu Undang-umdang No.23 Tahun 2002 dibentuk untuk mengatur
bahwa semua
tindakan yang
menyangkut diri
anak harus
mempertimbangkan sepenuhnya kepentingan terbaik si anak. Negara wajib memberikan perawatan yang memadai jika orang tua atau wali gagal memberikannya.
Perlindungan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab negara tetapi terutama menjadi tanggung jawab orang tua anak tersebut. Kitab Undang-undang
Hukum Perdata mengatur mengenai kekuasaan orang tua dimana kekuasaan orang tua yang tidak hanya menyangkut hak asuh orang tua tetapi juga pengurusan
orang tua terhadap hak anak yang berhubungan dengan harta kekayaan atau warisan. Didasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1974 diatur mengenai kekuasaan
orang tua bahwa anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Salah seorang atau kedua orang
26
J Satrio, Op.Cit., hal.26.
Universitas Sumatera Utara
20
tuanya dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke
atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.
27
Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa adalah hak ibunya, sedangkan seluruh biaya
pemeliharaan anak adalah tanggung jawab ayah menurut kemampuannya sampai anak itu dewasa atau mandiri.
2. Konsepsi